"Setelah ini kamu mau melakukan apa?"Beni melirik wanita di sampingnya. Nengsih yang berumur seperempat abad itu nampak memesona dengan penampilan sederhana. Gadis berwajah oriental itu semakin menarik dengan rambut diikat ke belakang."Gak tahu, pengennya sih kerja, tapi mana ada perusahaan yang mau menerima karyawan sepertiku, sudah hanya lulusan SMA, mantan narapidana pula."Nengsih menatap nanar riak gemericik air danau nan kehijauan di depannya. Setelah ini tak mudah baginya mengarungi kehidupan. Melihat wajah sendu Nengsih, Beni merasa kasihan."Sebenarnya saya ada pekerjaan untuk kamu, tapi gajinya gak begitu besar.""Serius, kerja apa?" Nengsih memandang manik kecokelatan itu lekat, sinar harapan terpancar dari netra lentiknya."Sebenarnya saya butuh pengasuh buat anak saya," balas Beni, tetapi sedetik kemudian wajah itu nampak bimbang, "Tapi sayangnya selama ini gak ada yang betah, karena dia orangnya terlalu aktif dan nakal." Beni menempelkan bokongnya pada kursi yang letak
Mata Mega melotot menatap Radit. Gigi wanita yang sudah tak lagi muda itu gemelutuk menahan kekesalan dalam dadanya. Ia sama sekali tak menyangka kalau Radit akan melindungi Maira. Padahal, ia tahu betul lelaki itu dan ibunya sangat membenci Raya karena telah berlaku curang."Saya akan tetap mengambil Maira dengan atau tanpa izin dari kamu. Ingat Radit, kamu bukan siapa-siapanya. Bahkan setetes darah pun tak ada hubungannya antara kamu dengan Maira."Mega bangkit sambil menatap nyalang Radit. Ia menarik lengan suaminya agar ikut pulang."Silakan, pintunya ada di belakang Anda." Dengan suara tenang Radit menunjukkan pintu dengan tangannya. Melihat keangkuhan anak muda di depannya, Haris semakin naik pitam. Namun, meski begitu ia cenderung lebih tenang dibandingkan Mega.Setelah Mega keluar, Radit gegas menelpon seseorang. Tatapan yang sebelumnya penuh keyakinan kini berubah menjadi gelisah. Walau bagaimanapun Radit tahu, Mega dan Haris bukanlah orang biasa."Mas, kita harus gunakan car
"Makan dulu sayang," pinta Sarah pada Stella yang kondisinya mulai membaik."Gak aku gak mau, aku maunya disuapi Rian," tolak Stella."Nanti Rian ke sini, sekarang kamu makan dulu ya," bujuk Sarah lagi."Mama bohong, sejak Mama telpon dia, dia gak datang-datang. Kalau begitu, buat apa aku hidup? Kenapa gak sekalian aja aku mati sama Mawar," kata Stella putus asa."Jangan ngomong gitu sayang, Tuhan memberikan kita kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Sarah berusaha mengingatkan anaknya."Apa yang harus diperbaiki, Ma? Lagi pula kalau aku sehat, aku akan dipenjara, kan?" tanya Stella dengan wajah marah dan kesal.Sarah menunduk, wanita itu tak bisa lagi berbicara dengan anaknya yang keras kepala. Memang, meski dalam perawatan medis, tetapi status Stella adalah tersangka kasus pembunuhan berencana."Papa kamu pasti akan bantu sayang, tentang itu kamu tenang saja," kata Sarah berusaha menenangkan anaknya.Meski Stella pun yakin ayahnya akan pasang badan untuk melindunginya, tetap saja
Mendengar pernyataan menohok dari mantan kekasihnya, lantas Haris menajamkan pandang pada wanita di hadapannya. Setitik nyeri menyirami rongga dadanya. Alih-alih menyesal dan meminta maaf, lelaki itu justru tak mau terlihat lemah di mata Hasna."Kamu masih marah padaku, Hasna?" tanya Haris tak tahu malu."Saya sudah kenyang marah sama kamu. Saya harap, kamu jangan pernah ganggu saya dan Dian lagi. Anggap kami tak ada seperti saat kamu meninggalkan kami begitu saja. Saya dan Dian sudah bahagia. Jangan hanya kehidupanmu yang tak bahagia, kamu mengusik kami." Hasna menarik napas berat untuk menetralkan kekesalannya."Aku tahu Dian dan suaminya lagi pergi. Izinkan aku bertemu Citra," pinta Haris lagi."Tidak, lebih baik kamu pergi sekarang." Dengan sorot mata tajam Hasna mengusir ayah dari anaknya itu. Melihat Haris tak bergeming, ia kembali membentak lelaki di hadapannya."Pergi!""Baik, maaf sudah mengganggu."Setelah berpikir sejenak, Haris akhirnya mengalah. Lelaki itu melangkahkan ka
Dian yang baru saja turun dari mobil lantas memicingkan mata saat melihat ada mobil mantan suami terparkir di rumahnya. Pun dengan Rian, lelaki itu menampakkan wajah sinis tak suka. Sebelumnya Radit parkir di luar karena takut diusir, tetapi saat sudah diizinkan oleh Hasna, ia memarkirkan mobilnya di dalam."Ini mobil Mas Radit, berarti dia ada di dalam, lagi apa dia di sana?" bisik Dian pelan.Rian dan istrinya masuk ke rumah, di dalam mereka melihat Citra tengah tertawa riang di punggung Radit, mereka sedang bermain kuda-kudaan. Sementara Hasna dengan santainya duduk di sofa sambil membaca novel."Mamaaaa, Pappaaa."Citra yang menyadari kedatangan kedua orang tuanya itu turun dari punggung Radit lalu berlari dan memeluk Dian. Sedangkan Radit yang sebelumnya menungging, segera membenarkan posisinya dan duduk di lantai sambil menatap mantan istrinya."Citra lagi apa, sayang?"Dian membungkukkan tubuhnya agar sejajar dengan sang buah hati, wanita itu melirik Radit sekilas kemudian kemb
"Aku senang banget waktu Citra pertama kali memanggil Papa. Aku pikir Dian akan memengaruhi Citra, ternyata dia meluruskan sebutan Om yang disematkan anakku, Bu."Radit bercerita dengan berapi-api pada ibunya. Hati lelaki itu merasa sangat bahagia dan sangat berterima kasih pada sikap bijaksana mantan istrinya."Dian memang perempuan yang sangat baik, Radit. Ibu bahagia mendengarnya."Ajeng tersenyum haru sambil menatap putra satu-satunya itu. Setelah membuka mata, ia kini dengan jelas melihat siapa sosok mantan menantu yang sebenarnya. Menyadari perbuatan di masa lalunya pada Dian, sungguh Ajeng sangat menyesal. Andai ada yang menjual mesin waktu, ia akan membelinya meski harus dibayar dengan seluruh harta.Setelah hatinya tak lagi tertutup, ia kini mengerti, tak ada yang lebih berharga dibandingkan keutuhan keluarga."Iya Bu, dari dulu Dian memang perempuan baik. Sejak pertama kali aku mengenalnya, Dian hampir tak pernah berubah. Aku saja yang bodoh karena telah menyia-nyiakan dia."
"Maira kelihatannya senang banget ya."Adi yang tengah duduk bersama Indira itu tersenyum melihat cucunya sedang asyik bermain di pasar malam yang tak jauh dari kediamannya."Iya, andai anak kita masih ada, pasti Raya bahagia melihat Maira yang semakin pintar dan menggemaskan," jawab Indira dengan tatapan fokus pada cucunya.Adi menatap wajah mantan istrinya sekilas, melihat mata Indira yang menyiratkan kesedihan, rasa kehilangannya pun kembali menghantui."Bermain di tempat seperti ini, aku jadi ingat masa lalu," kata Adi kemudian, ia terus menatap cucunya yang tengah tertawa bersama teman barunya itu."Dulu, sewaktu Raya kecil, dia selalu bahagia dibawa ke tempat bermain, aku masih ingat dia suka naik odong-odong."Indira tersenyum mengingat masa kecil anaknya. Meski sudah berpuluh-puluh tahun, kenangan mengenai masa kecil Raya masih terekam jelas di memorinya."Iya, sayang waktu itu kita bangkrut dan terpaksa harus menitip Raya pada ibu," balas Adi sambil mengingat masa lalunya."S
Dua bulan berlalu....Dian berkali-kali muntah saat sedang mandi pagi. Meski ia sudah mengkonsumsi berbagai vitamin dan juga anti mual, tetapi bawaan hamil selalu membuat perutnya terasa tak nyaman."Masih mual ya sayang?" tanya Rian setelah istrinya keluar dari kamar mandi."Iya Mas, padahal dulu waktu hamil Citra enggak begitu mual. Yang ini mah selain mual aku sering ngerasain sakit pinggang."Dian melangkah kemudian duduk di depan meja rias, ia mengeringkan rambutnya dengan handuk. Sementara Rian tengah bersiap-siap hendak ke rumah sakit."Biasanya kalau hamil anak kedua dan banyak keluhan itu dipicu oleh otot panggul. Selain mengerasnya tulang panggul, terjadi peningkatan ketegangan pada otot yang melekat pada tulang panggul. Otot ligamen yang menopang rahim untuk tetap pada posisinya akan meregang seiring dengan berkembangnya janin. Yang penting kamu tetap tenang, jangan dibawa stress, kasihan anak kita, ya."Rian mendekati istrinya dan menaruh kedua tangan di pundak Dian, pantu