"Dian apa yang terjadi?"
Meskipun bisa menginap di hotel, tetapi Dian lebih memilih pergi ke rumah Damar sebab masih ada hubungan kekerabatan dari jalur nenek. "Aku diusir Mas Radit, ternyata dia sudah menikah sama Raya, Om."Dian menangis, sementara Nurul memeluknya erat dengan air mata mengalir. Istrinya Damar itu tak tega melihat Dian terluka. "Om gak ngerti, tolong ceritakan semuanya pelan-pelan, ya," titah Damar kemudian dijawab dengan anggukan oleh Dian.Beberapa bulan sebelumnya....
"Dian, tolong Tante sama Raya ya, kami sudah tidak punya tempat tinggal lagi," rengek Indira dengan wajah memelas pada keponakannya. Pasalnya, rumah yang mereka tempati terbakar, entah apa penyebabnya.Indira dan suaminya yang bernama Adi juga sudah bercerai, ia tak kuat hidup susah karena menurut wanita itu tak ada kemajuan dalam bidang ekonomi.
Pekerjaan Adi berjualan ketoprak, menurut Dian warung ketoprak mereka sering terlihat ramai, tetapi Indira seringkali merasa kekurangan karena gaya hidupnya terlalu tinggi, terobsesi menjadi ibu-ibu sosialita membuatnya kufur nikmat pada suami.
"Gimana ya Tan, bukannya Dian gak mau nolong Tante, tapi Dian gak bisa kalau Tante sama Raya tinggal di rumah ini, " jawab Dian sopan.
Setelah belasan tahun terlewati, wanita itu berusaha memaafkan kesalahan Indira. Namun, sebagai manusia biasa, Dian yang pernah sakit hati atas perbuatan Indira dan Raya merasa puas karena akhirnya mereka berdua membutuhkan pertolongannya. Dian yang sejak dulu selalu dihina oleh mereka, Dian yang katanya si anak haram dan tak berguna akhirnya menjadi tempat mengadu kala susah."Di mana saja Dian, yang penting Tante sama Raya bisa berteduh," paksa Indira dengan wajah sedih.
Jauh dalam hati Dian ingin tak peduli pada mereka, tetapi walau bagaimanapun Indira adalah Tante kandungnya. Wanita itu juga pernah merawatnya meski dengan keterpaksaan atas wasiat Neneknya dulu.
"Ya sudah Tan, aku cari kontrakan yang layak buat Tante sama Raya aja, gimana?" Dian memberi solusi.
"Kok kontrakan sih Dian? Kenapa gak tinggal di rumah kamu saja, kan rumah kamu besar, luas, mewah lagi."
Raya menimpali, wajahnya menampakkan raut kecewa."Kamu mau aku tolong enggak?" tanya Dian sinis.
Kalau bukan karena menghormati Indira, Dian tak ingin membantu Raya yang di matanya tak tahu diri.Hati Dian kesal, bukannya berterima kasih karena telah ditolong, Raya justru meminta tinggal di rumahnya. Bukannya apa-apa, hanya saja ia risih jika membawa Raya ke rumah, karena Dian dan Radit hanya tinggal berdua di sana, asisten rumah tangga hanya datang pagi dan pulang sore hari saja.
"Gak apa-apa Dian, yang penting kami punya tempat tinggal, terima kasih sudah menolong kami ya." Indira melotot ke arah Raya, sepupu Dian itu menciut seketika.
Satu bulan setelah menyewa kontrakan untuk Tante dan sepupunya, Dian berniat membawakan makanan untuk Indira, tetapi di perjalan terjadi insiden mengerikan.Sebuah motor dengan kecepatan tinggi menabrak tubuh Dian yang hendak menyebrang, akibat kecelakaan itu ia mengalami patah tulang di tangan dan kedua kaki, untung saja kehamilannya yang baru berusia tiga Minggu bisa diselamatkan.
Sejak kecelakaan itu, Dian dirawat dengan cekatan oleh Indira dan Raya, karena kasihan jika sepupu dan Tantenya harus pulang pergi untuk merawatnya, maka Dian meminta mereka untuk tinggal di rumahnya saja, terlebih sikap keduanya sangat manis dan membuat hati Dian terharu.
