Raya berjalan memasuki rumah setelah seorang laki-laki misterius itu pergi, wajahnya terlihat seperti kebingungan dan tengah merencanakan sesuatu.
Dian gegas beranjak pergi agar Raya dan Indira tak melihatnya berada di sana, tetapi saat berdiri hendak meninggalkan tempat itu, seseorang justru mengejutkannya.
"Lagi apa kamu ngumpet di sini?"
Dian yang tengah berjongkok di antara pepohonan itu terkejut dengan pertanyaan Radit yang tiba-tiba."M_mm, a_aku cuma mau ambil dompet yang jatuh, Mas."
Dian melihat dompetnya terjatuh dan mengambil benda berwarna biru yang berada di atas tanah, dengan susah payah wanita itu meraihnya sebab perutnya sudah semakin besar."Ya sudah, aku buru-buru mau mengambil berkas yang tertinggal."
Radit kian dingin dan tak peduli, meski Dian masih berstatus sebagai istri tetapi Radit sama sekali tak menghiraukannya, dia justru meninggalkan Dian begitu saja."Mas, aku mau kita bicara."
Dian dengan cepat membuka suara, ia berharap Radit menghentikan langkah. Benar saja, lelaki itu berhenti dan berbalik ke arah Dian yang tengah berdiri dengan mata berkaca-kaca. Tanpa malu Dian berusaha meraih tangan suaminya, ia ingin menjelaskan bahwa dirinya memang tak bersalah.Namun, dengan tegas Radit melepaskan genggaman Dian di tangannya. Seketika rasa perih menjalari rongga hati Dian. Kini, di mata wanita itu Radit sudah benar-benar berubah, bahkan cintanya sudah hilang sehingga dengan mudah memercayai ucapan Raya dibanding penjelasan darinya.
Padahal, betapa Dian begitu mencintainya, bahkan ketika banyak laki-laki mendekatinya dulu, Dian tak pernah meladeni mereka demi Radit, demi setia padanya dan dia tahu itu.
Namun, Dian heran mengapa justru kini Radit dengan mudah percaya begitu saja pada ucapan Raya yang jelas-jelas hanya fitnah."Mas, tapi semua gak seperti yang kamu bayangkan, aku dijebak dan difitnah."
Dian berusaha terus menjelaskan kebenaran, tetapi Radit sudah terlanjur kecewa mengingat istrinya tidur dengan lelaki lain di rumahnya."Hebat kamu ya Dian, jelas-jelas kamu tidur bersama laki-laki itu dan sudah sering melakukannya, tapi masih bisa mengelak ya."
Tiba-tiba Indira datang dan memperkeruh suasana, membuat Dian yang tak lagi dipercaya semakin tersudutkan. Hati Dian semakin jengkel dan benci pada Tantenya yang sama sekali tak berperasaan."Sudah Dian, aku buru-buru, hubungan kita akan berakhir di pengadilan," kata Radit sembari meninggalkan Dian.
Mendengar kata pengadilan hati Dian serasa hancur, wanita itu menatap nanar kepergian Radit.
"semudah itu kepercayaan hilang darimu, Mas?" bisik Dian pelan sembari menyeka butiran bening yang terus berjatuhan di pelupuk mata."Dian, masih berani kamu datang ke sini dan bertemu dengan menantu saya."
Indira berkata sinis sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada."Semua yang Tante dan Raya nikmati dari hasil curang gak akan berkah, akan ada saatnya kebohongan kalian terungkap."
Dian menarik napas dalam sembari menatap tajam manik hitam Tantenya.Setelah melakukan perdebatan alot dengan Indira dan Raya, akhirnya Dian diperbolehkan masuk ke dalam kamarnya, tetapi dengan waktu sepuluh menit saja.
Setelah selesai mengambil beberapa barang yang tertinggal, Dian pergi menutup pintu kamarnya, kamar yang penuh dengan kenangan indah bersama Radit. Kamar yang sebelumnya bagai surga yang menaungi cinta suci antara dia dengan suami tercintanya. Kamar yang menjadi saksi gelora asmaranya. Dian mengembuskan napas berat untuk menetralkan rasa perih di hatinya."Bi, ingat pesan aku ya, terus beri kabar apapun yang Bibi tahu tentang Raya."
