“Ah ternyata pelarianmu sampai di sini saja manis!”
Kiran menatap pemandangan di depannya dengan ngeri, sebuah jurang yang tidak terlihat ujungnya menganga lebar di depannya. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi sial orang-orang itu sudah berdiri mengepungnya. Kiran menatap jurang yang menganga di sampingnya dan bergidik ngeri tubuhnya pasti akan hancur kalau jatuh ke sana. “Bagus sekali kalian mendapatkannya.” Kiran menolehkan kepalanya dan menatap benci pada Dafa, laki-laki iblis yang masih sah menjadi suaminya itu.Apakah tidak ada sedikipun rasa cinta di hati Dafa untuknya? Kiran menggeleng dengan keras. Bagaimana mungkin dia masih memikirkan hal itu saat Dafa berbuat sejauh ini padanya. “Apa yang terjadi pada orang tuaku?” tanya Kiran setelah jaraknya dengan Dafa lebih dekat. Laki-laki itu tersenyum sinis. Bukannya langsung menjawab dia menatap langir pagi ini dengan tenang. “Ayahku pasti bisa membalas dendam sendiri sekarang,” katanya.Dafa menatap Kiran dengan nyalang. Dendam kematian orang tuanya berkelebat di benaknya meihat perempuan itu, anak dari pria yang telah membuat ayahnya bunuh diri.Tulang-tulang di tubuh Kiran rasanya tak mampu lagi menopang tubuhnya. “Apa maksudmu!” sentaknya. Dafa menatap Kiran dengan pandangan mencemooh. “Ah si tuan putri yang suka menyombongkan dirinya ternyata sama sekali tak mampu memahami kata-kata sederhanaku.” Dafa melangkah mendekati Kiran dan menatap wanita itu tepat di matanya. “Orang tuamu sudah mati terpanggang saat kecelakaan itu,” katanya dengan nada gembira yang tidak dia tutupi. “Tapi tenang saja, jangan khawatir soal harta kalian yang banyak itu, aku akan mengurusnya tentu saja setelah memberikan kejutan seperti rencanaku semula, orang tuamu pasti akan menangis darah di alam kuburnya hahaha!” Setelah berkata begitu Dafa memberi isyarat pada orang-orang itu untuk menangkap Kiran, perlahan kaki Kiran mundur ke arah jurang. Kini, ia tak punya lagi tempat pulang. Tertangkap Dafa, berarti tersiksa selamanya.“HHH!” Kiran merasa lehernya seperti teriris.Kalung dari benang nilon berbandul batu kecubung -kalung turun temurun dalam keluarganya- itu menyangkut di sebuah batu. Tiba-tiba, tubuhnya seperti diliputi aura gelap yang misterius."Akh... Kenapa ini..."Tangannya yang licin malah membuat benang itu lepas dari batu, begitu juga pegangan tangannya, tubuh Kiran meluncur deras ke bawah. “Inikah akhir hidupku,” batinnya pedih. Kiran memejamkan matanya dan tangannya menggenggam erat bandul kalungnya. “Ayah ibu maafkan aku!” Dan semua gelap.***
“Byurr!” Kiran mengerjapkan matanya seolah ada sekilo lem yang ditumpahkan di sana sangat berat dan sulit terbuka.Guyuran air yang membasahi tubuhnya nyatanya tak membantu sama sekali. Tubuhnya terasa remuk dan sulit untuk digerakkan, dicobanya mengangkat tangan dan mengucek matanya yang lengket. Seraut wajah dengan mata melotot membuatnya terkejut.Oh di mana ini, batin Kiran. Tempat dia berbaring begitu keras dan... bau. Apa dia sudah mati dan inilah alam sesudah kematian, bukankah ibunya sering bilang setelah mati kita akan dibangunkan oleh malaikat di alam kubur. Akan tetapi ibunya tak pernah bercerita kalau akan dibangunkan dengan guyuran air dan... sumpah serapah. “Bangun bodoh!” Tubuhnya terasa diguncang dan mau tak mau Kiran membuka mata selebar yang dia bisa, bukan malaikat seperti yang diceritakan ibunya saat ini di depannya, tapi seorang gadis beranjak dewasa berwajah culas. Dan Kiran tak percaya kalau itu malaikat, tapi siapa dia? “Siapa kamu?” tanya Kiran tak gentar. “Heh!” Bola mata gadis itu langsung melotot mendengar pertanyaan Kiran, dan tanpa bisa Kiran cegah rambutnya sudah dijambak dengan kasar, membuat kepalanya ikut tertarik ke atas.