Hasna dan anak lelakinya berlari mengejar Dian. Hari pertemuan yang dulu amat dinantikan kini berubah menjadi hari yang menyesakkan, menjadi mimpi buruk dalam hidup Dian. Setelah traumanya terhadap pernikahan sudah pulih, saat hatinya sudah yakin pada seseorang, tetapi lelaki itu justru adalah saudaranya.'Aku harus bisa menerima kenyataan. Saat ini semua sudah jelas bahwa Mas Rian adalah adikku. Kami pernah terlahir dalam rahim yang sama.'Dian bergumam dalam hati, wanita itu terus mengusap bulir bening yang kian mendesak keluar dari pelupuk matanya.'Oh Allah, baru saja aku merasakan getaran cinta lagi, kenapa harus kembali pupus karena kekecewaan?'Dian membatin sambil terus menyeka air matanya. Jarak antara Hasna dan Dian sudah dekat, tetapi wanita itu sudah memberhentikan taksi lalu masuk.Di dalam taksi, Dian melihat bagaimana Hasna mengejarnya sembari meraung, tetapi hati Dian yang sudah banyak menanggung kekecewaan hampir tak bisa lagi merasa iba pada wanita yang ia anggap me
Sudah beberapa Minggu ini Dian tak lagi berhubungan dengan dr. Rian. Lelaki itu masih sering menghubunginya, tetapi Dian selalu mengabaikan.Jauh dalam hati Dian sama sekali tak marah pada dr. Rian. Ia hanya ingin menenangkan diri dan bisa melupakan perasaannya pada lelaki itu."Kamu yakin mau pergi?"Damar meyakinkan Dian yang sudah siap dengan kopernya. Sambil menggendong Citra wanita itu hendak memasuki taksi, sementara Nurul masih terus menangis, tak rela berpisah dengan wanita yang sudah ia anggap seperti anak sendiri."InsyaAllah ini yang terbaik, kalau tetap di sini, aku khawatir ibu dan Mas Rian akan terus mengunjungi."Dian menahan air mata agar tak tumpah, hampir satu tahun tinggal bersama Damar dan Nurul membuat ikatan batin di antara mereka begitu kuat. Sehingga, saat hendak kembali berpisah terasa begitu berat.Dian memutuskan untuk pergi sementara dari rumah Nurul. Wanita itu akan tinggal di sebuah rumah milik temannya untuk menenangkan diri.Dengan sisa uang yang ada, D
Dian hanya diam, wanita itu enggan berbicara, ia takut jika berbicara hanya akan menyakiti perasaan masing-masing karena wanita itu sadar diri belum bisa mengelola emosinya dengan baik."Dian, Ibu salah karena sudah menelantarkan kamu, ibu minta maaf. Tapi, Ibu gak pernah berniat untuk itu. Dulu, saat kamu merengek ingin ikut ibu ke kota, saat itu ibu hanya menjadi seorang asisten rumah tangga. Ibu pikir kamu akan lebih baik tinggal sama Nenek dan Tante Indira, Ibu sudah memberikan hampir seluruh gaji ibu pada Indira untuk biaya hidup kamu, hidup di perantauan tidak memungkinkan untuk ibu pulang setiap waktu ...."Hasna menunduk saat menjelaskan alasan, wanita itu tak berani menatap mata putrinya, putri yang jauh dalam hati sangat ia rindukan.Dian mengangkat kepala mendengar perkataan Hasna, hatinya sedikit tersentuh, matanya kini berkaca-kaca."Sejak kapan Ibu menitipkan uang sama Tante Indira? Bahkan dia bilang ibu gak pernah mengirim uang. Apa Ibu tahu, karena hal itu aku sering g