Dian berbisik untuk memberikan pesan pada Bi Imah lalu dijawab anggukan olehnya."Sudah belum, jangan sampai ada barang-barang yang hilang ya."Indira dan Raya berteriak keras dari lantai bawah. Sambil dituntun perlahan oleh Bi Imah Dian menuruni tangga dengan sangat hati-hati.'Lihat saja Raya, kamu gak akan bisa terus menerus bahagia di atas penderitaan aku, perbuatan curang tidak akan pernah menang.'
Dian bergumam dalam hati saat meninggalkan halaman rumahnya yang diambil dengan cara curang oleh Raya.***
"Eh Dian sudah pulang, makan dulu yuk," ajak Nurul yang sedang menyiapkan makan siang.
Dian begitu terharu dengan perlakuan Damar dan Nurul yang begitu baik, sedangkan Indira dan Raya, keluarga kandungnya sendiri justru memperlakukannya laksana seorang musuh, tega merebut suaminya padahal kondisinya sedang hamil tua.
"Dian."
Nurul melambaikan tangan ke arah wajah Dian sehingga menyadarkannya dari lamunan."Eh, iya Tante, nanti Dian makan," jawabnya sembari memaksakan senyum.
"Kamu kenapa Dian?" tanya Nurul saat melihat wajah wanita itu nampak lesu.
"Tadi Dian ke rumah Mas Radit, terus gak sengaja dengar Raya lagi ngobrol sama laki-laki tentang pembunuhan," jawab Dian.
"Apa pembunuhan?" tanya Nurul kaget, matanya membulat saking terkejutnya.
"Iya, apa sebelumnya Tante Nurul pernah dengar kabar Raya dekat sama siapa, gitu?"
Dian sangat penasaran, ia berharap Nurul tahu informasi tentang Raya selama dirinya sakit atau bahkan mengenai masa lalu sepupunya itu."O ya, Tante pernah dengar kalau Raya pacaran sama bapak-bapak gitu, katanya sih pengusaha pabrik garmen di luar kota," jawab Nurul sembari mengingat-ingat informasi yang ia tahu.
"Bapak-bapak, maksudnya om-om suami orang kah?" tanya Dian memastikan.
"Tante gak tahu persis sih, soalnya cuma dengar gosip dari Bu Mirna yang punya warung di ujung gang sana saja, memang kenapa sih Dian, apakah ada hubungannya?" tanyanya lagi.
"Gak tahu sih, tapi Dian curiga dia membunuh ayah dari anak yang dikandungnya," kata Dian sembari terus berpikir tentang Raya dan ucapan lelaki itu.
"Apa yang membuat kamu begitu yakin?" tanya Nurul kemudian.
"Dulu aku pernah melihat testpack dari kontrakan yang Tante Indira dan Raya tempati sebelum terjadi kecelakaan. Saat aku sehat, Raya bilang sudah menikah dan hamil anak Mas Radit, aku gak yakin anak itu anak Mas Radit karena perutnya sudah membesar untuk ukuran hamil lima bulan."
Dian berpikir tentang kronologi dan kemungkinan yang sebenarnya terjadi, sementara Nurul menyimak perkataan Dian dengan saksama lalu mengangguk tanda mengerti."Berarti Raya ngaku-ngaku hamil anak Radit biar dia bisa menikmati hartanya." Nurul menimpali.
"Bisa jadi iya, bisa jadi juga karena ada alasan lain," jawab Dian.
Suasana kini hening seketika, Dian dan Nurul hanyut dalam pikiran dan persepsi masing-masing."Tante, Dian pergi dulu ya."
Seketika Dian mengejutkan Nurul yang sedang tenggelam dalam pertanyaan demi pertanyaan di benaknya, tanpa menunggu persetujuannya Dian segera mencium punggung tangan Nurul lalu bergegas keluar rumah, membuat istri Damar itu semaki kebingungan."Kamu mau ke mana Dian?" tanya Nurul saat Dian sudah berada di ambang pintu.
"Mencari informasi tentang Raya, Tan."
Dian tersenyum lalu menutup pintu. Meskipun khawatir tetapi Nurul membalas senyuman itu dengan penuh keyakinan.
