Sepulangnya dari liburan, Farel dan Beni kini kembali dekat. Mulai berubah, kini tatapan lelaki kecil itu terlihat hangat saat pandangannya beradu dengan sang ayah. Pun dengan Beni, setelah dirinya menghabiskan waktu dengan sang buah hati, kini ia sangat mengerti kebutuhan Farel. Sebagai seorang ayah, ia terlalu sibuk bekerja dengan dalih menafkahi anaknya. Namun, kini ia sadar, ia telah lupa bahwa tak hanya nafkah lahir yang dibutuhkan keluarga. Namun, waktu, kesempatan, perhatikan, kasih sayang dan prioritas yang amat dibutuhkan Farel. Beni sadar, meski sudah bukan lagi balita, tetapi Farel adalah anak-anak. Usia biologisnya mengajak untuk bersenang-senang, sementara selama ini Beni selalu menekankan prestasi pada Farel. Mulai sekarang Beni berjanji, ia tak akan lagi terlalu banyak menekan anaknya. Ia sadar, pintar akan ada waktunya, tetapi masa kecil tidak bisa diulang kembali. "Nengsih, terima kasih ya," kata Beni saat mengemudi, mereka hendak pulang lagi ke kediamannya. Lelaki
"Ah ini mah dekat. Paling cuma sepuluh menit aja dari sini," gumam Dedi saat melihat lokasi yang dikirim Nengsih. Kebetulan ia sedang mampir di rumah temannya yang ternyata tinggal di komplek yang sama dengan bos Nengsih.Lelaki yang sudah lama menyimpan perasaan untuk teman kecilnya itu merogoh kunci motor dan pamit pada temannya."Mau ke mana buru-buru amat?" tanya temannya yang baru saja mengambil air minum."Mau ketemu Nengsih," balasnya, teman yang sudah tahu semua perasaan Dedi itu mengangguk faham."Bay the way Si Nengsih tinggal di mana sekarang?" tanya temannya lagi penasaran."Dia jadi pengasuh katanya, gue tahu banget sih, status dia sekarang susah buat cari kerja. Kita yang tercatat berkelakuan baik aja susah, apalagi yang mempunyai catatan khusus," balas Dedi, ia takut temannya akan menyebut bodoh seperti tetangganya karena tahu ia menyukai mantan narapidana."Iya sih gue ngerti, semoga aja setelah dia nikah sama loe nanti, si Nengsih bisa bahagia, gue kasihan banget sama
Mendengar keributan, ibu kandung Beni memutuskan keluar dengan menjalankan sendiri kursi rodanya.Begitupun dengan Farel, lelaki yang tengah menggambar lukisan sebuah keluarga itu pun ikut bergegas karena penasaran dengan apa yang terjadi di luar rumahnya.Firda menutup mulut, hampir saja ia tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Beni. Wanita yang sejak dulu selalu menggoda pengacara itu memandang Nengsih dari atas hingga bawah dengan tatapan merendahkan."Tapi Pak__" Nengsih merasa tak nyaman dengan pernyataan Beni, terlebih lelaki itu langsung menyentuhnya."Sudahlah Beni, gak usah ngawur, aku tahu kamu cuma mau memanasi aku saja kan, Ben? Jelas aku dan dia itu jauh berbeda, seujung kuku pun kami tak memiliki kesamaan."Firda menyombongkan dirinya sambil menyilangkan tangan di dada. Jauh dalam hatinya ia merasa terhina karena lelaki yang dicintainya itu lebih memilih perempuan kampung dan miskin seperti Nengsih dibandingkan dirinya.Mendengar nada cemooh dari wanita di hadapanny
"Dian, kamu gak apa-apa, Nak?"Indira langsung merengkuh tubuh keponakannya yang kesakitan. Wanita itu dibantu oleh Adi dan Radit untuk duduk, mereka berharap semoga saja sakit di perut Dian mereda."Ssssttt, hhhh...." Dian terus meringis merasakan sakit yang menghujam perut bagian bawahnya."Minum dulu Dian," kata Adi sambil membuka tutup botol yang ia ambil dari tas Indira.Dian menerima air itu kemudian meminumnya. Namun, rasa sakitnya tak kunjung hilang. Wanita itu masih terus meringis sambil mengatur napasnya."Bawa ke rumah sakit aja," timpal Radit dengan perasaan khawatir. Meski anak yang dikandung Dian sama sekali tak ada hubungan dengannya, tetapi ia sangat mencemaskan kondisi mantan istri. Radit takut terjadi sesuatu dengan Dian."Ya sudah." Indira menganggukkan kepala tanda setuju. Ia bersama Adi membantu keponakannya untuk berdiri dan berjalan keluar, sementara Radit bergegas lari untuk menyiapkan mobil agar Dian tak harus jalan jauh ke parkiran.Di sepanjang perjalanan m
