"Sini kamu!" Mas Arga menyeretku ke luar, kulirik Mama sempat melihat kami. "Apa, sih?" ucapku sambil menghentakkan tangan. "Apa yang kamu lakuin di rumah tadi?" "Apa? Aku hanya mengambil apa yang menjadi hakku!" "Termasuk rumah yang kutinggali? Jangan serakah, Rain. Bagianmu itu ruko. Kenap sampai rumah kamu pinta?"Aku mengernyit. Rumah? Perasaan aku tak mengambilnya, malah justru aku memberi mereka sebidang tanah yang berada tepat di belakang rumah Mas Arga. "Aku tak mengambil rumah, Mas. Justru-""Alah. Sudah lah, percuma aku kembali dan memperjuangkan kamu, Rain. Nyatanya kamu jahat. Bahkan tak segan merebut rumahku!" Aku mencebik. Sudah pasti Ibu tengah mengadu dombaku dengan Mas Arga. "Terserah kamu saja lah, Mas! Aku sudah capek sama Ibumu itu. Nggak tahu apa pengennya. Dari dulu isinya fitnah sama nyiksa aku terus," ucapku. "Raina!" teriak Mas Arga. Mama dan Megan keluar dari kamar. Mereka menghampiri kami. "Ada apa, Arga?" "Iya. Ada apa, Kak?" "Kamu juga, Megan!
Aku berjalan pelan menuju sumber suara. Terlihat Megan tengah berdiri bersama seorang lelaki. Dapat kurasakan dari sirat mata lelaki itu, ada rindu, kekhawatiran, ketakutan. "Aku terus mencarimu, Kak. Kakak kenapa tega lakuin ini sama aku?" Megan mulai terisak. Sebenarnya, siapa lelaki itu? Kenapa Megan malah menangisinya? "Megan, situasinya lagi nggak bener. Nanti, kalau sudah tepat, aku akan menghubungimu. Kita akan menikah. Ya?" Ah, apakah dia adalah Alfi? Kakak kelas yang menghamili Megan? Tanganku mengepal. Kenapa bisa lelaki br*ngs*k itu ada di sini? "Heh, Alfi!" Kuurngkan niat untuk menghampiri mereka karena ada seorang bapak-bapak yang menghampiri keduanya. "Malah mojok di sini. Buruan petik jeruknya supaya kita bisa dapat uang banyak! Kamu siapa, hah?" tanyanya beralih ke Megan. Mata bapak itu merah dan juga sayu. Sepertinya ia seorang pemabuk. "I-iya, Pak. Alfi balik kerja lagi." Alfi lantas berlari menuju kerumunan orang yang sedang memetik jeruk. Kulihat bapaknya A
"Bagaimana? Apakah pernah?" Pertanyaan Andri membuyarkan lamunanku. "Eh? Nggak, kok. Nggak pernah." Andri mengangguk, lalu kami mulai membahas segala hal. Ujung-ujungnya mengenang masa lalu, hihi. "Udah sore, aku pulang dulu," ucapku sambil mengulurkan tangan. "Oke, sampai bertemu di persidangan." Aku tersenyum, kemudian berbalik. Bismillah, semoga keputusanku ini tepat dan aku tak menyesalinya. Sampai di rumah. Kulihat Mama tengah menonton televisi bersama Megan. Aku yang baru pulang, langsung ikut nimbrung setelah cuci kaki dan cuci tangan. "Megan, besok ikut Mbak, yuk!" ajakku."Ke mana, Mbak?" tanyanya."Kita periksa kandungan. Selama hamil, kamu kan belum pernah periksa. Gimana?" Megan tersenyum, kemudian mengangguk. "Iya, Mbak. Boleh." Aku mengacungkan jempol, kemudian mengambil ponsel dan berselancar di dunia maya. Banyak postingan yang lewat. Dari yang sedih hingga yang bahagia. Hingga akhirnya, aku berhenti di status Mas Arga.[Aku menyesal, telah menyakitimu. Meny