Indira juga membantu membersihkan kotoran Dian yang kesulitan jika ingin buang air besar, wanita itu juga membantu merawat Dian yang tengah mabuk karena hamil muda. Patah kaki benar-benar membuatnya sulit beraktivitas.
Hati Dian luluh, dia menganggap mereka sudah berubah dan menolongnya dengan sangat tulus.
Tujuh bulan sudah masa-masa sulit terlewati, hanya saja kini Dian merasa Radit mulai berubah, lelaki itu sudah tak sehangat dulu, suaminya pun sudah jarang menemuinya di kamar meski hanya sekadar menanyakan kabar.
Selama tujuh bulan Dian tak pernah ke manapun dan hanya berdiam diri di dalam kamar. Beberapa bulan pertama Radit begitu perhatian, bahkan ia mendatangkan dokter untuk membantunya terapi, tetapi dua bulan belakangan ini Radit jarang sekali ada waktu untuk Dian.
Sikap Radit berubah dingin, Dian berpikir apakah mungkin karena dirinya tak lagi mampu memberi nafkah batin? Radit seorang laki-laki, Dian sadar kalau lelaki memiliki kebutuhan yang harus disalurkan. Seketika hatinya tersayat ngilu membayangkan sesuatu hal buruk yang mungkin saja terjadi.
Indira pun kini sudah tak perhatian seperti dulu dengan alasan mulai sibuk, bahkan yang mengurus Dian beberapa bulan terakhir adalah Bi Imah, pembantu baru yang dibayar oleh Radit untuk mengurusnya.
"Hati-hati Bu, pelan-pelan takut jatuh."
Bi Imah selalu membantunya untuk berjalan hingga kini mampu berdiri meski dengan tongkat penyangga di ketiak."Gak apa-apa Bi, aku sudah bisa jalan kok, aku kangen sama Mas Radit, aku mau ke bawah dulu ya, sudah lama sekali gak pernah ke bawah," ucap Dian dengan mata berbinar.
Dian bahagia kakinya sudah bisa digerakkan dan berjalan perlahan meski menggunakan tongkat penyangga. Wanita itu tak sabar ingin kembali menikmati udara segar setelah sekian lama terkurung di kamar, kamarnya berada di lantai atas dan selama sakit Dian tak pernah turun ke lantai bawah. Bahkan untuk sekadar duduk di kursi roda pun wanita itu tak kuat.
"Jangan Bu, jangan ke bawah," cegah Bi Imah, sorot matanya menyiratkan kekhawatiran. Wanita itu juga menautkan jemarinya penuh kegelisahan.
"Kenapa Bi? Aku mau nyiapin sarapan buat Mas Radit, tolong bantu ya."
Dian berusaha berjalan mendekati anak tangga."Tapi Bu...," sergah Bi Imah dengan wajah pucat.
Belum sempat Bi Imah melanjutkan perkataannya, Dian melihat sebuah adegan yang membuat dadanya kian terbakar di lantai bawah, Raya merapikan kerah baju Radit kemudian lelaki itu mencium kening sepupunya dengan lembut, sungguh pemandangan yang membuat hati Dian mendidih.
"Apa-apaan mereka?"
Hati Dian dipenuh amarah. Sesak memenuhi rongga dada, jiwanya runtuh seketika, hatinya hancur lebur bagai dipukul palu godam.Ingin rasanya wanita itu turun dan menghardik keduanya, tetapi sayang ia tak mampu, saat ini dirinya tak berdaya. Tak ingin dimarahi, Bi Imah segera membawa Dian ke dalam kamar.
"Bi, kenapa mereka begitu dekat?" tanya Dian pada Bi Imah. Netra Dian memanas, tak terasa butiran kristal itu menitik di pelupuk mata lentiknya.
"Maafkan Bibi Bu, Bibi gak berani bilang sama ibu, sebenarnya Bu Raya dan Pak Radit sudah menikah dua bulan yang lalu," jelas Bi Imah sambil menunduk, raut wajahnya menyiratkan penyesalan.
Bagai tersambar petir di siang bolong, hati Dian terasa ngilu, tubuhnya limbung seketika, tak percaya jika lelaki yang selama ini begitu perhatian padanya dengan mudah meninggalkannya di saat terpuruk seperti ini.
Baru saja kebahagiaan itu seperti membentang, kini kesedihan kembali menghalang."Menikah?" tanya Dian lirih.
Pantas saja Indira sudah tidak mengurusnya lagi, atau jangan-jangan sedari awal ini memang rencana Indira dan Raya untuk merebut Radit darinya, pikir Dian.Dian masih pura-pura sakit, hati wanita itu kian perih saat tiba-tiba saja Radit membuka pintu lalu mencium keningnya yang tengah berbaring. Dadanya bergemuruh hebat atas pengkhianatan yang dilakukan suaminya. "Mas, ke mana aja?" tanya Dian pura-pura tak tahu apapun."Aku sibuk sayang, maaf ya."Radit mengecup jemari tangan Dian lalu mengusapnya, jika dulu Dian selalu bahagia diperlakukan seperti itu, tetapi kali ini perlakuan Radit laksana sembilu yang terus menguliti hatinya.***Hari terus berlalu, kini Dian sudah benar-benar sembuh. Pukul sepuluh pagi ia duduk di sofa, rumahnya nampak sepi karena Radit tengah keluar kota. Hari ini dirinya akan menunjukan bahwa ia sudah kembali sehat seperti semula.Di waktu yang bersamaan, Raya dan Indira baru saja pulang joging sambil tertawa bahagia, di tangan keduanya penuh dengan barang belanjaan yang dibeli di taman.Prok ... prok ... prok....
Dian bertepuk tangan lalu kembali menyilangkan tangan di dada saat mereka menyadari keberadaannya.
"Rupanya memang ini akal-akalan kalian untuk merebut hartaku?" tanya Dian sambil berdiri, kini dirinya sudah sehat sempurna dan tampil anggun.
"Dian?" gumam Indira dan anaknya berbarengan. Wajah mereka terlihat syok.
"Kenapa Tante, kaget lihat aku sudah sehat?" tanya Dian dengan senyum menyeringai, wanita itu berpikir hari ini adalah mimpi buruk untuk manusia iblis itu, tanpa dia tahu hal buruk pun akan terjadi padanya.
"Bagus lah kalau kamu sudah sembuh, berarti kamu tinggal pergi dari rumah ini."
Bukannya malu, justru Raya bersikap sombong dan arogan."Rumah ini milikku, jadi harusnya kamu yang pergi dari sini, benalu!"
Dian menatap nyalang dua wanita di hadapannya."Kamu salah Dian, kamu sedang berhadapan dengan Raya, kamu yang akan keluar dari rumah ini, sebentar lagi Mas Radit akan usir kamu."
Bukannya takut dan merasa bersalah, wanita itu justru berbalik mengancam Dian."Mana mungkin Mas Radit usir aku?"
Dian melengos dan penuh percaya diri.Raya dan Indira hanya tersenyum sinis, keduanya saling berpandangan setelah melihat roti dan susu yang tergeletak di meja makan sudah kosong. Entah kejahatan apa yang sedang mereka rencanakan.
Seketika kepala Dian terasa sangat berat, seingatnya tak salah makan apapun. Sejak sarapan tadi ia hanya minum susu dan roti saja. Atau jangan-jangan sebenarnya mereka tahu Dian sudah sehat dan merencanakan sesuatu? Ah, dasar licik. Sedetik kemudian tubuh Dian limbung dan tak sadar apapun.
Dian terbangun dan mengerjap-ngerjapkan mata agar pandangan terlihat jelas, namun betapa terkejutnya saat ada seorang laki-laki asing yang tidur di sebelahnya dengan hanya bertelanjang dada.
"Apa-apaan ini Dian."
Saat tersadar suara Radit mengejutkannya yang masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, mata Radit memerah dengan tangan mengepal."Jadi begitu ceritanya, Om benar-benar gak nyangka Indira segitu tega sama kamu Dian, kamu yang sabar ya," ucap istrinya Damar setelah mendengar semua cerita Dian.
"Sebaiknya kamu tinggal saja di sini Dian, Om gak keberatan kok, sekalian nemenin Tante Nurul, kasihan sendirian terus karena Riri di luar kota," usul Damar.
"Andai saja dulu Dian gak nolong Tante Indira sama Raya, mungkin rumah tangga Dian masih baik-baik saja Om." Dian berkata lirih sembari menatap langit-langit.
"Iya Dian, yang berlalu biarlah berlalu, Gusti Allah enggak tidur, orang jahat mah insyaallah nanti juga dapat balasannya, dapat karma-nya," timpal Nurul sambil mengelus Dian.