Tak lupa Nurul juga merapalkan do'a agar Dian baik-baik saja dan selalu dalam lindungan Tuhan karena ia tahu lawannya adalah sepupu yang kini menjelma menjadi manusia berdarah dingin.**
"Assalamu'alaikum, Bu."
Dian menyapa ibu-ibu yang sedang berbelanja di warung sembako Mirna."Wa'alaikumsalam Neng, mau beli apa, ya?" tanya Mirna yang sudah lupa dengan Dian.
"Ini Dian Bu, cucunya almarhumah Nenek Khadijah," jawab Dian mengenalkan diri.
"Ya Allah Dian, kamu cantik banget sekarang sampai saya pangling lho," jawab Mirna dan ibu-ibu yang berada di warung berbarengan. Mereka menatap Dian yang memang sudah berubah menjadi wanita cantik dan elegan itu dari atas hingga bawah. Sementara Dian hanya tersenyum mendengar pujian mereka.
"Lagi hamil, suaminya gak ikut pulang?" tanya Mirna saat melihat perut Dian, tiba-tiba hatinya terasa sakit mengingat Radit yang sudah bahagia dengan Raya.
"Iya, suami Dian sibuk, Bu," jawabnya sembari tersenyum.
"Dengar-dengar suami Dian pengusaha sukses ya, Ibu bangga sama kamu, jangan kayak si Raya tuh mau aja jadi simpanan suami orang."
Mirna terkenal tukang gosip, terlebih hubungannya sejak dulu dengan ibunya Raya tak baik, sehingga senang sekali membicarakan aib keluarga Indira.'Ini dia yang aku tunggu.'
Dian bergumam dalam hati, memang tujuan utamanya adalah menguak informasi tentang Raya dari Mirna tanpa dicurigai kalau sedang mencari bukti kejahatan Raya dan ibunya."Ah masa sih Raya jadi wanita simpanan Bu?" tanya Dian memastikan.
"Iya Dian, anak ibu yang kerja di hotel bilang kalau dia sering ketemu Raya, tidur bareng di hotel sama om-om itu," kata Mirna dengan gaya khasnya saat ghibah.
Dian hanya mengangguk-anggukan kepala mendengar penjelasan Mirna yang menggebu-gebu dan penuh kebencian.
"Tapi kata anak ibu beberapa bulan ini Raya gak pernah datang lagi, katanya sih pacarnya meninggal dibunuh selingkuhannya, terus parahnya lagi istri dari si laki-laki itu sekarang gila," jelas Mirna lagi.
"Hah? Kok begitu amat ya kelakuan Raya."
Dian terkejut kemudian tersenyum sinis, ia tak menyangka jika sepupunya memang sudah tak bermoral sejak lama."Ibu juga gak habis pikir Dian," balasnya lagi.
"Aku boleh minta nomor handphone anak ibu, gak?" tanya Dian kemudian.
"Boleh," jawabnya lalu mencatat nomor anaknya di ponsel Dian.
Dian membeli sekarung beras, minyak, telur dan beberapa camilan agar tak terlalu kentara bahwa kedatangannya hanya untuk menggali informasi, suami Mirna yang akan mengantarkan ke rumah Damar nanti.
"Totalnya tiga ratus lima puluh ribu, Dian," kata Mirna sembari meletakkan kalkulatornya.
Dian memberinya lima lembar pecahan seratus ribuan pada Mirna.
"Kembaliannya buat ibu saja ya," jawab Dian sembari meninggalkan warung sembakonya, Mirna menatap Dian tak percaya, Dian yang dulu sering ia hina kini sudah menjadi wanita yang tidak lagi kekurangan uang.
Meski Radit mengusirnya dari rumah, tetapi Dian sama sekali tidak kekurangan uang. Wanita itu masih memiliki tabungan di bank dan juga kontrakan yang ia bangun dengan hasil kerja kerasnya saat masih gadis.
Dian selalu menyisihkan sedikit demi sedikit gaji dari kantor untuk diinvestasikan, selain itu ia juga pernah berbisnis skincare dan sukses sebelum akhirnya berhenti untuk mengabdi pada suami, karena ia tahu betul hidup kekurangan selalu dipandang sebelah mata.***
Malam sudah semakin larut, tetapi mata Dian masih belum bisa terpejam, otaknya masih terus berkelana mencari cara untuk membalas semua perbuatan Raya dan Indira.
"Nak, maafkan Mama kalau nanti kamu lahir tanpa ada Papa di samping kamu ya, Tante Raya jahat karena telah memfitnah dan menjauhkan kamu dari Papa."
Dian mengelus perut yang berdenyut lantaran ditendang begitu kuat oleh janin dalam rahimnya.Dian tak mengapa jika Radit sudah tak peduli lagi padanya dan anaknya. Meski berat tetapi ia yakin akan mampu melewati semua ujian ini, ia juga bertekad untuk bisa hidup tanpanya, kesulitan hidup sedari kecil sudah membuat mentalnya matang.
Tuduhan Radit yang keji dan sikapnya yang acuh membuat cinta dalam hati Dian mati, harusnya lelaki itu mendengar penjelasan darinya jika memang masih mencintainya, seharusnya lelaki itu menjaganya saat ia sakit dan tak berdaya bukan malah selingkuh lalu menikah diam-diam dengan sepupunya.Dian ingin membalas dendam pada Raya bukan semata-mata ingin Radit kembali. Namun, karena sudah banyak luka yang Raya dan ibunya torehkan dalam hati. Setidaknya Dian ingin memberikan pelajaran dan membuka kedok jahat mereka agar tak selalu mengusik hidupnya.
"Raya, saat ini kamu boleh tertawa bahagia, tapi aku akan mengatur strategi untuk menyibak semua kebusukan kamu. Aku bukan Dian yang dulu, bukan Dian yang selalu diam saat kau injak-injak," gumam Dian saat melihat foto mesra Raya bersama Radit yang diupload di sosial media.
Bersambung"Hari ini jadi cek kandungan, Dian?" tanya Damar saat mereka sedang sarapan. Dian yang tengah hendak menyuap nasi goreng ke mulutnya menaruh sendok seketika."Iya jadi Om, aku jarang cek kandungan semenjak sakit, belum pernah malah," jawab Dian lalu melanjutkan makan kemudian minum air hangat."Tante temani ya," timpal Nurul antusias."Apa gak merepotkan?" tanya Dian lagi, ia merasa tak enak hati karena sering menyusahkan keluarga Nurul dan Damar."Dian, Tante itu sudah anggap kamu seperti anak sendiri, jadi mana mungkin Tante merasa direpotkan, malahan Tante senang," jawab Nurul dengan tatapan hangat."Terima kasih ya Tan, sudah baik sekali," ucap Dian sambil menggenggam tangan Nurul.Seketika mata Nurul berkaca-kaca. Begitupun Dian, hatinya begitu terharu menyaksikan kebaikan demi kebaikan dari kerabat almarhumah Neneknya itu."Dian, andai Hasna tahu anaknya sudah dewasa dan tumbuh menjadi anak yang baik, dia pasti saaaangat menyesal karena telah meninggalkan kamu," ujar Nurul, air
Pagi ini Dian berniat mengunjungi alamat yang diberikan oleh Mia kemarin. Wanita itu tak ingin menyia-nyiakan kesempatan karena taksiran kelahiran bayinya tinggal beberapa Minggu lagi."Dian jadi pergi?" tanya Nurul saat mereka sedang sarapan."Iya insyaallah jadi Tante," jawabnya."Maaf Tante gak bisa temani ya, hari ini ada acara di rumah Bu lurah," balas Nurul dengan wajah tertunduk, wanita itu merasa bersalah."Gak apa-apa, kok Tante. Insyaallah Dian bisa pergi sendiri kok," jawab Dian dengan lengkungan senyum dibibir."Kamu jangan pergi sendiri, biar Om saja yang temani," timpal Damar yang sedang menikmati kopi dan kudapan di luar rumah.Dian menatap Nurul, sementara wanita itu hanya menganggukkan kepala tanda menyetujui usul suaminya."Kamu lagi hamil besar, Om khawatir kamu kenapa-kenapa kalau pergi sendiri," lanjut Damar seraya masuk untuk mengambil jaket dan kunci mobilnya.Lagi-lagi hati Dian menghangat lantaran haru melihat kebaikan Damar dan Nurul, Dian janji tak akan pern