Kami sampai di rumah Ibu. Tampak lengang. Mungkin karena Mas Arga masih di kantor, dan Shelina tadi bersama selingkuhannya?Aku dan Megan segera masuk."Assalamu'alaikum. Bu?"Tampak Ibu keluar dari kamarnya sambil menguap lebar. Astaghfirullah! Udah jam 11 padahal. Rumah berantakan, banyak sampah di mana-mana."Ngapain kalian ke sini?" tanya beliau, mungkin terkejut melihat kami sudah masuk."Bu!" Megan berlari menghampiri Ibu. Tampak Ibu acuh. Bukannya merangkul karena lama tak bertemu, ini malah diam seribu bahasa. Astaghfirullah, ya Allah. Semoga Ibu segera diberi hidayah."Bu, maafkan Megan. Megan bersalah, Bu!""Bagus kamu sadar! Kamu memang salah. Dasar b*d*h! Mau-maunya diperdaya lelaki. Ibu tak sudi memiliki anak kotor sepertimu!"Hatiku terasa sakit mendengarnya, meskipun bukan aku sendiri yang menerima cacian itu.Ya Allah, mulut itu masih saja terdengar pa
"Kutolehkan kepala ke arah Megan. Pipinya telah basah oleh air mata. Ya Allah, aku merasa sangat bersalah."Megan, maafkan Mbak, ya. Seharusnya Mbak nggak bawa kamu ke sana. Mbak lupa bahwa di sana bukan rumah, tapi neraka.""Nggak papa, Mbak. Aku jadi sadar, kalau Ibu memang sudah tak bisa memaafkan aku. Tak apa, Mbak. Aku mengerti."Megan mengusap air mata yang lagi terjatuh."Kamu masih punya Mbak, dan juga yang lain. Mbak tak akan meninggalkanmu di tengah kegelapan. Setelah ini, Mbak ingin membalaskan sakit hati Mbak. Maaf, Megan. Yang penting, Mbak takkan membuat mereka celaka."Megan menatapku penuh tanya. Biarlah, aku tak ingin membagi rencanaku kali ini.Sampai rumah, Megan ikut nonton televisi dengan Mama. Sementara aku duduk di meja makan."Gimana tadi, Rain?" tanya Mama sambil mengupas jeruk."Ya begitulah, Ma. Rain juga kecewa dengan Arga yang tak bisa tegas dari awal. Juga
Setelah selesai bersiap, aku segera menaiki mobil dan meluncur ke perumahan mewah itu.Aku tak habis pikir, kenapa Shelina bisa sampai melakukan hal begitu? Berselingkuh dengan pria yang bahkan sudah memiliki cucu. Astaghfirullah!Dedi Sanjaya.Lelaki yang tempo hari pergi bersama Shelina di poli kandungan itu, adalah seorang pengusaha.Aku kini tahu betul latar belakangnya. Ya, aku menyuruh seseorang untuk mencari tahu semua.Memiliki dua orang istri yang tinggal satu atap, tujuh orang anak, serta tiga cucu di usianya yang sudah bisa dibilang tua. Bagaimana tidak? Ia seumuran dengan Papa.Drrt-drrt!Ponselku berdering. Dari Arman, orang yang kusuruh membuntuti lelaki tua itu."Halo, Man!""Halo, Kak!""Gimana?" tanyaku."Tepat sesuai prediksi Kakak. Mereka sekarang ada di hotel."Aku tersenyum sinis."Awasi terus mereka. Jangan sampai mereka kel
Wajah pucat Shelina yang terlihat pertama kali begitu pintu itu terbuka. Tak lupa kunyalakan perekam video agar dapat kuviralkan esok."Siapa, Sayang?"Dapat kulihat Bu Fatma bertambah marah saat mendengar suara ngebass dari belakang Shelina."K-kak, ngapain ke sini?" tanya Shelina tampak gugup."Aku cuma nganterin dua orang ini.""Dasar pelakor kau ya!"Bu Fatma merangsek maju, menjambak rambut Shelina yang panjang nan berantakan itu. Kamera ponselku terus mengarah pada keduanya. Bukan bermaksud enggan melerai, tapi ini bagus untuk dia yang kur*ng aj*r dan berani-beraninya menghancurkan rumah tangga orang.Ada banyak jenis si Shelina ini, ada yang lebih garang dia daripada istri sah, ada pula yang lari kocar-kacir begitu liat penampakan sang 'pemilik' yang sesungguhnya dari laki-laki tersebut."Aaa! Tolong! Om, bantuin dong! Mereka ini siapa, sih? Aw, sakit!""Dasar j*l*ng! Manu
Perlahan menghampiri pintu, dapat kudengar suara di dalam. Mobil di depan adalah punya Kak Diana dan juga Mas Arga. Ada apa lagi mereka ke sini? Apa tak cukup menyakiti Megan?"Assalamu'alaikum," ucapku sambil membuka sepatu."Wa'alaikum salam."Nampak wajah tak bersahabat dari kedua orang itu, Ibu dan juga Kak Diana. Sementara Mas Arga sedari tadi terus menatapku, membuatku tak enak sendiri.Mama menghampiri, lalu memberitahu jika ada yang mau mereka bicarakan padaku. Aku berjalan dan duduk di depan mereka."Ada apa?" tanyaku, datar. Tak ada senyum untuk merasa. Buat apa? Toh mereka nggak ada sopan-sopannya."Nih!"Ibu meletakkan sebuah surat yang kutahu dari pengadilan agama. Rupanya sudah datang. Aku tersenyum."Lalu?""Kamu beneran mau cerai dariku, Dek?" Aku nggak mau," kata Mas Arga."Tapi aku mau. Gimana dong?""Pikirkan lah baik-baik, Dek. Jangan
BAB 58 Aku tak bisa tinggal diam saja ketika melihat suamiku diharapkan oleh perempuan lain. Terlebih ini adalah oleh wanita di masa lalu Mas Uji. "Ayo, Na, kita teruskan jalan-jalan. Misi ya, Nak Riris." Seperti ada kekecewaan di kedua manik hitam perempuan manis itu. Seolah-olah mengharapkan sesuatu yang memang sangat ia inginkan. "Umi duluan, Nana mau ngobrol dulu sama Mbak Riris." Riris membeliakkan matanua seakan bingung dengan keinginanku. Aku meminta Umi untuk menunggu di warung dekat lapangan. "Ada apa, Mbak?" tanya Riris. "Begini ya, Mbak Riris. Aku tak ingin menggunakan cara kasar. Singkatnya saja, tolong jauhi suami saya. Mbak Riris sudah tahu Mas Uji memiliki seodang istri, kenapa masih mengharapkannya?" tanyaku pada Riris yang langsung menunduk. Kupikir, wanita itu mengerti, namun ternyata tidak. Ia justru terkekeh mendengar ucapanku. "Lantas, kalau dia sudah menikah memang kenapa? Banyak kok, pernikahan yang hancur karena orang ketiga." Dadaku berdebar kencang
"Eh, Nak Raina. Nggak papa, tadi Bibi salah ngomong. Kalau begitu, aku pulang dulu ya mbak, soalnya bentar lagi mau ada tamu. Maaf gak bisa ngebantu dulu," ucap Bi Waroh. Umi menggelengkan kepalanya, Aku hanya bisa beristighfar dan mencoba sabar untuk menghadapi bibinya Suamiku itu. Aku sadar, jumlah manusia itu banyak dan tak mungkin semuanya itu menyukai kita. Ada saja permasalahan yang terjadi, meski kita hanya diam saja. "Mau masak apa, Mi? Biar Nana bantu." "Nggak usah, Na. Umi bisa melakukannya sendiri, lagi pula kamu di rumah Mama kan nggak pernah ngapa-ngapain, Masa Iya Umi mau menyuruh-nyuruh kamu." Aku terkekeh, memang banyak orang yang mengira jika Mama terlalu memanjakan aku. Padahal sebenarnya tidak, karena aku pun mengerjakan pekerjaan rumah selayaknya anak pada umumnya ketika di rumah. "Nggak, Mi, Nana juga sering masak di rumah. Enak masakannya, Mi," ucap Mas Uji sambil keluar dari kamar. "Iyakah? Wah Umi nggak tahu, Ayo kalau gitu sini, Na, bantu kupaskan kentan
BAB 56 "Maafkan Riris, ya, dia memang terkenal pendiam. Jadinya begitu," ucap Bu Ina. Pendiam? Dari mananya? Terlihat sekali jika anaknya itu memendam perasaan pada suamiku. "Iya, Bu, nggak papa," jawabku. Mas Uji mengajakku keliling kampung lagi. Kampung suamiku memang sangat asri lingkungannya. Banyak pepohonan yang masih rindang. "Mas, Riris beneran pendiam?" tanyaku. "Iya, memang begitu. Kenapa?" "Nggak papa." Kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di rumah. Rupanya, Umi sudah membuatkan kudapan. Aku jadi tak enak, karena tak membantunya. "Maaf ya, Umi, Raina nggak bantuin." "Nggak papa, Nak Rain. Ayo, dimakan." Aku mengangguk, kami lalu lanjut mengobrol tentang masa-masa Mas Uji setelah pindah dulu. Ternyata, Umi tak jauh berbeda. "Sudah, Mi. Uji malu, ah." Umi terkekeh, lalu mengajakku untuk ikut pengajian nanti malam. Sementara Mas Uji berlalu untuk mandi sore. "Di mana, Mi?" tanyaku. "Ada di mushola, tadi Uji ngajak ke sana, nggak? Ke guru ngajinya U
BAB 55Aku kembali ke kamar. Perasaan senang yang tercipta dari rumah tadi mendadak menguap begitu saja. Hatiku sakit saat lagi-lagi mendapat hinaan semacam itu. Meski tak diucapkan secara langsung, tapi itu bisa membuatnya lebih sakit hati. "Kenapa balik lagi?" tanya Mas Uji. "Oh, nggak papa. Ada Bik Waroh di belakang," jawabku. "Apa Bik Waroh ngomong yang nyakitin hati?" tanya Mas Uji sambil memegang pundakku. "Nggak, Mas. Cuma aku memang agak capek aja." "Oh, ya sudah, istirahat. Kamu kan akhir-akhir ini sering bolak-balik ke toko. Belum ke toko cabang. Jadi, selama di sini, kamu bisa istirahat." Aku mengangguk. Kantor Mas Uji dengan rumah Umi jauh lebih dekat daripada dari rumahku. Itu sebabnya, aku menyetujui ketika kami akan tinggal di sini selama seminggu. Aku keluar kamar, lalu melihat foto keluarga yang sepertinya sudah lama diambilnya. Di sana ada almarhum bapak mertua. "Sayang sekali, Raina nggak bisa bertemu dengan Bapak," ucapku sambil mengelus bingkai fotonya. "
Aku menghela napas, ragu akan menjelaskan semuanya. Bukan tidak mungkin, Mas Uji malah akan menuduhku melakukan alibi untuk menutupi semua kesalahanku. "Laki-laki emang begitu kalau sudah cemburu, Na. Dulu saja Papamu begitu." "Iyakah? Mama kan nggak punya mantan suami," ucapku sambil cemberut. "Kata siapa? Mama punya." "Hah? Serius? Lalu, apa Raina bukan anak Papa?" tanyaku dengan sendu. "Hust! Ngawur. Kamu ya anak Mama dan Papa. Dulu, Mama dijodohkan. Nggak lama pernikahan, cuma bertahan satu bulan aja. Mama kabur dan nggak mau kembali ke rumah itu. "Wah, Rain baru tahu soal ini, Ma." "Memang sengaja dirahasiakan. Buat apa? Mama jadi kepikiran sama kamu. Kenapa nasib kita sama? Apa ini karma dari perbuatan kami di masa lalu?" "Tidak, Ma. Ini sudah takdirnya. Dulu, pas Raina menikah dengan Mas Arga, itu sebuah kesalahan sehingga pernikahan pun gagal. Semoga dengan Mas Uji ini, kami bisa akur." "Aamiin. Ya sudah, Mama masuk dulu. Sudah adzan magrib." Aku mengangguk, lalu ik
"Mas?'" ulangku. Aneh, Mas Uji bahkan tak melirik sekalipun. Aku menghela napas, lalu segera mandi. Sebaiknya aku memang membersihkan diri terlebih dahulu, sebelum aku bertanya padanya. Usai mandi, masih kulihat Mas Uji di depan layar laptopnya. Ia bahkan tak bersuara sama sekali. "Mas, kamu kenapa sih?" tanyaku. "Kamu nanya aku kenapa? Harusnya aku yang nanya, kamu kenapa? Apa kamu mau kembali ke mantan suamimu?" Aku mengerutkan kening saat mendengar ucapan Mas Uji. Apa maksudnya? Kapan aku bilang akan kembali ke mantan suamiku? Jika pun iya, aku pasti sudah gila. Atau jangan-jangan.... "Mas apa kamu tadi-" "Ya, aku melihatmu masuk ke rumahnya Arga, mantan suamimu." Aku tersentak mendengar teriakan Mas Uji. Apakah ia cemburu? Seandainya iya, bukankah harusnya bicara pelan-pelan?"Dari mana kamu tahu, Mas?" "Jelas aku tahu, karena aku mengikutimu dari belakang," jawab Mas Uji. "Apa?" "Kenapa? Aku mau turun di toko, tapi ngeliat mobilmu pergi. Kupikir kamu mau pulang, terny