***
Pagi sekali Dian pergi ke rumah Radit, ada barang berharga yang tertinggal di sana, kebetulan hanya tinggal mengambil saja karena sudah disiapkan oleh Bi Imah.
Bi Imah lebih memihak pada Dian, ia juga dengan suka rela membantunya mengumpulkan bukti kejahatan Indira dan Raya tanpa sepengetahuan mereka. Karena benar saja, fitnah terhadap Dian sudah mereka siapkan dengan sempurna waktu itu dengan cara menaruh obat di sarapannya.
Bi Imah juga bilang, kemarin ada tamu mencurigakan bertemu dengan Raya, Dian harus buktikan bahwa anak yang dikandung Raya bukanlah anak Radit karena ia sangat yakin Raya hanya menjebaknya.
Sesampainya di rumah Radit, Dian melihat Raya sedang berbincang dengan seorang laki-laki, nampaknya mereka membicarakan sesuatu yang sangat serius.
Dian berusaha mendekati dan mendengar pembicaraan mereka dengan bersembunyi di bawah pohon rimbun yang menjadi pagar taman, namun pembicaraan mereka masih sulit untuk didengar dengan jelas sehingga Dian harus benar-benar fokus.
"Tenang Bu, kasus ini aman selagi ibu masih menuruti kemauan saya, saya sudah mahir menutupi kasus pembunuhan," ucap lelaki itu, ia mencium amplop coklat tebal yang diberikan Raya sambil berlalu.
"Apa pembunuhan? Astaghfirullah jadi Raya terlibat kasus pembunuhan? Siapa yang Raya bunuh?"
Mata Dian melebar, tangannya refleks menutup mulut lantaran tak habis pikir dengan apa yang barusan didengar, hatinya semakin tak karuan. Sebegitu jahat kah Raya sehingga terlibat sebuah kasus kriminal?Bersambung.
Raya berjalan memasuki rumah setelah seorang laki-laki misterius itu pergi, wajahnya terlihat seperti kebingungan dan tengah merencanakan sesuatu.Dian gegas beranjak pergi agar Raya dan Indira tak melihatnya berada di sana, tetapi saat berdiri hendak meninggalkan tempat itu, seseorang justru mengejutkannya."Lagi apa kamu ngumpet di sini?"Dian yang tengah berjongkok di antara pepohonan itu terkejut dengan pertanyaan Radit yang tiba-tiba."M_mm, a_aku cuma mau ambil dompet yang jatuh, Mas."Dian melihat dompetnya terjatuh dan mengambil benda berwarna biru yang berada di atas tanah, dengan susah payah wanita itu meraihnya sebab perutnya sudah semakin besar."Ya sudah, aku buru-buru mau mengambil berkas yang tertinggal."Radit kian dingin dan tak peduli, meski Dian masih berstatus sebagai istri tetapi Radit sama sekali tak menghiraukannya, dia justru meninggalkan Dian begitu saja. "Mas, aku mau kita bicara."Dian dengan cepat membuka suara, ia berharap Radit menghentikan langkah. Ben
"Hari ini jadi cek kandungan, Dian?" tanya Damar saat mereka sedang sarapan. Dian yang tengah hendak menyuap nasi goreng ke mulutnya menaruh sendok seketika."Iya jadi Om, aku jarang cek kandungan semenjak sakit, belum pernah malah," jawab Dian lalu melanjutkan makan kemudian minum air hangat."Tante temani ya," timpal Nurul antusias."Apa gak merepotkan?" tanya Dian lagi, ia merasa tak enak hati karena sering menyusahkan keluarga Nurul dan Damar."Dian, Tante itu sudah anggap kamu seperti anak sendiri, jadi mana mungkin Tante merasa direpotkan, malahan Tante senang," jawab Nurul dengan tatapan hangat."Terima kasih ya Tan, sudah baik sekali," ucap Dian sambil menggenggam tangan Nurul.Seketika mata Nurul berkaca-kaca. Begitupun Dian, hatinya begitu terharu menyaksikan kebaikan demi kebaikan dari kerabat almarhumah Neneknya itu."Dian, andai Hasna tahu anaknya sudah dewasa dan tumbuh menjadi anak yang baik, dia pasti saaaangat menyesal karena telah meninggalkan kamu," ujar Nurul, air