Beberapa bulan sebelumnya ... "Raya, kamu pasti kuat sayang."Radit menggenggam tangan Raya erat saat wanita itu kesakitan menahan kontraksi."Ya Allah, kenapa harus prematur?"Ajeng, mertua Raya mondar mandir tak karuan menunggu kelahiran sang cucu yang sangat dinantikannya.Wanita itu berharap anak yang dilahirkan Raya adalah laki-laki agar menjadi penerus perusahaan mendiang suaminya."Aku gak kuat, Mas."Raya menangis, wajahnya basah karena peluh yang membanjiri kepala."Dokter Rian mana? Operasi saja, kasihan istri saya," pinta Radit pada perawat."Dokter Rian masih di perjalanan, Pak. Sebentar lagi datang, kami akan menghubunginya sebentar ya, Pak," tutur perawat sambil beranjak pergi.Pembukaan jalan lahir Raya belum lengkap, tetapi wanita itu sudah kehabisan tenaga lantaran banyak menjerit, menangis, berteriak dan marah-marah tak karuan. Padahal, perawat sudah menyuruhnya tenang, tetapi Raya justru semakin marah."Baik Pak, kalau begitu silakan Bapak urus berkas-berkas perset
Di kantor polisi, Indira menjenguk Raya dengan membawa sang cucu. Melihat putrinya, hati Raya kian hangat. "Maira sayang."Raya langsung meraih dan mencium kening putrinya yang hampir berusia setahun. Bayi itu hanya beda usia dua bulan saja dengan Citra, si kecil itu sangat cantik, wajahnya mirip dengan Erlangga."Ma ... Ma ... Ma ...."Maira terus mengoceh sembari menggigit tangannya, membuat hati Raya kian teriris perih. Pun Indira, air matanya mengalir deras melihat kemalangan cucu dan anaknya."Maafkan Mama ya, sayang."Raya terus menciumi pipi Maira, tetapi sesekali tatapan wanita itu nampak kosong."Kamu kenapa bisa ceroboh, Raya?"Indira bertanya sambil terus menangis, wanita itu kesal, kecewa, sedih dan marah karena anaknya tengah ditahan di kantor polisi dengan meninggalkan sang cucu yang masih balita."Aku gak sengaja Bun, tapi sejujurnya aku gak mau hidup semakin susah. Aku cuma minta Erlangga bertanggung jawab atas Maira, setelah Mas Radit tahu semuanya, kita dibuang bag
Melihat wajah sang kakak yang nampak modis dan elegan, seketika Indira teringat bayangan masa-masa yang membuatnya begitu benci pada Hasna. .Puluhan tahun lalu ...."Indira, sudah berapa kali Bapak katakan, kamu jangan sering pulang malam, contohlah Mbak mu itu. Malu Bapak ini, setiap hari pulang malam dengan lain lelaki."Indira baru saja pulang dengan mengendap-endap di kegelapan. Wanita itu seketika terkejut saat lampu dinyalakan oleh bapaknya yang tengah menunggu di kamar dengan kemarahan yang memuncak."Mbak Hasna lagi, Mbak Hasna lagi, kenapa sih Bapak selalu saja bandingkan aku sama dia?"Indira membalas dengan lantang perkataan bapaknya, suaranya kian meninggi. Wanita itu jengah selalu dibandingkan dengan Hasna, Indira kesal karena sangat kakak selalu lebih unggul darinya, karena itu dirinya semakin hari semakin bertambah kebenciannya pada Hasna."Dengar Indira, kamu itu perempuan dan harus jaga diri. Bapak gak mau kamu sampai menoreh aib di keluarga kita."Soleh, sang ayah m
Sepulangnya Indira, suasana kini nampak haru, terlebih saat Nurul memeluk Dian dan Citra penuh kerinduan."Citra cantik, ketemu lagi sama Oma ya, Oma kangen bangeeeet."Nurul menggendong Citra yang usianya sudah lebih dari satu tahun itu, bobotnya semakin bertambah sehingga Nurul sedikit kesulitan saat mengangkat gadis kecil kesayangannya.Wanita itu menciumi pipi Citra yang gembul tanpa henti, membuat Dian begitu haru lantaran banyak curahan kasih sayang untuk sang putri."Hasna, silakan duduk."Damar berbicara dengan nada yang sedikit ketus, tak dipungkiri lelaki itu masih sedikit kecewa dengan Hasna yang tega menelantarkan anak kandungnya.Nurul dan Dian menangkap raut ketus itu, tetapi mereka berusaha tetap diam dan tenang, sementara Hasna menunduk, wanita itu merasa bersalah pada lelaki yang sudah dianggap sebagai kakaknya itu."Kang Damar, Teh Nurul terima kasih sudah menyayangi Dian seperti anak kalian sendiri," kata Hasna dengan mata berkaca-kaca."Gak perlu dipikirkan Hasna,
