"Apa kamu ingin mengabari Dafa tentang ini?" Kiran menatap Batara seperti laki-laki itu sudah gila, dan tentu saja Batara menyadari hal itu. "Aku hanya berpikir dia yang paling berhak atas istrinya." "Aku yang berhak atas tubuhku sendiri!" kalimat itu meluncur begitu saja dalam kemarahan yang menggeletak dalam dadanya. "Maaf?" tanya Batara bingung dan Kiran langsung menyadari apa yang baru saja dia katakan. "Kiran pasti tidak mau tubuhnya disalah gunakan hanya untuk jabatan suaminya," Kata KIran dengan sinis, pandangannya menajam pada Batara, apa dia telah melakukan kesalahan dengan memberi tahunya semua ini? "Kamu sepertinya punya dendam pribadi pada Dafa." KIran tahu Batara berkata begitu bukan karena peduli tapi karena ingin menghina KIran dan betapa Kiran yang saat ini ada dalam tubuh Ayu sama sekali tidak memiliki hak untuk itu. "Menurut anda begitu?" Kiran tahub Batara akan kesal jika dia bertanya balik seperti itu, tapi apa pedulinya laki-laki ini juga sudah membuatnya
“Makanlah kamu butuh tenaga.” Burger yang diberikan Batara terlihat sangat lezat, tapi dalam keadaan seperti ini Kiran sama sekali tak mampu untuk menelan makanan, meski itu makanan favoritnya. Perasaan lega karena Batara mau membayarkan biaya rumah sakit untuknya langsung menguap saat dokter mengatakan keadaannya saat ini kritis dan butuh penanganan intensif. Dan saat ini tim dokter masih berada di dalam sana melakukan entah apa saja pada tubuhnya dan Kiran yang ada di dalam tubuh Ayu hanya bisa berjalan mondar-mandir di depan pintu untuk mengusir kekalutan hatinya. “Nanti saja tuan.” Batara mendengus. “Kamu sudah banyak merepotkanku dan aku tidak ingin ingin lebih repot lagi jika kamu pingsan,” katanya dengan ketus. Kiran menghentikan acara mondar-mandirnya dan menatap Batara dengan kesal, tapi tanpa berkata apapun dia mendekati Batara dan mengambil burger yang disodorkan laki-laki itu dan menjejalkannya ke dalam mulut. “Sudah,” katanya setelah susah payah menelan burger yang
Belum pernah Kiran merasa sesenang ini saat mendengar bunyi ponsel Batara yang meruang minta perhatian. Dan kesempatan itu dia gunakan sebaik mungkin untuk melarikan diri dari Batara dan kamar mandi adalah alasan yang dia gunakan sambil berdo’a dalam hati semoga saja Batara sudah lupa dengan pertanyaannya nanti atau setidaknya dia punya jawaban bagus untuk menghindar dari semua ini. Dadanya bergemuruh dengan kencang, seperti akan ada badai di sana, dan saat sampai di depan cermin kamar mandi Kiran mendapati seorang gadis beranjak dewasa yang berwajah pucat dan berantakan. Dan Kiran merasa sangat bersalah saat wajah Ayu menjadi lebih tua beberapa tahun dari usianya saat dia menggunakannya. Kiran membasuh wajah itu beberapa kali, tidak banyak berubah memang karena itu air biasa tentu saja, tapi setidaknya wajah itu lebih segar lalu tangannya membenarkan ikatan rambutnya yang sudah tidak rapi. “Apa aku terlalu banyak menyusahkanmu, Yu?
