Mereka akhirnya mendapat sebuah penginapan yang bagus. Sedikit jauh dengan rumah nene buyut Ayu sebenarnya, tapi Kiran merasa itu lebih baik. “Aku mau jalan-jalan sebentar, Mbok mau oleh-oleh apa?” tanya Kiran sambil nyengir saat dia ingat di depan penginapan ini hanya ada penjual jajanan anak karena dekat dengan sekolah, dan tentu saja mbok Nah yang memang orang... senior, sama sekali tidak tertarik dengan jajanan kekinian dengan berbagai toping yang menggoda. “Kamu yakin jalan-jalan sendiri? Ini tempat asing?” Kiran meringis saat lagi-lagi Mbok Nah memperlakukannya seperti anak usia lima tahun, mungkin dia akan mengalami serangan jantung kalau tahu apa yang dia lakukan di luar sana atas perintah Batara. “Aku akan baik-baik saja, ingat aku sudah kuliah,” kata Kiran. Dan Mbok Nah tidak bisa membantah lagi. Tujuan pertama Kiran tentu saja adalah rumah keluarga Ayu, atau seharusnya begitu sebelum mereka dianggap pengkhianat, meski dia juga tidak tahu pengkhianatan macam apa yang d
"Non KIran tolong saya! non Kiran!" Kiran menatap sekeliling tempat itu, hanya ada deretan pohon yang rapat di kanan kirinya. "Ayu kamu dimana!" suaranya menggema di tempat itu, tapi tak ada lagi jawaban dari Ayu. "Ayu! Kamu dimana!" teriak Kiran. Sampai serak rasanya Kiran memanggil tapi tidak ada lagi jawaban dari Ayu. Kiran berlari tak tentu arah, berkali-kali dia jatuh terjerembab terhalang akar pohon yang menonjol di sana sini. Dimana ini? Kiran merasa belum pernah datang ke tempat ini, pepohonan yang rapat menghalangi sinar matahari, Kiran tak tahu ini siang atau malam. "Ayu!" panggilnya sekali lagi. Tak putus asa kakinya terus melangkah, meski dia tidak tahu ini arah yang benar atau salah, hanya naluri yang dia andalkan untuk menuntunnya mencari Ayu. Entah sudah berapa lama Kiran berjalan berputar-putar tapi dia sama sekali tidak melihat sosok Ayu, Kiran jatuh terduduk, kakinya sudah lelah. Napasnya ngos-ngosan dan dadanya terasa sangat panas dia butuh air, tapi sepan
“Ah ternyata pelarianmu sampai di sini saja manis!” Kiran menatap pemandangan di depannya dengan ngeri, sebuah jurang yang tidak terlihat ujungnya menganga lebar di depannya. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi sial orang-orang itu sudah berdiri mengepungnya. Kiran menatap jurang yang menganga di sampingnya dan bergidik ngeri tubuhnya pasti akan hancur kalau jatuh ke sana. “Bagus sekali kalian mendapatkannya.” Kiran menolehkan kepalanya dan menatap benci pada Dafa, laki-laki iblis yang masih sah menjadi suaminya itu.Apakah tidak ada sedikipun rasa cinta di hati Dafa untuknya? Kiran menggeleng dengan keras. Bagaimana mungkin dia masih memikirkan hal itu saat Dafa berbuat sejauh ini padanya. “Apa yang terjadi pada orang tuaku?” tanya Kiran setelah jaraknya dengan Dafa lebih dekat. Laki-laki itu tersenyum sinis. Bukannya langsung menjawab dia menatap langir pagi ini dengan tenang. “Ayahku pasti bisa membalas dendam sendiri sekarang,” katanya.Dafa menatap Kiran dengan nyalang.
