Dua puluh ribu tahun berlalu.
Mikaila. Seorang pelayan yang bertugas menjaga kebun di perbatasan istana ditertawakan teman sesama pelayan akibat salah mengambil bibit buah.
"Plum dan peach adalah buah yang sama, Mika." Nona Rachel berbicara. Tangannya menimang-nimang sebiji anggur. Hasil yang ia petik dari kebun istana dan memakannya. Manis. Nona Rachel tersenyum senang.
Di tempat ini, perbatasan istana yang dekat dengan danau kehidupan adalah lokasi ragam tumbuhan tumbuh. Mulai dari tanaman obat, hias, juga buah-buahan. Semua diatur oleh Nona Rachel sebagai pengamat.
Kalau di dunia manusia. Rachel adalah mandor dan Mika adalah tukang kebun.
"Cari lagi. Kau harus mempelajari banyak tanaman untuk bisa menjaga tempat ini sepenuhnya."
"Anda sungguh akan berkelana Nona Rachel? Kurasa aku masih terlalu payah mengingat ribuan tanaman di tempat ini."
"Masaku sudah tiba, Mikaila. Tugasku menyebar benih baru di dunia manusia, memperbaharui semua anugrah yang diturunkan khayangan. Akhir-akhir ini banyak terjadi kerusakkan." Nona Rachel menghela napas. "Manusia terlalu serakah sehingga menyebabkan kerusakkan dimana-mana."
"Kapan anda akan kembali?" Mika bertanya buru-buru.
Dewi itu tersenyum manis, memegang bahu Mika untuk menenangkan. "Aku bahkan belum berangkat, tapi kau sudah menanyakan kepulanganku. Bukankah kita sudah membicarakan ini?"
"Tapi." Mika menggigit bibirnya. Teringat kejadian tempo hari saat ia dirundung oleh peri istana bagian tengah. Dia tak yakin bisa bertahan tanpa bantuan Nona Rachel.
"Sudahlah. Kau tidak akan berkembang jika terus bergantung padaku. Sekarang telusuri seluruh wilayah luar istana. Jangan terlalu jauh, ingatanmu pendek, kau akan tersesat kalau melampaui batas."
Mika mengangguk. Kembali membawa keranjang kecil miliknya dan berjalan keluar dari kuil menuju perbatasan.
Seperti apa yang dia takutkan. Belum lama berjalan, mata peri tingkat rendah itu bertemu pandang dengan sekelompok peri kompleks istana tengah. Sedang berkumpul saling mengobrol riang.
Langkah Mika terjeda. Cepat dia menunduk bersembunyi di balik pohon yang dia sendiri juga lupa apa nama pohonnya.
Sayup-sayup obrolan rombongan peri yang suka menjahili Mika tetangkap indra pendengaran.
"Mika anak asuh Nona Rachel?"
"Iya, yang kemarin tercebur di danau karena dikejar oleh Dura, peliharaan penjaga."
"Kau melepaskan Dura?"
Peri itu itu tergelak pelan. "Iya, soalnya dia menyimpan lukisan Dewa Chani. Berkata kalau suatu hari nanti mereka akan menikah."
"Hah! Omong kosong macam apa itu."
"Iya, 'kan. Dia tidak bisa menempatkan diri sendiri, Bagaimana mungkin tukang kebun bisa berakhir dengan pangeran khayangan. Penerus tahta kerajaan dunia atas. Itu memuakkan."
"Sudah lemah, suka berkhayal." Mereka tertawa-tawa.
Lara hati Mika mendengarnya. Dia beringsut mundur. Karena kurang hati-hati, Mika tak sengaja menginjak gaunnya sendiri. Gadis itu jatuh terduduk. menganduh kecang yang tentu saja menyebabkan persembunyiannya ketahuan.
Tak ingin dikejar oleh Dura lagi. Secepat kilat Mika berlari. Aksinya yang kadung ketahuan menarik perhatian para peri. Mereka serentak mengejar Mika yang mencoba kabur.
"Hey, berhenti di sana. Jangan lari."
"Ah, gawat." Mika bermonolog. Panik menyelimuti sampai ujung jemari tangan. Dia mendorong tubuh melesat terbang secepat yang ia mampu.
Menerobos kebun istana yang luas tanpa berani menoleh ke belakang.
Tidak lagi, sudah cukup kemarin ia dipermalukan. Ingatan menyakitkan itu bahkan masih segar tertanam dalam ingatan.
Mika terus saja menciptakan jarak. Sembari merasa sedih atas apa yang dia dengar.
Dirinya memang lemah, kurang berbakat, dan juga bodoh. Tapi apa salahnya menyukai Dewa Chani. Toh, semua orang di istana ini menyukai sosok pewaris kerajaan langit itu. Dewa Chani baik pada siapa pun, bahkan terhadap dirinya yang hanya peri kelas rendah.
Mika menggerutu. Masalah kepergian Nona Rachel sudah menyakiti hati, sekarang ditambah dengan perundungan yang ia terima.
Apa dosanya sampai-sampai harus diperlakukan seperti ini?
Tanpa disadari. Lamunan Mika mengantarkan peri lemah itu menuju sebuah lembah yang sudah jauh di luar batas yang diizinkan.
Mika berhenti. Memandang sejenak lingkungan tempat dirinya berada. "Ini dimana, ya?"
Pepohonan aneh tumbuh berbaris-baris. Batang-batangnya sebesar lima rentangan tangan orang dewasa. Daun cerah dengan warna-warni pelangi. Sangat menghipnotis bagi penjelajah baru seperti Mika untuk masuk lebih dalam.
"Wow, hutan ini indah. Aku baru tahu kalau ada tempat seperti ini," katanya.
Suara pekik riang tercipta oleh bibir. Mika bersorak riang kala menemukan semak dengan ragam berry yang sangat gemuk-gemuk.
Insting tukang kebunnya geli ingin memetik. Tak menunggu waktu, Mika langsung menghampiri semak itu dan mengupulkan semua buahnya.
Setelah cukup. Ia kembali berjalan ke depan. Barang kali ada lebih banyak berry di dalam. Dia bersiul melangka riang.
Namun semakin jauh, bukannya semakin indah. Ternyata tempat ini justru semakin mencekam. Hutan-hutan yang tadinya menawarkan keindahan berubah dipenuhi hawa misteri.
Matahari sudah jatuh. Menyisakan semburat kuning yang sebentar lagi akan hilang.
Mika berbalik ingin kembali. Dia sadar dirinya tersesat. Namun, baru saja akan melangkah. Sebuah suara aneh mengejutkan jantung dan membuat Mika lari terbirit-birit.
Mungkinkah hewan buas? Bagaimana ini? Mika tak bisa bertarung, dia hanya tukang kebun, bukan tukang gulat.
Tak jadi pulang. Niat Mika sepenuhnya berganti mencari tempat persembunyian. Sampai sebuah kuil kuno dengan lambang rubah kembar di gardu depan. Mika segera masuk bersembunyi.
Dia mengatup dua tangannya menyembah. "Dewa apa pun kau. Aku mohon tempat berlindung sebentar," katanya.
Di sisi lain. Belasan petinggi istana datang ke tempat itu. Termasuk Chani salah satunya. Mereka berhenti memandang daerah sekitar.
"Malam ini bulan merah sepenuhnya bersinar. Segel dewa kegelapan akan melemah. Maka dari itu, kita harus memperkuatnya," kata salah satu rombongan.
Dewa Chani mengamat lamat-lamat. Memandang patung-patung rubah yang menjadi penguat kurungan. Sudah puluhan ribu tahun lama sejak kejadian itu. Ingatan soal perang masa lalu sepintas mampir dalam ingatannya.
Tak mau menunggu lama. Mereka segera membentuk formasi. Masing-masing mulai mengeluarkan sihir untuk memperkuat pola segel.
Terasa inti jiwa dari dewa kegelapan memberontak. Menghantam dinding-dinding dimensi yang membuat rombongan elit khayangan cukup kewalahan.
"Sepertinya waktu sama sekali tidak memperlemah makhluk itu. Dia sangat berbahaya kalau sampai bebas. Maka dari itu, kerahkan semua kekuatan kalian untuk mengekang pergolakkan energinya," perintah Dewa Chani.
