Kedua kubu sudah saling berhadapan. Fritz dan Jaden menghunus pedang masing-masing. Grunt terlihat lega melihat kedatangan mereka. Terengah-engah dan penuh emosi karena terlambat datang. Crack yang merasa sebagai pemimpin baru keamanan desa, merasa perlu untuk menegaskan statusnya di pagi itu."Beraninya kalian mengacau di hari sepagi ini. Apa kalian tak tahu, wilayah ini di bawah kekuasaanku!, Crack yang akan mengalahkan Stonehead?" gertak Crack penuh emosi. Jaden tentu pernah mendengar nama Stonehead. Dia pernah melihatnya di turnamen tahun lalu. Saat Stonehead mengklaim diri sebagai yang terkuat di Carthania dengan mengalahkan Sir Milan. Sedangkan untuk nama Crack, dia sama sekali belum pernah mendengarnya.Crack yang baru saja mengepakkan sayapnya, tentu sudah berharap untuk terbang tinggi di langit. Dia butuh sebuah legitimasi, dan dua orang di depannya ini sangat cocok untuk menjadi batu loncatan prestasi pertamanya.Melihat dua orang berpedang yang sedang mengancam seorang pr
"Diam kau bedebah! Jangan menangis," bentak seorang tetua. Dia melihat situasi yang janggal di hadapannya. Empat orang warga desanya menjadi tawanan orang-orang tak dikenal. Warga Desa Red Smithy terkenal pemberani. Jangankan bandit biasa, beruang yang tak bisa diajak berdiskusi pun mereka tak pernah gentar menghadapinya."Tinggalkan mereka, dan potong kaki kalian sendiri. Kami akan menganggap kejadian ini tak pernah terjadi," saran tetua itu demi kebaikan mereka bersama."Jleb! … Argh!" suara jeritan pemuda yang kakinya ditusuk dengan pisau Jaeger, menjadi jawaban dari mereka."Brengsek! Beraninya kalian!" suara solidaritas warga mendengar jerit kesakitan itu. Mereka marah dan menjadi peduli mengetahui seorang warganya telah terluka, tapi tak peduli dengan nyawa orang yang tidak ada hubungannya dengan mereka.Solidaritas itu sekejap menjadi kekacauan penuh ambisi membalaskan dendam dan penyelamatan. Mereka merangsek maju dan bermaksud mengepung kawanan bandit itu. Hanya Stonehead
"Kau … dasar pria tak bermoral dan tak punya etika," serapah Jaeger pada Cedric. "Apa maksudmu membawa semua sarapan kami tadi?" ujarnya sambil mengambil sepotong roti di meja makan rumah Hector."Hei … kau tak takut tertular wabah?" sindir Cedric, sekedar mengingatkan.Pucat wajah Jaeger mendengar kata wabah. Sebuah kenangan buruk mampir dan mengingatkannya untuk menjaga kesehatan."Hahaha … salahkan istri dari pria ini. Entah kenapa dia sangat membenciku, bahkan dia sangat gembira ketika aku hendak berpamitan dan membawa Fenix," tunjuknya pada Stonehead. "Dia tidak memberiku sarapan dan melarang untuk menemui anaknya.""Kita … kita mengobrolnya di luar saja," usul Jaeger. "Udara luar bagus untuk kesehatan, lagipula kami ini tidak terbiasa duduk diam di dalam ruangan," saran Jaeger, menggeneralisir kebiasaannya pada semua anggota.Mereka pindah ke area kebun belakang yang segar khas pedesaan, aroma wangi bunga liar, bercampur aroma sapi dan domba. "Huaaah!" Jaeger menguap lebar dan p
"Aku tak bisa melakukannya lagi, nona muda. Seluruh kota telah menganggap aku sebagai seorang gadis genit, yang bahkan bisa sempat menggoda seorang pencuri," ujar pelayan itu sambil terisak menahan tangis.Gadis polos itu terkenang pada pengalaman mengerikan pada malam itu. Putri Carmen memaksanya datang malam hari itu, sambil membawa beberapa pakaian dan perlengkapan pribadi milik sang putri. Gadis itu tidak menyangka bahwa sang putri berencana untuk kabur meninggalkan rumah, menuju Desa Mapple.Berat rasanya mengikuti perintah itu, namun sebagai pelayan pribadi, ia tidak kuasa menolaknya. Malam itu, dengan memeluk buntalan besar berisi pakaian, ia berjalan mengendap-endap menuju kamar Putri Carmen.Seorang pria bercadar memantau pergerakannya dari balik tirai. Lily, pelayan muda itu tiba-tiba tergerak untuk membetulkan posisi tirai yang tidak pas.Terkejut ia melihat sesosok tak dikenal berada di balik tirai. Sekuat tenaga ia berteriak memanggil siapapun yang sekiranya bisa menolong
"Pengorbanan kali ini terlalu besar, seorang anggota kita kehilangan nyawa. Dia meninggalkan seorang anak gadis kecil dan seorang istri yang terpisah jauh," ujar seorang pria kurus dengan wajah letih. "Apa semua ini memang sungguh diperlukan, Kakek?""Iya! Semua ini layak demi cita-cita yang harus terwujud," jawab seorang kakek sambil memutar badan membelakangi semua yang hadir. Air matanya turun, dan dia tidak menghendaki seorangpun mengetahuinya.Kakek itu berjalan menjauh dan memandang ke langit luas berbintang. "Tekad yang kuat, rencana yang akurat, dan momentum yang tepat. Tidak akan ada artinya bila tidak pernah dilaksanakan," ujarnya datar. "Kita hanya punya tekad dan rencana. Untuk membentuk momentum, bahkan bila harus mengorbankan nyawaku sendiri, aku bersedia.""Kakek! Jangan seperti itu," sergah seorang pemuda. "Kau figur yang sangat penting bagi kami. Tanpa kehadiran Kakek, tidak mungkin cita-cita ini akan terwujud.Keresahan semakin mendera dalam hati kakek itu. Sebuah ci
Hanya gemeretak suara kayu terbakar, yang terdengar di dalam ruangan itu. Letusan bunga api yang sesekali terdengar, tidak bisa memecah suasana canggung di antara orang yang sudah saling kenal lama itu.Empat orang pemimpin kota yang sedang berkumpul, tak ada seorangpun yang berani berbicara. Termangu dalam lamunan masing-masing. Hanya menyisakan penyesalan, tidak ada lagi keinginan untuk saling menyalahkan atau mencari kambing hitam."Balai kota terbakar waktu kejadian itu, saat pelarian tiga orang yang ditahan di penjara kota. Bukankah hanya seorang yang ditahan di sana?" ujar Cedric. "Apa yang sebenarnya terjadi kemarin itu?"Sir Milan dan Count Armand hanya bisa saling berbalas kedipan. Memberi kode agar memulai penjelasan terlebih dahulu."Ehem … sayalah korban sesungguhnya dalam peristiwa itu Jenderal," ujar viscount, yang tidak menerima kode apapun berinisiatif membuka penjelasan."Rumah saya dirampok dan saya menerima tagihan-tagihan yang tidak jelas dari warga. Ada yang menag
Matahari terbit seperti biasanya, tidak pernah terlambat untuk menghadirkan pagi yang cerah. Seperti wajah cerah Count Armand yang tak pernah nampak ceria lagi kini. Setelah melalui malam yang melelahkan bersama rekan-rekannya. Tidur yang lelap dan pulas menjadi sebuah hal yang langka baginya.Dan pagi yang seharusnya menyenangkan ini, benar-benar menjadi meriah dengan kedatangan ratusan warga kota yang ingin bertemu dengan dirinya. Tanpa sempat menyentuh makan paginya yang terlambat, Count Armand menemui warga yang tampak gelisah itu."Count … bagaimana dengan nasib kami ke depannya nanti?" tanya seorang petani dengan gigi keropos yang membawa serta lima orang anaknya. "Hamba memberanikan diri berbicara atas nama seluruh warga yang berkepentingan dengan balai kota," ujarnya menegaskan. "Anda harus menunjukkan tanggung jawab sebagai pemimpin kami.""Kebanyakan dari kami ini tidak bisa membaca dan menulis. Tapi kami ini tidak bodoh," ungkap petani itu. "Kami ingat setiap sen yang tela
Count Armand berusaha menenangkan warga yang semakin beringas memaksakan pendapat dan keluhannya. Tak ada tanda-tanda semangat mereka mengendur meskipun matahari sudah tepat di atas kepala masing-masing.Meja kecil yang dikeluarkan untuk mencatat setiap keluhan itu, penuh sesak dengan warga yang tidak mau tau. Mereka hanya tau, mereka akan mendapat keringanan pajak, pembebasan sisa pembayaran hak atas tanah, dan bila beruntung mereka tidak perlu membayar sama sekali. Suasana sangat ricuh, saling mendahului dan berlomba untuk menentukan yang paling nyaring. Tidak ada yang mau mundur atau mengalah dalam usahanya itu. Semuanya ingin dilayani dan didahulukan demi kepentingan diri mereka masing-masing."Hehehe … bagaimana Count? Hari sudah semakin siang," ucap Hogan, sambil memamerkan gigi keroposnya. "Sebentar lagi, serf yang selesai bekerja di ladang para tuan tanah akan menuju kemari," ungkapnya memberi bocoran informasi. Petani itu memperhatikan barisan depan yang sudah terisi oleh ke