Kulangkahkan kaki menuju ke dalam. Terlihat mobil pengacara Arfan dan juga Bapak Husadi sudah terparkir di garasi rumah Mas Arga. "Assalamu'alaikum," ucapku. "Ini dia! Dasar wanita sableng! Gila kamu, ya! Sinting!" teriak Ibu begitu aku masuk ke dalam. Jambakan yang Ibu berikan, sangat menyakitkan. Namun entah mengapa, melihat beliau begini, aku malah suka. Terbayang lagi sikap mereka padaku dulu. Ini belum seberapa, Bu. "Diana! Cepat ke sini bawa air. Kita siram wanita miskin dan mandul ini, biar sekalian mampus!" Kulihat Kak Diana keluar dari belakang disusul oleh Shelina. Secepat kilat, aku menghindar dan menarik tangan Ibu yang tengah memegangiku. Byur! Air mengguyur badan tua Ibu mertuaku. "Aaaaa!" "Ma-maaf, Bu," ucap Shelina, karena ia yang paling banyak mengguyur air. "Sudah! Tenang semua! Hormati kami!" tegas Pak Husadi. Kami terdiam, lalu aku mulai melangkah menuju sofa. Tempat yang bahkan dulu tak boleh kududuki. "Jangan duduk di sana, nanti kuman orang miskin
"Apa yang kamu bicarakan tadi, Raina? Apakah tidak cukup dengan semua ini? Sekarang, kamu fitnah adikku?" teriak Kak Diana. Aku menyeringai di depannya, hal yang selama ini tak pernah kulakukan. "Untuk apa aku memfitnah Megan, Kak? Kalau tak percaya, ayo kita ke rumah. Biar Kakak bisa lihat sendiri, apa yang dilakukan oleh adik Mbak itu!" Kak Diana hanya terdiam. "Atau kalau tidak, tanya saja Mas Arga nanti. Dia tahu, kok." "Mas Arga? Jadi, selama ini, dia menyembunyikan semua ini dari kita!" seru Shelina. Aku terkekeh, membuatnya wanita j*lang itu menatapku. "Apa yang membuatmu tertawa?" tanyanya. Aku menggeleng sambil terus terkekeh. "Tidak. Aku hanya aneh saja. Orang yang sangat ingin hamil, sampai berbohong tentang kehamilannya. Eh, sekarang adiknya malah yang hamil. Astaga, dunia memang selucu itu, ya!" "K*rang aj*r! Puas kamu, Rain?" "Tentu, Kak. Ini belum seberapa, dari apa yang kalian lakukan padaku!" Aku melangkah pergi, lalu bersenandung. Sengaja, agar mereka tam
"Sini kamu!" Mas Arga menyeretku ke luar, kulirik Mama sempat melihat kami. "Apa, sih?" ucapku sambil menghentakkan tangan. "Apa yang kamu lakuin di rumah tadi?" "Apa? Aku hanya mengambil apa yang menjadi hakku!" "Termasuk rumah yang kutinggali? Jangan serakah, Rain. Bagianmu itu ruko. Kenap sampai rumah kamu pinta?"Aku mengernyit. Rumah? Perasaan aku tak mengambilnya, malah justru aku memberi mereka sebidang tanah yang berada tepat di belakang rumah Mas Arga. "Aku tak mengambil rumah, Mas. Justru-""Alah. Sudah lah, percuma aku kembali dan memperjuangkan kamu, Rain. Nyatanya kamu jahat. Bahkan tak segan merebut rumahku!" Aku mencebik. Sudah pasti Ibu tengah mengadu dombaku dengan Mas Arga. "Terserah kamu saja lah, Mas! Aku sudah capek sama Ibumu itu. Nggak tahu apa pengennya. Dari dulu isinya fitnah sama nyiksa aku terus," ucapku. "Raina!" teriak Mas Arga. Mama dan Megan keluar dari kamar. Mereka menghampiri kami. "Ada apa, Arga?" "Iya. Ada apa, Kak?" "Kamu juga, Megan!
Aku berjalan pelan menuju sumber suara. Terlihat Megan tengah berdiri bersama seorang lelaki. Dapat kurasakan dari sirat mata lelaki itu, ada rindu, kekhawatiran, ketakutan. "Aku terus mencarimu, Kak. Kakak kenapa tega lakuin ini sama aku?" Megan mulai terisak. Sebenarnya, siapa lelaki itu? Kenapa Megan malah menangisinya? "Megan, situasinya lagi nggak bener. Nanti, kalau sudah tepat, aku akan menghubungimu. Kita akan menikah. Ya?" Ah, apakah dia adalah Alfi? Kakak kelas yang menghamili Megan? Tanganku mengepal. Kenapa bisa lelaki br*ngs*k itu ada di sini? "Heh, Alfi!" Kuurngkan niat untuk menghampiri mereka karena ada seorang bapak-bapak yang menghampiri keduanya. "Malah mojok di sini. Buruan petik jeruknya supaya kita bisa dapat uang banyak! Kamu siapa, hah?" tanyanya beralih ke Megan. Mata bapak itu merah dan juga sayu. Sepertinya ia seorang pemabuk. "I-iya, Pak. Alfi balik kerja lagi." Alfi lantas berlari menuju kerumunan orang yang sedang memetik jeruk. Kulihat bapaknya A
"Bagaimana? Apakah pernah?" Pertanyaan Andri membuyarkan lamunanku. "Eh? Nggak, kok. Nggak pernah." Andri mengangguk, lalu kami mulai membahas segala hal. Ujung-ujungnya mengenang masa lalu, hihi. "Udah sore, aku pulang dulu," ucapku sambil mengulurkan tangan. "Oke, sampai bertemu di persidangan." Aku tersenyum, kemudian berbalik. Bismillah, semoga keputusanku ini tepat dan aku tak menyesalinya. Sampai di rumah. Kulihat Mama tengah menonton televisi bersama Megan. Aku yang baru pulang, langsung ikut nimbrung setelah cuci kaki dan cuci tangan. "Megan, besok ikut Mbak, yuk!" ajakku."Ke mana, Mbak?" tanyanya."Kita periksa kandungan. Selama hamil, kamu kan belum pernah periksa. Gimana?" Megan tersenyum, kemudian mengangguk. "Iya, Mbak. Boleh." Aku mengacungkan jempol, kemudian mengambil ponsel dan berselancar di dunia maya. Banyak postingan yang lewat. Dari yang sedih hingga yang bahagia. Hingga akhirnya, aku berhenti di status Mas Arga.[Aku menyesal, telah menyakitimu. Meny
Kami sampai di rumah Ibu. Tampak lengang. Mungkin karena Mas Arga masih di kantor, dan Shelina tadi bersama selingkuhannya?Aku dan Megan segera masuk."Assalamu'alaikum. Bu?"Tampak Ibu keluar dari kamarnya sambil menguap lebar. Astaghfirullah! Udah jam 11 padahal. Rumah berantakan, banyak sampah di mana-mana."Ngapain kalian ke sini?" tanya beliau, mungkin terkejut melihat kami sudah masuk."Bu!" Megan berlari menghampiri Ibu. Tampak Ibu acuh. Bukannya merangkul karena lama tak bertemu, ini malah diam seribu bahasa. Astaghfirullah, ya Allah. Semoga Ibu segera diberi hidayah."Bu, maafkan Megan. Megan bersalah, Bu!""Bagus kamu sadar! Kamu memang salah. Dasar b*d*h! Mau-maunya diperdaya lelaki. Ibu tak sudi memiliki anak kotor sepertimu!"Hatiku terasa sakit mendengarnya, meskipun bukan aku sendiri yang menerima cacian itu.Ya Allah, mulut itu masih saja terdengar pa
"Kutolehkan kepala ke arah Megan. Pipinya telah basah oleh air mata. Ya Allah, aku merasa sangat bersalah."Megan, maafkan Mbak, ya. Seharusnya Mbak nggak bawa kamu ke sana. Mbak lupa bahwa di sana bukan rumah, tapi neraka.""Nggak papa, Mbak. Aku jadi sadar, kalau Ibu memang sudah tak bisa memaafkan aku. Tak apa, Mbak. Aku mengerti."Megan mengusap air mata yang lagi terjatuh."Kamu masih punya Mbak, dan juga yang lain. Mbak tak akan meninggalkanmu di tengah kegelapan. Setelah ini, Mbak ingin membalaskan sakit hati Mbak. Maaf, Megan. Yang penting, Mbak takkan membuat mereka celaka."Megan menatapku penuh tanya. Biarlah, aku tak ingin membagi rencanaku kali ini.Sampai rumah, Megan ikut nonton televisi dengan Mama. Sementara aku duduk di meja makan."Gimana tadi, Rain?" tanya Mama sambil mengupas jeruk."Ya begitulah, Ma. Rain juga kecewa dengan Arga yang tak bisa tegas dari awal. Juga
Setelah selesai bersiap, aku segera menaiki mobil dan meluncur ke perumahan mewah itu.Aku tak habis pikir, kenapa Shelina bisa sampai melakukan hal begitu? Berselingkuh dengan pria yang bahkan sudah memiliki cucu. Astaghfirullah!Dedi Sanjaya.Lelaki yang tempo hari pergi bersama Shelina di poli kandungan itu, adalah seorang pengusaha.Aku kini tahu betul latar belakangnya. Ya, aku menyuruh seseorang untuk mencari tahu semua.Memiliki dua orang istri yang tinggal satu atap, tujuh orang anak, serta tiga cucu di usianya yang sudah bisa dibilang tua. Bagaimana tidak? Ia seumuran dengan Papa.Drrt-drrt!Ponselku berdering. Dari Arman, orang yang kusuruh membuntuti lelaki tua itu."Halo, Man!""Halo, Kak!""Gimana?" tanyaku."Tepat sesuai prediksi Kakak. Mereka sekarang ada di hotel."Aku tersenyum sinis."Awasi terus mereka. Jangan sampai mereka kel