Sudah satu minggu sejak penyelidkan itu dilakukan dan mereka tidak mendapatkan apa yang mereka cari.
Batara mengatakan itu dengan geram pada Kiran suatu pagi ketika mereka baru saja menyelesaikan sarapan, atau tetapnya Batara baru saja memakan sarapannya dan Kiran menatapnya dengan wajah datar.“Aku seperti orang bodoh percaya saja pada kata-kata anak kecil sepertimu.”Kiran masih diam, meski dalam hati merasa sangat was-was. Dia tidak sedang bergurau atau menduga kalau itulah tempat terakhirnya sebekum semua berubah.Ini sudah lebih dari dua bulan dan kemungkinan kecil sekali jika tubuhnya masih hidup jika masih ada di tempat itu memang.Satu-satunya harapan Kiran adalah sada salah satu warga yang menemukan tubuhnya dan menolongnya.“Tapi saya sangat yakin itu tempatnya.”Batara menatap Kiran dengan mata hitamnya yang tajam, membuat wanita itu langsung menundukkan pandangan tak mampu menentang sorot mata yang maKiran langgung melompat berdiri begitu seraut wajah tua dan keriput menatap dari atasnya. “Mbok Nah! Kenapa di sana!” Kepalanya pusing karena tiba-tiba bangun dari tidurnya, dadanya berdetak dengan kencang, tapi mbok Nah sama sekali tidak menarik tubuhnya, malah berjalan makin dekat pada Kiran. “Mbok Kenapa?” tanya Kiran bingung saat tangan wanita tua itu terulur ke arah wajahnya. “Kamu kenapa tho, Yu. Kok teriak-teriak panggil namamu sendiri?” Kiran teringat mimpinya tadi. Dengan kondisi bangun tidur dan perasaan yang luar biasa kacau hal yang bisa Kiran lakukan untuk mengalihkan perhatian mbok Nah adalah... lari. “Maaf mbok aku ke kamar mandi sebentar.” Dan begitu pintu kamar mandi tertutup rapat Kiran menyandar pada pintu dan mengatur napasnya yang memburu. Sangat tidak cerdas memang tapi efektif untuk menghindarkannya dari hal yang lebih parah lagi. “Yu, kamu baik-baik saja?” terdengar ketukan dan suara kekhawatiran mbok Nah dari luar sana. Kiran sadar sudah cukup lama
Liza sepertinya menganggap Dafa budeg atau terlalu percaya diri sampai semua yang akan dia lakukan akan mendapat dukungan dari Dafa. Nyatanya wanita itu salah, atau lebih tepatnya itu yang ditunjukkan Dafa saat ini. “Apa yang terjadi kenapa semua ini? apa kamu tidak bisa membawa sebuah nampan,” kata Dafa tajam pada Kiran. “Seseorang sengaja membuat nampan saya jatuh, padahal saya tadi membeli kue itu dengan uang terakhir saya.” Satu hal yang dipelajari dengan baik dari Dafa adalah berakting menyedihkan yang bisa mempengaruhi orang yang melihatnya. Dafa menatap kue-kue yang berserakan itu dan menghembuskan napas berat. “kenapa kamu melakukannya, Liza?” tanyanya pelan. “Makanan itu pasti dibeli di pinggir jalan dan tidak higienis, aku akan membelikan yang lebih-““Cukup, bereskan itu dan bawakan aku minuman yang lain,” dia lalu menarik napas panjang. “Dimana kamu membeli kue itu?” lanjutnya. Kiran masih men
Kiran pernah berpikir kalau dia memang sudah gila. Yah tentu saja, dengan menikahi Dafa dan terang-terangan melawan orang tuanya. Tapi hal itu sepertinya tidak lebih gila dengan apa yang dia lihatnya sekarang ini. “Mas Dafa, aku datang untuk mengantarkan makan siang untukmu tapi sekretarismu-“ “Saya sudah memesankan makan siang untuk anda seperti yang anda inginkan, Pak,” kata Liza penuh penekanan. “Mas Dafa tidak perlu pesan makanan di luar, makanan yang kubawa jelas lebih sehat.” “Saya sekretarisnya dan tahu apa yang beliau inginkan.” “Kamu hanya sekretaris bukan istri.” Kiran berdiri menatap semuanya sambil masih memeluk nampan di dada, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri seolah dia sedang menonton pergerakan bola tenis dalam sebuah permainan. “Saya yang paling memahami pak Dafa.” “Sudahlah, aku akan membayar makan siang yang kamu pesan dan kamu bisa memakannya.” “Saya
“Aku mencintainya, sangat mencintainya dan aku akan memperjuangkannya.” “Aku bisa melihat itu, tapi memperjuangkan seseorang yang tidak mau berjuang akan sia-sia saja.” “Apa maksudmu tidak mau berjuang.” “Kamu tidak lihat sekelilingnya, apa sikapnya padamu beda dengan yang lain.” “Itu hanya soal waktu, dia akan bisa melihat ketulusanku.” Ini memang perdebatan konyol, menasehati orang yang sedang jatuh cinta untuk meninggalkan cintanya seperti bicara pada tembok batu. Tidak akan didengarkan. Kiran tahu benar akan hal itu, dia sudah memiliki pengalaman untuk itu dan sekarang dia menyesalinya. Dia yang biasanya sangat logis dan penuh empati, merasa sangat marah dan tidak terima saat orang tuanyanya menasehatinya tentang Dafa, dan sepertinya hal itu juga yang terjadi pada Rini saat ini. “Baiklah mungkin kamu benar, lambat laun dia akan mencintaimu, tapi satu hal yang perlu aku ingatkan jangan hanya menggunakan perasaanmu, gunakan juga logika.” Kiran keluar dari kamar itu secepat
Sebagian orang memang kadang ingin sendiri di waktu-waktu tertentu. Akan tetapi tentu saja tidak ada orang yang ingin seumur hidupnya hidup sendiri tanpa ada orang yang dia inginkan dan menginginkannya, itu betul-betul menyedihkan. “Jadi apa yang harus aku lakukan... ah aku akan menelpon bu Liza-“ “jangan lakukan itu juga, aku tidak ingin perempuan penuntut ini ada di sini,” katanya tajam. “Ah baiklah, tapi anda tidak bisa semalaman di sini.” “Kenapa tidak bisa, ini kantorku.” “Karena besok pagi-pagi sekali harus menghadiri rapat penting, dan anda butuh tidur cukup.” Oh terima kasih pada laki-laki yang memintanya memfoto kopi tadi setidaknya dia punya alasan yang masuk akal untuk itu. “Kalau begitu kamu yang mengantarkan aku pulang.” Kiran tersenyum samar. “Ehm... baiklah kita akan naik taksi saja.” “Aku bawa mobil.” “Tapi saya tidak bisa menyetir mobil.” Dafa menatap Kiran dengan kesal, tapi tidak mengatakan apapun dan itu dia artikan kalau laki-laki itu tidak keberatan na
Malam ini malam terpanjang untuk Kiran. Dia bahkan tidak kembali ke rumah besar Batara dan memutuskan untuk menginap di kamar kosnya, tentu saja setelah terlebih dahulu menghubungi Batara dan mbok Nah. Malam-malam yang dia habiskan untuk bekerja di waktu lalu terasa tidak sepanjang ini, sebentar-sebentar Kiran melirik jam dinding dan bahkan degan kurang kerjaannya dia akan mengamati setiap gerak jarum jamnya. Tubuhnya terasa penat dan letih, tapi matanya menolak keras untuk diajak tidur. Hatinya berdebar begitu kencang menunggu datangnya pagi. “Aku harus tidur dan mengumpulkan tenaga untuk besok pagi,” gumam Kiran putus asa. Tanpa mengganti bajunya yang sudah bau keringat yang seharian dia pakai, Kiran langsung merebahkan tubuhnya di sana, memeluk mesra gulingnya berharap kenyamanaan ini mampu membuat tubuhnya rileks dan matanya terpejam. Cukup lama Kiran mencoba sampai akhirya dengan kesal menendang selimutnya dan melempar guling. Matanya sama sekali tak mau memejam. “Aku but
Jika dulu saja saat masih ada dalam tubuh aslinya yang lebih kuat dari Ayu, Kiran sama sekali tak mampu untuk lepas dari mereka, kali ini Kiran juga tak yakin bisa menghadapi mereka karena itu kabur kembali ke tempat Vina dan yang lain adalah solusinya. Akan tetapi sepertinya kelima orang itu sedikt memiliki otak, mereka seperti tahu rencana Kiran yang ingin lari dan berteriak memanggil yang lain. “Kepung! Kapan lagi kita dapat kelinci secantik ini,” kata salah satu dari mereka. Tubuh Kiran sudah bergetar hebat, kali ini bukan karena takut tapi karena marah, dia mengepalkan tangannya dengan kuat, tubuhnya seperti dialiri hawa panas yang menyengat, meski dia tahu ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan panas matahari saat ini. “Monyet-monyet pengecut, apa kalian hanya berani pada anak kecil saja, dan di sini sembunyi seperti tikus setelah melakukan kejahatan!” kata Kiran dengan suara keras menggelegar, yang dia sendiri terkejut kalau Ayu bisa mengeluarkan suara seperti ini. L
Kiran sudah memmbayangkan dirinya akan melihat ini semua ratusan bahkan ribuan kali sejak terjatuh dari jurang. Akan tetapi melihatnya secara langsung berhasil memukulnya secara telak, Dia menatap laki-laki tua itu dengan pandangan bingung. "Anda siapa?" tanyanya dengan suara goyah. Tanpa senyum sama sekali orang itu menatap Kiran dalam tubuh Ayu lalu... pada tubuh KIran sendiri di tengah ruangan. Yah laki-laki ini tidak bohong saat mengatakan kalau akan membawanya pada apa yang dicarinya selama ini. Ruangan itu tidak besar, hanya dikelilingi dinding bambu, sebuah ranjang dari bambu diletakkan di tengah ruangan dengan lapisan beberapa tikar pandan di atasnya, dan sosok tubuhnya terbaring di sana dengan beberapa lilin dan berbagai daun-daunan yang mungkin dimaksudkan untuk obat atau entahlah disekelilngnya. "Apa yang anda lakukan pada...tubuh itu?" Tak ada lagi jawaban dari laki-laki itu dia hanya menatap sosok asli tubuh Kiran dan berjalan ke arah sana. Kiran dalam tubuh Ay