“Aku lapar kamu malah bermalas-malasan di sini!” hardik gadis itu kesal. Kalau lapar ya makan kenapa harus membangunkannya. “Heh kamu tuli ya! Sana buatkan aku makanan dan jangan lupa cuci semua pakaianku! Kalau tidak aku akan bilang pada ibu biar kamu dihajar lagi!” Tanpa ampun gadis itu menoyor kepala Kiran. Kiran yang kesal langsung menangkap tangan wanita itu dengan keras!"Akh! Sakit, aku akan laporkan tindakanmu ini ke mama!"Kiran bukan orang yang suka ditindas, dia ingin melawan dengan lebih keras tapi tubuhnya begitu lemah.Setelah puas, Kiran melepaskan tangan wanita itu yang langsung keluar dengan membanting pintu setelah memberikan ancaman pada Kiran."Kenapa tubuhku lemah sekali!"Karena menggenggam tangan wanita aneh itu, tiba-tiba energinya seketika habis.Kiran masih tak bergerak, otaknya masih belum bisa mencerna semuanya, dia menatap ke sekeliling ruangan, hanya ruangan sempit yang bahkan kamar mandi pembantu di rumahnya saja lebih luas. Hanya ada kasur lusuh yang sekeras batu tempatnya berbaring tadi, dan juga sebuah lemari pendek yang sudah lapuk. Tempat ini benar-benar menyedihkan. Kiran mencoba mengingat apa yang terjadi padanya. Terakhir kali dia ingat jatuh ke dalam jurang yang gelap dan dalam setelah tangannya tergelincir dari pegangan batu itu dan.. diantara keputus asaan dan kemarahan yang mengkristal Kiran hanya bisa memejamkan mata sambil mencengkeram erat kalung di lehernya, menanti ajal. Tanpa sadar tangan Kiran meraba lehernya dan benar saja kalung itu masih ada, bentuknya sama persis seperti sebelumnya tapi…Kenapa tubuhnya mengecil? Dan baju kumal yang melekat di badannya ini tentu saja bukan miliknya. Kiran kembali menatap sekelilingnya, kamar ini begitu kecil. Kenapa tiba-tiba dia ada di sini dengan tubuh anak kecil ini? Dengan susah payah Kiran bangun dari ranjang itu, kakinya terasa ngilu dan ada banyak luka di sana. Apa setelah jatuh dari jurang itu dia lama tidak sadar dan karena itu tubuhnya menyusut. Tapi... Kiran menatap pintu ruangan, kalau dia baru sadar kenapa gadis tadi memintanya membuat makanan? Dengan menyeret kakinya Kiran menatap cermin lusuh di sudut ruangan dan matanya membola saat melihat wajahnya. "Tidak ini bukan wajahku," katanya tak terima. Wajah ini memang tidak cacat atau terluka, tapi tetap saja itu bukan wajahnya dan... terlalu muda. Tinggi badannya juga menyusut. Tidak ada lagi tubuh semampai dan tubuhnya kini sangat kecil bahkan bisa dibilang seperti orang kurang gizi. Kiran terus menatap cermin lusuh itu dan berusaha mencari jawaban pertanyaannya, tiba-tiba terdengar kidung jawa yang sangat merdu tapi mampu membuat bulu kuduknya meremang. Suara seorang laki-laki. Dengan masih menyeret kakinya Kiran mendekati jendela dan membukanya lebar, udara yang sejuk langsung masuk, terlalu sejuk bahkan menusuk tulang. Kidung itu terdengar dengar jelas, tapi tak nampak orang yang melantunkannya. "Di dunia ini, semua ada sebab dan akibat. Ada balas dan budi semua sudah berpasangan semua tak terpisahkan," Kiran menggumam berusaha mengartikan kidung aneh itu yang dilantunkan berulang-ulang meski hanya satu kalimat. Padahal langit pagi ini begitu indah tapi kidung itu membuatnya serasa masih di tengah malam yang sunyi. "Ini pasti halusinasiku saja, nanti juga aku akan bangun seperti sedia kala," gumam Kiran sambil menggeleng tak percaya. Tangannya bergerak untuk mencubit lengannya sendiri. "Auww." sakit sekali ternyata, jadi ini bukan mimpi, lalu apa yang terjadi? Kiran melangkah mundur dan buru-buru menutup jendela itu. "Heh masak sana!" Kiran menoleh dan seorang wanita paruh baya menatapnya dengan tajam, wajahnya sedikit mirip gadis tadi, mungkin dia ibunya. Tanpa permisi wanita itu menlemparkan sekeranjang sayur dan bahan makanan lainnya pada Kiran. "Tunggu!" Kali ini Kiran melangkah cepat melintasi ruangan sempit itu tak dia pedulikan lagi kakinya yang nyeri. "Kamu siapa kenapa aku ada di sini?" tanya Kiran. Bukannya menjawab wanita itu malah memukul kepala Kiran. Kiran tentu saja tak terima, ia lantas mendorong tubuh wanita itu dengan sekuat tenaga sampai terjengkang!Wanita tersebut terkejut seraya berusaha berdiri. Ia tak menyangka, orang yang biasanya ia tindas, kini balik melawannya."Sudah berani kamu melawanku, ingat kamu hanya numpang di sini, jangan coba-coba melawanku!" "Numpang? Kenapa aku bisa ada di sini?" cecar Kiran. Tapi lagi-lagi bukan jawaban yang dia terima tapi pukulan di tubuhnya yang sudah terasa remuk. Kiran tak bisa lagi melawan, energi di tubuhnya benar-benar habis dan tak bersisa."Heh Ayu! pembawa sial! karena kamu bapak ibumu mati! sudah untung aku mau menampungmu di sini! dasar anak pembawa sial!""Mala! Bantu ibu membuat tikus ini diam!"Wanita yang dipanggil pun muncul seraya membawa gagang sapu, lantas langsung memukul Kiran tanpa ampun.Kiran memutar otaknya cepat. "Aku sudah menghubungi polisi kalian akan segera ditangkap jika aku mati!" teriaknya cepat. Pukulan itu berhenti, tapi kondisinya tak lebih baik, tubuhnya yang tadi masih sakit kini malah sulit untuk berdiri meski dia bercoba berkali-kali. "Ibu anak ini sudah bertingkah, dia sama sekali tidak menghormati ibu, sudah untung dia masih bisa tinggal di sini setelah bapaknya mati." "Memang kalian siapa bisa seenaknya memukulku!"Kiran kembali berusaha untuk berontak. Seumur hidupnya, ia tak pernah sudi direndahkan oleh orang lain."Aku ibu tirimu istri ayahmu, dan juga nyonya rumah ini. Dengar Ayu, bapakmu sudah mati jadi kamu harus menuruti semua perintahku kalau kamu ingin selamat." Mendengar perkataan perempuan itu, Kiran seketika terdiam seraya berpikir.Ayu, itu bukan namanya tapi kenapa terasa sangat familiar.Apa yang terjadi dengan dirinya? Kiran berusaha mengingat kejadian sebelumnya, kenapa dia berubah menjadi Ayu seperti yang mereka sebut?Kiran sama sekali tak menangis atau berteriak meski tubuh ringkihnya diseret paksa keluar dari ruangan itu. Kiran tak tahu akan dibawa ke mana dia. Lagi-lagi perasaan familiar akan tempat ini dia rasakan, tapi dia juga tak bisa mengingat kapan dia pernah datang kemari. “Lihat! Dapur kotor, makanan tak ada cucian menumpuk!” Kiran jatuh terjerembab di lantai yang dingin, perlahan dia bangkit dan menatap sekelilingnya. Sebuah dapur yang bersatu dengan tempat cuci. Apa dia jadi pembantu di sini? Tapi masalahnya dia tidak pernah memasak apalagi mencuci pakaian. Ah dia pernah memperhatikan bibi di rumahnya mencuci dengan mesin cuci. Susah payah Kiran bangkit, dia lalu menatap dua orang itu tajam sebelum mengambil barang belanjaan yang berserakan. Entahlah dia tidak tahu akan masak apa? atau lebih tepatnya apa dia bisa menyajikan makanan yang layak makan tanpa membakar seluruh dapur. “Aku lapar, Ma. Suruh dia cepat masak.”“Kamu dengar bukan, Kakakmu sudah lapar, cepat masak!” Kira
Mbok Nah membawanya ke sebuah bangunan megah yang hampir mirip dengan rumahnya sendiri. “Siapa ini? Mbok nemu di mana anak kecil dekil begini?” Kiran yang semua sibuk memperhatikan rumah ini langsung mendongak. Seorang gadis yang tadinya duduk dalam ayunan perlahan bangkit dan menghampirinya, menatapnya penuh selidik. “Neng Rini, ini keponakan saya dari kampung. Orang tuanya sudah meninggal dan saya mau minta ijin tuan untuk bisa tinggal di sini,” kata mbok Nah dengan sopan. Ah mungkin ini salah satu anak majikan mbok Nah. Melihat cara berpakaian gadis itu yang masih terbilang sopan, membuat Kiran langsung menepis pikiran buruknya tentang mbok Nah yang mungkin berniat menjualnya. Ah kesalahan fatal yang membuatnya berada di titik ini menjadikannya orang yang penuh curiga. “Siapa namamu?” tanya gadis itu lagi, usianya mungkin sekitar awal dua puluhan.“KI... Ayu,” jawab Kiran hampir menyebutkan nama aslinya. “Oh, ya sudah masuklah,” katanya kembali duduk di ayunan tapi sebelum
Batara Adinata, ingin sekali Kiran menampar mulut laki-laki ceriwis ini. Mbok Nah bilang tuannya adalah orang yang pendiam dan tak banyak tingkah, tapi apa yang dilakukan laki-laki itu sekarang padanya sungguh sangat bertentangan dengan apa yang dia dengar.“Sikat kamar mandi itu dengan bersih, setelah itu lap jendela kamarku. Kamu harus memastikan semua udara yang aku hirup bersih dan segar!” Dengarkan perintah bodoh laki-laki itu, mana bisa dia memilah udara. Tapi yang bisa dikatakan Kiran hanya. “Baik Tuan.” Kiran merasa dia bukan dijadikan perawat tapi lebih tepat dijadikan budak, bahkan laki-laki itu dengan sengaja mencegah ART yang bertugas membersihkan tempat ini dan memintanya melakukan semuanya. Sejak pagi Kiran sudah bekerja keras bagai kuda, tapi pekerjaan yang dia kerjakan sama sekali tidak ada yang beres di mata tuan sok sempurna itu. Kiran menghela napas lega saat ruangan ini sudah bersih, dia berharap tuan sok sempurna itu tidak mencari-cari kesalahannya lagi.Kir
Sejujurnya Kiran bukan gadis yang menyukai gemerlap pesta. Tidak seperti apa yang dia bilang pada Batara kalau dia ingin jadi cinderella. Mengingat perkataan konyolnya itu rasanya Kiran ingin tertawa, dan pandangan mengejek laki-laki itu membuat Kiran sangat tidak nyaman. Akan tetapi ini satu-satunya cara dia bisa mengikuti pesta ini, yah meski dia harus rela jadi kacung yang selalu berdiri di samping tuan muda. Tak mengapa, setidaknya saat ini memang itu yang dia butuhkan. “Apa berjalan bersama seperti ini juga bagian dari cerita cinderella yang kamu sukai itu.” Kiran memutar bola matanya malas, tuan ceriwis ini ternyata masih saja menunjukkan sikap menyebalkan, padahal saat ini mereka sedang memasuki rumah megah orang tua Batara, yang bahkan jaraknya tak sampai lima belas menit perjalanan. Entah apa alasan Batara dan Rini untuk memilih rumah terpisah dengan orang tuanya, padahal mereka sama-sama belum menikah, apalagi mengingat kondisi Batara yang harus kemana-mana dengan kur