"Gak ada Mbak, saya hanya sebatas kenal saja dengan Bu Raya."Nengsih akhirnya bicara setelah sekian lama membisu, wanita itu mengerlingkan matanya ke atas, gelagatnya menunjukan ketakutan yang membuat Dian semakin yakin ada sesuatu tak beres yang Nengsih sembunyikan."Jadi benar kamu yang membunuh pak Adrian?"Dian berusaha untuk meyakinkan, sementara Nengsih hanya mengangguk perlahan, seolah-olah berat mengakuinya. Meskipun dibujuk, tetapi Nengsih tetap diam sampai waktu besuk habis. "Baiklah, maaf saya sudah mengganggu, kalau begitu saya permisi."Dian berpamitan pada Nengsih dan berterima kasih pada polisi atas waktu yang diberikan, tetapi hatinya masih diliputi banyak pertanyaan, terlebih sikap Nengsih yang kian mencurigakan.Dian berjalan ke luar dan meninggalkan kantor polisi, tetapi baru saja hendak memasuki mobil, wanita itu tak sengaja melihat lelaki itu, lelaki yang pernah bicara perihal pembunuhan dengan Raya tempo hari.Rasa penasaran kian menghantui Dian, wanita itu mem
"Mas, kamu cinta sama Raya?"Dian bertanya pada Radit saat keduanya hendak ke pembaringan. Tak dipungkiri ada setitik rasa bahagia karena akhirnya bisa kembali bercengkrama dengan Radit di surga peraduannya. Namun, dia tak akan lupa dengan tujuan dari kedatangannya. "Tadinya, tapi semenjak tahu dia berbohong cinta itu tiba-tiba hilang."Radit meletakan buku yang dibacanya ke atas meja, lelaki itu kemudian menatap manik hitam Dian lembut, ada rasa bersalah yang bercokol dalam dada kala melihat sorot sendu istri pertamanya.Dian menghela napas dalam mendengar jawaban jujur yang menyakitkan dari mulut sang suami. Wanita mana pun akan terluka saat tahu ada cinta lain di hati suaminya."Saat kamu mengusirku, apa kamu juga sudah tidak mencintaiku?" tanya Dian, wanita itu menatap lekat netra Radit, mencari secercah rasa yang tak bisa ditebak. "Enggak Dian, cinta untuk kamu selalu ada, bahkan jauh dalam hati gak percaya kamu bisa melakukannya, tapi saat itu semua bukti terpampang jelas, Ray
"Apakah dokter tahu alamat rumah Nengsih?""Sepertinya saya tahu, Nengsih berasal dari keluarga dengan strata sosial menengah ke bawah. Saya menduga alasan dia menjajakan diri karena faktor ekonomi. Saya pernah melihat adik-adiknya yang masih sangat kecil, karena itu juga dulu saya hampir ingin menyelesaikan kasus ini dengan kekeluargaan lantaran tak tega. Tetapi, bukankah kasus pembunuhan tak bisa ditanggapi dengan kekeluargaan. Di sisi lain saya tak terima melihat kondisi Bunda setelah kejadian itu." Dokter Rian menatap kosong dinding, peristiwa yang terjadi hampir setahun lalu membuat mentalnya terguncang. Lelaki itu ingat bagaimana ia menjadi sorotan karena sang Ayah, pengusaha terkenal itu ditemukan meninggal setelah melakukan hubungan terlarang dengan wanita komersil.Dokter Rian juga terpukul kala sang ibu terus menerus menangis setiap harinya karena kepergian dan pengkhianatan sang suami, hingga akhirnya hal mengerikan itu tiba-tiba terjadi."Terus sekarang ibu dokter di mana
"Alhamdulillah setelah dua Minggu Citra badannya berisi ya, Dian? Oh ya Tante ambil makanan dulu ya." Nurul menaruh Citra yang tubuhnya semakin berisi ke atas kasur, lalu ia beranjak hendak ke dapur. "Iya Tante," jawab Dian sembari menatap Citra yang tertidur pulas setelah digendong Nurul. Bagi Dian, menjadi seorang ibu adalah petulangan baru dalam hidupnya. Kini ia merasa tak ada harta yang lebih berharga selain anaknya. Pantaslah saja di luar sana banyak para ibu yang rela mengorbankan apapun demi buah hatinya. Dian menyunggingkan senyum di bibir sambil terus menatap bayinya. Tak aneh Allah menyebutkan surga berada di telapak kaki ibu, selain itu seorang ibu juga disebut tiga kali dibanding ayah oleh Rasulullah lantaran perjuangannya. Namun, seketika senyum manis itu perlahan menghilang dari bibirnya, raut wajah Dian kini nampak sendu. "Ya Allah, masihkah ada surga di telapak kaki ibuku? Ibu yang tega meninggalkan anaknya tanpa bekal apapun, bahkan hingga saat ini aku tak pern
"Kamu tenang saja Dian, saya akan bantu kamu, saya bisa pastikan Radit gak akan mengambil hak asuh Citra dari kamu."Dokter Rian berusaha menenangkan wanita di hadapannya. Sementara Dian masih tergugu dalam ketakutan. Wanita itu tahu betul kalau keluarga Radit akan melakukan segala cara dengan uang mereka."Iya Dok, aku gak rela kalau Citra harus dirawat oleh Mas Radit yang sangat tempramen," jawab Dian dengan mata berkaca-kaca.***Hari ini dokter Rian mengajak Dian dan Citra berjalan-jalan di sebuah mal. Entah apa yang tumbuh dalam hati, tetapi kini Dian mulai merasa nyaman berada di dekat lelaki itu. Namun, Dian yakin rasa nyaman ini hanya sebatas kenyamanan dari sebuah persahabatan."Masuk yuk."Dokter Rian menarik lengan Dian saat berdiri di depan toko pakaian. Wanita itu menolak lantaran tahu betul toko di depannya adalah brand bermerk yang sangat terkenal, sudah bisa dipastikan harganya mahal. Dian yang kini sudah tak memiliki banyak uang itu menggelengkan kepalanya pelan."Sa
Dian masih terpaku sembari menggenggam album foto saat dr. Rian memuji ibunya. Seketika wanita itu meremas ujung hijabnya dengan penuh kebencian.Dian tidak benar-benar lupa dengan wajah sang ibu, bayangan wanita yang melahirkannya itu hanya sekadar blur dalam otaknya, tetapi ketika sebuah foto terpampang jelas, Dian yakin bahwa orang di dalam foto itu adalah Hasna, wanita yang tega meninggalkannya sekian lama."Kalau boleh tahu, siapa nama Bunda Mas Rian?"Setelah berusaha menetralkan perasaan, Dian akhirnya bertanya pada lelaki di hadapannya, meski sangat yakin tetapi masih hinggap setitik ragu dalam dadanya."Namanya Hasna," jawab dr. Rian bangga.Mata Dian terbelalak, jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, darah seolah-olah mengalir dengan kecepatan yang sangat tinggi menuju organ pemompa itu."Kenapa?"Dokter Rian menangkap keanehan dari raut wajah Dian."Oh gak apa-apa," balas Dian sambil memaksakan senyum."Bunda adalah orang yang selalu ada saat suka dan duka. Dulu, Aya
"Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa
"Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba
Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be
Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d
"Aku sakit karena membaca surat kamu sama Maira," jawab Citra, bukannya sedih, gadis itu justru tertawa mengingat kekonyolannya. Namun, tidak bagi Boy, ia justru semakin merasa bersalah dan menyadari betapa besar cinta sang istri padanya."Iya kah?" tanya Boy."Iya, kamu tahu gak, kamu adalah orang pertama yang aku cintai."Citra melanjutkan perjalanan, sementara Boy terus menatapnya dengan perasaan kagum juga bahagia."Aku berasa terbang karena dicintai begitu dalam," jawab Boy sembari tertawa. Lelaki itupun meraih kembali jemari Citra dan menuntunnya keluar dari area makam.Setelah sampai di parkiran, Boy meraih helm dan membantu Citra mengenakannya."Aku juga bisa pakai sendiri," tolak Citra, tetapi tak dipungkiri hatinya meleleh dengan perlakuan Boy yang begitu manis."Gak apa-apa, kamu cantik kalau pakai helm," puji Boy sembari menepuk-nepuk benda penutup kepala itu lembut."Ya sudah, sekarang kita cari masjid dulu yuk, habis itu kita makan, aku laper," ajak Citra."Ayok," balas
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu