"Diam kau bedebah! Jangan menangis," bentak seorang tetua. Dia melihat situasi yang janggal di hadapannya. Empat orang warga desanya menjadi tawanan orang-orang tak dikenal. Warga Desa Red Smithy terkenal pemberani. Jangankan bandit biasa, beruang yang tak bisa diajak berdiskusi pun mereka tak pernah gentar menghadapinya."Tinggalkan mereka, dan potong kaki kalian sendiri. Kami akan menganggap kejadian ini tak pernah terjadi," saran tetua itu demi kebaikan mereka bersama."Jleb! … Argh!" suara jeritan pemuda yang kakinya ditusuk dengan pisau Jaeger, menjadi jawaban dari mereka."Brengsek! Beraninya kalian!" suara solidaritas warga mendengar jerit kesakitan itu. Mereka marah dan menjadi peduli mengetahui seorang warganya telah terluka, tapi tak peduli dengan nyawa orang yang tidak ada hubungannya dengan mereka.Solidaritas itu sekejap menjadi kekacauan penuh ambisi membalaskan dendam dan penyelamatan. Mereka merangsek maju dan bermaksud mengepung kawanan bandit itu. Hanya Stonehead
"Kau … dasar pria tak bermoral dan tak punya etika," serapah Jaeger pada Cedric. "Apa maksudmu membawa semua sarapan kami tadi?" ujarnya sambil mengambil sepotong roti di meja makan rumah Hector."Hei … kau tak takut tertular wabah?" sindir Cedric, sekedar mengingatkan.Pucat wajah Jaeger mendengar kata wabah. Sebuah kenangan buruk mampir dan mengingatkannya untuk menjaga kesehatan."Hahaha … salahkan istri dari pria ini. Entah kenapa dia sangat membenciku, bahkan dia sangat gembira ketika aku hendak berpamitan dan membawa Fenix," tunjuknya pada Stonehead. "Dia tidak memberiku sarapan dan melarang untuk menemui anaknya.""Kita … kita mengobrolnya di luar saja," usul Jaeger. "Udara luar bagus untuk kesehatan, lagipula kami ini tidak terbiasa duduk diam di dalam ruangan," saran Jaeger, menggeneralisir kebiasaannya pada semua anggota.Mereka pindah ke area kebun belakang yang segar khas pedesaan, aroma wangi bunga liar, bercampur aroma sapi dan domba. "Huaaah!" Jaeger menguap lebar dan p
"Aku tak bisa melakukannya lagi, nona muda. Seluruh kota telah menganggap aku sebagai seorang gadis genit, yang bahkan bisa sempat menggoda seorang pencuri," ujar pelayan itu sambil terisak menahan tangis.Gadis polos itu terkenang pada pengalaman mengerikan pada malam itu. Putri Carmen memaksanya datang malam hari itu, sambil membawa beberapa pakaian dan perlengkapan pribadi milik sang putri. Gadis itu tidak menyangka bahwa sang putri berencana untuk kabur meninggalkan rumah, menuju Desa Mapple.Berat rasanya mengikuti perintah itu, namun sebagai pelayan pribadi, ia tidak kuasa menolaknya. Malam itu, dengan memeluk buntalan besar berisi pakaian, ia berjalan mengendap-endap menuju kamar Putri Carmen.Seorang pria bercadar memantau pergerakannya dari balik tirai. Lily, pelayan muda itu tiba-tiba tergerak untuk membetulkan posisi tirai yang tidak pas.Terkejut ia melihat sesosok tak dikenal berada di balik tirai. Sekuat tenaga ia berteriak memanggil siapapun yang sekiranya bisa menolong
"Pengorbanan kali ini terlalu besar, seorang anggota kita kehilangan nyawa. Dia meninggalkan seorang anak gadis kecil dan seorang istri yang terpisah jauh," ujar seorang pria kurus dengan wajah letih. "Apa semua ini memang sungguh diperlukan, Kakek?""Iya! Semua ini layak demi cita-cita yang harus terwujud," jawab seorang kakek sambil memutar badan membelakangi semua yang hadir. Air matanya turun, dan dia tidak menghendaki seorangpun mengetahuinya.Kakek itu berjalan menjauh dan memandang ke langit luas berbintang. "Tekad yang kuat, rencana yang akurat, dan momentum yang tepat. Tidak akan ada artinya bila tidak pernah dilaksanakan," ujarnya datar. "Kita hanya punya tekad dan rencana. Untuk membentuk momentum, bahkan bila harus mengorbankan nyawaku sendiri, aku bersedia.""Kakek! Jangan seperti itu," sergah seorang pemuda. "Kau figur yang sangat penting bagi kami. Tanpa kehadiran Kakek, tidak mungkin cita-cita ini akan terwujud.Keresahan semakin mendera dalam hati kakek itu. Sebuah ci
Hanya gemeretak suara kayu terbakar, yang terdengar di dalam ruangan itu. Letusan bunga api yang sesekali terdengar, tidak bisa memecah suasana canggung di antara orang yang sudah saling kenal lama itu.Empat orang pemimpin kota yang sedang berkumpul, tak ada seorangpun yang berani berbicara. Termangu dalam lamunan masing-masing. Hanya menyisakan penyesalan, tidak ada lagi keinginan untuk saling menyalahkan atau mencari kambing hitam."Balai kota terbakar waktu kejadian itu, saat pelarian tiga orang yang ditahan di penjara kota. Bukankah hanya seorang yang ditahan di sana?" ujar Cedric. "Apa yang sebenarnya terjadi kemarin itu?"Sir Milan dan Count Armand hanya bisa saling berbalas kedipan. Memberi kode agar memulai penjelasan terlebih dahulu."Ehem … sayalah korban sesungguhnya dalam peristiwa itu Jenderal," ujar viscount, yang tidak menerima kode apapun berinisiatif membuka penjelasan."Rumah saya dirampok dan saya menerima tagihan-tagihan yang tidak jelas dari warga. Ada yang menag
Matahari terbit seperti biasanya, tidak pernah terlambat untuk menghadirkan pagi yang cerah. Seperti wajah cerah Count Armand yang tak pernah nampak ceria lagi kini. Setelah melalui malam yang melelahkan bersama rekan-rekannya. Tidur yang lelap dan pulas menjadi sebuah hal yang langka baginya.Dan pagi yang seharusnya menyenangkan ini, benar-benar menjadi meriah dengan kedatangan ratusan warga kota yang ingin bertemu dengan dirinya. Tanpa sempat menyentuh makan paginya yang terlambat, Count Armand menemui warga yang tampak gelisah itu."Count … bagaimana dengan nasib kami ke depannya nanti?" tanya seorang petani dengan gigi keropos yang membawa serta lima orang anaknya. "Hamba memberanikan diri berbicara atas nama seluruh warga yang berkepentingan dengan balai kota," ujarnya menegaskan. "Anda harus menunjukkan tanggung jawab sebagai pemimpin kami.""Kebanyakan dari kami ini tidak bisa membaca dan menulis. Tapi kami ini tidak bodoh," ungkap petani itu. "Kami ingat setiap sen yang tela
Count Armand berusaha menenangkan warga yang semakin beringas memaksakan pendapat dan keluhannya. Tak ada tanda-tanda semangat mereka mengendur meskipun matahari sudah tepat di atas kepala masing-masing.Meja kecil yang dikeluarkan untuk mencatat setiap keluhan itu, penuh sesak dengan warga yang tidak mau tau. Mereka hanya tau, mereka akan mendapat keringanan pajak, pembebasan sisa pembayaran hak atas tanah, dan bila beruntung mereka tidak perlu membayar sama sekali. Suasana sangat ricuh, saling mendahului dan berlomba untuk menentukan yang paling nyaring. Tidak ada yang mau mundur atau mengalah dalam usahanya itu. Semuanya ingin dilayani dan didahulukan demi kepentingan diri mereka masing-masing."Hehehe … bagaimana Count? Hari sudah semakin siang," ucap Hogan, sambil memamerkan gigi keroposnya. "Sebentar lagi, serf yang selesai bekerja di ladang para tuan tanah akan menuju kemari," ungkapnya memberi bocoran informasi. Petani itu memperhatikan barisan depan yang sudah terisi oleh ke
