"Tadinya, tapi semenjak tahu dia berbohong cinta itu tiba-tiba hilang."
Radit meletakan buku yang dibacanya ke atas meja, lelaki itu kemudian menatap manik hitam Dian lembut, ada rasa bersalah yang bercokol dalam dada kala melihat sorot sendu istri pertamanya.Dian menghela napas dalam mendengar jawaban jujur yang menyakitkan dari mulut sang suami. Wanita mana pun akan terluka saat tahu ada cinta lain di hati suaminya."Saat kamu mengusirku, apa kamu juga sudah tidak mencintaiku?" tanya Dian, wanita itu menatap lekat netra Radit, mencari secercah rasa yang tak bisa ditebak.
"Enggak Dian, cinta untuk kamu selalu ada, bahkan jauh dalam hati gak percaya kamu bisa melakukannya, tapi saat itu semua bukti terpampang jelas, Raya bahkan bilang kamu sering pulang pergi bersamanya jauh sebelum kita menikah dan Raya memberikan foto-foto sebagai buktinya, dia sepupu kamu, itu yang membuat aku percaya, maaf karena aku telah bodoh."
Radit tertunduk menyesal sembari menggenggam tangan Dian, lalu menatap lekat mata lentik istrinya.Dian tersenyum miris, wanita itu tak menyangka kalau Raya benar-benar curang dan licik, sepupunya itu menciptakan kebohongan pada Radit seolah-olah ia adalah wanita tak baik.
Sebelum menikah, Dian dan Radit tak berhubungan lama sehingga lelaki itu tak begitu tahu bagaimana kisah cinta masa lalu istrinya."Tapi kamu janji kan setelah anak itu lahir kalian akan bercerai?" tanya Dian.
"Aku janji, hanya saja aku bingung, ibu sudah sangat sayang pada Raya, apalagi saat ini ibu sakit, pasti dia terpukul kalau aku harus menceraikan Raya, karena ibu yang meminta aku menikahi Raya saat kamu sakit."
Deg.
Bagai tersambar petir mendengar penjelasan Radit bahwa semua adalah rencana ibu mertuanya, dari dulu ibu mertuanya memang tak pernah suka pada Dian, tentu karena latar belakang keluarganya yang berantakan. Mertuanya menganggap asal-usul Dian tak jelas dan khawatir akan mencemarkan nama baik keturunannya.
Hanya saja, Radit tetap bersikeras untuk menikah dengan Dian meski awalnya ia sempat dimusuhi keluarga.
Radit adalah anak satu-satunya dan pewaris perusahaan toko material sang ayah. Setelah berjuang, akhirnya keluarga luluh dan mulai menerima Dian, meskipun saat itu Dian belum berhasil memberi mereka keturunan dan harus menunggu beberapa tahun hingga hamil.Sungguh Dian tak habis pikir, ibu mertua yang bersikap sangat manis di hadapannya ternyata jauh dalam hatinya masih tak bisa menerima Dian dan berusaha menyingkirkannya.
"Kalau misalnya anak di perut Raya bukan anakmu, Mas?" tanya Dian kemudian, sontak membuat Radit mendongak.
"Maksud kamu?" Radit mengernyitkan dahi.
"Gak jadi Mas, yuk kita tidur."
Wanita itu merasa tak mungkin bicara ini pada Radit, sedangkan ia tak memiliki bukti apapun, terlebih mendengar penyataan Radit sendiri bahwa dia pernah memiliki rasa pada Raya saat dirinya tak berdaya.Meski perih dan tak membenarkan perilakunya, tetapi Dian berusaha memaklumi karena saat itu ia tak bisa memenuhi kebutuhan biologis Radit dalam waktu yang lama, sedangkan Dian tahu bagaimana lelaki itu bermain di ranjang."Sebentar, maksud perkataan tadi apa?"
Radit masih terus membahas dan penasaran dengan perkataan Dian barusan."Gak Mas, aku cuma bercanda kok, ayok tidur," balas Dian sembari mencubit perutnya. Jauh dalam hati wanita itu ingin mengatakannya, tetapi bukti yang belum jelas membuatnya urung.
"Aww ...."
Radit menjerit saat perutnya dicubit oleh Dian."Sakit, Mas?" tanya Dian, khawatir mencubit Radit terlalu keras. Namun, bukannya menjawab dia justru merengkuh tubuhnya dan mengecup bibir wanita itu secepat kilat.
"Ih apaan sih?" Dian malu-malu.