Kiran bukan orang yang mudah marah.Sebagai pewaris tunggal kerajaan bisnis ayahnya, tentu hal yang pertama dia pelajari adalah mengendalikan diri. "Apa kamu mengenalku?" Kiran yang sedang berusaha mengendalikan dirinya.Matanya menatap benci laki-laki yang pernah sangat dikaguminya ini. Ah... Betapa tipisnya jarak antara benci dan cinta, padahal mereka belum lama menikah dalam cinta yang indah, setidaknya itu yang dirasakan Kiran. "Orang tidak harus saling kenal untuk masuk toilet yang sama bukan." Bahkan di telinga Kiran sendiri ucapan itu terdengar begitu ketus, dan dia tahu Dafa bukan orang bodoh. Sebaik mungkin Kiran mengatur ekspresi wajahnya menjadi datar tak terbaca. "Maaf jika aku mengganggu, tapi entah kenapa aku merasa kita saling kenal," laki-laki itu tersenyum kalem membuat Kiran makin muak. "Itu yang sering dikatakan laki-laki buaya, jadi maaf aku tidak punya waktu." Kiran melangkah cepat melewati Dafa yang menatapnya dengan pandangan menyelidik. Rasa benci itu
Heels pemberian Rini terlalu besar untuk kaki mungil Ayu. "Anak kecil! Tunggu. Kamu tidak berniat menjadikan mas Dafa targetmu bukan." Karin berjanji dia tidak akan menerima lagi heels merepotkan dari Rini. "Dia orang yang non Rini sukai?" tanya Karin memastikan. Kenapa juga Rini begitu cepat menyusulnya. "Iya," jawab gadis itu dengan tegas. Karin menghela napas panjang, rasa iba memenuhi hatinya. Dari seluruh laki-laki di dunia ini kenapa harus Dafa yang disukai Rini, tidakkah gadis ini tahu bagaimana Dafa. Ah bahkan Karin tidak bisa mengatakan kalau Rini bodoh, karena nyatanya dia seratus kali lebih bodoh dari gadis di depannya ini. "Tapi saya dengar tadi dia sudah punya istri," pancing Karin. "Jadi kamu benar menyukai mas Dafa," kata Rini kesal. "Saya hanya bertanya," jawab Karin sopan, sekarang ini dia lebih bisa mendalami perannya sebagai ART dari pada seorang pewaris kerajaan bisnis. Rini langsung menatap Kiran dengan merengut. "Aku bukan pelakor, istrinya yang selin
"Aku Kira hanya tampangmu saja yang bodoh ternyata kamu benar-benar bodoh."Kiran pernah mendengar ayahnya membicarakan tentang Batara, yang merupakan salah satu pengusaha muda yang sangat berbakat, kecerdasannya mampu membuat perusahaan keluarganya menembus pasar asia, begitu juga yg sering dia dengar dari mbok Nah. Akan tetapi selama dia tinggal di rumah Batara, Kiran hanya melihat laki-laki itu bermulut tajam dan... Mengerikan. "Apa maksud anda?" tanya Kiran tak terima dia lalu menghentikan kursi roda Batara. Laki-laki itu menoleh dan menatap malas pada Kiran. "Kamu terlalu bodoh jika ingin masuk ke dunia kami karena silau oleh harta kekayaan." "Dunia kami sangat berbahaya dan kamu harus selalu siap untuk tetap tenang meski hatimu menangis, kamu juga harus siap tersenyum meski hatimu penuh dendam" Kiran terdiam, dia tertegun tak menyangka kalau dibalik sikap kejam laki-laki ini dia bisa bicara seperti ini. Kiran akui memang tidak ada yang salah dengan apa yang Batara ucapkan