Viscount Gerald sangat geram melihat kerukunan dan kemesraan yang sedang terjadi di halaman rumah Count Armand. Hal yang tidak pernah terduga telah terjadi. Mengganggu semua rencana yang telah disusun tadi malam.Betapa sempurna rencana yang telah disiapkan Hogan di bar itu. Sebuah basa-basi ketika sedikit mentraktir minum beberapa pengunjung untuk membuang sial. Berujung dengan sebuah rencana untuk mengatasi permasalahannya. Sebuah rencana yang nampak indah hasil akhirnya. "Busuk! Dia sangat menikmati acara makan-makan itu," umpat viscount yang sedang gelisah dan lapar juga itu. "Seharusnya aku tidak sembarang percaya orang yang baru dikenal. Orang itu bandit, bukan petani biasa."Viscount Gerald menjadi hilang kesabaran ketika melihat Hogan yang pura-pura tidak melihat kode lambaian tangan darinya. Seperti sengaja mengejek, pria tua itu makan dengan lahap dan mendemonstrasikan cara yang benar untuk menikmati sup. Yaitu dengan menambah porsinya beberapa kali lagi."Kau! Membaurlah d
"Dugh! Bangun! Kemana perginya kawanmu itu?" Seorang pria menendang Stab dan menginterogasi orang yang baru saja tak sadarkan diri.Sekelompok tawanan yang tadinya merasa gagah, menjadi sedikit ciut nyalinya. Tanpa seorangpun yang menyadari, Romeo telah berhasil meloloskan diri. Hilang lenyap bersama tali yang mengikat dirinya."Apa kalian lalai menggeledah bandit itu? Jangan-jangan dia menyembunyikan pisau di badannya" gerutu pria yang mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin perlawanan itu. Stab terbangun akibat rasa sakit dari tendangan keras di rusuknya. Wajah-wajah asing yang tak pernah diingatnya sama sekali, sedang mengerumuninya. Stab adalah penjahat sejati berdarah dingin, dia tidak pernah mengingat wajah para korban yang terlihat sama di matanya.Wajah seperti domba, yang biasanya memohon untuk kehidupannya itu nampak berbeda kali ini. Ada sorot amarah dan harapan di wajah yang tidak lagi merana itu. Harapan untuk memutus sebuah mata rantai kekejaman dan kejahatan."Gel
"Bandit?" Mata Jenderal Cedric menunjukkan gairah yang lama terpendam."Tunggu sebentar! Aku ikut, sudah lama aku mendengar insiden di Desa Mapple. Urusan warga kota biarlah diatur oleh Sir Milan dan Hector, sebentar lagi juru arsip yang terluka itu pulih dan bisa membantu mereka," seloroh Jendral yang sedang bosan itu."Sir Milan berpesan agar anda tetap di markas," tutur Jaden dengan nada segan. "Duke Robert hendak bertemu secara pribadi. Ada hal penting yang hendak disampaikan beliau," tegasnya."Aish … kirim utusan pada Duke Robert, katakan aku akan mengunjunginya segera. Menjaga keamanan wilayah itu lebih penting," sergah Jenderal Cedric."Ini bukan masalah besar Jenderal," cegah Jaden, yang lebih takut dengan amarah Sir Milan. "Kami hanya membantu regu yang bertugas, untuk menutup jalan keluar dari Desa Mapple, agar seluruh bandit dapat tertangkap. Regu yang dipimpin Sir Aiden sangat yakin bisa mengatasi bandit-bandit itu," bebernya."Hm … Sir Aiden sampai turun tangan sendiri y