“Dari mana saja kamu?” Kiran terlonjak saat mendengar bentakan itu, otaknya masih penuh memikirkan kira-kira siapa leluhurnya yang bisa ditanyai soal ini semua, dan tentu saja hasilnya nihil karena dia tahu leluhur dari ayahnya semuanya telah berpulang kecuali satu orang pamannya yang dia sangat yakin tak tahu apapun soal kalung ini karena dia anak bungsu dan sama sekali bukan pewaris keluarga. Mungkin aku harus belajar bicara pada roh, gerutunya kesal. Dan saat itulah kakinya berjalan menuju tempat tubuhnya di rawat dan tentu saja di sana masih ada Batara yang menatapnya seperti harimau yang siap memangsa korbannya. “Yu, kamu masih hidup bukan!” Kiran terlonjak lagi dan kali ini langsung memberi perhatian pada Batara. “Ah iya tentu saja,” jawabnya sambil tersenyum, maksudnya berusaha tersenyum dengan otak masih terus berputar cepat. Apa berpindah ke tubuh Ayu membuat otaknya pelan-pelan juga menyusut, kenapa dia sama sekali tidak bisa memikirkan satu pun solusi untuk masalah ya
“Jika itu bisa menghentikannya, itu yang harus aku lakukan.” Kiran tak pernah berpikir kalau dia akan menjadi salah satu orang yang menghancurkan perusahaan keluarga yang dibangun ayah dan ibunya dengan tetasan keringat dan air mata. Tanpa sadar Kiran melangkah mundur dengan pandangan ngeri, dan sepertinya Batara mengetahuinya tapi laki-laki itu tidak mencegahnya pergi dan membiarkan Kiran berlari terbirit-birit keluar dari kamarnya dan memasuki kamarnya sendiri di bagian belakang rumah dengan pikiran yang tak menentu. Kiran jatuh terduduk setelah menutup pintu kamarnya, pikirannya kosong, dia kira permasalahan yang kemarin menghampirinya sudah cukup buruk untuknya tapi sekarang dia baru tahu kalau selama ini dia tengah berjalan untuk menghancurkan kerja keras orang tuanya. Rasa kagum dan hormatnya pada Batara hilang sudah berganti rasa benci yang membuatnya ingin berteriak di telinga laki-laki itu. Kiran pikir Dafa adalah laki-laki yang licik dan penuh tipu muslihat, tapi sepert
Kegembiraan Kiran tak sampai di sana saja, begitu masuk ke dalam ruangan Dafa yang seperti kapal pecah dia melihat banyak kertas penting yang berhamburan di sana. “Jangan sentuh itu, kita makan saja di meja sana,” kata Dafa menghentikan gerakan Kiran yang ingin merapikan meja itu sekaligus mengintip apa saja yang dilakukan wanita itu. Tapi Kiran tahu tidak ada gunanya bersikeras saat dia belum mendapatkan kepercayaan penuh dari Dafa. Dia melangkah ke meja yang ditunjuk Dafa dan menyajikan makanan yang baru saja dia beli, wangi steak membuat perutnya keroncongan. “Makanlah kamu pasti lapar,” kata Dafa tenang. “Maaf soal yang tadi,” Kiran menatap Dafa sambil membuka bungkusan makanan untuknya. “Bukan masalah,” kata laki-laki Itu dengan senyum lebar. “Apa tidak sebaiknya bu Liza yang menemani anda, ehm maksud saya, dia akan makin benci...” “Jangan pikirkan apapun aku bisa makan dengan siapa saja.” Dan Kiran yang memang sejujurnya tidak peduli makan dengan lahap makanan untuknya.
"Kamu sudah Gila! untuk apa membantunya!" Kiran tak tahu bagaimana Dafa tahu tentang 'bantuan kecil' yang dia berikan pada Dafa. "Anda memata-matai saya," katanya tak senang. "Anda mungkin sudah berjasa dalam pencarian KIran dan pengobatannya sekarang tapi anda tidak berhak menghancurkan usaha keluarganya." "Aku sama sekali tidak menghancurkan usaha keluarganya," kata Batara lempeng. "Lalu apa maksud anda menjegal usahanya," katanya berani. "Perusahaan anda di bidang arsitektur dan interior sangat jauuhhh dari garmen." "Itu urusanku." "Dan menjadi urusan saya jika itu menyangkut Ardani group dan saya akan melakukan apa saja supaya perusahaan keluarga saya tidak hancur!" kata Kiran dan dia sangat menyesali omongannya itu karena Batara langsung menatapnya dengan curiga. "Keluarga ya? sudah lama aku ingin tahu apa kamu punya hubungan darah dengan KIran?" Kiran langsung mundur saat Batara berdiri dari kursi rodanya, tubuhnya yang tinggi menjulang membuatnya sedikit terintimidasi
Kiran sudah berusaha dengan baik untuk membantu Dafa memenangkan tender itu. Dua minggu yang tersisa sebelum pengumuman pemenang Kiran manfaatkan untuk mencari tahu siapa Ayu. Seperti petunjuk yang diberikan kakek tua waktu itu. Dan di sinilah dia sekarang, kampung halaman Ayu bersama mbok Jum. “Kok kamu tiba-tiba ingin pulang kampung, nduk?” tanya mbok Jum heran. “Mereka pasti akan memusuhimu.” Kiran tahu hal itu, pengalamannya terakhir ada di tempat ini sangat tidak menyenangkan, dan dia tidak yakin warga desa sudah melupakan hal itu. “Ehm... aku ingin ke makam orang tuaku, mbok. Kangen mereka,” kata Kiran dengan gugup. Sejujurnya dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan di sini dan kemana dia harus bertanya, mbok Nah memang sudah menceritakan beberapa hal tentang Ayu, tapi menurut Kiran itu sama sekali bukan hal yang dia cari, karena mbok Nah hanya mengenal orang tua Ayu setelah mereka pindah ke desa ini. Pagi-pagi sekali Kiran sudah merapikan diri. “Sudah mau berangkat, n