Kiran terlalu bernafsu sampai tanpa sadar menggali lubang kuburnya sendiri.Kiran mengusap keringat yang tiba-tiba saja membanjiri wajahnya. Belum lagi heels yang beberapa nomer lebih besar dari ukuran kaki Ayu yang membuatnya sangat tidak nyaman. Akan tetapi yang paling membuatnya panas dingin adalah tatapan dingin penuh selidik dari mata paling hitam dan paling kelam yang pernah dia lihat.“Ibu saya dulu menyukai batik hasil produksi mereka, sangat nyaman dipakai.” “Tentu harganya juga cukup mahal.” “Iya, ibu bahkan menabung lama untuk membelikan kami baju itu,” kata Kiran sambil terkekeh sambil menerawang jauh. Bukan karena kejadian itu benar adanya, karena Kiran memang tak pernah ingat apapun tentang Ayu, tapi lebih kepada ingatannya akan sang mama yang sering membuatkan baju-baju yang bagus dengan kain batik yang mereka produksi. Mengingatnya saja membuat hati Kiran rasanya tercabik. Sekarang mamanya sudah tidak ada lagi di dunia ini, dan bahkan sebagai anak dia tidak bisa
"Non KIran tolong saya! non Kiran!" Kiran menatap sekeliling tempat itu, hanya ada deretan pohon yang rapat di kanan kirinya. "Ayu kamu dimana!" suaranya menggema di tempat itu, tapi tak ada lagi jawaban dari Ayu. "Ayu! Kamu dimana!" teriak Kiran. Sampai serak rasanya Kiran memanggil tapi tidak ada lagi jawaban dari Ayu. Kiran berlari tak tentu arah, berkali-kali dia jatuh terjerembab terhalang akar pohon yang menonjol di sana sini. Dimana ini? Kiran merasa belum pernah datang ke tempat ini, pepohonan yang rapat menghalangi sinar matahari, Kiran tak tahu ini siang atau malam. "Ayu!" panggilnya sekali lagi. Tak putus asa kakinya terus melangkah, meski dia tidak tahu ini arah yang benar atau salah, hanya naluri yang dia andalkan untuk menuntunnya mencari Ayu. Entah sudah berapa lama Kiran berjalan berputar-putar tapi dia sama sekali tidak melihat sosok Ayu, Kiran jatuh terduduk, kakinya sudah lelah. Napasnya ngos-ngosan dan dadanya terasa sangat panas dia butuh air, tapi sepan
Mereka akhirnya mendapat sebuah penginapan yang bagus. Sedikit jauh dengan rumah nene buyut Ayu sebenarnya, tapi Kiran merasa itu lebih baik. “Aku mau jalan-jalan sebentar, Mbok mau oleh-oleh apa?” tanya Kiran sambil nyengir saat dia ingat di depan penginapan ini hanya ada penjual jajanan anak karena dekat dengan sekolah, dan tentu saja mbok Nah yang memang orang... senior, sama sekali tidak tertarik dengan jajanan kekinian dengan berbagai toping yang menggoda. “Kamu yakin jalan-jalan sendiri? Ini tempat asing?” Kiran meringis saat lagi-lagi Mbok Nah memperlakukannya seperti anak usia lima tahun, mungkin dia akan mengalami serangan jantung kalau tahu apa yang dia lakukan di luar sana atas perintah Batara. “Aku akan baik-baik saja, ingat aku sudah kuliah,” kata Kiran. Dan Mbok Nah tidak bisa membantah lagi. Tujuan pertama Kiran tentu saja adalah rumah keluarga Ayu, atau seharusnya begitu sebelum mereka dianggap pengkhianat, meski dia juga tidak tahu pengkhianatan macam apa yang d
Dia pulang kampung ternyata. Tepatnya kampung halaman sang ayah. Kiran memang langsung pergi kesini begitu tahu kalau orang tua Ayu berasal dari kampung yang sama dengan ayahnya. Sejujurnya dia tidak banyak tahu tentang tempat ini, meski dulu beberapa kali ayahnya sering mengajaknya untuk mengunjungi rumah besar keluarga yang dihuni oleh kakeknya dan setelah sang kakek meninggal, sebenarnya sang ayah lah yang mewarisinya, tapi karena mereka sudah punya rumah mewah di tempat lain, jadi ayahnya meminta beberapa saudara untuk tinggal di sini. Sejenak Kiran menatap rumah besar yang seharusnya itu menjadi miliknya sekarang dalam diam. Dengan rupa Ayu dia tidak mungkin masuk ke sana, tepatnya dia tidak punya alasan untuk masuk, karena alamat rumah orang tua Ayu terletak berbeda gang dengan rumah ini. Perlahan Kaki Kiran melangkah meninggalkan rumah mewah itu dan melongok ke setiap rumah yang dia lewati untuk mengintip nomernya, memastikan untuk tidak keliru. “Kamu sepertinya sudah k
Kiran sudah mengira kalau kondisi pemakanam di desa ini pasti tidak sebagus dan semewah makam orang tuanya yang ada di kompleks pemakaman elit dengan harga jutaan tiap meternya, tapi dia sama sekali tak menyangka kalau kompleks pemakaman orang tua Ayu begitu menyedihkan. Rumput-rumput liar tampak tumbuh memanjang di semua tempat dan juga sampah dedaunan yang menumpuk tak terurus. “Apa tidak ada orang yang membersihkan ini semua?” tanya Kiran pada Atik yang menoleh dengan sedikit takut padanya. “Biasanya hanya disapu pada hari-hari tertentu saja, tapi penjaga makam sepertinya sudah lama tidak memotong rumput itu.” Kiran menghela napas, dia sedikit takut untuk terus melangkah. Bunyi berkriutan dari bambu yang ada di dekat pekuburan itu seperti melodi mengerikan di telinganya. “Apa kamu tahu dimana makam ... ehm orang tuaku... aku sedikit lupa,” kata Kiran buru-buru saat Atik menatapnya dengan terkejut. “Mbak Ayu pasti sudah lama tak mengunjungi makam paman dan bibi,” kata Atik pri
Kiran sudah berusaha dengan baik untuk membantu Dafa memenangkan tender itu. Dua minggu yang tersisa sebelum pengumuman pemenang Kiran manfaatkan untuk mencari tahu siapa Ayu. Seperti petunjuk yang diberikan kakek tua waktu itu. Dan di sinilah dia sekarang, kampung halaman Ayu bersama mbok Jum. “Kok kamu tiba-tiba ingin pulang kampung, nduk?” tanya mbok Jum heran. “Mereka pasti akan memusuhimu.” Kiran tahu hal itu, pengalamannya terakhir ada di tempat ini sangat tidak menyenangkan, dan dia tidak yakin warga desa sudah melupakan hal itu. “Ehm... aku ingin ke makam orang tuaku, mbok. Kangen mereka,” kata Kiran dengan gugup. Sejujurnya dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan di sini dan kemana dia harus bertanya, mbok Nah memang sudah menceritakan beberapa hal tentang Ayu, tapi menurut Kiran itu sama sekali bukan hal yang dia cari, karena mbok Nah hanya mengenal orang tua Ayu setelah mereka pindah ke desa ini. Pagi-pagi sekali Kiran sudah merapikan diri. “Sudah mau berangkat, n
"Kamu sudah Gila! untuk apa membantunya!" Kiran tak tahu bagaimana Dafa tahu tentang 'bantuan kecil' yang dia berikan pada Dafa. "Anda memata-matai saya," katanya tak senang. "Anda mungkin sudah berjasa dalam pencarian KIran dan pengobatannya sekarang tapi anda tidak berhak menghancurkan usaha keluarganya." "Aku sama sekali tidak menghancurkan usaha keluarganya," kata Batara lempeng. "Lalu apa maksud anda menjegal usahanya," katanya berani. "Perusahaan anda di bidang arsitektur dan interior sangat jauuhhh dari garmen." "Itu urusanku." "Dan menjadi urusan saya jika itu menyangkut Ardani group dan saya akan melakukan apa saja supaya perusahaan keluarga saya tidak hancur!" kata Kiran dan dia sangat menyesali omongannya itu karena Batara langsung menatapnya dengan curiga. "Keluarga ya? sudah lama aku ingin tahu apa kamu punya hubungan darah dengan KIran?" Kiran langsung mundur saat Batara berdiri dari kursi rodanya, tubuhnya yang tinggi menjulang membuatnya sedikit terintimidasi
Kegembiraan Kiran tak sampai di sana saja, begitu masuk ke dalam ruangan Dafa yang seperti kapal pecah dia melihat banyak kertas penting yang berhamburan di sana. “Jangan sentuh itu, kita makan saja di meja sana,” kata Dafa menghentikan gerakan Kiran yang ingin merapikan meja itu sekaligus mengintip apa saja yang dilakukan wanita itu. Tapi Kiran tahu tidak ada gunanya bersikeras saat dia belum mendapatkan kepercayaan penuh dari Dafa. Dia melangkah ke meja yang ditunjuk Dafa dan menyajikan makanan yang baru saja dia beli, wangi steak membuat perutnya keroncongan. “Makanlah kamu pasti lapar,” kata Dafa tenang. “Maaf soal yang tadi,” Kiran menatap Dafa sambil membuka bungkusan makanan untuknya. “Bukan masalah,” kata laki-laki Itu dengan senyum lebar. “Apa tidak sebaiknya bu Liza yang menemani anda, ehm maksud saya, dia akan makin benci...” “Jangan pikirkan apapun aku bisa makan dengan siapa saja.” Dan Kiran yang memang sejujurnya tidak peduli makan dengan lahap makanan untuknya.
“Jika itu bisa menghentikannya, itu yang harus aku lakukan.” Kiran tak pernah berpikir kalau dia akan menjadi salah satu orang yang menghancurkan perusahaan keluarga yang dibangun ayah dan ibunya dengan tetasan keringat dan air mata. Tanpa sadar Kiran melangkah mundur dengan pandangan ngeri, dan sepertinya Batara mengetahuinya tapi laki-laki itu tidak mencegahnya pergi dan membiarkan Kiran berlari terbirit-birit keluar dari kamarnya dan memasuki kamarnya sendiri di bagian belakang rumah dengan pikiran yang tak menentu. Kiran jatuh terduduk setelah menutup pintu kamarnya, pikirannya kosong, dia kira permasalahan yang kemarin menghampirinya sudah cukup buruk untuknya tapi sekarang dia baru tahu kalau selama ini dia tengah berjalan untuk menghancurkan kerja keras orang tuanya. Rasa kagum dan hormatnya pada Batara hilang sudah berganti rasa benci yang membuatnya ingin berteriak di telinga laki-laki itu. Kiran pikir Dafa adalah laki-laki yang licik dan penuh tipu muslihat, tapi sepert
“Dari mana saja kamu?” Kiran terlonjak saat mendengar bentakan itu, otaknya masih penuh memikirkan kira-kira siapa leluhurnya yang bisa ditanyai soal ini semua, dan tentu saja hasilnya nihil karena dia tahu leluhur dari ayahnya semuanya telah berpulang kecuali satu orang pamannya yang dia sangat yakin tak tahu apapun soal kalung ini karena dia anak bungsu dan sama sekali bukan pewaris keluarga. Mungkin aku harus belajar bicara pada roh, gerutunya kesal. Dan saat itulah kakinya berjalan menuju tempat tubuhnya di rawat dan tentu saja di sana masih ada Batara yang menatapnya seperti harimau yang siap memangsa korbannya. “Yu, kamu masih hidup bukan!” Kiran terlonjak lagi dan kali ini langsung memberi perhatian pada Batara. “Ah iya tentu saja,” jawabnya sambil tersenyum, maksudnya berusaha tersenyum dengan otak masih terus berputar cepat. Apa berpindah ke tubuh Ayu membuat otaknya pelan-pelan juga menyusut, kenapa dia sama sekali tidak bisa memikirkan satu pun solusi untuk masalah ya