"Mbak Hasna," lirih Indira setelah sampai di rumah kakak kandungnya itu. Indira langsung memeluk Hasna erat. Ia menangis kencang di pelukan saudara perempuannya."Bagaimana hasilnya, Indira?" tanya Hasna dengan raut wajah khawatir. Sebenarnya ia sudah tahu jawabannya meski tak bertanya, hanya saja ia ingin mendengar sendiri dari mulut Indira."Mbak, kita kalah, Maira mau diambil sama mereka," kata Indira sambil terisak.Tak lama kemudian Mbok Siti membawa Maira dan Citra turun. Melihat cucunya, Hasna dan Indira lantas langsung mendekati keturunannya masing-masing. Indira memeluk Maira erat, ia tak rela cucunya yang diperjuangkan olehnya itu harus diambil oleh Mega dan Haris."Maira harus ikut saya."Baru saja Indira memeluk Maira, tiba-tiba saja Mega dan Haris sudah berdiri di ambang pintu. Melihat kedatangan mereka, Adi lantas menyeret dua manusia itu keluar dari rumah Hasna.Hasna, Mbok Siti dan Citra ikut keluar, sementara pintu langsung ditutup agar Mega tak mengambil Maira begitu
"Indira, keluar kamu. Kalau gak keluar saya dobrak pintunya."Haris mengancam Indira sambil berteriak dari luar. Lelaki itu sudah memasang badan hendak mendobrak pintu rumah Rian."Jangan brutal. Ini rumah saya!" Rian muak melihat arogansi Haris. Pun Dian, ia menatap lelaki itu dengan penuh kebencian."Bujuk Indira atau saya dobrak!" Haris memberi perintah pada pemilik rumah.Hasna yang tengah menahan gemuruh hebat di dadanya lantaran kelakuan sang mantan itu akhirnya melangkah, ia mendekati daun pintu dan mengetuknya."Indira, buka pintunya ya. Kita bisa bicarakan ini baik-baik, jangan seperti itu Indira. Mbak tahu kamu sangat menyayangi Maira. Mbak mengerti sulit untuk kamu menerima ini semua. Tapi Mbak mohon, buka pintunya dulu ya."Hasna berkata dengan suara lembut, ia berusaha bernegosiasi dengan adiknya sambil terus mengetuk pintu. Namun, kini tak terdengar suara Indira maupun Maira di dalam rumah.Hasna menatap mata Dian, kedua manik hitam itu membulat saat saling berhadapan. I
Langit sudah mulai gelap, jalan tol Jakarta-Merak itu cukup lenggang, sehingga mobil yang ditumpangi Indira bisa melesat dengan kecepetan tinggi."Pak, ayo agak cepat jalannya, aku takut dikejar mereka."Indira yang berada di dalam mobil itu nampak panik. Sementara Maira fokus dengan boneka dalam genggamannya. Sesekali gadis kecil itu melirik ke arah Indira dan tersenyum. Ia sama sekali tak mengerti bahwa dirinya sedang diperebutkan."Tenang. Kita sudah jauh dari rumah. Mega dan Haris pasti tidak akan mengejar.Lelaki berpakaian hitam yang mengemudi itu meyakinkan Indira bahwa kini mereka telah aman.'Syukurlah. Kalau bukan bantuan Mbak Hasna, aku pasti sudah kehilangan Maira,' gumam Indira sambil menghembuskan napas lega.Sepuluh jam yang lalu.....[Mbak, maaf aku keceplosan. Aku terlampau kesal sama Haris karena dia berlaku curang dan sialnya hak asuh Maira jatuh padanya. Aku gak bisa nahan emosi sampai-sampai gak sengaja membuka rahasia masa lalu pada Dian.]Indira mengirim pesan p
"Ibu punya rencana apa untuk Haris?" tanya Dian sambil menatap Hasna penuh selidik. Kendatipun sudah tahu kalau Haris adalah ayahnya, tetapi Dian enggan menyebut lelaki itu ayah. Luka hatinya telah menjadi borok setelah tahu orang seperti apa lelaki yang menitipkan benih pada ibunya itu.Mata Hasna yang memerah beralih pandang dari jendela. Kini ia menatap lekat manik hitam Dian. Wanita itu terharu dengan pengertian anaknya. Namun, sebagai seorang ibu tetap saja ia merasa bersalah dan kasihan pada sang buah hati.Hasna sedih karena tak seharusnya Dian membenci ayah kandungnya sendiri. Namun, melihat sikap Haris yang tidak berprikemanusiaan itu membuat hatinya jengah. Puluhan tahun telah berlalu, tetapi Haris masih belum berubah."Sebenernya Indira tidak kabur, ini adalah bagian dari rencana kami," jelas Hasna dengan suara pelan.Dian mengerutkan kening. Wanita itu hampir tak percaya bahwa semua sudah disetting, akting Hasna yang terkejut saat melihat Indira hilang itu nampak natural,