"Baik, Tuan."
Sementara Mika sendiri di dalam kuil dibuat bingung dengan lingkaran portal hitam yang terbentuk.
Rasa penasaran menggelitik. Mika tak dapat menahan diri untuk mendekat. Begitu tangannya terjulur, peri itu langsung terhisap masuk ke dalam dimensi dimana pengokohan segel sedang dilaksanakan.
Pekikan Mika terlepas. Tubuhnya tergulung-gulung oleh dinding dimensi waktu. Sampai akhirnya ia terjatuh di sebuah tempat yang dipenuhi kegelapan.
Mika mengaduh, nyeri menyapa tulang. Mata peri lemah itu menyipit kala menemukan sebuah pohon yang menaungi tubuh laki-laki dewasa yang berdiri membelakangi.
"Siapa?"
Sosok yang dibicarakan menoleh cepat.
Merambat ngeri yang menggetarkan badan. Mika ingin kabur, tapi tempat ini tak memiliki apa pun untuk bersembunyi.
Di serang rasa takut, peri kelas rendah itu nekat berbalik ingin lari, tetapi sosok yang dihindari tahu-tahu sudah ada di hadapan. Mika tertangkap dan lehernya dicekik.
"Kau ... siapa?" Suara sosok itu begitu dingin dan menyeramkan.
Ketakutan yang pekat memeluk Mika. Tubuhnya perlahan terangkat ke atas, sementara kaki menendang udara. "Akh, lepaskan aku."
Sosok itu memiringkan kepala, menatap lamat wajah peri kelas rendah di hadapannya.
"Katakan apa tujuanmu? Bagaimana kau bisa masuk kemari?"
Mika menggeleng. Bagaimana bisa menjawab kalau lehernya dicekik. Dia memberontak, terus menendang-nendang udara.
Sosok itu berniat ingin membebaskan Mika, tetapi akibat rontaan yang membabi buta. Orientasi menjadi goyah, sehingga saat cekikkan terlepas, Mika jatuh ke depan menimpa sosok di hadapannya.
Tubuh mereka berimpitan, Mika berada di atas dan sosok itu di bawah. Dengan bibir keduanya yang saling menempel satu sama lain.
Mereka berciuman.
"Menjauh dariku," teriak salah satu dari mereka. Seharusnya kalimat itu diucapkan oleh Mikaila, tetapi aneh karena justru ia dapati suara cemprengnya berubah menjadi suara laki-laki dewasa yang berat. "Ah, apa yang terjadi pada suaraku? Hallo? Tes, satu, dua."Dua matanya membola, menutup bibir sendiri karena sensasi terkejut. "Apa aku sakit tenggorokkan?"Sementara sosok yang ia kenali sebagai dirinya, berada di atas, menahan bobot tubuh menaungi Mikaila yang berada di bawah."Siapa kau?""Aku Griffin, dewa kegelapan.""Dewa kejahatan? Kau penjahat ya, ternyata. Kenapa kau jadi aku dan aku jadi kau?" Lelaki yang baru memperkenalkan diri sebagai Dewa kegelapan itu ingin membetulkan julukan yang diberi Mika, tetapi terlalu malas. Bukan itu sekarang yang penting, tetapi penyebab kenapa tubuh mereka saling bertukar. Mika menjadi lelaki misterius penghuni tempat aneh, dan sebaliknya, lelaki itu menempati raga Mika.Histeria menyergap jiwa. Mika kembali memekik kencang. Matanya belingsat
Bola gas pijar raksasa merangkak naik ke permukaan. Cahaya menerabas gelap dan menyelubungi seluruh dunia atas dengan kehangatan. Mikaila baru saja terjaga dari tidur. Kejadian kemarin masih membekas dalam ingatan. Peri itu bertekad, apa pun yang ia alami di hutan terlarang akan ditelan bulat-bulat tanpa memberitahu orang lain.Sekarang, Mika resmi menjadi penghuni tunggal daerah kebun istana. Nona Rachel telah pergi, dia meninggalkan surat pamit di atas meja untuk Mika. Surat yang berisi perintah untuk menjaga kuil selama Nona Rachel tidak ada.Mika merasa kehilangan, tetapi tak ada yang bisa dilakukan untuk menutupi itu.Jadi hari ini, peri itu mengunjungi kawan lama di daerah barat dunia atas, sebuah distrik hiburan. Tempat dimana manusia dan makhluk astral lain bersatu untuk melakukan transaksi jual beli atau sekedar mencari kesenangan. Baik itu perbudakan, senjata ilegal, pelacuran, ramuan sihir, dan lainnya.Meski berbahaya, wilayah ini diizinkan untuk ada. Pemerintah khayanga
Suasana mencekam menyelimuti. Semua jiwa yang menyaksikan peristiwa itu dilanda kegugupan.Elena, pemimpin para siluman tersentak mundur. Sementara para prajurit yang mengelilingi terhempas beberapa meter.Griffin bahkan belum melemparkan bola hitam kumpulan api neraka di tangannya. Hanya sekedar hawa saja, tetapi sudah mampu membuat kehebohan.Dewa kegelapan itu berdiri perlahan, mengangkat kepala congkak dengan Mika yang terkulai lemas dalam pelukannya. "Kau? Siapa kau? Berani-beraninya kau masuk ke tempat ini?"Pandangan Griffin pekat mencemooh. "Kau sungguh ingin tahu siapa aku?" Dia menyapu pandangan. Untuk ukuran begundal lemah seperti ini bukanlah apa-apa baginya. Dewa kegelapan itu melepaskan bola api. Hawa panas yang mendebarkan langsung mengubah semua yang di depan menjadi abu tak tersisa.Pengaruh tak hanya mencakup di dalam istana, tetapi menembus keluar hingga membuat kerusuhan besar-besaran terjadi. Siapa sebenarnya orang ini?Elena yang melihat itu menjadi panik, dia
Gelap. Hanya satu kata itu saja yang dapat mewakili dari semua pemandangan yang saat ini sedang berada di hadapan Griffin.Selepas terbebas dari kuil yang memenjarakannya selama puluhan ribu tahun. Tempat pertama yang siluman rubah itu kunjungi adalah tempat di mana panglima perangnya berada. Seseorang yang bisa membantunya untuk melancarkan rencana pembalasan dendam.Angin diam-diam mendesau. Menebar hawa dingin dan mencekam bagi satu-satunya peziarah pada makam kematian tempat bertumpuknya jiwa tersesat.Langkah kakinya tegap berjalan, memijak pada tulang belulang rapuh yang berserakan dan tersebar hampir di seluruh tempat."Bangunlah, Draco. Tidakkah kau mau menyambut tuanmu," ucap Griffin.Tiba-tiba tanah bergetar. Seperti gempa kecil yang melanda tempat itu. Langit hitam, kerumunan awan berkumpul menciptakan pusaran yang disertai badai. Siap menyambut kebangkitan makhlu mitologi tunggangan sang dewa kegelapan.Bumi di mana Griffin berpijak sayup-sayup mengeluarkan geraman. Sesoso
Sekarang, Giffin sudah menemukan satu fakta baru. Bahwa memang benar dirinya terikat dengan Mikaila. Entah bagaimana dan siapa dalangnya, Griffin tak bisa menebak.Mendapati situasi rumit yang terjadi. Sang Dewa kegelapan bermenung ria. Dia duduk dengan sebelah kaki menekuk tinggi, tangannya yang bertumpu pada lutut, dan telunjuk menekan pelipis.Entah apa gaya itu.Dahulu semasa dia berjaya, laki-laki itu memang sudah suka termenung. Draco yang menemukan tuannya pada ritual lama, jadi tidak heran lagi melihat Griffin yang memang sudah aneh sejak dahulu.Orang-orang memang mengenal Griffin sebagai sosok yang kaku dan kejam, tetapi dibalik itu semua sebenarnya Griffin memiliki beberapa hal yang dia sembunyikan pada khalayak umum.Seperti kebiasaan bengongnya saat ini, yang bahkan meski sudah puluhan ribu tahun ternyata tidak juga berubah.Draco berpikir, apakah selama dipenjara dalam dimensi waktu itu. Griffin juga sering termenung seperti saat ini. Sepertinya iya.Puluhan ribu tahun m
Sebuah taman yang ditumbuhi oleh beragam bunga dan jenis tanaman adalah pemandangan pertama yang menyambut Griffin dan Draco. Dua makhluk sama spesies beda tingkatan itu berjalan berkeliling melihat semua yang bisa ditangkap oleh mata mereka.“Apa saya boleh memakan buah di sini, Tuan?” Draco bertanya. Rubah itu merasa terpesona dengan banyak sekali buah-buahan yang tumbuh hampir mengalahkan jumlah daun pada pohon apel.“Tak masalah. Makan saja.”“Tapi kita akan terlihat seperti pencuri, Tuan.”Griffin diam sebentar, memegang dagu sembari berpikir. “Hmm, kurasa tidak. Karena kita sudah minta izin.”“Kapan?”“Sekarang.” Griffin berteriak ke udara terbuka. "Minta apel, ya." Setelah mengucapkan kata itu dia menoleh pada Draco sambil melanjutkan ucapannya sendiri. "Iya, ambil saja. Nah, sudah, 'kan.""Anda sangat jenius sekali, Tuan." Mereka berdua senang hati memetik buah-buahan yang ada. Menggigit sekali lalu membuangnya sembarangan. Sebuah kelakuan yang kalau pemilik kebun tahu, dua r
Genderang tabuh berkumandang. Derap kaki menghentak bumi, diiringi riuh teriakan ratusan ribu bala tentara siluman. Masing-masing mereka memegang senjata kegelapan yang dapat menembus jantung musuh dalam satu tebasan. Di seberang sana, ratusan meter jaraknya. Pasukan khayangan dewa dunia atas, menelan ludah gugup. “Apa kita bisa bertahan?” “Aku tidak tahu.” Gigil merambat sampai ke tulang, mengantarkan teror dan kecemasan yang pekat. Tak ada satu pun dari mereka yang mau mati, tetapi malaikat pencabut nyawa seolah menyeringai di depan mata. Siap mencabut jiwa-jiwa yang kehilangan asa. Di atas mereka, Griffin, menyungging senyum cemooh. Duduk di singgasana berupa awan gelap buatannya. Menyilang kaki, menikmati indah pertunjukkan. “Ah, manis sekali. Aku suka hawa takut mati ini," katanya terkekeh pelan. “Bahkan aromanya bisa dikecap lidahku.” Griffin merentangkan tangan sambil memejam, seolah sangat menikmati situasi yang ada. Satu tangan di angkat ke atas, mengarahkannya ke pas
Sebuah taman yang ditumbuhi oleh beragam bunga dan jenis tanaman adalah pemandangan pertama yang menyambut Griffin dan Draco. Dua makhluk sama spesies beda tingkatan itu berjalan berkeliling melihat semua yang bisa ditangkap oleh mata mereka.“Apa saya boleh memakan buah di sini, Tuan?” Draco bertanya. Rubah itu merasa terpesona dengan banyak sekali buah-buahan yang tumbuh hampir mengalahkan jumlah daun pada pohon apel.“Tak masalah. Makan saja.”“Tapi kita akan terlihat seperti pencuri, Tuan.”Griffin diam sebentar, memegang dagu sembari berpikir. “Hmm, kurasa tidak. Karena kita sudah minta izin.”“Kapan?”“Sekarang.” Griffin berteriak ke udara terbuka. "Minta apel, ya." Setelah mengucapkan kata itu dia menoleh pada Draco sambil melanjutkan ucapannya sendiri. "Iya, ambil saja. Nah, sudah, 'kan.""Anda sangat jenius sekali, Tuan." Mereka berdua senang hati memetik buah-buahan yang ada. Menggigit sekali lalu membuangnya sembarangan. Sebuah kelakuan yang kalau pemilik kebun tahu, dua r
Sekarang, Giffin sudah menemukan satu fakta baru. Bahwa memang benar dirinya terikat dengan Mikaila. Entah bagaimana dan siapa dalangnya, Griffin tak bisa menebak.Mendapati situasi rumit yang terjadi. Sang Dewa kegelapan bermenung ria. Dia duduk dengan sebelah kaki menekuk tinggi, tangannya yang bertumpu pada lutut, dan telunjuk menekan pelipis.Entah apa gaya itu.Dahulu semasa dia berjaya, laki-laki itu memang sudah suka termenung. Draco yang menemukan tuannya pada ritual lama, jadi tidak heran lagi melihat Griffin yang memang sudah aneh sejak dahulu.Orang-orang memang mengenal Griffin sebagai sosok yang kaku dan kejam, tetapi dibalik itu semua sebenarnya Griffin memiliki beberapa hal yang dia sembunyikan pada khalayak umum.Seperti kebiasaan bengongnya saat ini, yang bahkan meski sudah puluhan ribu tahun ternyata tidak juga berubah.Draco berpikir, apakah selama dipenjara dalam dimensi waktu itu. Griffin juga sering termenung seperti saat ini. Sepertinya iya.Puluhan ribu tahun m
Gelap. Hanya satu kata itu saja yang dapat mewakili dari semua pemandangan yang saat ini sedang berada di hadapan Griffin.Selepas terbebas dari kuil yang memenjarakannya selama puluhan ribu tahun. Tempat pertama yang siluman rubah itu kunjungi adalah tempat di mana panglima perangnya berada. Seseorang yang bisa membantunya untuk melancarkan rencana pembalasan dendam.Angin diam-diam mendesau. Menebar hawa dingin dan mencekam bagi satu-satunya peziarah pada makam kematian tempat bertumpuknya jiwa tersesat.Langkah kakinya tegap berjalan, memijak pada tulang belulang rapuh yang berserakan dan tersebar hampir di seluruh tempat."Bangunlah, Draco. Tidakkah kau mau menyambut tuanmu," ucap Griffin.Tiba-tiba tanah bergetar. Seperti gempa kecil yang melanda tempat itu. Langit hitam, kerumunan awan berkumpul menciptakan pusaran yang disertai badai. Siap menyambut kebangkitan makhlu mitologi tunggangan sang dewa kegelapan.Bumi di mana Griffin berpijak sayup-sayup mengeluarkan geraman. Sesoso
Suasana mencekam menyelimuti. Semua jiwa yang menyaksikan peristiwa itu dilanda kegugupan.Elena, pemimpin para siluman tersentak mundur. Sementara para prajurit yang mengelilingi terhempas beberapa meter.Griffin bahkan belum melemparkan bola hitam kumpulan api neraka di tangannya. Hanya sekedar hawa saja, tetapi sudah mampu membuat kehebohan.Dewa kegelapan itu berdiri perlahan, mengangkat kepala congkak dengan Mika yang terkulai lemas dalam pelukannya. "Kau? Siapa kau? Berani-beraninya kau masuk ke tempat ini?"Pandangan Griffin pekat mencemooh. "Kau sungguh ingin tahu siapa aku?" Dia menyapu pandangan. Untuk ukuran begundal lemah seperti ini bukanlah apa-apa baginya. Dewa kegelapan itu melepaskan bola api. Hawa panas yang mendebarkan langsung mengubah semua yang di depan menjadi abu tak tersisa.Pengaruh tak hanya mencakup di dalam istana, tetapi menembus keluar hingga membuat kerusuhan besar-besaran terjadi. Siapa sebenarnya orang ini?Elena yang melihat itu menjadi panik, dia
Bola gas pijar raksasa merangkak naik ke permukaan. Cahaya menerabas gelap dan menyelubungi seluruh dunia atas dengan kehangatan. Mikaila baru saja terjaga dari tidur. Kejadian kemarin masih membekas dalam ingatan. Peri itu bertekad, apa pun yang ia alami di hutan terlarang akan ditelan bulat-bulat tanpa memberitahu orang lain.Sekarang, Mika resmi menjadi penghuni tunggal daerah kebun istana. Nona Rachel telah pergi, dia meninggalkan surat pamit di atas meja untuk Mika. Surat yang berisi perintah untuk menjaga kuil selama Nona Rachel tidak ada.Mika merasa kehilangan, tetapi tak ada yang bisa dilakukan untuk menutupi itu.Jadi hari ini, peri itu mengunjungi kawan lama di daerah barat dunia atas, sebuah distrik hiburan. Tempat dimana manusia dan makhluk astral lain bersatu untuk melakukan transaksi jual beli atau sekedar mencari kesenangan. Baik itu perbudakan, senjata ilegal, pelacuran, ramuan sihir, dan lainnya.Meski berbahaya, wilayah ini diizinkan untuk ada. Pemerintah khayanga
"Menjauh dariku," teriak salah satu dari mereka. Seharusnya kalimat itu diucapkan oleh Mikaila, tetapi aneh karena justru ia dapati suara cemprengnya berubah menjadi suara laki-laki dewasa yang berat. "Ah, apa yang terjadi pada suaraku? Hallo? Tes, satu, dua."Dua matanya membola, menutup bibir sendiri karena sensasi terkejut. "Apa aku sakit tenggorokkan?"Sementara sosok yang ia kenali sebagai dirinya, berada di atas, menahan bobot tubuh menaungi Mikaila yang berada di bawah."Siapa kau?""Aku Griffin, dewa kegelapan.""Dewa kejahatan? Kau penjahat ya, ternyata. Kenapa kau jadi aku dan aku jadi kau?" Lelaki yang baru memperkenalkan diri sebagai Dewa kegelapan itu ingin membetulkan julukan yang diberi Mika, tetapi terlalu malas. Bukan itu sekarang yang penting, tetapi penyebab kenapa tubuh mereka saling bertukar. Mika menjadi lelaki misterius penghuni tempat aneh, dan sebaliknya, lelaki itu menempati raga Mika.Histeria menyergap jiwa. Mika kembali memekik kencang. Matanya belingsat
Dua puluh ribu tahun berlalu.Mikaila. Seorang pelayan yang bertugas menjaga kebun di perbatasan istana ditertawakan teman sesama pelayan akibat salah mengambil bibit buah."Plum dan peach adalah buah yang sama, Mika." Nona Rachel berbicara. Tangannya menimang-nimang sebiji anggur. Hasil yang ia petik dari kebun istana dan memakannya. Manis. Nona Rachel tersenyum senang.Di tempat ini, perbatasan istana yang dekat dengan danau kehidupan adalah lokasi ragam tumbuhan tumbuh. Mulai dari tanaman obat, hias, juga buah-buahan. Semua diatur oleh Nona Rachel sebagai pengamat.Kalau di dunia manusia. Rachel adalah mandor dan Mika adalah tukang kebun."Cari lagi. Kau harus mempelajari banyak tanaman untuk bisa menjaga tempat ini sepenuhnya.""Anda sungguh akan berkelana Nona Rachel? Kurasa aku masih terlalu payah mengingat ribuan tanaman di tempat ini.""Masaku sudah tiba, Mikaila. Tugasku menyebar benih baru di dunia manusia, memperbaharui semua anugrah yang diturunkan khayangan. Akhir-akhir
Genderang tabuh berkumandang. Derap kaki menghentak bumi, diiringi riuh teriakan ratusan ribu bala tentara siluman. Masing-masing mereka memegang senjata kegelapan yang dapat menembus jantung musuh dalam satu tebasan. Di seberang sana, ratusan meter jaraknya. Pasukan khayangan dewa dunia atas, menelan ludah gugup. “Apa kita bisa bertahan?” “Aku tidak tahu.” Gigil merambat sampai ke tulang, mengantarkan teror dan kecemasan yang pekat. Tak ada satu pun dari mereka yang mau mati, tetapi malaikat pencabut nyawa seolah menyeringai di depan mata. Siap mencabut jiwa-jiwa yang kehilangan asa. Di atas mereka, Griffin, menyungging senyum cemooh. Duduk di singgasana berupa awan gelap buatannya. Menyilang kaki, menikmati indah pertunjukkan. “Ah, manis sekali. Aku suka hawa takut mati ini," katanya terkekeh pelan. “Bahkan aromanya bisa dikecap lidahku.” Griffin merentangkan tangan sambil memejam, seolah sangat menikmati situasi yang ada. Satu tangan di angkat ke atas, mengarahkannya ke pas