Masalah utama Kiran adalah dia akan sangat fokus pada masalah yang dia hadapi sampai tidak peduli masalah lain disekitarnya. Banyak alasan memang yang mendukung tindakan Kiran saat ini, dia tidak ingin selamanya terjebak dalam tubuh Ayu, entah dia sebenarnya sudah mati atau masih hidup. Yang dia inginkan hanyalah membalas orang yang membuat hidupnya seperti ini. Dan Kiran sangat maklum kalau dia membuka pintu kamar Batara dan mendapati pemilik kamar itu menatapnya dengan marah diantara tumpukan kertas yang hanya Tuhan yang tahu apa yang baru saja terjadi. “Kamu budeg ya aku memanggilmu dari tadi, atau jangan-jangan kamu sudah tidur tadi.” Batara bisa menjadi bos yang baik tapi tak jarang dia bisa menindasnya dengan kejam, salah satunya adalah larangan Kiran untuk tidur sebelum laki-laki itu tidur. Alasannya memang masuk akal sih, supaya saat Batara membutuhkan Kiran, laki-laki itu tidak kesulitan akan tetapi jam tidur Batara itu sam
Kiran sangat berpengalaman dalam hal yang berhubungan dengan asisten, terutama menyuruh asistennya sesuai kemauannya. Dan jika saat ini Batara menyuruhnya melakukan bolak-bali ke kantor laki-laki itu tiga kali dalam sehari, tentu itu merupakan tugasnya juga. Yah anggap saja ini hukum karma karena dulu sering memerintah asistennya seenaknya, batin Kiran geli sendiri saat untuk ketiga kalinya dia menemui resepsionis dan melapor akan menemui salah satu direktur di sini. Yah dengan semena-mena, atau mungkin memiliki insting kuat kalau Kiran mampu membantunya bekerja, Batara mengangkat Kiran menjadi asistennya, bentuk halus dari tukang disuruh-suruh tentu saja. Meski begitu Kiran girang bukan main, dia bisa mendapatkan fasilitas ponsel canggih juga akses keluar rumah itu, meski hanya ke kantor Batara, tapi tak mengapa paling tidak di sana Kiran bisa mencari informasi tentang perusahaan miliknya yang memang beberapa bulan yang lalu bekerja sama den
Kiran bahkan sudah lupa bagaimana caranya tertawa lepas seperti dua bocah di depan sana. Giginya gemeletuk dan tangannya berusaha memeluk dirinya sendiri seerat mungkin seperti orang kedinginan, padahal cuaca siang ini begitu panas dan matahari bersinar dengan teriknya. Mamanya selalu menyukai senyum mereka dan sering mengajak Kiran menemani anak-anak yang kurang beruntung itu untuk bermain. Bangunan panti itu memang belum dirobhkan, tapi sudah ada tanda kalau bangunan akan digusur. Mamanya pasti akan sedih melihat semua ini. Apa tidak cukup Dafa menghancurkan keluarganya kenapa juga anak-anak ini juga harus jadi korban. “Kamu tidak ingin masuk dan menyama mereka?” Kiran menoleh dan menatap Batara yang masih sibuk dengan laptop di pangkuannya tanpa mau repot-repot menoleh. Saat ini mereka sedang berada di sebuah mobil mewah milik Batara. Kiran tak tahu apa yang akan laki-laki lakukan, saat Kiran memintanya untuk meneruskan rencana itu saja tapi dengan syarat bangunan oanti tida
Kiran dibawa diarahkan ke sebuah ruangan presiden suit yang dipesan Batara. “Apa yang akan kita lakukan di sini tuan?” tanya Kiran sedikit takut. Dia berusaha mengusir pikiran buruk yang bermain di kepalanya sejak tadi. “Memangnya kamu pikir hotel tempat untuk apa?” tanya laki-laki itu balik. Jawaban Batara sama sekali tidak meredakan ketakutan dalam diri Kiran. Wanita itu menatap ruangan super mewah dengan ranjang besar di sana. Kiran menggelengkan kepalanya pelan, tubuh ini memang bukan miliknya tapi sampai dia bisa mengembalikan pada pemilik aslinya tentu Kiran harus menjaganya dnegan baik. “Ckkk dasar bodoh aku ada meeting dengan klien di sini, jadi hentikan pikiran burukmu itu.” “Hah!” “Bukan, hah tapi mulai sekarang kamu harus belajar membantuku mengelola perusahaan dengan baik.” Kiran masih melongo, tak bisa mencerna ucapan Batara dengan benar. “Maksud Tuan?” “Sudah jelas bukan kalau kamu mau melakukan apa saja seperti katamu, dan ini yang aku minta.” “Tapi tuan saya
“Apa tuan Batara itu membenci orang tuanya, Mbok?” tanya Kiran pada mbok Nah.“Hust! Jangan bicara sembarangan, nduk!” Wanita itu melangkah cepat ke arah pintu kamarnya dan menoleh ke kanan dan ke kiri, setelah yakin tidak ada orang di luar dia menutup pintu kamarnya. “Di rumah ini dinding juga punya telinga, jangan bicara sembarangan,” kata mbok Nah dengan penekanan di setiap ucapannya. Rasa takut dan khawatir jelas terpancar di matanya. Apa dugaannya benar? Karin menghela napas, dugaannya benar ada yang salah dengan semua ini. Batara Adinata yang dia baca profilnya bukan orang yang melakukan semua hal tanpa alasan, dia tidak akan mampu membawa bisnisnya ke puncak kesuksesan jika tidak memikirkan semua hal dengan rencana matang. Akan tetapi rencana apa yang dia miliki? Sungguh Kiran benar-benar bingung dibuatnya. Apalagi sekarang dia sama sekali tidak punya orang yang bisa dia ajak bertukar pikiran, papa dan mamanya telah pergi dengan begitu tragis, ditambah lagi dirinya sendi
Kiran menatap sekelilingnya dengan pandangan takjub. Banyak bunga yang tumbuh di sini sedang mekar dan berbau harum, belum lagi kupu-kupu yang beterbangan kesana-kemari. Begitu indah memanjakan mata. Kiran menyentuh salah satu bunga yang ada di sana dan keterkejutan memenuhi dirinya. Jemarinya panjang dan lentik, bukan kecil dan kurus seperti jemari Ayu yang beberapa bulan ini menemaninya. Kiran menatap tubuhnya yang sudah lebih tinggi, sama dengan tubuhnya sendiri, perlahan dia meraba wajahnya. Apa dia sudah kembali lagi ke tubuh aslinya? Kiran menatap sekeliling tempat ini, padang bunga ini begitu subur dan indah tapi sama sekali tidak dia lihat mata air yang mengalir. Ah ponsel. Bukankah Batara memberinya sebuah ponsel. Kiran meraba tubuhnya, mungkin saja ada saku tempat dia tadi menaruh ponselnya. Tapi nihil. Gaun putih itu memang lebih dan indah tapi tidak ada barang yang dia cari.
Kiran tahu dia telah melakukan kesalahan besar. Rahasia besar telah terbongkar dan dia harus menanggung akibatnya sekarang, seketika tubuh Kiran membeku saat mengingat tatapan laki-laki itu. Sebagai wanita dia tidak dapat memungkiri kalau Batara adalah laki-laki yang penuh pesona, bukan hanya wajahnya juga tubuhnya yang baru saja dia lihat sekilas. Bagaimana dia bisa mendapatkan tubuh seindah itu padahal sehari-hari hanya duduk di dalam kamar. Kiran menggelengkan kepalanya berusaha mengenyahkan pemikiran konyol di sana. Ini bukan waktunya berpikiran tentang hal itu. Astaga lagi pula dia bukan orang yang mudah jatuh cinta, apalagi luka pengkhianatan Dafa masih basah dan meneteskan darah. “Saya minta maaf , Tuan.” Kiran menunduk dalam di depan Ba tara. Laki-laki itu hanya menatapnya dengan dingin. “Sepertinya aku terlalu memanjakan pembantu sepertimu sampai bisa berbuat seenaknya.” Kiran tahu dia salah, tapi mendengar perkataan Batara dia sedikit sakit hati, meski kenyataannya
Semua akibat pasti ada sebab, demikian juga sebaliknya, KIran sangat memahami hukum alam itu.Dan akibat kecerobohannya itu, KIran harus terkurung di ruangan ini bersama tumpukan kertas-kertas yang berserakan. Tadinya Kiran berpikir kalau Batara akan membunuhnya atau mungkin menyekapnya dalam sebuah tempat terpencil tapi siapa sangka laki-laki itu malah membawanya ke sebuah ruangan dan memberinya... tumpukan pekerjaan yang hanya Tuhan yang tahu kapan akan berakhir. Tumpukan proposal kerja sama yang harus dia cek berjumlah puluhan. "Tuan saya memang bisa membaca dengan baik, tapi apa tuan lupa kalau saya hanya lulusan SMA," bantah Kiran saat Batara memintanya memeriksa semua itu. "Bukankah ini kesempataanmu untuk belajar, jadi jangan manja." Apa? jawaban macam apa itu? Ini dokumen penting, sekali lihat saja Kiran saja sudah tahu, tapi kenapa Batara bersikap seperti ini. Laki-laki ini seperti harimau dan memperlakukan KIran seperti ayam kampung yang mudah terintimidasi oleh sang
"Non KIran tolong saya! non Kiran!" Kiran menatap sekeliling tempat itu, hanya ada deretan pohon yang rapat di kanan kirinya. "Ayu kamu dimana!" suaranya menggema di tempat itu, tapi tak ada lagi jawaban dari Ayu. "Ayu! Kamu dimana!" teriak Kiran. Sampai serak rasanya Kiran memanggil tapi tidak ada lagi jawaban dari Ayu. Kiran berlari tak tentu arah, berkali-kali dia jatuh terjerembab terhalang akar pohon yang menonjol di sana sini. Dimana ini? Kiran merasa belum pernah datang ke tempat ini, pepohonan yang rapat menghalangi sinar matahari, Kiran tak tahu ini siang atau malam. "Ayu!" panggilnya sekali lagi. Tak putus asa kakinya terus melangkah, meski dia tidak tahu ini arah yang benar atau salah, hanya naluri yang dia andalkan untuk menuntunnya mencari Ayu. Entah sudah berapa lama Kiran berjalan berputar-putar tapi dia sama sekali tidak melihat sosok Ayu, Kiran jatuh terduduk, kakinya sudah lelah. Napasnya ngos-ngosan dan dadanya terasa sangat panas dia butuh air, tapi sepan
Mereka akhirnya mendapat sebuah penginapan yang bagus. Sedikit jauh dengan rumah nene buyut Ayu sebenarnya, tapi Kiran merasa itu lebih baik. “Aku mau jalan-jalan sebentar, Mbok mau oleh-oleh apa?” tanya Kiran sambil nyengir saat dia ingat di depan penginapan ini hanya ada penjual jajanan anak karena dekat dengan sekolah, dan tentu saja mbok Nah yang memang orang... senior, sama sekali tidak tertarik dengan jajanan kekinian dengan berbagai toping yang menggoda. “Kamu yakin jalan-jalan sendiri? Ini tempat asing?” Kiran meringis saat lagi-lagi Mbok Nah memperlakukannya seperti anak usia lima tahun, mungkin dia akan mengalami serangan jantung kalau tahu apa yang dia lakukan di luar sana atas perintah Batara. “Aku akan baik-baik saja, ingat aku sudah kuliah,” kata Kiran. Dan Mbok Nah tidak bisa membantah lagi. Tujuan pertama Kiran tentu saja adalah rumah keluarga Ayu, atau seharusnya begitu sebelum mereka dianggap pengkhianat, meski dia juga tidak tahu pengkhianatan macam apa yang d
