Esther turun dari mobil mewah sang ayah dengan wajah tertekuk kesal. Ia bahkan dengan kasar membanting pintu mobil di kursi penumpang begitu Tobias menghentikan mobil yang ia kendarai dan memarkirkannya di halaman rumah megah milik keluarga Yasefa itu.
Perilaku Esther justru berbanding terbalik dengan Asteria, kakak tirinya. Tobias melirik Asteria yang tengah duduk di sampingnya sambil melihat sikap buruk Esther barusan dengan wajah melongo.Saat Tobias hendak memulai pembicaraan dengan gadis itu, Asteria lebih dulu menghadap kepadanya sembari membuka sabuk pengamannya dengan lembut. Senyuman yang muncul di wajah Asteria membuat Tobias mau tak mau ikut tersenyum."Maafkan Esther, Papa. Mungkin dia masih kesal dengan sikap teman-teman yang tadi menghakiminya." Tobias mengulurkan tangannya dan mengusap rambut panjang Asteria dengan lembut seraya terkekeh pelan."Tidak apa-apa, Sayang. Lagipula ini bukan pertama kalinya kita melihat sikap Esther yang seperti itu kan?"Asteria tertawa kecil mendengar pertanyaan sang ayah hingga membuat Tobias pun ikut tertawa. Mereka berdua akhirnya secara bergantian turun dari mobil Pajero Sports berharga selangit itu.Gadis itu tampak begitu bahagia seraya berjalan menuju rumahnya. Ia memandangi bangunan mewah nan modern itu dengan pandangan kagum.Ia memang sudah dibuat kagum sejak ia membuka matanya. Di sepanjang jalan dari sekolahnya, Asteria sudah sukses terpukau dengan kondisi jalan serta ramainya kota di sore hari itu.Tobias merangkul bahu Asteria hingga membuat gadis itu tersenyum senang. Rasa rindu yang ia rasakan untuk kedua orang tuanya bisa sedikit terobati dengan perhatian dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh Tobias.Meski Asteria tak bisa memungkiri, ia pun sangat merindukan orang tua kandungnya di Kerajaan Middlemost. Namun, ia pun tak bisa melakukan apapun untuk bisa kembali ke tempat asalnya."Kami pulang."Seorang wanita berpakaian rapi nan anggun berjalan menuruni tangga dengan pinggiran kaca bening sambil menatap lurus ke arah pintu utama dimana suami dan anak tirinya masuk."Syukurlah. Ayo segera bersihkan diri. Kita akan makan bersama untuk merayakan berakhirnya masa ujian Asteria dan Esther.""Dimana Esther, Sayang?" tanya Tobias sambil berjalan mendekati sang istri dan memeluknya.Bella Hardy, yang merupakan istri Tobias Yasefa sekaligus ibu tiri Asteria menghela napas begitu panjang setelah sang suami menanyakan keberadaan putri kandung."Dia terlihat begitu marah. Esther tidak menjawab ucapanku, dia bahkan membanting pintu kamarnya di depan wajahku."Tobias turut menghela napas setelah mendengar perkataan sang istri. Ia melirik Asteria yang masih berdiri di dekat mereka dengan senyum tipis."Anak itu memang perlu diberi ketegasan lebih. Dia selalu berusaha menjadi orang paling benar meski pada kenyataannya dialah yang berbuat salah."Bella selaku seorang ibu pun mau tak mau menganggukkan kepalanya. Apa yang dikatakan oleh sang suami benar adanya.Esther merupakan anak keras kepala yang selalu ingin dianggap benar meski dia sebenarnya salah.Selama ini ia selalu hidup penuh kasih sayang dan begitu dimanjakan oleh Tobias dan Bella. Bella tak tau apa yang salah, ia selalu melimpahkan kasih sayang yang sama pada kedua putrinya tanpa membeda-bedakan mereka.Namun, Esther justru tumbuh menjadi anak yang seenaknya. Gadis itu sedikit egois dan selalu ingin menang sendiri."Naiklah ke atas, Sayang. Bersihkan dirimu, jika kau selesai barulah turun untuk makan."Asteria mengangguk-anggukkan kepalanya dengan patuh. Bella dan Tobias tersenyum pada putri sulung mereka yang kini dengan langkah ringan menaiki anak tangga menuju lantai dua.Asteria berjalan dengan bahagia menyusuri rumah barunya itu. Ia menghentikan langkah kakinya ketika ia kini berdiri tepat di depan pintu kamar Esther yang tertutup rapat."Miss right, eh?" gumam Asteria sambil memandangi pintu kamar Esther dengan senyuman kecil.Gadis itu kembali berjalan hingga kini berada di depan kamarnya. Asteria pun dengan cepat membuka pintu kamarnya dan berjalan memasuki ruangan itu.Kedua matanya tampak berbinar saat memandangi seisi kamar dengan nuansa astronomi yang kental itu."Ini membuatku ingat dengan kamar lamaku," ujar Asteria sambil berjalan menuju tempat tidurnya yang terletak di tengah ruangan.Gadis itu melepaskan tas di bahunya dan segera berjalan kembali menuju balkon. Saat melewati pintu balkon itu, senyum Asteria justru luntur.Kepalanya memutar kenangan mengerikan tentang kehidupan sebelumnya. Ia menyentuh tepian pagar pembatas balkon yang terbuat dari beton dengan tatapan sendu.Ia seolah masih bisa merasakan bagaimana telapak kakinya berpijak pada pembatas balkon di kamar Esther. Kedua mata Asteria bergulir memandangi halaman rumah keluarga Yasefa yang begitu luas.Semua pemandangan ini tampak tidak jauh berbeda dengan halaman paviliun milik Esther. Kenangan yang terus memberondong dirinya membuat Asteria justru merasa ingin meledak.Ia masih ingat betul bagaimana buku kesayangan yang ingin ia berikan pada sahabatnya justru mendarat di kepalanya hingga membuatnya terluka.Asteria juga masih ingat betul bagaimana wajah dingin tunangan tercintanya saat memandangi dirinya tanpa belas kasih."Jika aku bisa memutar waktu, maka aku akan memilih untuk menghancurkan kalian bahkan sebelum kalian berhasil memasuki kehidupanku."Asteria menarik napas panjang guna menenangkan dirinya. Ia tersenyum kecil sambil perlahan-lahan membuka kedua matanya."Hahh, terima kasih karena telah memberikan hidupmu untukku, Asteria."Saat Asteria bahkan belum bersiap dan berbenah, seseorang telah lebih dulu mengetuk pintu kamarnya hingga membuat dirinya terperanjat kaget."Sebentar," sahut Asteria sambil berlari kecil menuju pintu.Begitu ia membuka pintu itu, Asteria disuguhi wajah masam Esther. Gadis cantik dengan rambut panjang itu melipat kedua tangannya di depan dada seraya menatapnya dengan tatapan angkuh.Asteria tersenyum kecil saat melihat Esther di depannya. Gadis itu tampak tertarik dengan sikap sombong dan superior yang berusaha ditunjukkan oleh Esther."Ada apa, Esther?" tanya Asteria dengan ramah. Esther yang mihat sikap manis Asteria justru berdecak dan memutar matanya jengah."Ku mohon, berhentilah berpura-pura di depanku. Aku tau kau sengaja melakukan itu di depan Papa, kan?" Asteria diam-diam menahan senyuman dan menatap Esther dengan satu alis terangkat."Apa maksudnya berpura-pura? Papa menilai semuanya sendiri. Aku tidak pernah melakukan apapun.""Jangan kau pikir aku tidak bisa melihat wajah busukmu itu, anak pungut!" hardik Esther dengan kasar sambil menunjuk wajah Asteria. Gadis itu tidak tampak terkejut atau tercengang. Ia hanya dengan tenang menatap sang adik yang justru terlihat begitu berapi-api."Aku tidak pernah memiliki wajah busuk. Kau selalu bertingkah seolah kau manusia paling benar di sini. Tidakkah kau tau bahwa apa yang kau lakukan padaku itu salah?""Aku hanya dengan pelan memukul lenganmu! Lalu kenapa kau bersikap begitu dramatis di depanku? Di depan semua orang?!"Asteria menghela napas panjang dan memijat pangkal hidungnya seolah ia tampak begitu lelah. Gadis itu lantas menatap Esther dengan santai seolah tak terpengaruh sedikitpun dengan sikap kasar Esther."Aku tidak tertarik berdebat denganmu. Sebaiknya kau kembali ke kamarmu karena aku harus mandi," ujar Asteria sambil menutup pintu kamarnya dengan kencang di depan wajah Esther yang membuat gadis cantik itu menganga tak percaya."Kau itu memang tidak berguna! Seharusnya kau mati, dasar miskin!" Seorang wanita menyeringai puas melihat wanita lain yang tak bukan adalah adik tirinya sendiri tengah dirundung oleh hampir seluruh siswa dan siswi di sekolah mereka. Ia adalah Esther Yasefa, si cantik putri bungsu keluarga Yasefa. Jika Esther adalah seorang tuan putri di dunia nyata yang begitu dipuja, maka hal itu sangat berbanding terbalik dengan sang adik tiri yang merupakan putri sulung keluarga Yasefa. Dia adalah Asteria Yasefa. Asteria Yasefa adalah putri sulung dalam keluarga Yasefa. Asteria disebut sebagai putri yang terbuang dalam keluarga Yasefa. Bukan tanpa alasan, selain karena ia bukanlah putri kandung dari Bella Hardy dan Tobias Yasefa, Asteria selalu dianggap tertinggal. Ia dikenal sebagai seorang wanita bodoh yang tidak memiliki bakat sedikitpun. Jika Esther bersinar begitu terang, maka Asteria adalah api lilin yang nyaris padam. Meski namanya berarti bintang, Asteria tidak pernah memiliki cahayany
"Asteria sangat bodoh!" Seorang gadis dalam balutan gaun merah berenda dan dihiasi bordir itu menutup buku berukuran cukup besar dan tebal di tangannya dengan kasar. Ia meletakkan buku itu di atas sebuah meja rias yang dicat berwarna emas dengan hati-hati. "Kenapa Anda mengatakan itu, Yang Mulia? Bukankah Yang Mulia Edith sangat menyukai buku tentang manusia itu?" Gadis bernama Edith itu menghela napas berat dan kembali melihat buku yang ia letakkan di atas meja riasnya. Ia kemudian mengalihkan pandangannya dan menatap seorang pelayan wanita yang kini tengah mengambil sebuah gaun baru untuk Edith dengan kedua matanya yang berwarna merah menyala. "Aku kesal pada Asteria. Kenapa dia harus bunuh diri dengan cara seperti itu? Apa semua manusia bertindak sebodoh itu?" Lilianne terkekeh pelan kemudian berjalan menuju sang tuan putri sembari membawa sebuah gaun megah berwarna biru cerah dibantu oleh dua rekan lainnya yang bernama Rosseta dan Zaryne. "Anda tidak akan tau bagaimana rasan
"Asteria? Asteria bangun!"Edith mengerutkan keningnya saat ia merasakan pening yang begitu hebat mendera kepalanya. Ia sadar jika kini tubuhnya sedang diguncang dengan kuat oleh seseorang yang tidak ia ketahui. Edith samar-samar mendengar suara riuh di sekitarnya, tubuhnya terasa begitu kaku dan sakit.Mungkinkah Esther sudi mendekat dan mencoba menyelematkannya? Edith ingat betul bagaimana sakit yang ia rasakan di sekujur tubuhnya tepat setelah ia jatuh menghantam tanah. Apakah orang tuanya kini sudah mengetahui keadaannya?Tulang-tulang Edith terasa remuk dan hancur berkeping-keping. Kepalanya terasa pecah dan pandangannya gelap hingga perlahan semua rasa sakit itu menghilang. Edith yang sebelumnya merasakan sakit luar biasa menjadi nyaman dalam gelapnya.Tetapi tak lama, rasa sakit itu justru kembali. Ia merasakan pusing yang teramat sangat bersamaan dengan suara seorang gadis yang terdengar sedikit cempreng di telinganya."Asteria bangun! Kelas Miss Vivianne sebentar lagi dimulai
Luna tersenyum kecil pada Edith saat gadis itu sudah duduk di tepian ranjang ruang kesehatan. Edith hanya membalas senyuman kecil Luna itu dengan senyum sederhana.Gadis itu masih merasa begitu asing dengan tempat yang ia diami sekarang. Edith mengedarkan pandangannya dan melihat ke seliling ruangan bernuansa putih itu dengan kedua mata bulatnya."Aku akan memanggil seorang perawat untukmu, Asteria."Edith yang mendengar itu pun sontak menggeleng dengan ribut dan menatap Luna dengan wajah sedikit panik. Ia bahkan hendak turun dari ranjang ruang kesehatan jika Luna tidak menahannya."Tidak perlu. Aku, aku hanya butuh waktu untuk sendirian dan istirahat."Luna menghela napas panjang mendengar jawaban Edith. Ia pun hanya bisa mengangguk pasrah dan menepuk bahu Edith dengan lembut untuk sekedar memberikan dukungan pada gadis itu."Lekaslah sembuh. Aku akan meninggalkanmu, aku juga akan meminta ijin untukmu pada Miss Vivianne."Edith mengangguk kecil sebagai tanggapan atas perkataan Luna.
Asteria membaca lembaran surat di tangannya dengan senyum kecil. Setelah Vivianne menyebarkan undangan pada semua murid dalam kelas akselerasi yang didiami oleh Asteria, ia memerintahkan murid-muridnya untuk pulang karena waktu pembelajaran diselesaikan lebih awal.Asteria berjalan berdua dengan Luna menuju halaman depan Yu Zhorn Junior High School yang merupakan salah satu sekolah menengah pertama paling terkenal di kota Arone. Kota Arone adalah ibukota dari negara Bjorn yang ditinggali oleh Asteria."Aku yakin jika kau pasti akan mendapatkan nilai terbaik secara paralel seperti tahun lalu, Asteria!"Asteria menoleh pada Luna setelah mendengar ucapan penuh semangat dari kawannya itu. Ia tertawa kecil sembari memasukkan surat yang diberikan Vivianne padanya setelah melipat surat itu dengan rapi.Asteria tersenyum seraya menatap lurus ke depan. Senyuman di wajahnya begitu lebar yang membuat gadis itu tampak begitu ayu. Bukan tanpa alasan, Asteria tersenyum karena ia memang sudah tau ji
"Apa yang terjadi?"Seorang pria dalam balutan jas rapi berjalan menerobos kerumunan para siswa dan siswi Sekolah Menengah Pertama itu dengan langkah tegas dan suara berat yang membuatnya nampak berwibawa.Esther yang melihat kedatangan pria itu pun segera berlari seraya merentangkan kedua tangannya dan memasang wajah sedih yang membuat pria itu mengernyit bingung."Papa!"Asteria mengernyit bingung sambil terus memegang lengannya saat mendengar Esther berteriak nyaring sambil berlari ke arah seorang pria gagah berwajah tampan yang baru saja tiba.Ia memandangi pria itu dari atas hingga ke bawah. Asteria semakin dibuat bingung, wajah pria itu memiliki sedikit kesamaan dengan dirinya meski tidak 100% membuat mereka terlihat sama."Lihatlah dia, bersikap seperti korban meski pada kenyataannya dia adalah penjahatnya.""Benar. Itulah kenapa aku membencinya. Jika Om Tobi sampai membela dia, aku akan mencakar wajah menggelikannya itu," gerutu Luna dengan wajah kesal.Ah, rupanya pria itu ad
Esther turun dari mobil mewah sang ayah dengan wajah tertekuk kesal. Ia bahkan dengan kasar membanting pintu mobil di kursi penumpang begitu Tobias menghentikan mobil yang ia kendarai dan memarkirkannya di halaman rumah megah milik keluarga Yasefa itu.Perilaku Esther justru berbanding terbalik dengan Asteria, kakak tirinya. Tobias melirik Asteria yang tengah duduk di sampingnya sambil melihat sikap buruk Esther barusan dengan wajah melongo.Saat Tobias hendak memulai pembicaraan dengan gadis itu, Asteria lebih dulu menghadap kepadanya sembari membuka sabuk pengamannya dengan lembut. Senyuman yang muncul di wajah Asteria membuat Tobias mau tak mau ikut tersenyum."Maafkan Esther, Papa. Mungkin dia masih kesal dengan sikap teman-teman yang tadi menghakiminya." Tobias mengulurkan tangannya dan mengusap rambut panjang Asteria dengan lembut seraya terkekeh pelan."Tidak apa-apa, Sayang. Lagipula ini bukan pertama kalinya kita melihat sikap Esther yang seperti itu kan?"Asteria tertawa kec