Pagi ini Dian berniat mengunjungi alamat yang diberikan oleh Mia kemarin. Wanita itu tak ingin menyia-nyiakan kesempatan karena taksiran kelahiran bayinya tinggal beberapa Minggu lagi."Dian jadi pergi?" tanya Nurul saat mereka sedang sarapan."Iya insyaallah jadi Tante," jawabnya."Maaf Tante gak bisa temani ya, hari ini ada acara di rumah Bu lurah," balas Nurul dengan wajah tertunduk, wanita itu merasa bersalah."Gak apa-apa, kok Tante. Insyaallah Dian bisa pergi sendiri kok," jawab Dian dengan lengkungan senyum dibibir."Kamu jangan pergi sendiri, biar Om saja yang temani," timpal Damar yang sedang menikmati kopi dan kudapan di luar rumah.Dian menatap Nurul, sementara wanita itu hanya menganggukkan kepala tanda menyetujui usul suaminya."Kamu lagi hamil besar, Om khawatir kamu kenapa-kenapa kalau pergi sendiri," lanjut Damar seraya masuk untuk mengambil jaket dan kunci mobilnya.Lagi-lagi hati Dian menghangat lantaran haru melihat kebaikan Damar dan Nurul, Dian janji tak akan pern
"Gak ada Mbak, saya hanya sebatas kenal saja dengan Bu Raya."Nengsih akhirnya bicara setelah sekian lama membisu, wanita itu mengerlingkan matanya ke atas, gelagatnya menunjukan ketakutan yang membuat Dian semakin yakin ada sesuatu tak beres yang Nengsih sembunyikan."Jadi benar kamu yang membunuh pak Adrian?"Dian berusaha untuk meyakinkan, sementara Nengsih hanya mengangguk perlahan, seolah-olah berat mengakuinya. Meskipun dibujuk, tetapi Nengsih tetap diam sampai waktu besuk habis. "Baiklah, maaf saya sudah mengganggu, kalau begitu saya permisi."Dian berpamitan pada Nengsih dan berterima kasih pada polisi atas waktu yang diberikan, tetapi hatinya masih diliputi banyak pertanyaan, terlebih sikap Nengsih yang kian mencurigakan.Dian berjalan ke luar dan meninggalkan kantor polisi, tetapi baru saja hendak memasuki mobil, wanita itu tak sengaja melihat lelaki itu, lelaki yang pernah bicara perihal pembunuhan dengan Raya tempo hari.Rasa penasaran kian menghantui Dian, wanita itu mem
"Mas, kamu cinta sama Raya?"Dian bertanya pada Radit saat keduanya hendak ke pembaringan. Tak dipungkiri ada setitik rasa bahagia karena akhirnya bisa kembali bercengkrama dengan Radit di surga peraduannya. Namun, dia tak akan lupa dengan tujuan dari kedatangannya. "Tadinya, tapi semenjak tahu dia berbohong cinta itu tiba-tiba hilang."Radit meletakan buku yang dibacanya ke atas meja, lelaki itu kemudian menatap manik hitam Dian lembut, ada rasa bersalah yang bercokol dalam dada kala melihat sorot sendu istri pertamanya.Dian menghela napas dalam mendengar jawaban jujur yang menyakitkan dari mulut sang suami. Wanita mana pun akan terluka saat tahu ada cinta lain di hati suaminya."Saat kamu mengusirku, apa kamu juga sudah tidak mencintaiku?" tanya Dian, wanita itu menatap lekat netra Radit, mencari secercah rasa yang tak bisa ditebak. "Enggak Dian, cinta untuk kamu selalu ada, bahkan jauh dalam hati gak percaya kamu bisa melakukannya, tapi saat itu semua bukti terpampang jelas, Ray
"Apakah dokter tahu alamat rumah Nengsih?""Sepertinya saya tahu, Nengsih berasal dari keluarga dengan strata sosial menengah ke bawah. Saya menduga alasan dia menjajakan diri karena faktor ekonomi. Saya pernah melihat adik-adiknya yang masih sangat kecil, karena itu juga dulu saya hampir ingin menyelesaikan kasus ini dengan kekeluargaan lantaran tak tega. Tetapi, bukankah kasus pembunuhan tak bisa ditanggapi dengan kekeluargaan. Di sisi lain saya tak terima melihat kondisi Bunda setelah kejadian itu." Dokter Rian menatap kosong dinding, peristiwa yang terjadi hampir setahun lalu membuat mentalnya terguncang. Lelaki itu ingat bagaimana ia menjadi sorotan karena sang Ayah, pengusaha terkenal itu ditemukan meninggal setelah melakukan hubungan terlarang dengan wanita komersil.Dokter Rian juga terpukul kala sang ibu terus menerus menangis setiap harinya karena kepergian dan pengkhianatan sang suami, hingga akhirnya hal mengerikan itu tiba-tiba terjadi."Terus sekarang ibu dokter di mana