, “Lho, Raina. Ayo masuk dulu,” ajak mantan mertuaku.“Nggak usah, Bu. Raina ada janji dengan suami. Jadi langsung saja,” ucapku.“Apa karena kesalahan di masa lalu, makanya kamu nggak mau lagi silaturahmi dengan kami, Rain? Apa suami barumu itu melarangmu bergaul dengan orang lain, sehingga kamu begini?”“Bukan begitu…”“Kalau begitu, ayo masuk.”Megan menatapku dengan tidak enak, melihat itu aku jadi tak tega dengannya dan akhirnya masuk ke dalam rumah yang penuh dengan kenangan pahit itu. setelah mengembuskan napas, aku akhirnya duduk. Teringat beberapa bulan yang lalu aku bahkan sempat dijadikan babu gratisan di sini.“Kakak ambilkan minum dulu ya, Rain.”Aku hanya mengangguk saja. Bukan hanya Kak Diana, tapi Ibu pun ikut pergi ke belakang. Megan segera mendekatiku dan meminta maaf karena telah menuimbulkan rasa tak nyaman ini.“Iya, nggak papa. Tapi habis ini pulang, ya?” pintaku.“Iya, Kak. Megan juga sudah kangen sama Mama,” jawabnya dengan tersenyum lebar.
, BALASAN UNTUK SUAMI PELIT—Aku masih berpikir keras, haruskah kukirim pesan pada Arlan? Tapi, apa yang akan aku ucapkan? Ah, sudah lah. Yang terpenting sekarang, aku sudah memiliki nomor lelaki itu. Kulihat kembali nomor lelaki yang sanggup membuat jantungku berdebar itu. Ya Allah, sesungguhnya aku tak boleh begini, tapi hamba tak bisa mengendalikan perasaan ini.Pagi hari.Kak Raina melihatku dengan senyum merekah, membuatku menjadi salah tingkah. Apakah Mas Uji memberitau semuanya padanya? Jika iya, maka aku bisa-bisa abis diledeki olehnya.“Kenapa, Kak?” tanyaku, sambil bergeser karena terus dilihat dari tadi.“Nggak papa, kok. Megan nggak jadi nginap semalam.”“Iya, Kak, hujan lebat juga, kan?”Kak Raina mengangguk, kukira ia akasegera berlalu dan menyusul suamiya di depan karena sudah agak siang. Namun ternyata aku salah, ia malah semakin mendekatiku, dan sudah dipastikan hal apa yang akan ia lakukan.“Cie, nemu tambatan hati baru nih, ye!”Aku hanya mendeli
Ia tengah chattingan dengan Nur. Adikku itu ternyata curhat dan nanya-nanya soal lelaki yang kemarin datang ketika lamaran.Namun, kenapa Mas Uji sampe tersenyum seperti itu?"Rain, ngapain?"Aku panik, segera kubuka aplikasi facebook. Berpura-pura tengah melihat akun sosial media miliknya."Nggak papa. Pengen liat sosial media suamiku aja. Ga boleh emang?"Mas Uji tersenyum, lalu berjalan menuju lemari. Bukannya dia tadi mau mandi?"Mas nggak jadi mandi?" tanyaku."Handuknya ketinggalan, Adek Sayang," ucapnya sambil mencubit pipiku.Ish, lelaki ini! Mau sampai kapan gombalin dan bikin jantungku berdetak tak karuan?"Sudah ah, mandi sana!"Mas Uji tergelak melihat tingkahku yang menjauhkannya dariku. Kemudian ia pergi setelah sebelumnya mengacak rambutku.Aku merebahkan diri di atas kasur. Setelah bercerai dengan Mas Arga, aku lebih posesif pada Ma