“Apa tuan Batara itu membenci orang tuanya, Mbok?” tanya Kiran pada mbok Nah.“Hust! Jangan bicara sembarangan, nduk!” Wanita itu melangkah cepat ke arah pintu kamarnya dan menoleh ke kanan dan ke kiri, setelah yakin tidak ada orang di luar dia menutup pintu kamarnya. “Di rumah ini dinding juga punya telinga, jangan bicara sembarangan,” kata mbok Nah dengan penekanan di setiap ucapannya. Rasa takut dan khawatir jelas terpancar di matanya. Apa dugaannya benar? Karin menghela napas, dugaannya benar ada yang salah dengan semua ini. Batara Adinata yang dia baca profilnya bukan orang yang melakukan semua hal tanpa alasan, dia tidak akan mampu membawa bisnisnya ke puncak kesuksesan jika tidak memikirkan semua hal dengan rencana matang. Akan tetapi rencana apa yang dia miliki? Sungguh Kiran benar-benar bingung dibuatnya. Apalagi sekarang dia sama sekali tidak punya orang yang bisa dia ajak bertukar pikiran, papa dan mamanya telah pergi dengan begitu tragis, ditambah lagi dirinya sendi
Kiran menatap sekelilingnya dengan pandangan takjub. Banyak bunga yang tumbuh di sini sedang mekar dan berbau harum, belum lagi kupu-kupu yang beterbangan kesana-kemari. Begitu indah memanjakan mata. Kiran menyentuh salah satu bunga yang ada di sana dan keterkejutan memenuhi dirinya. Jemarinya panjang dan lentik, bukan kecil dan kurus seperti jemari Ayu yang beberapa bulan ini menemaninya. Kiran menatap tubuhnya yang sudah lebih tinggi, sama dengan tubuhnya sendiri, perlahan dia meraba wajahnya. Apa dia sudah kembali lagi ke tubuh aslinya? Kiran menatap sekeliling tempat ini, padang bunga ini begitu subur dan indah tapi sama sekali tidak dia lihat mata air yang mengalir. Ah ponsel. Bukankah Batara memberinya sebuah ponsel. Kiran meraba tubuhnya, mungkin saja ada saku tempat dia tadi menaruh ponselnya. Tapi nihil. Gaun putih itu memang lebih dan indah tapi tidak ada barang yang dia cari.
Kiran tahu dia telah melakukan kesalahan besar. Rahasia besar telah terbongkar dan dia harus menanggung akibatnya sekarang, seketika tubuh Kiran membeku saat mengingat tatapan laki-laki itu. Sebagai wanita dia tidak dapat memungkiri kalau Batara adalah laki-laki yang penuh pesona, bukan hanya wajahnya juga tubuhnya yang baru saja dia lihat sekilas. Bagaimana dia bisa mendapatkan tubuh seindah itu padahal sehari-hari hanya duduk di dalam kamar. Kiran menggelengkan kepalanya berusaha mengenyahkan pemikiran konyol di sana. Ini bukan waktunya berpikiran tentang hal itu. Astaga lagi pula dia bukan orang yang mudah jatuh cinta, apalagi luka pengkhianatan Dafa masih basah dan meneteskan darah. “Saya minta maaf , Tuan.” Kiran menunduk dalam di depan Ba tara. Laki-laki itu hanya menatapnya dengan dingin. “Sepertinya aku terlalu memanjakan pembantu sepertimu sampai bisa berbuat seenaknya.” Kiran tahu dia salah, tapi mendengar perkataan Batara dia sedikit sakit hati, meski kenyataannya
Semua akibat pasti ada sebab, demikian juga sebaliknya, KIran sangat memahami hukum alam itu.Dan akibat kecerobohannya itu, KIran harus terkurung di ruangan ini bersama tumpukan kertas-kertas yang berserakan. Tadinya Kiran berpikir kalau Batara akan membunuhnya atau mungkin menyekapnya dalam sebuah tempat terpencil tapi siapa sangka laki-laki itu malah membawanya ke sebuah ruangan dan memberinya... tumpukan pekerjaan yang hanya Tuhan yang tahu kapan akan berakhir. Tumpukan proposal kerja sama yang harus dia cek berjumlah puluhan. "Tuan saya memang bisa membaca dengan baik, tapi apa tuan lupa kalau saya hanya lulusan SMA," bantah Kiran saat Batara memintanya memeriksa semua itu. "Bukankah ini kesempataanmu untuk belajar, jadi jangan manja." Apa? jawaban macam apa itu? Ini dokumen penting, sekali lihat saja Kiran saja sudah tahu, tapi kenapa Batara bersikap seperti ini. Laki-laki ini seperti harimau dan memperlakukan KIran seperti ayam kampung yang mudah terintimidasi oleh sang
Saat Batara mmengatakan kalau tidak bisa mengusahakan jabatan yang tinggi untuk KIran, dia pikir paling tidak dia akan mendapat jabatan staff. Bukan sebagai office girl direksi. Tidak ada yang salah memang dengan pekerjaan itu, tapi bagaimana mungkin memata-matai Dafa dan asistennya jika jabatannya hanya tukang bersih-bersih. "Sebelumnya kamu kerja di mana?" tanya bu Ane, kepala cleaning service yang sudah KIran kenal dengan baik dulu. Tentu saja saat dirinya masih menjabat sebagai salah satu direktur di sini. Wanita itu sangat rajin dan bertanggung jawab meski kadang bersikap ketus dan cerewet. Kiran menggaruk pelipisnya dengan bingung, wajahnya memang berbeda sekarang tapi gestur tubuh dan cara bepikirnya masih sama, karena itu dia sangat menghindari orang yang dulu kenal baik dengannya salah satunya adalah wanita ini. Make up tebal yang dipoleskan oleh penata rias khusus yang disiapkan Batara memang bekerja sangat baik, bahkan KIran yang sudah akrab dengan wajah Ayu saat
"Pak Bagja sudah tidak bekerja di sana." Hari sudah beranjak malam saat KIran sampai di rumah Batara lagi, tentu saja setelah menghapus semua make up di kamar kos kecil yang sengaja laki-laki sewa untuk mendukung semua sandiwara ini. Satu hal yang dimengerti oleh KIran, Batara orang yang sangat detail dan total dalam melakukan rencananya. Berkali-kali juga Kiran mengorek keterangan dari laki-laki itu tapi dengan cerdik berhasil mengelak. Tentu saja itu makin membuat KIran curiga, dia memang membenci Dafa karena sudah menyebabkan kehancuran keluarganya tapi tentu saja dia tidak akan tinggal diam jika Batara juga ingin melakukan hal yang sama pada perusahaan keluarganya. "Aku tahu, orangku sudah menyelidikinya, kamu hanya perlu mendekati asisten sekaligus sekertaris Dafa." "Sepertinya dia hanya wanita yang gila harta," kata KIran tanpa sadar. Dia ingat dengan wanita muda dengan dandanan menor dan seksi yang langsung bergelayut di lengan Dafa saat laki-laki itu datang, bahkan tak
Kiran selalu percaya penampilan adalah point yang membuat kesan pada pertemuan pertama, dan dia merasa tidak ada ruginya menghabiskan sebagian gajinya untuk menunjang penampilannya, ditambah perhiasan yang melekat di tubuhnya membuat penampilannya malam ini tidak begitu memalukan. Untunglah. Batara memang kurang ajar. Laki-laki itu sama sekali tidak mengatakan kalau mereka akan menghadiri pertemuan keluarga penting keluarga besar laki-laki itu di sebuah restoran mewah yang terkenal sulit untuk melakukan reservasi. “Apa restoran ini juga milik tuan?” tanya Kiran penasaran dia ingat dulu harus bersusah payah untuk melakukan reservasi di restoran ini. “Tidak tentu saja, aku tidak tertarik dengan bisnis makanan,” jawab Batara datar. Tentu saja dengan bisnis dibidang konstruksi dan properti yang menggurita, belum lagi toko emas yang dimilikinya, serakah namanya kalau Batara masih berambisi dengan bisnis yang lain. Tapi kadang manusia memang tidak merasa puas. Kiran pernah tidak senga
Suara itu mengatakan ini adalah tempat yang benar, tapi jika Kiran tahu siapa saja yang ada di sana dia akan berpikir dua kali untuk ikut. Kayak kamu punya pilihan saja, ejek batinnya sinis. Yah benar dia sama sekali tidak punya pilihan, menghadapi Batara yang seperti menggenggam seluruh hidupnya dia sama sekali tidak bisa berkutik. “Wah pangerannya sudah datang rupanya,” seorang laki-laki paruh baya berkata dengan ceria, terlalu ceria sampai membuat Kiran tahu kalau laki-laki itu punya maksud lain di pertemuan ini. Apa dia keluarga Batara juga? Jawaban pertanyaan itu datang tak lama kemudian. “Minggir.” Aha Kiran ingat wanita yang tempo hari nekad masuk ke kamar Batara tapi berakhir memalukan dengan diusir keluar dan sepertinya saat pesta kemarin juga. Demi kedamaian Kiran langsung menyingkir , tapi sekarang dia kebingungan apa yang harus dia lakukan. Tidak mungkin bukan dia tiba-tiba duduk bersama oran