Citra membirai senyum nan lebar kala kaki jenjang itu melangkah menuju kehidupan baru, kehidupan yang selama ini hanya hadir di dalam mimpi.Begitupun Boy, matanya tak berkedip menatap Citra. Kecantikan istrinya seakan-akan membuat hatinya bergetar dahsyat. Ia bahagia, tetapi sekaligus tersiksa sebab melihat Maira yang berada di samping sang istri tengah melangkah ke arahnya. Tatapan Maira laksana busur panah yang menancap langsung di jantungnya.Namun, Boy segera beristighfar, diam-diam ia menghela napas untuk menetralkan perasaannya. Tak mudah menghilangkan seseorang yang sudah masuk ke dalam hati, tetapi ia tak ingin mengagumi bidadari orang lain kendatipun begitu indah. Boy sadar semua tak lagi sama setelah akad terucap. Kini, ia ingin fokus pada miliknya saja."Di sini Citra, duduk, Nak."Radit dan Rian ikut membantu memapah Citra yang kecantikannya bak seorang putri. Dengan wajah sendu kedua lelaki itu menuntunnya duduk di samping Boy. Ada bahagia, sedih juga haru tercampur di d
"Terima kasih, Mai."Citra tersenyum sembari memeluk erat sepupunya. Pun Maira, air matanya merangsek membanjiri netra lentiknya."Sama-sama," jawab Maira."Semoga kita sama-sama bahagia dengan pasangan kita, ya." Citra berbisik lagi."Aamiin."Setelah puas berpelukan dengan sepupu yang juga sekaligus sahabatnya, Maira lantas menggenggam tangan sang suami di depan pengantin.Dada Boy sempat berdetak kencang saat melihatnya, tetapi ia berusaha menetralkan lagi dengan menatap istrinya."Ayo foto," ajak Citra."Ayo, siap."Maira menanggaapi dengan antusias, ia tak ingin ada yang peka sedikitpun dengan perasaannya. Maira lantas memposisikan diri di sebelah kanan Citra, sementara para suami memeluk istrinya masing-masing."Satu ... dua ... tigaa!"Foto dibidik tepat saat Citra dan Maira tersenyum pada pasangannya masing-masing."Oke," kata fotografer sembari mengangkat jempolnya.Namun, baru saja Maira dan Farel hendak turun, Syadea yang berwajah ceria berlari ke arah mereka dan mengajakny
Citra membirai senyum dari bibir manisnya, tubuh tanpa gamis dan hijab membuatnya nampak seksi. Kulit nan mulus dan terawat membuat Citra kian indah. Sehingga membuat Boy terpana pada kecantikan Citra yang belum pernah dilihatnya."Kamu mau mandi? Kalau mau mandi silakan, nanti aku beresin kamarnya," kata Citra dengan suara lembut, ia masih sangat malu. Namun, ia memberanikan diri dan melawan semua rasa malunya demi menyenangkan suami.Boy bangkit, lelah karena hampir seharian menerima tamu seakan-akan hilang begitu saja. Ia pun mengangguk dan berjalan menghampiri istrinya."Aku mandi dulu, ya."Boy nampak gugup, ia melangkah ke kamar mandi tetapi tak membawa handuk yang dipersiapkan oleh Citra. Sehingga, kening wanita itu mengerut melihat wajah gugup suaminya.Di dalam kamar mandi, Boy tersadar kalau handuk dan baju gantinya tertinggal. Meski sudah halal, ia masih cukup malu untuk keluar tanpa berbusana di depan Citra. Namun, untuk balik lagi pun ia sungkan karena merasa gugup bertem
Boy yang tengah menyuap sesendok nasi ke dalam mulut itu menghentikan aksinya sejenak. Ia hampir saja tersedak mendengar ocehan adik iparnya. Lelaki itu semakin salah tingkah saat semua mata tertuju padanya, juga menatapnya dengan senyuman menggoda.Begitupun Citra, ia salah tingkah mendengar adiknya mengusili Boy. Sebab, ia merasa Syadea pun mengisenginya."Enggak, aku memang cuma lapar kok," kata Boy dengan wajah polos, sehingga membuat keluarga besar Dian semakin gemas dengan ekspresinya."Iya, ya sudah lanjutkan makan, Boy. Nanti setelah ini kita ngobrol sebentar, ya."Rian yang tengah hendak menyuap nasi itupun menimpali, tatapannya sangat teduh pada keluarga barunya.Sepersekian detik Boy dan Citra berpandangan, jauh dalam hati keduanya memang sudah ingin ke kamar dan kembali melanjutkan apa yang sempat gagal. Namun, Boy tak mungkin menolak ajakan Rian."Oh iya, Pak." Boy mengangguk setengah ragu."Mau apa sih Om, gak melihat mukanya cemas gitu?"Salah satu kerabat Rian yang tin
"Udaranya enak, ya."Citra bersandar di bahu Boy, sementara jemarinya digenggam erat oleh lelaki yang telah menghalalkannya."Iya, cerah lagi," bisik Boy di telinga sang istri. Matanya menatap langit yang kian indah di malam hari."Boy, boleh aku bertanya?""Boleh, tanya apa?"Boy yang tengah menatap langit yang dihiasi gemintang itu menoleh ke arah sang istri."Apa yang kamu rasakan waktu tahu aku meminang kamu lebih dulu?"Citra yang tengah menatap lautan itupun menoleh ke arah suaminya. Kini, kedua manik hitam mereka bertatapan.Boy terdiam sejenak. Masih terekam jelas di ingatan bahwa penyebab ia mempertimbangkan Citra adalah penolakan Maira.Saat ini Boy bingung, selama taaruf ia tak mengatakan pernah melamar Maira. Sebab, ia sudah tahu bagaimana perasaan Citra terhadapnya. Boy takut, dengan kejujurannya membuat keceriaan Citra berubah."Kaget," jawab Boy singkat."Kamu ilfeel enggak?" tanya Citra lagi."Kalau ilfeel mungkin kita gak akan bisa seperti ini."Boy mencolek hidung ma
Semakin malam, udara di luar kian dingin, tetapi tak menyurutkan Boy dan Citra untuk bangkit. Keduanya seakan-akan ingin menghabiskan waktu di sofa alih-alih kasur."Kamu belum ngantuk?" tanya Boy pada Citra."Belum, kamu ngantuk? Tidur aja yuk," ajak Citra, ia khawatir suaminya kelelahan."Enggak, aku masih mau di sini," balas Boy.Citra mengangguk, sama seperti dirinya yang tak ingin beranjak. Ia merasakan keindahan yang amat sangat di malam ini. Sehingga, tak ingin melewatkannya begitu saja kendatipun masih ada hari esok."Tapi aku ambil selimut dulu ya, soalnya dingin," kata Citra, gadis itu beranjak dari tempat duduknya. Namun, Boy seakan-akan tak ingin menjauh dari sang istri barang sedetikpun. Sehingga, ia menarik tubuh Citra kembali ke dalam pelukannya."Badanku kecil ya? Jadi gak bisa menghangatkan kamu," kata Boy."Ish, apa sih? Bukan, tapi memang aku gak kuat dingin," jelas Citra sembari tertawa kecil."Ya sudah, kamu duduk aja di sini, ya. Biar aku yang ambil selimut."Boy
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,