Indira tengah berjalan di trotoar, tetapi pikirannya melayang jauh pada percakapannya dengan Damar sesaat sebelum kedatangan Hasna tempo hari. "Maaf Indira, tapi saya rasa Rudi juga gak bisa bantu dalam hal ini."Damar menyesap kopi, jauh dalam hatinya lelaki itu tak tega melihat kesusahan Indira, terlebih saat ini Raya memiliki anak yang masih membutuhkannya, tetapi Damar sadar, Raya harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya."Saya mohon Kang, untuk kali ini saja, tolong bantu Raya, coba saja Kang Damar sama Teh Nurul bilang dulu sama Rudi, bisa gak bantu bebaskan Raya dari kasus ini."Indira memohon pada kerabatnya itu, Rudi adalah suami Rara, anak semata wayang Damar dan Nurul yang berada di Kalimantan, Rudi bekerja sebagai pengacara."Saya gak bisa memastikan, tapi coba kamu tanya sendiri sama Rudi. Maaf, saya gak bisa bantu kamu, Indira," tolak Damar. Suara klakson mobil menyadarkan Indira dari penolakan Damar dan Nurul beberapa waktu lalu.Indira terus melangkah menyusu
"Sayang."Beni menghampiri Nengsih yang masih tersedu-sedu. Air mata wanita itu sulit terhenti. Hatinya masih saja nyeri membayangkan masalah yang menimpa keluarganya."Hmmm."Nengsih hanya berdehem, setelah jarak suaminya dekat, ia pun justru mengalihkan pandangan. Kondisi mood sedang buruk lantaran tengah premenstrual syndrom. Sehingga, hormonnya sangat berpengaruh terhadap masalah yang tengah dihadapi.Biasanya, Nengsih akan berpikir rasional. Namun, entah mengapa kali ini seakan-akan ia membenarkan ucapan Abizar bahwa semua yang terjadi antara keluarganya dengan keluarga Tiara disebabkan oleh pengkhianatan suaminya.Beni yang lelah, lantas mencoba diam, lelaki itu mencerna sikap istrinya kemudian instrospeksi diri. Namun, setelah diperhatikan sekian lama ia baru peka bahwa istrinya tengah mengalami mood swing. Sehingga, ia memeluk istrinya dari belakang, tak peduli Nengsih mengamuk, ia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat mencintai sang istri dibandingkan orang lain."Apaa
"Ya udah, sambil nunggu Kak Citra masuk aja dulu, yuk."Kedua insan itu lantas masuk ke rumah Dian. Di dalam, Abizar langsung disambut hangat oleh Dian."Abizar, apa kabar?" tanya Dian begitu pandangannya bersitatap dengan putra kedua Beni."Alhamdulillah, aku sehat Tante, Tante Dian apa kabar?"Abizar meraih tangan Dian lalu menciumnya takzim. Lelaki itu kemudian duduk di sofa, sementara Syadea pergi ke dapur untuk mengambilkan jamuan untuk sahabatnya."Katanya mau berangkat siang, ini masih pagi, lho," ujar Dian, ia menoleh ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sembilan.Belum sempat Abizar menjawab, Syadea yang baru kembali dari dapur sembari membawa air dan kudapan itu menyahut."Biasa Ma, dia gak sabar," ujar Syadea dengan menaikkan sebelah alisnya.Dian tersenyum, wanita itu kemudian menganggukkan kepala dan pergi ke halaman rumah untuk mengurus semua tanaman hias kesayangannya.Setelah Dian berlalu, wajah Abizar kembali pias kala mengingat sang ayah. Rasa kecewa kemba
Beni mengejar istrinya yang tengah dikuasai emosi. Lelaki itu tahu betul bukan seperti ini karakter Nengsih. Namun, ia pun memaklumi apa yang dirasakan sang istri."Sayang, tunggu!"Beni menyeru istrinya yang baru saja membuka pintu kamar. Sedangkan Nengsih yang baru saja memutar kenop pintu itu menghentikan langkahnya sejenak. Wanita itu terisak, kemudian menyeka air mata yang berkejaran di pipinya.Melihat butiran kristal yang terus meluruh dari manik belahan jiwanya, Beni lantas memeluk sang istri erat. Ia tak mengatakan apapun meski ada yang ingin dikatakan.Beni memilih untuk membiarkan Nengsih mengekspresikan perasaannya. Sedih, marah, kecewa adalah rasa yang sangat manusiawi. Sebaik apapun sang istri, lelaki itu sadar wanitanya bukanlah malaikat. Sama seperti dirinya, kendatipun sudah berusaha menjadi orang baik, tetap saja ia selalu melakukan kesalahan."Mungkin benar kata Abizar, aku yang membuat semua jadi begini, andai aku gak menikahi Tiara untuk membantunya, andai aku jug
Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Asih, Beni dan istrinya lantas saling pandang. kedua insan itu mengerutkan dahi sebab rasa penasaran."Maksud Bu Asih?" tanya Nengsih tak mengerti.Begitupun dengan Beni, ia menatap mata mantan mertuanya penuh selidik. Entah, lelaki itu merasa ada makna tersirat dari kalimat yang diucapkan oleh Asih.Tak langsung menjawab, Asih justru menangis semakin kencang hingga membuat Abizar yang sebelumnya tak peduli dengan tamu kedua orang tuanya pun ikut menghampiri."Ma, Pa, ada apa?" tanya Abizar setengah berlari, ia takut ada orang kesurupan di rumahnya mengingat sang ibu pernah diganggu makhluk halus."Ssst, gak ada apa-apa," jawab Beni dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.Namun, bukannya pergi, Abizar justru tertarik ingin mendengar obrolan mereka. Sehingga, lelaki kelas tiga sekolah menengah atas itu duduk di kursi lainnya yang kosong.Asih yang tengah menangis tak memedulikan kehadiran putra Beni, ia tak lagi malu untuk mengemis maaf."Be
Alarm berbunyi di pukul empat pagi. Sehingga, membuat Citra dan suaminya terperanjat. Boy yang masih merasa lelah itupun meraih ponsel di atas meja, kemudian ia mematikan alarmnya. Namun, bukannya bangkit, lelaki itu justru merebahkan lagi kepalanya ke atas bantal."Kok tidur lagi?"Citra yang juga terbangun karena mendengar alarm lantas menoleh ke arah suaminya. Tubuh keduanya masih polos dan hanya ditutupi oleh selimut saja."Masih ngantuk," jawab Boy dengan suara parau. Matanya seakan-akan sulit terbuka karena rasa lelahnya."Ish, bangun yuk, sebentar lagi kan subuh," ajak Citra.Wanita yang baru saja melepas kegadisannya itu bangkit kemudian duduk di samping Boy, ia menutup dadanya dengan selimut yang dikenakan."Hufft, ayo."Meskipun masih terasa lelah karena pertarungan semalam, tetapi Boy masih selalu ingat dengan kewajibannya. Kendatipun mengantuk dan kerap dihantui rasa malas, tetapi ia selalu bangun untuk bersih-bersih sebelum subuh.Lelaki itu lantas ikut bangkit lalu menci
"Kamu siap, gak?" tanya Boy.Lelaki itu berbisik di daun telinga sang istri dengan suara lembut dan berat. Sementara Citra hanya mengangguk dengan wajah tersipu."Tapi kita harus berdoa dulu," ujar Citra.Ia hampir tak berani melihat mata suaminya sebab malu, takut dan gelisah terus menghantuinya. Namun, tak dipungkiri ia pun sangat menginginkan malam ini."Iya, aku tahu, yuk kita berdoa dulu," jawab Boy.Keduanya saling melempar senyum, kemudian melafalkan doa sebelum berhubungan. Keduanya berharap semoga setelah malam ini akan lahir keturunan yang sholeh dan sholehah.Namun, setelah berdoa keduanya justru merasa kaku dan malu. Citra bingung begitupun Boy, sehingga lelaki dengan janggut tipis itu menggaruk-garuk kepala sebab salah tingkah yang membuat keduanya tertawa.Tak ingin gagal, Boy yang sangat senang dengan bibir istrinya lantas kembali melabuhkannya di sana. Pun Citra, ia sudah merasa terbiasa sehingga tak lagi malu seperti saat pertama menikah.Lama Boy memainkan bibirnya d
"Aku sakit karena membaca surat kamu sama Maira," jawab Citra, bukannya sedih, gadis itu justru tertawa mengingat kekonyolannya. Namun, tidak bagi Boy, ia justru semakin merasa bersalah dan menyadari betapa besar cinta sang istri padanya."Iya kah?" tanya Boy."Iya, kamu tahu gak, kamu adalah orang pertama yang aku cintai."Citra melanjutkan perjalanan, sementara Boy terus menatapnya dengan perasaan kagum juga bahagia."Aku berasa terbang karena dicintai begitu dalam," jawab Boy sembari tertawa. Lelaki itupun meraih kembali jemari Citra dan menuntunnya keluar dari area makam.Setelah sampai di parkiran, Boy meraih helm dan membantu Citra mengenakannya."Aku juga bisa pakai sendiri," tolak Citra, tetapi tak dipungkiri hatinya meleleh dengan perlakuan Boy yang begitu manis."Gak apa-apa, kamu cantik kalau pakai helm," puji Boy sembari menepuk-nepuk benda penutup kepala itu lembut."Ya sudah, sekarang kita cari masjid dulu yuk, habis itu kita makan, aku laper," ajak Citra."Ayok," balas
"Kak Farel, ada Oma sama Opa."Maira berbisik di telinga suaminya. Ia malu sebab ketahuan bermesraan di dapur. Sehingga, keduanya yang tengah berhadapan dengan jarak yang sangat dekat itu lantas menjauh."Gak usah malu, justru kita senang ya, Mas," ujar Indira pada suaminya.kedua pasangan berusia lanjut itu saling melempar senyum. Indira tanpa ragu menggandeng lengan suaminya di hadapan pengantin baru itu."Iya, gak apa-apa, jangan kalah sama kita yang udah tua," sahut Adi sembari tertawa kemudian berlalu meninggalkan Maira dan suaminya di sana.Saat langkah Adi menjauh, Farel masih tersenyum lebar. Ia sangat bahagia karena melihat keromantisan nenek dan kakek Maira meski sudah berusia lanjut."Oma sama Opa romantis banget, ya. Pasti dulu mereka saling mencintai," puji Farel saat kedua orang yang merawat istrinya pergi."Enggak, justru di masa lalu mereka pernah bercerai. Bahkan, kehadiran Mama pun belum bisa membuat Oma mencintai suaminya," balas Maira."Yang benar?"Farel terkejut,
Di rumah Indira, Maira tengah memasak untuk sarapan. Sementara nenek dan kakeknya tengah berjalan-jalan pagi. Mereka sadar sudah tak muda lagi dan harus memerhatikan kesehatan agar tak menjadi pesakitan."Masak apa?"Farel yang baru saja keluar kamar itu menghampiri sang istri, ia memeluk Maira dari belakang sehingga membuat istrinya sedikit terkejut."Eh, aku masak nasi goreng buat sarapan," jawab Maira.Wanita itu membiarkan tangan suaminya melingkar di pinggang. Sehingga, Maira bisa merasakan kehangatan di punggungnya yang menempel dengan dada Farel."Baunya enak," puji Farel.Melihat rambut Maira yang diikat ke belakang dan menampilkan leher jenjang membuat kecantikan wanita itu kian paripurna. Sehingga, membuat Farel semakin senang bermanja-manja dengannya."Oh ya, hari ini mau temani aku ke kantor, enggak?" tanya Maira.Saat libur kuliah, ia memang sering menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan Mega. Maira yang memang mengambil jurusan manajemen dan administrasi bisnis itu