"Yuk, katanya kalau melakukan di trimester akhir bikin gampang lahiran."
Dian hanya tertawa melihat wajah Radit saat menggodanya. Meski jauh dalam hati merasa jijik, tetapi dirinya masih berstatus sebagai istri, tak salah mengorbankan diri demi membuat Radit yakin bahwa ia tak memiliki maksud lain.***
"Gimana sih, kerja begitu saja kalian gak bisa? Bakar saja rumah orang tuanya kalau dia berani buka suara."
Raya membentak seseorang melalui sambungan telepon. Namun, ia tetap menahan suaranya agar tak terdengar siapapun.Di waktu yang bersamaan, Dian tengah berjalan ke arah dapur untuk mengambil minum, hamil tua membuatnya sering sekali kegerahan meski AC sudah menyala. Namun, ternyata Dian melihat Raya sedang melakukan panggilan dengan sembunyi-sembunyi."Ngapain kamu malam-malam telponan di sini?"
Dian mengernyitkan dahi, wanita itu mendengar sekilas pembicaraan Raya dengan seseorang di sebrang sana.
Mendengar suara Dian yang mengejutkannya, Raya gegas mengakhiri panggilan dan memasukan ponselnya ke saku piyama, wanita itu terlihat sangat gugup.
"Ngapain juga kamu ngintip-ngintip? Kepo banget sih sama urusan orang."
Raya berusaha menutupi kegugupannya dengan judes."Aku haus, apa salah ngambil minum? Yang harusnya aku tanya itu kamu, ngapain malam-malam ke dapur cuma buat telponan?" tanya Dian lagi, kali ini tatapannya kian tajam.
"Mau tahu aja, atau mau tahu banget?" Raya bergegas pergi sembari melewati Dian dengan angkuh.
Dian menatap kepergian Raya dengan tatapan penuh selidik. Wanita itu yakin kalau Raya memang tak beres, firasatnya semakin kuat mengatakan kalau sang sepupu yang membunuh Adrian, lelaki yang diduga ayah biologi dari anak yang dikandungnya.
Dian berniat akan menyelidiki lagi kasus Nengsih, kali ini dia yakin dengan dugaan bahwa wanita bernasib malang itu tengah diancam oleh Raya, Dian kini tahu betul sifat Raya seperti apa.***
"Ma, Mama mau minum apa? Biar Raya buatkan ya."
Dian yang tengah membereskan kamar lantas keluar mendengar suara Raya sedang berbincang dengan ibu mertua di lantai bawah. Bahkan, Dian tak tahu jika hari ini ibu mertuanya akan datang, sebelum dirinya sakit, biasanya ibu mertuanya akan mengabari Dian dan mengajaknya masak bersama.
"Eh ada Mama, sehat Ma?"
Dian segera turun dari tangga dan menyalami tangan ibu mertuanya, tetapi ibu mertuanya tak menghiraukan, kini sikapnya sudah terang-terangan berubah."Gimana kandungan kamu, sehat? Mama gak sabar banget pengen menimang-nimang cucu."
Ibu mertuanya tak menghiraukan kedatang Dian, wanita itu justru mengusap perut Raya lembut lalu menciumnya.Hati Dian kian teriris, wanita itu merutuki diri karena telah turun ke bawah, seharusnya dia ingat perkataan Radit bahwa semua adalah ide gila mertuanya yang menjodohkan suami dengan sepupunya sendiri.
Dian masih terpaku dengan goresan hati yang kian menganga lantaran melihat sebuah kenyataan bahwa ibu mertuanya begitu perhatian pada Raya."Alhamdulillah sehat Ma, oh ya aku ambilkan minum ya, ma," ujar Raya berusaha mengambil hati mertuanya.
"Gak usah, kamu jangan capek-capek dong, Mama gak mau kamu dan anak di kandungan kamu kenapa-kenapa," jawab mertuanya penuh perhatian.
Melihat dirinya tak dianggap ada, Dian lebih memilih pergi dari hadapan mertua dan madunya itu."Oh kalau begitu aku panggil Bi Imah ya, Ma," balas Raya lagi.
"Gak perlu, kan ada Dian tuh. Dian tolong ambilkan Mama minum ya, biasa teh hangat gak pake gula!"
Dian baru saja hendak naik ke tangga saat namanya disebut dan mendapatkan perintah dari sang mertua. Wanita itu mengembuskan napas dalam lalu membuangnya, mengelus dadanya yang sesak agar kesabaran tetap terjaga."Iya, Ma."