Kiran sama sekali tak menangis atau berteriak meski tubuh ringkihnya diseret paksa keluar dari ruangan itu. Kiran tak tahu akan dibawa ke mana dia. Lagi-lagi perasaan familiar akan tempat ini dia rasakan, tapi dia juga tak bisa mengingat kapan dia pernah datang kemari. “Lihat! Dapur kotor, makanan tak ada cucian menumpuk!” Kiran jatuh terjerembab di lantai yang dingin, perlahan dia bangkit dan menatap sekelilingnya. Sebuah dapur yang bersatu dengan tempat cuci. Apa dia jadi pembantu di sini? Tapi masalahnya dia tidak pernah memasak apalagi mencuci pakaian. Ah dia pernah memperhatikan bibi di rumahnya mencuci dengan mesin cuci. Susah payah Kiran bangkit, dia lalu menatap dua orang itu tajam sebelum mengambil barang belanjaan yang berserakan. Entahlah dia tidak tahu akan masak apa? atau lebih tepatnya apa dia bisa menyajikan makanan yang layak makan tanpa membakar seluruh dapur. “Aku lapar, Ma. Suruh dia cepat masak.”“Kamu dengar bukan, Kakakmu sudah lapar, cepat masak!” Kira
Mbok Nah membawanya ke sebuah bangunan megah yang hampir mirip dengan rumahnya sendiri. “Siapa ini? Mbok nemu di mana anak kecil dekil begini?” Kiran yang semua sibuk memperhatikan rumah ini langsung mendongak. Seorang gadis yang tadinya duduk dalam ayunan perlahan bangkit dan menghampirinya, menatapnya penuh selidik. “Neng Rini, ini keponakan saya dari kampung. Orang tuanya sudah meninggal dan saya mau minta ijin tuan untuk bisa tinggal di sini,” kata mbok Nah dengan sopan. Ah mungkin ini salah satu anak majikan mbok Nah. Melihat cara berpakaian gadis itu yang masih terbilang sopan, membuat Kiran langsung menepis pikiran buruknya tentang mbok Nah yang mungkin berniat menjualnya. Ah kesalahan fatal yang membuatnya berada di titik ini menjadikannya orang yang penuh curiga. “Siapa namamu?” tanya gadis itu lagi, usianya mungkin sekitar awal dua puluhan.“KI... Ayu,” jawab Kiran hampir menyebutkan nama aslinya. “Oh, ya sudah masuklah,” katanya kembali duduk di ayunan tapi sebelum
Batara Adinata, ingin sekali Kiran menampar mulut laki-laki ceriwis ini. Mbok Nah bilang tuannya adalah orang yang pendiam dan tak banyak tingkah, tapi apa yang dilakukan laki-laki itu sekarang padanya sungguh sangat bertentangan dengan apa yang dia dengar.“Sikat kamar mandi itu dengan bersih, setelah itu lap jendela kamarku. Kamu harus memastikan semua udara yang aku hirup bersih dan segar!” Dengarkan perintah bodoh laki-laki itu, mana bisa dia memilah udara. Tapi yang bisa dikatakan Kiran hanya. “Baik Tuan.” Kiran merasa dia bukan dijadikan perawat tapi lebih tepat dijadikan budak, bahkan laki-laki itu dengan sengaja mencegah ART yang bertugas membersihkan tempat ini dan memintanya melakukan semuanya. Sejak pagi Kiran sudah bekerja keras bagai kuda, tapi pekerjaan yang dia kerjakan sama sekali tidak ada yang beres di mata tuan sok sempurna itu. Kiran menghela napas lega saat ruangan ini sudah bersih, dia berharap tuan sok sempurna itu tidak mencari-cari kesalahannya lagi.Kir
Sejujurnya Kiran bukan gadis yang menyukai gemerlap pesta. Tidak seperti apa yang dia bilang pada Batara kalau dia ingin jadi cinderella. Mengingat perkataan konyolnya itu rasanya Kiran ingin tertawa, dan pandangan mengejek laki-laki itu membuat Kiran sangat tidak nyaman. Akan tetapi ini satu-satunya cara dia bisa mengikuti pesta ini, yah meski dia harus rela jadi kacung yang selalu berdiri di samping tuan muda. Tak mengapa, setidaknya saat ini memang itu yang dia butuhkan. “Apa berjalan bersama seperti ini juga bagian dari cerita cinderella yang kamu sukai itu.” Kiran memutar bola matanya malas, tuan ceriwis ini ternyata masih saja menunjukkan sikap menyebalkan, padahal saat ini mereka sedang memasuki rumah megah orang tua Batara, yang bahkan jaraknya tak sampai lima belas menit perjalanan. Entah apa alasan Batara dan Rini untuk memilih rumah terpisah dengan orang tuanya, padahal mereka sama-sama belum menikah, apalagi mengingat kondisi Batara yang harus kemana-mana dengan kur
Kiran bukan orang yang mudah marah.Sebagai pewaris tunggal kerajaan bisnis ayahnya, tentu hal yang pertama dia pelajari adalah mengendalikan diri. "Apa kamu mengenalku?" Kiran yang sedang berusaha mengendalikan dirinya.Matanya menatap benci laki-laki yang pernah sangat dikaguminya ini. Ah... Betapa tipisnya jarak antara benci dan cinta, padahal mereka belum lama menikah dalam cinta yang indah, setidaknya itu yang dirasakan Kiran. "Orang tidak harus saling kenal untuk masuk toilet yang sama bukan." Bahkan di telinga Kiran sendiri ucapan itu terdengar begitu ketus, dan dia tahu Dafa bukan orang bodoh. Sebaik mungkin Kiran mengatur ekspresi wajahnya menjadi datar tak terbaca. "Maaf jika aku mengganggu, tapi entah kenapa aku merasa kita saling kenal," laki-laki itu tersenyum kalem membuat Kiran makin muak. "Itu yang sering dikatakan laki-laki buaya, jadi maaf aku tidak punya waktu." Kiran melangkah cepat melewati Dafa yang menatapnya dengan pandangan menyelidik. Rasa benci itu