Citra membirai senyum dari bibir manisnya, tubuh tanpa gamis dan hijab membuatnya nampak seksi. Kulit nan mulus dan terawat membuat Citra kian indah. Sehingga membuat Boy terpana pada kecantikan Citra yang belum pernah dilihatnya."Kamu mau mandi? Kalau mau mandi silakan, nanti aku beresin kamarnya," kata Citra dengan suara lembut, ia masih sangat malu. Namun, ia memberanikan diri dan melawan semua rasa malunya demi menyenangkan suami.Boy bangkit, lelah karena hampir seharian menerima tamu seakan-akan hilang begitu saja. Ia pun mengangguk dan berjalan menghampiri istrinya."Aku mandi dulu, ya."Boy nampak gugup, ia melangkah ke kamar mandi tetapi tak membawa handuk yang dipersiapkan oleh Citra. Sehingga, kening wanita itu mengerut melihat wajah gugup suaminya.Di dalam kamar mandi, Boy tersadar kalau handuk dan baju gantinya tertinggal. Meski sudah halal, ia masih cukup malu untuk keluar tanpa berbusana di depan Citra. Namun, untuk balik lagi pun ia sungkan karena merasa gugup bertem
Boy yang tengah menyuap sesendok nasi ke dalam mulut itu menghentikan aksinya sejenak. Ia hampir saja tersedak mendengar ocehan adik iparnya. Lelaki itu semakin salah tingkah saat semua mata tertuju padanya, juga menatapnya dengan senyuman menggoda.Begitupun Citra, ia salah tingkah mendengar adiknya mengusili Boy. Sebab, ia merasa Syadea pun mengisenginya."Enggak, aku memang cuma lapar kok," kata Boy dengan wajah polos, sehingga membuat keluarga besar Dian semakin gemas dengan ekspresinya."Iya, ya sudah lanjutkan makan, Boy. Nanti setelah ini kita ngobrol sebentar, ya."Rian yang tengah hendak menyuap nasi itupun menimpali, tatapannya sangat teduh pada keluarga barunya.Sepersekian detik Boy dan Citra berpandangan, jauh dalam hati keduanya memang sudah ingin ke kamar dan kembali melanjutkan apa yang sempat gagal. Namun, Boy tak mungkin menolak ajakan Rian."Oh iya, Pak." Boy mengangguk setengah ragu."Mau apa sih Om, gak melihat mukanya cemas gitu?"Salah satu kerabat Rian yang tin
"Udaranya enak, ya."Citra bersandar di bahu Boy, sementara jemarinya digenggam erat oleh lelaki yang telah menghalalkannya."Iya, cerah lagi," bisik Boy di telinga sang istri. Matanya menatap langit yang kian indah di malam hari."Boy, boleh aku bertanya?""Boleh, tanya apa?"Boy yang tengah menatap langit yang dihiasi gemintang itu menoleh ke arah sang istri."Apa yang kamu rasakan waktu tahu aku meminang kamu lebih dulu?"Citra yang tengah menatap lautan itupun menoleh ke arah suaminya. Kini, kedua manik hitam mereka bertatapan.Boy terdiam sejenak. Masih terekam jelas di ingatan bahwa penyebab ia mempertimbangkan Citra adalah penolakan Maira.Saat ini Boy bingung, selama taaruf ia tak mengatakan pernah melamar Maira. Sebab, ia sudah tahu bagaimana perasaan Citra terhadapnya. Boy takut, dengan kejujurannya membuat keceriaan Citra berubah."Kaget," jawab Boy singkat."Kamu ilfeel enggak?" tanya Citra lagi."Kalau ilfeel mungkin kita gak akan bisa seperti ini."Boy mencolek hidung ma
Semakin malam, udara di luar kian dingin, tetapi tak menyurutkan Boy dan Citra untuk bangkit. Keduanya seakan-akan ingin menghabiskan waktu di sofa alih-alih kasur."Kamu belum ngantuk?" tanya Boy pada Citra."Belum, kamu ngantuk? Tidur aja yuk," ajak Citra, ia khawatir suaminya kelelahan."Enggak, aku masih mau di sini," balas Boy.Citra mengangguk, sama seperti dirinya yang tak ingin beranjak. Ia merasakan keindahan yang amat sangat di malam ini. Sehingga, tak ingin melewatkannya begitu saja kendatipun masih ada hari esok."Tapi aku ambil selimut dulu ya, soalnya dingin," kata Citra, gadis itu beranjak dari tempat duduknya. Namun, Boy seakan-akan tak ingin menjauh dari sang istri barang sedetikpun. Sehingga, ia menarik tubuh Citra kembali ke dalam pelukannya."Badanku kecil ya? Jadi gak bisa menghangatkan kamu," kata Boy."Ish, apa sih? Bukan, tapi memang aku gak kuat dingin," jelas Citra sembari tertawa kecil."Ya sudah, kamu duduk aja di sini, ya. Biar aku yang ambil selimut."Boy
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,
"Aku sakit karena membaca surat kamu sama Maira," jawab Citra, bukannya sedih, gadis itu justru tertawa mengingat kekonyolannya. Namun, tidak bagi Boy, ia justru semakin merasa bersalah dan menyadari betapa besar cinta sang istri padanya."Iya kah?" tanya Boy."Iya, kamu tahu gak, kamu adalah orang pertama yang aku cintai."Citra melanjutkan perjalanan, sementara Boy terus menatapnya dengan perasaan kagum juga bahagia."Aku berasa terbang karena dicintai begitu dalam," jawab Boy sembari tertawa. Lelaki itupun meraih kembali jemari Citra dan menuntunnya keluar dari area makam.Setelah sampai di parkiran, Boy meraih helm dan membantu Citra mengenakannya."Aku juga bisa pakai sendiri," tolak Citra, tetapi tak dipungkiri hatinya meleleh dengan perlakuan Boy yang begitu manis."Gak apa-apa, kamu cantik kalau pakai helm," puji Boy sembari menepuk-nepuk benda penutup kepala itu lembut."Ya sudah, sekarang kita cari masjid dulu yuk, habis itu kita makan, aku laper," ajak Citra."Ayok," balas
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d