"Alhamdulillah setelah dua Minggu Citra badannya berisi ya, Dian? Oh ya Tante ambil makanan dulu ya." Nurul menaruh Citra yang tubuhnya semakin berisi ke atas kasur, lalu ia beranjak hendak ke dapur. "Iya Tante," jawab Dian sembari menatap Citra yang tertidur pulas setelah digendong Nurul. Bagi Dian, menjadi seorang ibu adalah petulangan baru dalam hidupnya. Kini ia merasa tak ada harta yang lebih berharga selain anaknya. Pantaslah saja di luar sana banyak para ibu yang rela mengorbankan apapun demi buah hatinya. Dian menyunggingkan senyum di bibir sambil terus menatap bayinya. Tak aneh Allah menyebutkan surga berada di telapak kaki ibu, selain itu seorang ibu juga disebut tiga kali dibanding ayah oleh Rasulullah lantaran perjuangannya. Namun, seketika senyum manis itu perlahan menghilang dari bibirnya, raut wajah Dian kini nampak sendu. "Ya Allah, masihkah ada surga di telapak kaki ibuku? Ibu yang tega meninggalkan anaknya tanpa bekal apapun, bahkan hingga saat ini aku tak pern
"Kamu tenang saja Dian, saya akan bantu kamu, saya bisa pastikan Radit gak akan mengambil hak asuh Citra dari kamu."Dokter Rian berusaha menenangkan wanita di hadapannya. Sementara Dian masih tergugu dalam ketakutan. Wanita itu tahu betul kalau keluarga Radit akan melakukan segala cara dengan uang mereka."Iya Dok, aku gak rela kalau Citra harus dirawat oleh Mas Radit yang sangat tempramen," jawab Dian dengan mata berkaca-kaca.***Hari ini dokter Rian mengajak Dian dan Citra berjalan-jalan di sebuah mal. Entah apa yang tumbuh dalam hati, tetapi kini Dian mulai merasa nyaman berada di dekat lelaki itu. Namun, Dian yakin rasa nyaman ini hanya sebatas kenyamanan dari sebuah persahabatan."Masuk yuk."Dokter Rian menarik lengan Dian saat berdiri di depan toko pakaian. Wanita itu menolak lantaran tahu betul toko di depannya adalah brand bermerk yang sangat terkenal, sudah bisa dipastikan harganya mahal. Dian yang kini sudah tak memiliki banyak uang itu menggelengkan kepalanya pelan."Sa
"Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa
"Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba
Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be
Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d
"Aku sakit karena membaca surat kamu sama Maira," jawab Citra, bukannya sedih, gadis itu justru tertawa mengingat kekonyolannya. Namun, tidak bagi Boy, ia justru semakin merasa bersalah dan menyadari betapa besar cinta sang istri padanya."Iya kah?" tanya Boy."Iya, kamu tahu gak, kamu adalah orang pertama yang aku cintai."Citra melanjutkan perjalanan, sementara Boy terus menatapnya dengan perasaan kagum juga bahagia."Aku berasa terbang karena dicintai begitu dalam," jawab Boy sembari tertawa. Lelaki itupun meraih kembali jemari Citra dan menuntunnya keluar dari area makam.Setelah sampai di parkiran, Boy meraih helm dan membantu Citra mengenakannya."Aku juga bisa pakai sendiri," tolak Citra, tetapi tak dipungkiri hatinya meleleh dengan perlakuan Boy yang begitu manis."Gak apa-apa, kamu cantik kalau pakai helm," puji Boy sembari menepuk-nepuk benda penutup kepala itu lembut."Ya sudah, sekarang kita cari masjid dulu yuk, habis itu kita makan, aku laper," ajak Citra."Ayok," balas
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu