"Mama tahu kamu belum bisa move on, yah kalau gak bisa balikan lagi aja," tutur Jeslyn.
Axel melebarkan matanya ketika mendengar penuturan mamanya.
"Belum move on gimana? Orang udah move on kok," kilah Axel.Jeslyn mendesis, kesal dengan sang anak yang tetap tidak mau jujur padanya. Huh, padahal dia dulu sangat sayang dengan mantan menantunya, tapi anak dan menantunya malah cerai karena katanya Savira berselingkuh. Yang Jeslyn tahu, anak dan menantunya bercerai karena Savira selingkuh, Jeslyn tidak tahu saja kalau Savira hamil saat bercerai dan Axel tidak mempercayai kalau itu anaknya."Ya udah, kalau gitu kasih Mama cucu," putus Jeslyn.Axel menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan mamanya yang meminta cucu. Apa-apa ini? Apa dikira buat anak itu gampang langsung main masuk aja? Anak orang harus dinikahi dulu baru dikawini."Mah, gampang emang ngomong kayak gitu tapi susah buat Axel," ucap Axel memelas."Susah kenapa? Karena kamu masih belum bisa move on."Move on. Ck, itu lagi yang dibahas. Inilah salah satu alasan Axel keluar dari rumah dan memilih tinggal seorang diri, dia selalu diteror soal move on, nikah, dan cucu."Lagian, kamu ngapain masih di sini? Bukannya kantor pusat bukan di Jakarta?"Axel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Benar juga, kenapa dia masih di sini? Tapi Axel merasa nyaman ada di sini. Apa karena Savira?. Oh, tidak-tidak, bukan karena Savira, dia hanya rindu saja sama suasana di kota ini."Aku lagi pantau karyawan di sini, mereka becus kerja atau nggak," jawab Axel berusaha santai."Kamu kan bisa utus orang lain, ngapain susah-susah sih."Axel mendelik tajam pada mamanya yang sejak tadi berbicara dengannya begitu ketus, dan terdengar sewot. Ini anaknya pulang bukannya senang tapi malah kelihatan kesal gitu. Kok, Axel merasa kalau dia itu anak pungut yah?"Mama kok sewot sih?""Bukan sewot, Mama cuma gak mau diganggu sama babi ngepet kayak kamu pas lagi mesra-mesraan dengan Papa.""Mah..." Protes Axel tak terima. "Mana ada babi ngepet ganteng kayak aku?""Kalau ganteng pasti udah dari dulu nikah lagi.""Astaghfirullah, Mah," geram Axel, pria itu mengacak-acak rambutnya frustrasi mendengar perkataan mamanya."Apa karena kamu emang belum bisa move on?"Move on lagi yang dibahas. Pokoknya, Axel kalau udah ketemu dengan mamanya pasti selalu bahas move on.Kepala Axel rasanya mau pecah mendengarnya, mana dia juga lagi kesal sama Savira karena tadi pagi.
"Kenapa Mama sama kayak Savira, sih?"Mendengar nama mantan menantu kesayangannya disebut, Jeslyn yang awalnya duduk jauh dari Axel kini berpindah duduk di sofa samping Axel."Kamu ketemu Savira?""Hmm""Terus dia gimana? Baik-baik aja?""Hmm""Makin putih?""Hmm""Makin pintar?""Hmm""Makin cantik?""Hmm""Makin seksi?""Hmm""Makin sayang?""Hmm"Jeslyn tersenyum lebar mendengarnya. Mata wanita paruh baya itu berbinar-binar membayangkan Savira.Sepersekian detik, Axel baru sadar dengan pertanyaan-pertanyaan mamanya. Eh, tadi pertanyaan pertama apa? 'Kamu ketemu Savira?' Dan dia jawab 'Hmm' dan berlanjut ke pertanyaan hingga bertanya makin putih, makin pintar, makin cantik, makin seksi, dan terakhir makin sayang.
Tadi dipertanyakan terakhir dia jawab apa? Hmm? Hmm itu bagi Axel menandakan dua kata, yaitu 'iya' dan 'terserah'. Tidak mungkin menandakan 'iya' kan? Pastinya 'Hmm' yang dia ucapkan tadi menandakan 'terserah' mamanya mau menganggap apa. Yah, itu pasti terserah.
Sial, kenapa Axel jadi ragu begini?.***"Mama gak makan?" Tanya Raka.Anak laki-laki itu melihat mamanya hanya duduk di meja makan, menemaninya makan. Pertanyaan Raka dijawab Savira dengan gelengan kepala."Mama lagi diet?""Mama kan udah kurus," timpal Raka membuat Savira menatap datar pada sang anak.Raka benar-benar sudah dewasa sebelum waktunya. Dewasa dalam artian berbeda. Anaknya itu selalu berbicara bak orang dewasa pada umumnya."Udah, ah, makan cepat, Mama mau tidur, ngantuk."Karena tidak ingin berdebat dengan anaknya, Savira memilih mengakhiri obrolan keduanya. Setelah beberapa menit Raka selesai makan, Savira melarang anaknya untuk mencuci piring, dia menyuruh anaknya langsung ke kamar belajar setelahnya baru tidur.Ketika Raka sudah masuk ke kamarnya, Savira langsung mengubah ekspresi wajahnya menjadi sendu. Bukannya mencuci piring bekas makan Raka, Savira lebih memilih melangkah ke tempat dia biasa menyimpan beras. Beras pun sudah tidak banyak lagi. Untuk besok beras itu cukup dimakan Raka. Seandainya dia tidak menabrak mobil Axel hari itu dan ganti rugi sebanyak uang yang ada di rekeningnya, Savira tidak akan menahan laparnya.Tanpa sadar air mata wanita itu menetes. Jika mengingat dulu saat Raka baru lahir, dia juga bahkan makan hanya sekali sehari, bekerja banting tulang untuk mencari uang hanya demi sesuap nasi. Dulu Savira lebih menderita, apalagi dia datang di kota ini tanpa ada kenalan, orang tua sudah tak ada, keluarga yang tak peduli dengannya benar-benar membuat Savira semakin menderita. Semuanya dia lakukan demi menjauh dari Axel, pria yang tidak percaya kalau Savira tengah mengandung darah dagingnya sendiri.Sampai sekarang pun, Savira tidak tahu kenapa Axel mengatakan dia berselingkuh.Ketika pagi kembali, Savira lagi-lagi hanya menemani Raka makan. Sementara Raka sudah tidak bertanya karena pasti jawaban ibunya adalah 'sedang diet.'Dalam diam, Raka menikmati sarapan paginya sedangkan mamanya lagi meminum susunya."Raka, pulang nanti Mama agak lambat jemput kamu, gak pa-pa kan?" Tanya Savira membuat Raka menghentikan ritual makannya."Bukannya memang Mama selalu lambat jemput Raka?" Sarkasme Raka.Savira meringis, tangannya yang tadi dia atas meja turun ke bawah dan itu sama sekali tidak luput dari perhatian Raka. Raka menyimpulkan kalau mamanya meringis karena pertanyaannya yang menyindir, tapi sebenarnya Savira meringis karena perutnya yang sakit."Kamu itu, kok, pintar banget balas ucapan orang tua?" Protes Savira membuat anaknya mengangkat bahunya, sebagai tanda tidak tahu. Raka pun juga tidak tahu kenapa dia bisa seperti ini."Ingat yah, kalau Mama lambat jangan jalan kaki!" Peringat Savira.Pasalnya, sang anak sering pulang jalan kaki jika Savira lambat menjemputnya padahal jarak antara sekolah dan rumah mereka sangatlah jauh dan Raka sama sekali tidak protes, anak kecil itu paham kalau mamanya bekerja, dia tidak ingin merepotkan Mamanya."Gak janji," jawab Raka membuat Savira ingin sekali menyentil dahi anaknya."Kamu itu anak siapa sih? Sifatnya jauh banget sama Mama," ujar Savira."Anaknya Papa, mungkin."Savira langsung terdiam saat Raka menyebut kata 'Papa,' apa anaknya selama ini memendam rasa penasarannya untuk mengetahui tentang papanya?."Kalau udah selesai, ayok berangkat!"Savira memilih mengalihkan pembicaraan, dia tidak ingin pembicaraan terus berlanjut karena Raka menyebut kata 'Papa'. Bisa-bisa Raka akan bertanya tentang papanya yang tidak mempercayai keberadaannya.Savira hanya takut, Axel menolaknya sekalipun ada bukti kuat dengan wajah Raka yang sangat mirip dengannya.