Dia pulang kampung ternyata. Tepatnya kampung halaman sang ayah. Kiran memang langsung pergi kesini begitu tahu kalau orang tua Ayu berasal dari kampung yang sama dengan ayahnya. Sejujurnya dia tidak banyak tahu tentang tempat ini, meski dulu beberapa kali ayahnya sering mengajaknya untuk mengunjungi rumah besar keluarga yang dihuni oleh kakeknya dan setelah sang kakek meninggal, sebenarnya sang ayah lah yang mewarisinya, tapi karena mereka sudah punya rumah mewah di tempat lain, jadi ayahnya meminta beberapa saudara untuk tinggal di sini. Sejenak Kiran menatap rumah besar yang seharusnya itu menjadi miliknya sekarang dalam diam. Dengan rupa Ayu dia tidak mungkin masuk ke sana, tepatnya dia tidak punya alasan untuk masuk, karena alamat rumah orang tua Ayu terletak berbeda gang dengan rumah ini. Perlahan Kaki Kiran melangkah meninggalkan rumah mewah itu dan melongok ke setiap rumah yang dia lewati untuk mengintip nomernya, memastikan untuk tidak keliru. “Kamu sepertinya sudah k
Kiran sudah mengira kalau kondisi pemakanam di desa ini pasti tidak sebagus dan semewah makam orang tuanya yang ada di kompleks pemakaman elit dengan harga jutaan tiap meternya, tapi dia sama sekali tak menyangka kalau kompleks pemakaman orang tua Ayu begitu menyedihkan. Rumput-rumput liar tampak tumbuh memanjang di semua tempat dan juga sampah dedaunan yang menumpuk tak terurus. “Apa tidak ada orang yang membersihkan ini semua?” tanya Kiran pada Atik yang menoleh dengan sedikit takut padanya. “Biasanya hanya disapu pada hari-hari tertentu saja, tapi penjaga makam sepertinya sudah lama tidak memotong rumput itu.” Kiran menghela napas, dia sedikit takut untuk terus melangkah. Bunyi berkriutan dari bambu yang ada di dekat pekuburan itu seperti melodi mengerikan di telinganya. “Apa kamu tahu dimana makam ... ehm orang tuaku... aku sedikit lupa,” kata Kiran buru-buru saat Atik menatapnya dengan terkejut. “Mbak Ayu pasti sudah lama tak mengunjungi makam paman dan bibi,” kata Atik pri
Kiran sudah berusaha dengan baik untuk membantu Dafa memenangkan tender itu. Dua minggu yang tersisa sebelum pengumuman pemenang Kiran manfaatkan untuk mencari tahu siapa Ayu. Seperti petunjuk yang diberikan kakek tua waktu itu. Dan di sinilah dia sekarang, kampung halaman Ayu bersama mbok Jum. “Kok kamu tiba-tiba ingin pulang kampung, nduk?” tanya mbok Jum heran. “Mereka pasti akan memusuhimu.” Kiran tahu hal itu, pengalamannya terakhir ada di tempat ini sangat tidak menyenangkan, dan dia tidak yakin warga desa sudah melupakan hal itu. “Ehm... aku ingin ke makam orang tuaku, mbok. Kangen mereka,” kata Kiran dengan gugup. Sejujurnya dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan di sini dan kemana dia harus bertanya, mbok Nah memang sudah menceritakan beberapa hal tentang Ayu, tapi menurut Kiran itu sama sekali bukan hal yang dia cari, karena mbok Nah hanya mengenal orang tua Ayu setelah mereka pindah ke desa ini. Pagi-pagi sekali Kiran sudah merapikan diri. “Sudah mau berangkat, n
"Kamu sudah Gila! untuk apa membantunya!" Kiran tak tahu bagaimana Dafa tahu tentang 'bantuan kecil' yang dia berikan pada Dafa. "Anda memata-matai saya," katanya tak senang. "Anda mungkin sudah berjasa dalam pencarian KIran dan pengobatannya sekarang tapi anda tidak berhak menghancurkan usaha keluarganya." "Aku sama sekali tidak menghancurkan usaha keluarganya," kata Batara lempeng. "Lalu apa maksud anda menjegal usahanya," katanya berani. "Perusahaan anda di bidang arsitektur dan interior sangat jauuhhh dari garmen." "Itu urusanku." "Dan menjadi urusan saya jika itu menyangkut Ardani group dan saya akan melakukan apa saja supaya perusahaan keluarga saya tidak hancur!" kata Kiran dan dia sangat menyesali omongannya itu karena Batara langsung menatapnya dengan curiga. "Keluarga ya? sudah lama aku ingin tahu apa kamu punya hubungan darah dengan KIran?" Kiran langsung mundur saat Batara berdiri dari kursi rodanya, tubuhnya yang tinggi menjulang membuatnya sedikit terintimidasi
Kegembiraan Kiran tak sampai di sana saja, begitu masuk ke dalam ruangan Dafa yang seperti kapal pecah dia melihat banyak kertas penting yang berhamburan di sana. “Jangan sentuh itu, kita makan saja di meja sana,” kata Dafa menghentikan gerakan Kiran yang ingin merapikan meja itu sekaligus mengintip apa saja yang dilakukan wanita itu. Tapi Kiran tahu tidak ada gunanya bersikeras saat dia belum mendapatkan kepercayaan penuh dari Dafa. Dia melangkah ke meja yang ditunjuk Dafa dan menyajikan makanan yang baru saja dia beli, wangi steak membuat perutnya keroncongan. “Makanlah kamu pasti lapar,” kata Dafa tenang. “Maaf soal yang tadi,” Kiran menatap Dafa sambil membuka bungkusan makanan untuknya. “Bukan masalah,” kata laki-laki Itu dengan senyum lebar. “Apa tidak sebaiknya bu Liza yang menemani anda, ehm maksud saya, dia akan makin benci...” “Jangan pikirkan apapun aku bisa makan dengan siapa saja.” Dan Kiran yang memang sejujurnya tidak peduli makan dengan lahap makanan untuknya.
“Jika itu bisa menghentikannya, itu yang harus aku lakukan.” Kiran tak pernah berpikir kalau dia akan menjadi salah satu orang yang menghancurkan perusahaan keluarga yang dibangun ayah dan ibunya dengan tetasan keringat dan air mata. Tanpa sadar Kiran melangkah mundur dengan pandangan ngeri, dan sepertinya Batara mengetahuinya tapi laki-laki itu tidak mencegahnya pergi dan membiarkan Kiran berlari terbirit-birit keluar dari kamarnya dan memasuki kamarnya sendiri di bagian belakang rumah dengan pikiran yang tak menentu. Kiran jatuh terduduk setelah menutup pintu kamarnya, pikirannya kosong, dia kira permasalahan yang kemarin menghampirinya sudah cukup buruk untuknya tapi sekarang dia baru tahu kalau selama ini dia tengah berjalan untuk menghancurkan kerja keras orang tuanya. Rasa kagum dan hormatnya pada Batara hilang sudah berganti rasa benci yang membuatnya ingin berteriak di telinga laki-laki itu. Kiran pikir Dafa adalah laki-laki yang licik dan penuh tipu muslihat, tapi sepert
“Dari mana saja kamu?” Kiran terlonjak saat mendengar bentakan itu, otaknya masih penuh memikirkan kira-kira siapa leluhurnya yang bisa ditanyai soal ini semua, dan tentu saja hasilnya nihil karena dia tahu leluhur dari ayahnya semuanya telah berpulang kecuali satu orang pamannya yang dia sangat yakin tak tahu apapun soal kalung ini karena dia anak bungsu dan sama sekali bukan pewaris keluarga. Mungkin aku harus belajar bicara pada roh, gerutunya kesal. Dan saat itulah kakinya berjalan menuju tempat tubuhnya di rawat dan tentu saja di sana masih ada Batara yang menatapnya seperti harimau yang siap memangsa korbannya. “Yu, kamu masih hidup bukan!” Kiran terlonjak lagi dan kali ini langsung memberi perhatian pada Batara. “Ah iya tentu saja,” jawabnya sambil tersenyum, maksudnya berusaha tersenyum dengan otak masih terus berputar cepat. Apa berpindah ke tubuh Ayu membuat otaknya pelan-pelan juga menyusut, kenapa dia sama sekali tidak bisa memikirkan satu pun solusi untuk masalah ya