"Apa yang terjadi?"Seorang pria dalam balutan jas rapi berjalan menerobos kerumunan para siswa dan siswi Sekolah Menengah Pertama itu dengan langkah tegas dan suara berat yang membuatnya nampak berwibawa.Esther yang melihat kedatangan pria itu pun segera berlari seraya merentangkan kedua tangannya dan memasang wajah sedih yang membuat pria itu mengernyit bingung."Papa!"Asteria mengernyit bingung sambil terus memegang lengannya saat mendengar Esther berteriak nyaring sambil berlari ke arah seorang pria gagah berwajah tampan yang baru saja tiba.Ia memandangi pria itu dari atas hingga ke bawah. Asteria semakin dibuat bingung, wajah pria itu memiliki sedikit kesamaan dengan dirinya meski tidak 100% membuat mereka terlihat sama."Lihatlah dia, bersikap seperti korban meski pada kenyataannya dia adalah penjahatnya.""Benar. Itulah kenapa aku membencinya. Jika Om Tobi sampai membela dia, aku akan mencakar wajah menggelikannya itu," gerutu Luna dengan wajah kesal.Ah, rupanya pria itu ad
Asteria membaca lembaran surat di tangannya dengan senyum kecil. Setelah Vivianne menyebarkan undangan pada semua murid dalam kelas akselerasi yang didiami oleh Asteria, ia memerintahkan murid-muridnya untuk pulang karena waktu pembelajaran diselesaikan lebih awal.Asteria berjalan berdua dengan Luna menuju halaman depan Yu Zhorn Junior High School yang merupakan salah satu sekolah menengah pertama paling terkenal di kota Arone. Kota Arone adalah ibukota dari negara Bjorn yang ditinggali oleh Asteria."Aku yakin jika kau pasti akan mendapatkan nilai terbaik secara paralel seperti tahun lalu, Asteria!"Asteria menoleh pada Luna setelah mendengar ucapan penuh semangat dari kawannya itu. Ia tertawa kecil sembari memasukkan surat yang diberikan Vivianne padanya setelah melipat surat itu dengan rapi.Asteria tersenyum seraya menatap lurus ke depan. Senyuman di wajahnya begitu lebar yang membuat gadis itu tampak begitu ayu. Bukan tanpa alasan, Asteria tersenyum karena ia memang sudah tau ji
Luna tersenyum kecil pada Edith saat gadis itu sudah duduk di tepian ranjang ruang kesehatan. Edith hanya membalas senyuman kecil Luna itu dengan senyum sederhana.Gadis itu masih merasa begitu asing dengan tempat yang ia diami sekarang. Edith mengedarkan pandangannya dan melihat ke seliling ruangan bernuansa putih itu dengan kedua mata bulatnya."Aku akan memanggil seorang perawat untukmu, Asteria."Edith yang mendengar itu pun sontak menggeleng dengan ribut dan menatap Luna dengan wajah sedikit panik. Ia bahkan hendak turun dari ranjang ruang kesehatan jika Luna tidak menahannya."Tidak perlu. Aku, aku hanya butuh waktu untuk sendirian dan istirahat."Luna menghela napas panjang mendengar jawaban Edith. Ia pun hanya bisa mengangguk pasrah dan menepuk bahu Edith dengan lembut untuk sekedar memberikan dukungan pada gadis itu."Lekaslah sembuh. Aku akan meninggalkanmu, aku juga akan meminta ijin untukmu pada Miss Vivianne."Edith mengangguk kecil sebagai tanggapan atas perkataan Luna.
"Asteria? Asteria bangun!"Edith mengerutkan keningnya saat ia merasakan pening yang begitu hebat mendera kepalanya. Ia sadar jika kini tubuhnya sedang diguncang dengan kuat oleh seseorang yang tidak ia ketahui. Edith samar-samar mendengar suara riuh di sekitarnya, tubuhnya terasa begitu kaku dan sakit.Mungkinkah Esther sudi mendekat dan mencoba menyelematkannya? Edith ingat betul bagaimana sakit yang ia rasakan di sekujur tubuhnya tepat setelah ia jatuh menghantam tanah. Apakah orang tuanya kini sudah mengetahui keadaannya?Tulang-tulang Edith terasa remuk dan hancur berkeping-keping. Kepalanya terasa pecah dan pandangannya gelap hingga perlahan semua rasa sakit itu menghilang. Edith yang sebelumnya merasakan sakit luar biasa menjadi nyaman dalam gelapnya.Tetapi tak lama, rasa sakit itu justru kembali. Ia merasakan pusing yang teramat sangat bersamaan dengan suara seorang gadis yang terdengar sedikit cempreng di telinganya."Asteria bangun! Kelas Miss Vivianne sebentar lagi dimulai
"Asteria sangat bodoh!" Seorang gadis dalam balutan gaun merah berenda dan dihiasi bordir itu menutup buku berukuran cukup besar dan tebal di tangannya dengan kasar. Ia meletakkan buku itu di atas sebuah meja rias yang dicat berwarna emas dengan hati-hati. "Kenapa Anda mengatakan itu, Yang Mulia? Bukankah Yang Mulia Edith sangat menyukai buku tentang manusia itu?" Gadis bernama Edith itu menghela napas berat dan kembali melihat buku yang ia letakkan di atas meja riasnya. Ia kemudian mengalihkan pandangannya dan menatap seorang pelayan wanita yang kini tengah mengambil sebuah gaun baru untuk Edith dengan kedua matanya yang berwarna merah menyala. "Aku kesal pada Asteria. Kenapa dia harus bunuh diri dengan cara seperti itu? Apa semua manusia bertindak sebodoh itu?" Lilianne terkekeh pelan kemudian berjalan menuju sang tuan putri sembari membawa sebuah gaun megah berwarna biru cerah dibantu oleh dua rekan lainnya yang bernama Rosseta dan Zaryne. "Anda tidak akan tau bagaimana rasan
"Kau itu memang tidak berguna! Seharusnya kau mati, dasar miskin!" Seorang wanita menyeringai puas melihat wanita lain yang tak bukan adalah adik tirinya sendiri tengah dirundung oleh hampir seluruh siswa dan siswi di sekolah mereka. Ia adalah Esther Yasefa, si cantik putri bungsu keluarga Yasefa. Jika Esther adalah seorang tuan putri di dunia nyata yang begitu dipuja, maka hal itu sangat berbanding terbalik dengan sang adik tiri yang merupakan putri sulung keluarga Yasefa. Dia adalah Asteria Yasefa. Asteria Yasefa adalah putri sulung dalam keluarga Yasefa. Asteria disebut sebagai putri yang terbuang dalam keluarga Yasefa. Bukan tanpa alasan, selain karena ia bukanlah putri kandung dari Bella Hardy dan Tobias Yasefa, Asteria selalu dianggap tertinggal. Ia dikenal sebagai seorang wanita bodoh yang tidak memiliki bakat sedikitpun. Jika Esther bersinar begitu terang, maka Asteria adalah api lilin yang nyaris padam. Meski namanya berarti bintang, Asteria tidak pernah memiliki cahayany