"Rom! Kabar buruk, hosh … hosh … berikan aku minum," pinta Stab yang nampak habis berlari sekuat tenaga."Ada apa? Apa rencana kita gagal? Apakah rombongan ketua tertangkap?" buru Romeo tak sabaran.Stab menghabiskan air dalam kantung itu. Nafasnya belum pulih sepenuhnya. "Parah … lebih parah lagi," semburnya menambah kekhawatiran Romeo."Apa yang bisa lebih parah dari tertangkap?" cebik Romeo."Kabur! Ketua dan rombongannya tidak membuat kerusuhan seperti rencana awal. Dia melanjutkan perjalanan dan meninggalkan desa menuju perbatasan!" pekik Stab. "Kita ditinggalkan di hutan ini, aku yakin dia menggunakan kita untuk mengalihkan perhatian.""Apa kau yakin?" lirih Romeo."Aku melihat sendiri! Seperti biasa aku memilih posisi paling aman, jadi aku memilih rombongan ke dua setelah rombongan ketua melumpuhkan penjaga," urai Stab. "Ternyata hanya lima orang yang bersedia menjadi rombongan pertama untuk membuka jalan.""Hm … hanya lima orang? Tanpa kehadiran ogre itu sama saja misi mengant
"Wow … benar-benar sembuh," puji Coman. "Jangan-jangan kau ini benar-benar ogre.""Hahaha … mana ada ogre yang berniat berhutang duapuluh keping uang emas dengan ganti sebuah pedang," balas Jack. "Biaya melintas sampai Gothlandia itu memakan lebih dari lima keping. Kecuali kau melewati daerah kaum barbar, bebas biaya masuk.""Kau benar-benar hebat kawan," puji Coman sambil mengganti kain perban di lengan kiri Argon. "Kau bertahan hidup hanya demi menyampaikan kabar mengenai rekan-rekanmu yang gugur di pertempuran sepuluh tahun yang lalu."Jack tersenyum dan mengembalikan pedang besar itu pada Argon. "Maaf, kami membaca surat dan daftar nama itu tanpa seijinmu."Argon membalas dengan senyuman pedih di hatinya. Betapa dia mengutuk ketidak mampuannya sendiri. Usaha sederhana untuk mengakhiri kehidupannya yang hitam dan kelam itupun gagal, di tangan ksatria yang diharap bisa menolongnya."Maafkan aku juga bila meminta kalian melakukan hal yang di luar kemampuan," balas Argon. "Mencari sem
"Tak bisa dibiarkan! Keluarga Durandal itu sejak dulu selalu kurang ajar," geram seorang bangsawan tua sambil merobek sepucuk surat."Pelayan! Panggil cucuku kemari, ada yang hendak kubicarakan," perintahnya tegas. "Berani-beraninya si tua bangka itu mencoba mencari jodoh untuk cucuku," gerutu Sir Duval.Si pelayan segera berlari tergopoh-gopoh menuju ruang berlatih. Ruangan itu sedang ramai para prajurit dan ksatria yang sedang mengelilingi dan menyoraki sebuah duel yang sedang berlangsung. Tak ada satupun yang mempedulikan omongan pelayan yang sedang mencari cucu Sir Duval.Susah payah pelayan bertubuh kecil itu menerobos kerumunan. Seketika lututnya lemas melihat orang yang sedang berduel. Tuan muda Aaron sang cucu Sir Duval sedang mempertaruhkan nyawa melawan seorang royal knight dari istana."Trang! Trang! Trang!" suara tiga kali pukulan penuh tenaga ksatria itu ditangkis Aaron.Ksatria itu tampak santai dan meremehkan. Sekilas dia melirik ke arah penonton. Seorang pemuda berpaka
"Brengsek! Mengapa tak ada yang membangunkan aku!" raung Romeo. "Hampir tengah hari, mana ketua?" tanyanya lagi dengan nada khawatir. Baru kali ini dia merasa menyesal meninggalkan kesempatan untuk melihat sapaan mentari terbit. "Hahaha … tenang, aku juga bangun kesiangan. Ketua sudah pergi bersama Bernie untuk mengintai," jawab Stab. "Ketua agak cemas karena kita sudah tidak memiliki senjata pemusnah lagi. Lagipula … tak ada seorangpun yang berani mengganggu tidurmu. Hehehehe."Dengan malas Romeo bangun dan berjalan pelan untuk membasuh muka. Kepalanya masih berdenyut, akibat efek minuman semalam. Kesadarannya masih belum pulih sepenuhnya, namun dia cukup sadar untuk menyadari kegiatan rekan-rekannya."Mengapa kalian sudah membongkar tenda-tenda itu?" tanya Romeo pada seorang bandit."Kita akan pulang, misi selesai," jawab bandit itu sambil mengikat erat kain tenda."Kita akan menyamar menjadi pedagang, mengelabui penjaga dan membuat kerusuhan begitu masuk desa itu," sela Stab. "Se
"Rom! Bagaimana ogre bisa hilang?" tanya seorang pria dengan wajah penuh bekas luka. Tatapan sadis dari matanya, cukup untuk menghilangkan keberanian seorang Romeo."Pe- Penyihir darah. Kami bertemu sekumpulan orang tiga hari yang lalu. Kami kira akan mendapatkan domba gemuk untuk tambahan kiriman akhir bulan ini," jawab Romeo takut-takut. "Ternyata seorang dari mereka adalah penyihir.""Kau … dasar gila. Rencana kita akan terganggu bila tak ada ogre," umpat orang yang ternyata seorang pemimpin kawanan bandit. "Kau sudah pakai peluitnya?" tanyanya lagi dengan khawatir."Su- sudah kapten. Berkali-kali kutiup peluit itu. Kami tunggu di tempat persembunyian sementara selama semalaman, ogre itu tidak pernah muncul," jelas Romeo menguraikan tindakannya yang sudah sesuai prosedur.Gregor termenung mendengar penjelasan itu. Kapten kawanan bandit itu sudah bisa menyimpulkan sesuatu. Kisah ogre yang meneror Desa Mapple telah tamat."Kami salah memilih korban untuk kali ini. Beruntung kami berd
"Wah … mengapa semuanya berkumpul di tempat ini?" sela Hogan memotong diskusi antar petani yang sedang berlangsung."Maafkan saya yang belum memperkenalkan diri. Saya Hogan, juru bicara perwakilan petani yang gelisah dan ingin memperjuangkan haknya," urai Hogan tanpa ada yang bertanya. Semua yang ada menoleh heran pada asal suara sumbang itu. Terutama para petani yang merasa tidak mengenal juru bicaranya sendiri itu."Ah, tidak sopan rasanya bila saya tidak mengikuti pembicaraan tentang nasib para petani yang sedang diperjuangkan ini," lanjutnya lagi. Sir Conrad merasa ada hal yang kurang beres dengan orang ini. Pengalaman mengajarkan untuk waspada dengan tipe sepertinya. "Oh ya, silahkan duduk bergabung bersama kami," ujar Sir Conrad datar.Fastleg yang juga menyadari ketidakberesan Hogan langsung mengambil inisiatif melanjutkan diskusi. "Bawang putih juga naik drastis harganya. Kalian harus tau penyebab kenaikan harga yang tiba-tiba itu," ujarnya."Apa benar ini ada hubungannya de
"Duagh! Menjengkelkan sekali petani-petani itu. Mereka masih saja keras kepala menolak permintaan kita," keluh seorang pria bangsawan, sambil mengelus tangannya yang sakit karena menghantam meja."Sabar Baron, sebentar lagi musim dingin tiba. Kereta kita masih berjalan sesuai jalurnya," ucap pria gemuk pendek yang duduk di seberang mejanya."Kita dikejar waktu!" bentak baron itu. "Ini momen dan kesempatan bagus."Pria gemuk itu menggosok telapak tangannya. "Anda sendiri bagaimana? Kereta kita tidak akan melaju bila anda tidak mendapat dukungan dari 'yang lebih tinggi' daripada Anda," ucapnya sinis. "Bragh!" suara meja itu kembali kena gebrak. "Itulah sebabnya kita harus cepat bergerak. Viscount Gerald pasti tidak akan bertahan menghadapi musim dingin ini. Bila tetap berada di bawah kepemimpinan orang itu, musim dingin ini kita akan ikut mati kedinginan.""Hehehe … hahahaha! Aku ini seorang pedagang. Tidak mungkin seorang pedagang akan mati kedinginan di musim dingin," sergah orang ge