***Yuhuuuuu....Ada yg nungguin gak? Update lagi nih aku.Di part ini kalian ketemu sama mamanya Axel yang sifatnya hampir mirip sama Axel:D"Mbak Savira pucat banget," tegur satpam kantor padanya.Savira menghembuskan napasnya panjang. Satpam di kantor adalah orang kesekian kalinya yang mengatakan kalau dia pucat, padahal lipstik yang dia pakai sangat tebal agar bibirnya terlihat segar. Savira juga menyadari itu, karena sejak siang kemarin, dia sama di tidak makan. Wanita itu hanya meminum air putih saja juga memakan kerupuk sisa Salsa kemarin.Dan sampai pagi ini, Savira masih juga belum merasakan enaknya nasi.Kepalanya pusing, tapi Savira menahannya. Savira yakini, kalau asam lambungnya kambuh lagi.Ketika wanita itu melangkah menuju lift, suara yang sangat dikenalnya menginterupsinya untuk berhenti. Savira menghembuskan napasnya kala mendengar suara itu. Ini suara orang yang sudah membuatnya tidak makan sejak semalam, siapa lagi kalau bukan Axel."Saya manggil-manggil kamu, kenapa gak menyahut?" Tanya Axel garang."Saya gak dengar," jawab Savira seadany
"Hei, apa-apaan kamu?"Axel berteriak karena terkejut saat melihat Savira mencabut selang infus yang tertancap di punggung tangan kanannya. Matanya melebar saat melihat punggung tangan wanita itu mengeluarkannya cairan kental berwarna merah. Astaga, baru saja siang tadi dia bahagia dan senang, tapi sore menjelang malam ini dia malah dibuat kesal dan khawatir secara bersamaan.Savira benar-benar nekat, padahal cairan infusnya belum habis."Saya mau pulang, Pak. Ngapain juga saya di sini, saya gak punya uang bayar biaya rumah sakit," jelas Savira.Wanita itu benar-benar tidak memiliki uang walau sepersen pun, kemarin saja dia meminjam uang Salsa dua puluh ribu untuk membeli bensin motornya dan sekarang dia masuk rumah sakit dan parahnya lagi berada di ruang VVIP, dengan apa dia membayarnya. Alasan Savira juga ingin pulang karena anaknya pasti sedang menunggunya.Bersyukur Savira karena Raka tidak tahu dia ada di rumah sakit."Saya
Setelah kejadian kemarin di mana Axel yang memarahi bahkan sampai membentak Savira, tadi malam Axel jadi merasa bersalah, apalagi saat melihat Savira yang keluar dari mobilnya tanpa berkata apa-apa dengan kepala yang menunduk.Pagi ini, Axel berencana untuk meminta maaf pada wanita itu. Seharusnya dia tidak perlu marah, karena Savira hanya bermaksud untuk menjailinya, tapi dia malah terbawa emosi. Sial! Axel sangat tidak bisa jika ada yang menyebutnya tidak bisa move on.Masih pagi-pagi sekali, Axel sudah datang di kantor untuk menemui Savira. Dalam hatinya, dia berdoa, semoga saja Savira mau memaafkannya. Huh, kalau Savira tidak mau memaafkannya, dia akan memotong gaji wanita itu, enak saja atasan sendiri tidak dimaafkan. Namun, ketika waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, Axel sama sekali tidak melihat batang hidung Savira, alhasil pria itu menyusul ke ruangan divisi marketing, divisi Savira bekerja.Ketika dia sampai, Axel celingak-celinguk mencari Sav
Mengingat dua hari yang lalu Axel menolongnya saat dia pingsan, Savira melupakan kekesalannya pada Axel. Wanita itu berniat memasak makanan kesukaan Axel dan memberikan pada pria itu sebagai ucapan terima kasih atas pertolongannya dua hari yang lalu. Pagi-pagi sekali, Savira sudah bangun untuk memasakkan untuk Axel. Setelah semuanya masak, Savira memasukkan semuanya ke rantang. Awalnya wanita itu membentuk nasi dengan bentuk hati, tapi dia merusak nasi yang dibentuk tadi. Nanti Axel berpikir kalau dia belum move on. Hei, ini sudah delapan tahun berlalu, mana mungkin Savira masih belum move on pada pria itu. Setelah mengantar Raka ke sekolahnya dengan menaiki angkot, Savira lanjut ke kantornya. Jika ditanya motornya ke mana, maka jawabannya adalah Savira menjual motornya. Wanita itu terpaksa menjual motor karena dia sangat butuh uang. Kalau dia tidak menjual motornya, maka kemarin dia dan Raka tidak akan makan. Untuk masalah motor, Savira akan
"Besok malam temani saya ke ulang tahun perusahaan teman saya," kata Axel.Savira mendelik saat mendengar perkataan mantan suami yang merangkap jadi atasannya itu. Sama sekali tidak ada kata ajakan, pria itu malah mengatakan untuk menemaninya. Setidaknya, bukan seperti itu mengajaknya."Saya gak mau," tolak Savira tanpa berpikir lebih dulu. Huh, kalau pun dia pergi, bagaimana dengan Raka di rumah?."Gaji kamu saya potong," ancam Axel."Bapak kok ancamannya itu mulu sih?"Savira benar-benar sudah bosan sebenarnya mendengar ancaman itu, tapi ancaman itu satu-satunya yang ampuh. Savira tidak bisa berkutik kalau Axel sudah mengancamnya dengan gaji yang akan dipotong. Masa dia yang bekerja lembur bahkan merevisi laporan yang salah berkali-kali gajinya dipotong, harusnya gajinya itu dinaikkan."Makanya temani saya ke pesta ulang tahun perusahaan teman saya," ujar Axel."Kenapa harus saya, Pak? Bapak gak punya pasangan yah, makanya nga
Dengan senyum lebar dan tangannya yang menenteng rantang makanan pemberian Savira, Axel masuk ke dalam rumahnya. Perasaan gembiranya sejak tadi di perusahaan benar-benar tidak bisa disembunyikannya. Bahkan tadi saat dia melewati para karyawannya ketika pulang, Axel terus menjadi pusat perhatian.Senyum Axel yang jarang dilihat dan mempesona itu membuat semua karyawati terpana.Ketika sudah memasuki rumahnya, Axel mendapatkan sang mama di ruang tamu yang tengah sibuk dengan beberapa kertas di atas meja. Menjadi seorang desainer memang sungguh merepotkan bagi mamanya, lebih baik Axel berurusan dengan berkas-berkas dari pada harus berurusan dengan pensil gambar juga mistar.Axel bersiul, membuat mamanya berdecak akibat terganggu dengan siulan sang anak. Kemudian Jeslyn memandang sinis anaknya, lalu pensil yang tadi di tangannya dia lempar hingga mengenai kening sang anak."Serius amat, Mah, Amat aja gak serius-serius banget," tegur Axel."Berisik kamu
Ketika sinar rembulan berganti menjadi sinar matahari pagi yang hangat, Axel sudah bangun dari tidurnya. Pria itu bangun lebih cepat dari biasanya. Jika biasanya selepas shalat subuh pria itu akan tidur sejenak, namun tidak, Axel malah langsung bersiap-siap, menyiapkan keperluan dan semua berkas-berkas penting yang akan dibawa ke kantor.Setelah semua keperluannya sudah siap, Axel langsung turun. Dia sudah tidak sabar memakan makanan yang Savira berikan padanya. Ketika dia sudah benar-benar turun dan berada di dapur, wajah Axel memerah saat dia melihat kalau rantang makanan pemberian Savira sudah dibuka dan isinya pun sudah kosong.Pria itu menarik napasnya panjang kemudian menghembuskan secara perlahan-lahan, berusaha mengontrol emosinya agar dia tidak marah pada orang yang sudah melahirkannya. Ok, Axel tidak ingin jadi anak durhakanya dan dikutuk jadi batu, dia lebih suka dikutuk jadi pria paling tampan di dunia.Tapi, melihat makanan yang diberikan Savira
Huuufffth...Huuufffth...Savira berusaha mengatur napasnya karena berlari sepanjang dua kilometer untuk mengejar waktu agar dia tak terlambat. Tapi nihil, wanita itu masih juga terlambat. Savira rela-rela berlari sepanjang dua kilometer, menghindari dari macet.Kalau saja dia tidak bangun lama dia tidak akan terlambat seperti ini. Saat membawa Raka ke sekolahnya tadi, Savira sudah menduga dia akan terlambat, ditambah lagi dengan jalanan yang macet membuat Savira dengan terpaksa turun dari angkot dan berlari sepanjang dua kilometer."Jam berapa ini, Savira?"Tiba-tiba suara yang sangat dikenalnya berada di belakang, bertanya padanya dengan nada suara yang terdengar marah. Savira tahu, ini akan terjadi.Karena napasnya yang sudah mulai teratur, Savira membalikkan badannya seratus delapan puluh derajat hingga berhadapan dengan Axel. Wanita itu menyengir kuda, kemudian tangan