Dian mengangguk, ia berusaha baik-baik saja. Hatinya terasa linu, padahal dirinya pun sama saja sedang hamil, tetapi mertuanya sangat kentara membedakan Dian dan Raya, melarang madunya untuk mengambil minum dengan alasan takut capek, sedangkan Dian disuruh-suruh bagaikan pembantu."Lihat saja Ma, Mama pasti menyesal saat tahu kebusukan menantu kesayangan Mama itu," gumam Dian pelan, wanita itu semakin ingin membuktikan kebusukan Raya pada semua orang.
Saat Dian baru saja melangkah hendak ke dapur, Indira tiba-tiba datang dan langsung cipika cipiki dengan anak serta besan kebanggaannya. Keduanya saling bercengkrama, mereka heboh sekali membicarakan fashion yang sedang hits.
"Dian, sekalian buat Bundaku ya," teriak Raya tanpa beban. Ingin saja rasanya Dian memberikan racun ke dalam minuman mereka, tetapi dirinya masih waras dan tak sejahat itu.
Radit baru saja pergi keluar kota untuk urusan membuka cabang tokonya dan akan pulang beberapa hari lagi. Sekarang Indira dan Mama mertuanya datang, Dian yakin pasti dirinya akan jadi bahan bullyan mereka.
"Bu, biar saya saja ya," pinta bi Imah saat melihat Dian membuatkan minuman untuk mereka.
"Ya sudah Bi, terima kasih ya," jawab Dian lalu pergi ke kamarnya. Biar saja mereka marah, toh Dian memang bukan pembantu.
***
"Maaf aku datang lagi."
Dian berbicara pada Nengsih saat menemuinya di kantor polisi."Untuk apa Mbak menemui saya lagi? Bukankah sudah saya katakan bahwa saya gak ada hubungan apapun dengan Bu Raya," jawabnya tegas.
Baru saja Dian membuka mulut untuk bertanya lagi, salah satu polisi mendatangi keduanya.
"Ada telepon untuk Bu Nengsih," ucapnya.
Nengsih segera meninggalkan Dian dan menerima panggilan entah dari siapanya, tetapi tiba-tiba wanita itu berteriak histeris, membuat semua yang berada di sana panik dan polisi segera mengamankannya.
Dian memutuskan untuk pulang, sepertinya Nengsih tak akan buka suara. Wanita itu terus memikirkan langkah yang harus dilakukan agar Nengsih berkata jujur.
Dian yakin dari sikap yang ditunjukkan sepertinya Nengsih mempunyai tekanan hidup yang berat, andai Nengsih berkata benar dan menceritakan semuanya, Dian pasti akan membantunya.Tak menghasilkan apapun, Dian memutuskan kembali ke rumah Adrian, wanita itu berharap bisa menggali informasi di sana. Ia memesan taksi online dan langsung menuju rumah Adrian.
Setelah melakukan kurang lebih hampir satu jam perjalanan, akhirnya Dian telah sampai di rumah bergaya klasik dengan cat warna putih. Sebelum turun Dian membayar taksi, kemudian ia bergegas berjalan dan meminta izin pada satpam untuk masuk, satpam yang sudah hafal pada wanita itupun tanpa ragu membuka gerbang untuknya."Permisi ...."Dian mengetuk pintu, tetapi tak ada yang membukanya. Wanita itu urung bertamu, sehingga berbalik badan hendak pergi. "Maaf, ada perlu apa, ya?"Tiba-tiba saja daun pintu terbuka, seorang pria tak asing telah berdiri di sana. "Dokter Rian?"Dian bergumam, mata wanita itu terbelalak saat melihat seseorang yang membukakannya pintu."Bu ... Bu Dian, ya?" tanya dr. Rian sambil mengingat-ingat, lelaki itu pun tak kalah terkejut dengan kedatangan pasiennya.
"Iya, Dok." Diam mengangguk. "Ada perlu apa, kok tahu rumah saya?" tanya dr. Rian, lelaki itu nampak kebingungan."Ada siapa, Den?"
Suara Mbok Siti terdengar, wanita paruh baya itu berjalan mendekat."Eh ada Bu Dian."Mbok iti langsung menyapa wanita itu saat Dian dan Rian bertatapan."Mbok kenal Bu Dian?" tanya dokter Rian tak menyangka.
"Iya kenal Den, Aden Rian kenal?" tanyanya lagi.
"Kenal, beliau salah satu pasien saya," balasnya kemudian.
Kehamilan Dian saat ini adalah kehamilan kedua. Sebelumnya wanita itu pernah hamil tetapi keguguran di usia yang baru menginjak dua bulan. Sejak saat itu Dian dan Radit mengikuti program hamil pada dr. Rian lantaran tekanan dari ibu mertuanya, tetapi sayang tak pernah berhasil. Sehingga, akhirnya saat Dian pasrah, Allah memberikan kehamilan lagi untuknya.
"Ayo masuk Bu," titah dokter Rian lembut sembari melebarkan pintu.
"Lagi libur dok?" tanya Dian basa-basi sembari melangkah masuk.
"Iya, biasanya kalau libur saya jenguk Bunda," jawab dr. Rian saat keduanya hendak duduk di sofa berwarna putih.
"Saya turut berdukacita ya dok atas musibah yang menimpa keluarga dokter."
Tanpa basa-basi Dian berbelasungkawa."Bu Dian tahu tentang musibah yang terjadi di keluarga saya?"
Dokter Rian penasaran, lelaki itu menatap lekat manik hitam lawan bicaranya, karena sepengetahuannya kasus itu telah ditutup sejak Nengsih dipenjara."Iya dok, mohon maaf sebelumnya, justru kedatangan saya ke sini ingin menanyakan perihal kematian pak Adrian."
Dian langsung mengutarakan niat dan tujuan kedatangannya."Kenapa? Apa hubungannya dengan Bu Dian?" tanya dr. Rian seraya memicingkan mata.
Dian menjelaskan semua dugaan pada Raya juga tentang kejanggalan Nengsih. Wanita itu pun menjelaskan alasan menyelidiki adalah untuk membongkar semua kejahatan sepupunya, Rian sangat mengerti dengan apa yang wanita itu utarakan setelah melerai perkelahian tempo hari.
"Baik Bu, kalau begitu kita kerjasama untuk mengungkap siapa pembunuh sebenarnya. Karena siapapun dia, dia harus menebus mahal penderitaan ibu saya," ungkap dr. Rian mantap.
Dian tersenyum senang, wanita itu sudah tak sabar ingin melihat Raya yang sombong itu menangis di hadapannya.'Lihatlah Raya, aku sudah punya partner untuk menguak kejahatan kamu. Dokter Rian mencari keadilan untuk keluarganya, sedangkan aku mencari keadilan untuk semua kejahatan yang pernah kamu lakukan.' Dian berucap dalam hati.Dian dan dokter Rian saling berpandangan, keduanya saling menguatkan dan meyakinkan diri untuk menguak semua kejahatan Raya.
Bersambung.
"Apakah dokter tahu alamat rumah Nengsih?""Sepertinya saya tahu, Nengsih berasal dari keluarga dengan strata sosial menengah ke bawah. Saya menduga alasan dia menjajakan diri karena faktor ekonomi. Saya pernah melihat adik-adiknya yang masih sangat kecil, karena itu juga dulu saya hampir ingin menyelesaikan kasus ini dengan kekeluargaan lantaran tak tega. Tetapi, bukankah kasus pembunuhan tak bisa ditanggapi dengan kekeluargaan. Di sisi lain saya tak terima melihat kondisi Bunda setelah kejadian itu." Dokter Rian menatap kosong dinding, peristiwa yang terjadi hampir setahun lalu membuat mentalnya terguncang. Lelaki itu ingat bagaimana ia menjadi sorotan karena sang Ayah, pengusaha terkenal itu ditemukan meninggal setelah melakukan hubungan terlarang dengan wanita komersil.Dokter Rian juga terpukul kala sang ibu terus menerus menangis setiap harinya karena kepergian dan pengkhianatan sang suami, hingga akhirnya hal mengerikan itu tiba-tiba terjadi."Terus sekarang ibu dokter di mana
"Alhamdulillah setelah dua Minggu Citra badannya berisi ya, Dian? Oh ya Tante ambil makanan dulu ya." Nurul menaruh Citra yang tubuhnya semakin berisi ke atas kasur, lalu ia beranjak hendak ke dapur. "Iya Tante," jawab Dian sembari menatap Citra yang tertidur pulas setelah digendong Nurul. Bagi Dian, menjadi seorang ibu adalah petulangan baru dalam hidupnya. Kini ia merasa tak ada harta yang lebih berharga selain anaknya. Pantaslah saja di luar sana banyak para ibu yang rela mengorbankan apapun demi buah hatinya. Dian menyunggingkan senyum di bibir sambil terus menatap bayinya. Tak aneh Allah menyebutkan surga berada di telapak kaki ibu, selain itu seorang ibu juga disebut tiga kali dibanding ayah oleh Rasulullah lantaran perjuangannya. Namun, seketika senyum manis itu perlahan menghilang dari bibirnya, raut wajah Dian kini nampak sendu. "Ya Allah, masihkah ada surga di telapak kaki ibuku? Ibu yang tega meninggalkan anaknya tanpa bekal apapun, bahkan hingga saat ini aku tak pern
"Kamu tenang saja Dian, saya akan bantu kamu, saya bisa pastikan Radit gak akan mengambil hak asuh Citra dari kamu."Dokter Rian berusaha menenangkan wanita di hadapannya. Sementara Dian masih tergugu dalam ketakutan. Wanita itu tahu betul kalau keluarga Radit akan melakukan segala cara dengan uang mereka."Iya Dok, aku gak rela kalau Citra harus dirawat oleh Mas Radit yang sangat tempramen," jawab Dian dengan mata berkaca-kaca.***Hari ini dokter Rian mengajak Dian dan Citra berjalan-jalan di sebuah mal. Entah apa yang tumbuh dalam hati, tetapi kini Dian mulai merasa nyaman berada di dekat lelaki itu. Namun, Dian yakin rasa nyaman ini hanya sebatas kenyamanan dari sebuah persahabatan."Masuk yuk."Dokter Rian menarik lengan Dian saat berdiri di depan toko pakaian. Wanita itu menolak lantaran tahu betul toko di depannya adalah brand bermerk yang sangat terkenal, sudah bisa dipastikan harganya mahal. Dian yang kini sudah tak memiliki banyak uang itu menggelengkan kepalanya pelan."Sa
Dian masih terpaku sembari menggenggam album foto saat dr. Rian memuji ibunya. Seketika wanita itu meremas ujung hijabnya dengan penuh kebencian.Dian tidak benar-benar lupa dengan wajah sang ibu, bayangan wanita yang melahirkannya itu hanya sekadar blur dalam otaknya, tetapi ketika sebuah foto terpampang jelas, Dian yakin bahwa orang di dalam foto itu adalah Hasna, wanita yang tega meninggalkannya sekian lama."Kalau boleh tahu, siapa nama Bunda Mas Rian?"Setelah berusaha menetralkan perasaan, Dian akhirnya bertanya pada lelaki di hadapannya, meski sangat yakin tetapi masih hinggap setitik ragu dalam dadanya."Namanya Hasna," jawab dr. Rian bangga.Mata Dian terbelalak, jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, darah seolah-olah mengalir dengan kecepatan yang sangat tinggi menuju organ pemompa itu."Kenapa?"Dokter Rian menangkap keanehan dari raut wajah Dian."Oh gak apa-apa," balas Dian sambil memaksakan senyum."Bunda adalah orang yang selalu ada saat suka dan duka. Dulu, Aya
Hasna dan anak lelakinya berlari mengejar Dian. Hari pertemuan yang dulu amat dinantikan kini berubah menjadi hari yang menyesakkan, menjadi mimpi buruk dalam hidup Dian. Setelah traumanya terhadap pernikahan sudah pulih, saat hatinya sudah yakin pada seseorang, tetapi lelaki itu justru adalah saudaranya.'Aku harus bisa menerima kenyataan. Saat ini semua sudah jelas bahwa Mas Rian adalah adikku. Kami pernah terlahir dalam rahim yang sama.'Dian bergumam dalam hati, wanita itu terus mengusap bulir bening yang kian mendesak keluar dari pelupuk matanya.'Oh Allah, baru saja aku merasakan getaran cinta lagi, kenapa harus kembali pupus karena kekecewaan?'Dian membatin sambil terus menyeka air matanya. Jarak antara Hasna dan Dian sudah dekat, tetapi wanita itu sudah memberhentikan taksi lalu masuk.Di dalam taksi, Dian melihat bagaimana Hasna mengejarnya sembari meraung, tetapi hati Dian yang sudah banyak menanggung kekecewaan hampir tak bisa lagi merasa iba pada wanita yang ia anggap me
Sudah beberapa Minggu ini Dian tak lagi berhubungan dengan dr. Rian. Lelaki itu masih sering menghubunginya, tetapi Dian selalu mengabaikan.Jauh dalam hati Dian sama sekali tak marah pada dr. Rian. Ia hanya ingin menenangkan diri dan bisa melupakan perasaannya pada lelaki itu."Kamu yakin mau pergi?"Damar meyakinkan Dian yang sudah siap dengan kopernya. Sambil menggendong Citra wanita itu hendak memasuki taksi, sementara Nurul masih terus menangis, tak rela berpisah dengan wanita yang sudah ia anggap seperti anak sendiri."InsyaAllah ini yang terbaik, kalau tetap di sini, aku khawatir ibu dan Mas Rian akan terus mengunjungi."Dian menahan air mata agar tak tumpah, hampir satu tahun tinggal bersama Damar dan Nurul membuat ikatan batin di antara mereka begitu kuat. Sehingga, saat hendak kembali berpisah terasa begitu berat.Dian memutuskan untuk pergi sementara dari rumah Nurul. Wanita itu akan tinggal di sebuah rumah milik temannya untuk menenangkan diri.Dengan sisa uang yang ada, D
Dian hanya diam, wanita itu enggan berbicara, ia takut jika berbicara hanya akan menyakiti perasaan masing-masing karena wanita itu sadar diri belum bisa mengelola emosinya dengan baik."Dian, Ibu salah karena sudah menelantarkan kamu, ibu minta maaf. Tapi, Ibu gak pernah berniat untuk itu. Dulu, saat kamu merengek ingin ikut ibu ke kota, saat itu ibu hanya menjadi seorang asisten rumah tangga. Ibu pikir kamu akan lebih baik tinggal sama Nenek dan Tante Indira, Ibu sudah memberikan hampir seluruh gaji ibu pada Indira untuk biaya hidup kamu, hidup di perantauan tidak memungkinkan untuk ibu pulang setiap waktu ...."Hasna menunduk saat menjelaskan alasan, wanita itu tak berani menatap mata putrinya, putri yang jauh dalam hati sangat ia rindukan.Dian mengangkat kepala mendengar perkataan Hasna, hatinya sedikit tersentuh, matanya kini berkaca-kaca."Sejak kapan Ibu menitipkan uang sama Tante Indira? Bahkan dia bilang ibu gak pernah mengirim uang. Apa Ibu tahu, karena hal itu aku sering g
Beberapa bulan sebelumnya ... "Raya, kamu pasti kuat sayang."Radit menggenggam tangan Raya erat saat wanita itu kesakitan menahan kontraksi."Ya Allah, kenapa harus prematur?"Ajeng, mertua Raya mondar mandir tak karuan menunggu kelahiran sang cucu yang sangat dinantikannya.Wanita itu berharap anak yang dilahirkan Raya adalah laki-laki agar menjadi penerus perusahaan mendiang suaminya."Aku gak kuat, Mas."Raya menangis, wajahnya basah karena peluh yang membanjiri kepala."Dokter Rian mana? Operasi saja, kasihan istri saya," pinta Radit pada perawat."Dokter Rian masih di perjalanan, Pak. Sebentar lagi datang, kami akan menghubunginya sebentar ya, Pak," tutur perawat sambil beranjak pergi.Pembukaan jalan lahir Raya belum lengkap, tetapi wanita itu sudah kehabisan tenaga lantaran banyak menjerit, menangis, berteriak dan marah-marah tak karuan. Padahal, perawat sudah menyuruhnya tenang, tetapi Raya justru semakin marah."Baik Pak, kalau begitu silakan Bapak urus berkas-berkas perset
"Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa
"Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba
Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be
Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d
"Aku sakit karena membaca surat kamu sama Maira," jawab Citra, bukannya sedih, gadis itu justru tertawa mengingat kekonyolannya. Namun, tidak bagi Boy, ia justru semakin merasa bersalah dan menyadari betapa besar cinta sang istri padanya."Iya kah?" tanya Boy."Iya, kamu tahu gak, kamu adalah orang pertama yang aku cintai."Citra melanjutkan perjalanan, sementara Boy terus menatapnya dengan perasaan kagum juga bahagia."Aku berasa terbang karena dicintai begitu dalam," jawab Boy sembari tertawa. Lelaki itupun meraih kembali jemari Citra dan menuntunnya keluar dari area makam.Setelah sampai di parkiran, Boy meraih helm dan membantu Citra mengenakannya."Aku juga bisa pakai sendiri," tolak Citra, tetapi tak dipungkiri hatinya meleleh dengan perlakuan Boy yang begitu manis."Gak apa-apa, kamu cantik kalau pakai helm," puji Boy sembari menepuk-nepuk benda penutup kepala itu lembut."Ya sudah, sekarang kita cari masjid dulu yuk, habis itu kita makan, aku laper," ajak Citra."Ayok," balas
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu