"Hari ini jadi cek kandungan, Dian?" tanya Damar saat mereka sedang sarapan. Dian yang tengah hendak menyuap nasi goreng ke mulutnya menaruh sendok seketika.
"Iya jadi Om, aku jarang cek kandungan semenjak sakit, belum pernah malah," jawab Dian lalu melanjutkan makan kemudian minum air hangat.
"Tante temani ya," timpal Nurul antusias.
"Apa gak merepotkan?" tanya Dian lagi, ia merasa tak enak hati karena sering menyusahkan keluarga Nurul dan Damar.
"Dian, Tante itu sudah anggap kamu seperti anak sendiri, jadi mana mungkin Tante merasa direpotkan, malahan Tante senang," jawab Nurul dengan tatapan hangat.
"Terima kasih ya Tan, sudah baik sekali," ucap Dian sambil menggenggam tangan Nurul.
Seketika mata Nurul berkaca-kaca. Begitupun Dian, hatinya begitu terharu menyaksikan kebaikan demi kebaikan dari kerabat almarhumah Neneknya itu.
"Dian, andai Hasna tahu anaknya sudah dewasa dan tumbuh menjadi anak yang baik, dia pasti saaaangat menyesal karena telah meninggalkan kamu," ujar Nurul, air mata lolos begitu saja dari kedua netra.
"Sudahlah Tante, aku juga sudah ikhlas kalau ibu memang gak pernah mengharapkan aku lahir. Aku sudah tak berharap bertemu sama ibu lagi," jawab Dian sembari menatap langit-langit, ada rasa kecewa yang menusuk sanubarinya.
"Tapi pesan Tante, bagaimanapun ibu kamu, jangan pernah membencinya, ya," pinta Nurul kemudian mengelus lembut jemari Dian.
Dian hanya menjawab ucapan Nurul dengan senyuman, tepatnya senyum getir yang dipaksakan. Entahlah, sejak ibunya tak pernah pulang dan lebih memilih laki-laki itu, rasa benci dalam hati Dian sudah tumbuh dan semakin subur, apalagi saat harus menjalani kehidupan yang sulit seorang diri.
Dian selalu berpikir, jika memang sang ibu menyayanginya, wanita itu pasti datang dan menjemput. Bukan justru membiarkan dirinya terombang-ambing dalam kerasnya badai kehidupan. Membiarkannya hidup dengan penuh hinaan, juga perihnya menanggung malu atas dosa yang telah ibunya lakukan.
Setelah membereskan meja makan, Dian dan Nurul bersiap-siap hendak ke rumah sakit, ia sudah lebih dulu rapi dan memesan taksi online, sedangkan Nurul masih berdandan di kamar."Ayo Tante kita berangkat, taksi online sudah datang," ajak Dian pada Nurul yang masih merapikan hijabnya di depan cermin.
Sebenarnya Dian pun mampu membeli rumah sederhana bahkan mobil dari uang bulanan hasil kontrakan dan beberapa ruko, tetapi Nurul menyarankan agar ia tetap menabungnya demi masa depan sang anak kelak. Lagipula Nurul hanya tinggal berdua dengan Damar, mereka sangat kesepian jika Dian pergi dari rumahnya.
***
Poli kandungan hari ini sangat ramai, terlihat beberapa pasangan suami dan istri sedang menunggu kedatangan dr. Rian, dokter kandungan yang terkenal ramah di rumah sakit pelita ini.
Bersyukur Dian sudah melakukan perjanjian sebelumnya, jadi nomor antriannya tak terlalu jauh dan tak perlu menunggu lama.Saat Dian sedang berbincang dengan Nurul mengenai kehamilan, tiba-tiba saja Raya dan Radit duduk di sebelahnya.
Sekilas Dian melihat raut khawatir di wajah Raya ketika duduk dan melihat pintu praktik dokter. Hawa panas menyelimuti jiwa Dian, ingin rasanya perempuan itu menampar wajah sepupunya yang sangat jumawa, tetapi semua tak mungkin karena jika Dian melakukannya, itu hanya akan mempermalukan diri sendiri."Eh ada kamu Dian, periksa juga? Mana ayah dari anakmu? Oh, atau jangan-jangan dia lagi selingkuh?" ejek Raya dengan sombongnya.
"Jaga mulut kamu Ray."
Dian tersulut emosi, darahnya terasa naik ke ubun-ubun."Sudah, jangan diladeni," bujuk Nurul lalu keduanya berpindah tempat duduk.
Sementara Radit hanya menatap Dian sekilas lalu melengos, membuat wanita itu semakin jijik melihat laki-laki yang sebenarnya masih bergelar suami.
Mereka sepakat akan bercerai ketika Dian sudah melahirkan. Dian muak karena mudah sekali lelaki itu disetir oleh Raya, cinta yang dulu begitu besar untuknya kini sudah hilang tak bersisa."Ibu Raya Puspitasari," panggil suster di depan pintu ruang praktik dr. Rian..
"Duluan ya."
Raya yang berjalan diikuti Radit itu mengejek Dian menggunakan ekspresi wajahnya, kemudian memasuki ruangan praktik dengan sombong. Sementara itu Dian hanya tersenyum kecut melihat tingkah Raya. Tak dipungkiri, hatinya begitu sakit dan marah."Suatu saat nanti Mas Radit pasti akan menyesal karena telah menyia-nyiakan aku, Tan," ujar Dian pada Nurul sembari menahan hati yang kian perih.
"Iya, pasti, kamu yang sabar ya," balas Nurul lalu mengelus lembut pundak Dian.
**
Syukurlah, setelah di-cek kandungan Dian baik-baik saja, wanita itu sudah tak sabar ingin bertemu dengan anaknya, ingin menggendong, memeluk dan menciumnya.
"Bu, apakah ibu sebahagia ini saat aku masih di perut ibu?"
Dian tiba-tiba saja teringat sang ibu yang sudah meninggalkannya. Bahkan saking lamanya tak bersua, kini wanita itu sudah hampir lupa dengan wajah Hasna karena di rumah nenek tak ada foto."Enggak ... ibu pasti gak bahagia waktu aku di perutnya, bahkan Tante Indira bilang ibu berkali-kali mencoba menggugurkan kandungannya tapi gak pernah berhasil."
Dian bergumam lirih, hatinya tersayat nyeri jika membayangkan tentang asal-usul kehidupannya."Mama akan tetap menyayangi kamu meski Papa tak pernah menyayangimu, Nak."
Dian kembali menatap perut yang sudah semakin menonjol, kemudian mengelusnya dengan sangat lembut, kini kedua netranya telah basah dibanjiri air mata."Maaf ya lama nunggunya," ujar Nurul yang baru saja keluar dari toilet. "Iya gak apa-apa, Tante. Oh ya, kita ketemuan sama Mia anaknya Bu Mirna dulu yuk," ajak Dian saat keduanya melangkah keluar dari rumah sakit."Mau ngapain, Dian?"
Nurul menautkan kedua alisnya, Dian memang tak banyak bercerita tentang penyelidikannya."Nanti Tante juga pasti tahu," jawab Dian sambil tersenyum, tak sabar menunggu hari dua iblis itu akan menangis.
**
Sesampainya di sebuah cafe yang dijanjikan untuk Dian dan Mia bertemu, tiba-tiba saja wanita itu melihat seorang laki-laki sedang duduk dan berbincang dengan temannya tak jauh dari tempat duduk Dian.
"Laki-laki itu?" lirih Dian sambil terus mengamatinya. Ia memicingkan mata agar objeknya terlihat jelas.
"Kenapa Dian?" tanya Nurul penasaran dengan raut wajah Dian yang berubah fokus seketika.
"Gak apa-apa, Tan," jawab Dian sambil terus memperhatikan gerak-gerik laki-laki itu, Nurul pun refleks mengikuti arah gerak mata Dian.
"Wanita itu akan dipenjara seumur hidup, malang sekali nasibnya." ucap teman si laki-laki yang berkepala pelontos .
Dian berusaha untuk mendengarkan pembicaraan mereka, tetapi kedatangan Mia membuatnya tak bisa fokus pada kedua laki-laki tak asing itu.
"Hai Mia, apa kabar?" tanya Dian saat gadis itu duduk di samping Nurul.
"Alhamdulillah sehat Mba."
Mia tersenyum kemudian menyalami tangan Nurul dan tangan Dian. Usia Dian dan Mia terpaut tiga tahun, dia lebih muda dari Dian dan belum menikah."Ada apa, Mbak, kok ngajak ketemuan di sini?" tanya Mia memulai obrolan.
"Mi, apa benar kamu sering lihat Raya dengan laki-laki di hotel tempatmu bekerja?" tanya Dian tanpa basa-basi.
"Iya Mbak, tapi sudah lama Raya gak pernah datang lagi," jawabnya.
"Apa laki-laki itu sudah meninggal karena dibunuh?" tanya Dian dengan tatapan penuh selidik.
"Mia dengar sih gitu," jawabnya sambil menganggukkan kepala, perasaanya sudah tak karuan jika membahas tentang pembunuhan yang pernah menghebohkan hotel tempatnya bekerja.
"Apa kamu tahu alamat laki-laki itu?" tanya Dian lagi.
"M_mm, ada sih datanya, tapi Mia gak berani kasih tahu Mbak Dian, soalnya ini privasi dan prosedur dari perusahaan," jawab Mia sedikit gugup.
"Aku mohon Mi, please bantu aku ya, aku butuh banget sama alamat itu," pinta Dian dengan wajah memelas.
Dengan terpaksa dan penuh drama akhirnya Mia memberikan data laki-laki yang pernah dekat dengan Raya itu melalui temannya yang sedang bekerja menjadi resepsionis, dengan perjanjian jika mereka ketahuan oleh atasan maka Dian akan bertanggung jawab.
"Terima kasih ya Mia, oh ya ini ada sedikit uang untuk bayar kost-an."
Dian memberikan sepuluh lembar uang pecahan seratus ribuan itu di meja."Terima kasih ya, Mbak," ucap Mia seraya menggenggam tangan Dian.
"Aku yang berterimakasih karena kamu sudah menyempatkan bertemu dan memberikan informasi, kamu tenang saja, InsyaAllah semua aman."
Mia pulang lebih dulu karena harus kerja. Sementara Dian dan Nurul saling tatap dan keduanya tersenyum."Perlahan kedok Raya akan terbongkar, Tante," ujar Dian lalu dibalas anggukan Nurul.
"Lihat saja Ray, perlahan tapi pasti kejahatan kamu akan terbongkar," gumam Dian dengan penuh kepuasan.
Setelah Mia pulang, keduanya makan terlebih dahulu karena hari sudah hampir sore, Dian meminta izin pada Nurul untuk ke toilet sebentar, karena hamil tua ia sering sekali buang air kecil.
Saat Dian keluar dari toilet tiba-tiba saja tubuhnya tak sengaja bertabrakan dengan seorang laki-laki yang ternyata adalah Radit, hampir saja wanita itu terjatuh jika tak disanggah dan dipeluk olehnya.
"Lain kali hati-hati, Dian."
Radit melepaskan pelukannya dari tubuh Dian, meski saat ini status keduanya masih suami istri, tetapi mereka sangat canggung jika berhadapan kembali. Radit sudah ingin bercerai saat anak dalam kandungan Dian lahir.
"Dasar wanita jalang."
Tiba-tiba saja terdengar suara hardikan Raya. Wanita itu murka melihat suaminya memeluk Dian."Raya, aku tadi cuma tolong Dian yang hampir jatuh, gak ada apa-apa."
Radit berusaha agar istri keduanya tak salah faham. Melihat itu hati Dian berdenyut nyeri, posisinya di hati Radit sudah benar-benar tergeser oleh ulat bulu itu."Bilang saja kalau kamu masih cinta sama Mas Radit, kan? Mau merebut suami saya kan? Dasar wanita tak tahu malu!"
Raya bersuara keras pada Dian sehingga semua mata tertuju padanya."Maling teriak maling, apa sekarang di rumah yang kamu rampok gak tersedia kaca?" tanya Dian sambil tersenyum sinis, wanita itu tetap tenang meski hatinya telah panas.
Tak ingin semakin kacau, Dian meninggalkan Raya agar kemarahannya tidak membuncah.Tanpa diduga, Raya justru menjambak rambut Dian dan hendak menampar pipinya. Wanita itu benar-benar tak tahu malu. Namun, seketika tangannya ditangkis oleh seorang laki-laki berkemeja biru.
"Jangan membuat keributan, ibu hamil harus menjaga emosi," ucapnya dengan tenang.
"Pak, dijaga istrinya," lanjutnya lagi seraya menatap Radit, seketika wajah suami istri itu memerah lantaran malu.
"Dokter Rian?" lirih Dian pelan.
Setelah menolong Dian, dr. Rian bergegas pergi tanpa bicara sepatah katapun pada mereka.
Bersambung.
Pagi ini Dian berniat mengunjungi alamat yang diberikan oleh Mia kemarin. Wanita itu tak ingin menyia-nyiakan kesempatan karena taksiran kelahiran bayinya tinggal beberapa Minggu lagi."Dian jadi pergi?" tanya Nurul saat mereka sedang sarapan."Iya insyaallah jadi Tante," jawabnya."Maaf Tante gak bisa temani ya, hari ini ada acara di rumah Bu lurah," balas Nurul dengan wajah tertunduk, wanita itu merasa bersalah."Gak apa-apa, kok Tante. Insyaallah Dian bisa pergi sendiri kok," jawab Dian dengan lengkungan senyum dibibir."Kamu jangan pergi sendiri, biar Om saja yang temani," timpal Damar yang sedang menikmati kopi dan kudapan di luar rumah.Dian menatap Nurul, sementara wanita itu hanya menganggukkan kepala tanda menyetujui usul suaminya."Kamu lagi hamil besar, Om khawatir kamu kenapa-kenapa kalau pergi sendiri," lanjut Damar seraya masuk untuk mengambil jaket dan kunci mobilnya.Lagi-lagi hati Dian menghangat lantaran haru melihat kebaikan Damar dan Nurul, Dian janji tak akan pern
"Gak ada Mbak, saya hanya sebatas kenal saja dengan Bu Raya."Nengsih akhirnya bicara setelah sekian lama membisu, wanita itu mengerlingkan matanya ke atas, gelagatnya menunjukan ketakutan yang membuat Dian semakin yakin ada sesuatu tak beres yang Nengsih sembunyikan."Jadi benar kamu yang membunuh pak Adrian?"Dian berusaha untuk meyakinkan, sementara Nengsih hanya mengangguk perlahan, seolah-olah berat mengakuinya. Meskipun dibujuk, tetapi Nengsih tetap diam sampai waktu besuk habis. "Baiklah, maaf saya sudah mengganggu, kalau begitu saya permisi."Dian berpamitan pada Nengsih dan berterima kasih pada polisi atas waktu yang diberikan, tetapi hatinya masih diliputi banyak pertanyaan, terlebih sikap Nengsih yang kian mencurigakan.Dian berjalan ke luar dan meninggalkan kantor polisi, tetapi baru saja hendak memasuki mobil, wanita itu tak sengaja melihat lelaki itu, lelaki yang pernah bicara perihal pembunuhan dengan Raya tempo hari.Rasa penasaran kian menghantui Dian, wanita itu mem
"Mas, kamu cinta sama Raya?"Dian bertanya pada Radit saat keduanya hendak ke pembaringan. Tak dipungkiri ada setitik rasa bahagia karena akhirnya bisa kembali bercengkrama dengan Radit di surga peraduannya. Namun, dia tak akan lupa dengan tujuan dari kedatangannya. "Tadinya, tapi semenjak tahu dia berbohong cinta itu tiba-tiba hilang."Radit meletakan buku yang dibacanya ke atas meja, lelaki itu kemudian menatap manik hitam Dian lembut, ada rasa bersalah yang bercokol dalam dada kala melihat sorot sendu istri pertamanya.Dian menghela napas dalam mendengar jawaban jujur yang menyakitkan dari mulut sang suami. Wanita mana pun akan terluka saat tahu ada cinta lain di hati suaminya."Saat kamu mengusirku, apa kamu juga sudah tidak mencintaiku?" tanya Dian, wanita itu menatap lekat netra Radit, mencari secercah rasa yang tak bisa ditebak. "Enggak Dian, cinta untuk kamu selalu ada, bahkan jauh dalam hati gak percaya kamu bisa melakukannya, tapi saat itu semua bukti terpampang jelas, Ray
"Apakah dokter tahu alamat rumah Nengsih?""Sepertinya saya tahu, Nengsih berasal dari keluarga dengan strata sosial menengah ke bawah. Saya menduga alasan dia menjajakan diri karena faktor ekonomi. Saya pernah melihat adik-adiknya yang masih sangat kecil, karena itu juga dulu saya hampir ingin menyelesaikan kasus ini dengan kekeluargaan lantaran tak tega. Tetapi, bukankah kasus pembunuhan tak bisa ditanggapi dengan kekeluargaan. Di sisi lain saya tak terima melihat kondisi Bunda setelah kejadian itu." Dokter Rian menatap kosong dinding, peristiwa yang terjadi hampir setahun lalu membuat mentalnya terguncang. Lelaki itu ingat bagaimana ia menjadi sorotan karena sang Ayah, pengusaha terkenal itu ditemukan meninggal setelah melakukan hubungan terlarang dengan wanita komersil.Dokter Rian juga terpukul kala sang ibu terus menerus menangis setiap harinya karena kepergian dan pengkhianatan sang suami, hingga akhirnya hal mengerikan itu tiba-tiba terjadi."Terus sekarang ibu dokter di mana
"Alhamdulillah setelah dua Minggu Citra badannya berisi ya, Dian? Oh ya Tante ambil makanan dulu ya." Nurul menaruh Citra yang tubuhnya semakin berisi ke atas kasur, lalu ia beranjak hendak ke dapur. "Iya Tante," jawab Dian sembari menatap Citra yang tertidur pulas setelah digendong Nurul. Bagi Dian, menjadi seorang ibu adalah petulangan baru dalam hidupnya. Kini ia merasa tak ada harta yang lebih berharga selain anaknya. Pantaslah saja di luar sana banyak para ibu yang rela mengorbankan apapun demi buah hatinya. Dian menyunggingkan senyum di bibir sambil terus menatap bayinya. Tak aneh Allah menyebutkan surga berada di telapak kaki ibu, selain itu seorang ibu juga disebut tiga kali dibanding ayah oleh Rasulullah lantaran perjuangannya. Namun, seketika senyum manis itu perlahan menghilang dari bibirnya, raut wajah Dian kini nampak sendu. "Ya Allah, masihkah ada surga di telapak kaki ibuku? Ibu yang tega meninggalkan anaknya tanpa bekal apapun, bahkan hingga saat ini aku tak pern
"Kamu tenang saja Dian, saya akan bantu kamu, saya bisa pastikan Radit gak akan mengambil hak asuh Citra dari kamu."Dokter Rian berusaha menenangkan wanita di hadapannya. Sementara Dian masih tergugu dalam ketakutan. Wanita itu tahu betul kalau keluarga Radit akan melakukan segala cara dengan uang mereka."Iya Dok, aku gak rela kalau Citra harus dirawat oleh Mas Radit yang sangat tempramen," jawab Dian dengan mata berkaca-kaca.***Hari ini dokter Rian mengajak Dian dan Citra berjalan-jalan di sebuah mal. Entah apa yang tumbuh dalam hati, tetapi kini Dian mulai merasa nyaman berada di dekat lelaki itu. Namun, Dian yakin rasa nyaman ini hanya sebatas kenyamanan dari sebuah persahabatan."Masuk yuk."Dokter Rian menarik lengan Dian saat berdiri di depan toko pakaian. Wanita itu menolak lantaran tahu betul toko di depannya adalah brand bermerk yang sangat terkenal, sudah bisa dipastikan harganya mahal. Dian yang kini sudah tak memiliki banyak uang itu menggelengkan kepalanya pelan."Sa
Dian masih terpaku sembari menggenggam album foto saat dr. Rian memuji ibunya. Seketika wanita itu meremas ujung hijabnya dengan penuh kebencian.Dian tidak benar-benar lupa dengan wajah sang ibu, bayangan wanita yang melahirkannya itu hanya sekadar blur dalam otaknya, tetapi ketika sebuah foto terpampang jelas, Dian yakin bahwa orang di dalam foto itu adalah Hasna, wanita yang tega meninggalkannya sekian lama."Kalau boleh tahu, siapa nama Bunda Mas Rian?"Setelah berusaha menetralkan perasaan, Dian akhirnya bertanya pada lelaki di hadapannya, meski sangat yakin tetapi masih hinggap setitik ragu dalam dadanya."Namanya Hasna," jawab dr. Rian bangga.Mata Dian terbelalak, jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, darah seolah-olah mengalir dengan kecepatan yang sangat tinggi menuju organ pemompa itu."Kenapa?"Dokter Rian menangkap keanehan dari raut wajah Dian."Oh gak apa-apa," balas Dian sambil memaksakan senyum."Bunda adalah orang yang selalu ada saat suka dan duka. Dulu, Aya
Hasna dan anak lelakinya berlari mengejar Dian. Hari pertemuan yang dulu amat dinantikan kini berubah menjadi hari yang menyesakkan, menjadi mimpi buruk dalam hidup Dian. Setelah traumanya terhadap pernikahan sudah pulih, saat hatinya sudah yakin pada seseorang, tetapi lelaki itu justru adalah saudaranya.'Aku harus bisa menerima kenyataan. Saat ini semua sudah jelas bahwa Mas Rian adalah adikku. Kami pernah terlahir dalam rahim yang sama.'Dian bergumam dalam hati, wanita itu terus mengusap bulir bening yang kian mendesak keluar dari pelupuk matanya.'Oh Allah, baru saja aku merasakan getaran cinta lagi, kenapa harus kembali pupus karena kekecewaan?'Dian membatin sambil terus menyeka air matanya. Jarak antara Hasna dan Dian sudah dekat, tetapi wanita itu sudah memberhentikan taksi lalu masuk.Di dalam taksi, Dian melihat bagaimana Hasna mengejarnya sembari meraung, tetapi hati Dian yang sudah banyak menanggung kekecewaan hampir tak bisa lagi merasa iba pada wanita yang ia anggap me
"Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa
"Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba
Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be
Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d
"Aku sakit karena membaca surat kamu sama Maira," jawab Citra, bukannya sedih, gadis itu justru tertawa mengingat kekonyolannya. Namun, tidak bagi Boy, ia justru semakin merasa bersalah dan menyadari betapa besar cinta sang istri padanya."Iya kah?" tanya Boy."Iya, kamu tahu gak, kamu adalah orang pertama yang aku cintai."Citra melanjutkan perjalanan, sementara Boy terus menatapnya dengan perasaan kagum juga bahagia."Aku berasa terbang karena dicintai begitu dalam," jawab Boy sembari tertawa. Lelaki itupun meraih kembali jemari Citra dan menuntunnya keluar dari area makam.Setelah sampai di parkiran, Boy meraih helm dan membantu Citra mengenakannya."Aku juga bisa pakai sendiri," tolak Citra, tetapi tak dipungkiri hatinya meleleh dengan perlakuan Boy yang begitu manis."Gak apa-apa, kamu cantik kalau pakai helm," puji Boy sembari menepuk-nepuk benda penutup kepala itu lembut."Ya sudah, sekarang kita cari masjid dulu yuk, habis itu kita makan, aku laper," ajak Citra."Ayok," balas
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu