Saat Batara mmengatakan kalau tidak bisa mengusahakan jabatan yang tinggi untuk KIran, dia pikir paling tidak dia akan mendapat jabatan staff. Bukan sebagai office girl direksi. Tidak ada yang salah memang dengan pekerjaan itu, tapi bagaimana mungkin memata-matai Dafa dan asistennya jika jabatannya hanya tukang bersih-bersih. "Sebelumnya kamu kerja di mana?" tanya bu Ane, kepala cleaning service yang sudah KIran kenal dengan baik dulu. Tentu saja saat dirinya masih menjabat sebagai salah satu direktur di sini. Wanita itu sangat rajin dan bertanggung jawab meski kadang bersikap ketus dan cerewet. Kiran menggaruk pelipisnya dengan bingung, wajahnya memang berbeda sekarang tapi gestur tubuh dan cara bepikirnya masih sama, karena itu dia sangat menghindari orang yang dulu kenal baik dengannya salah satunya adalah wanita ini. Make up tebal yang dipoleskan oleh penata rias khusus yang disiapkan Batara memang bekerja sangat baik, bahkan KIran yang sudah akrab dengan wajah Ayu saat
"Pak Bagja sudah tidak bekerja di sana." Hari sudah beranjak malam saat KIran sampai di rumah Batara lagi, tentu saja setelah menghapus semua make up di kamar kos kecil yang sengaja laki-laki sewa untuk mendukung semua sandiwara ini. Satu hal yang dimengerti oleh KIran, Batara orang yang sangat detail dan total dalam melakukan rencananya. Berkali-kali juga Kiran mengorek keterangan dari laki-laki itu tapi dengan cerdik berhasil mengelak. Tentu saja itu makin membuat KIran curiga, dia memang membenci Dafa karena sudah menyebabkan kehancuran keluarganya tapi tentu saja dia tidak akan tinggal diam jika Batara juga ingin melakukan hal yang sama pada perusahaan keluarganya. "Aku tahu, orangku sudah menyelidikinya, kamu hanya perlu mendekati asisten sekaligus sekertaris Dafa." "Sepertinya dia hanya wanita yang gila harta," kata KIran tanpa sadar. Dia ingat dengan wanita muda dengan dandanan menor dan seksi yang langsung bergelayut di lengan Dafa saat laki-laki itu datang, bahkan tak
Kiran selalu percaya penampilan adalah point yang membuat kesan pada pertemuan pertama, dan dia merasa tidak ada ruginya menghabiskan sebagian gajinya untuk menunjang penampilannya, ditambah perhiasan yang melekat di tubuhnya membuat penampilannya malam ini tidak begitu memalukan. Untunglah. Batara memang kurang ajar. Laki-laki itu sama sekali tidak mengatakan kalau mereka akan menghadiri pertemuan keluarga penting keluarga besar laki-laki itu di sebuah restoran mewah yang terkenal sulit untuk melakukan reservasi. “Apa restoran ini juga milik tuan?” tanya Kiran penasaran dia ingat dulu harus bersusah payah untuk melakukan reservasi di restoran ini. “Tidak tentu saja, aku tidak tertarik dengan bisnis makanan,” jawab Batara datar. Tentu saja dengan bisnis dibidang konstruksi dan properti yang menggurita, belum lagi toko emas yang dimilikinya, serakah namanya kalau Batara masih berambisi dengan bisnis yang lain. Tapi kadang manusia memang tidak merasa puas. Kiran pernah tidak senga
Suara itu mengatakan ini adalah tempat yang benar, tapi jika Kiran tahu siapa saja yang ada di sana dia akan berpikir dua kali untuk ikut. Kayak kamu punya pilihan saja, ejek batinnya sinis. Yah benar dia sama sekali tidak punya pilihan, menghadapi Batara yang seperti menggenggam seluruh hidupnya dia sama sekali tidak bisa berkutik. “Wah pangerannya sudah datang rupanya,” seorang laki-laki paruh baya berkata dengan ceria, terlalu ceria sampai membuat Kiran tahu kalau laki-laki itu punya maksud lain di pertemuan ini. Apa dia keluarga Batara juga? Jawaban pertanyaan itu datang tak lama kemudian. “Minggir.” Aha Kiran ingat wanita yang tempo hari nekad masuk ke kamar Batara tapi berakhir memalukan dengan diusir keluar dan sepertinya saat pesta kemarin juga. Demi kedamaian Kiran langsung menyingkir , tapi sekarang dia kebingungan apa yang harus dia lakukan. Tidak mungkin bukan dia tiba-tiba duduk bersama oran
“Sekarang kamu tahu bukan kenapa aku menyuruhmu untuk menyelidiki laki-laki itu.” Kiran terdiam, dia sibuk dengan berbagai pikiran yang memenuhi kepalanya. Apa ini maksud dari suara itu, di tempat ini dia akan bertemu Dafa. Tapi bukankah setip haridia bertemu Dafa di kantor. Meski Kiran tak yakin laki-laki itu akan mengenalinya. “Anda ingin menyelidiki kemungkinan dia bisa menjadi adik ipar anda atau tidak,” jawab Kiran datar. Saat ini pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran pada perusahaan ayahnya, jika sampai Dafa menjadi adik ipar Batara, tentu akan lebih sulit merebut semua miliknya dan membalas Dafa. Yah tanpa Karin duga, Rini datang bersama Dafa, laki-laki yang menjadi targetnya. Kiran tidak tahu kalau pesona Dafa begitu menyilaukan gadis itu, sampai rela merendahkan diri menjadi yang kedua. Bahkan rumor kalau laki-laki itu menikahi Kiran hanya untuk mendapatkan kekayaannya itu tak menyurutkan langkah Rini.
“Saya akan membantu anda semampu saya, tapi sebagai gantinya saya ingin tahu dimana istri Dafa sekarang.” Menghela napasnya yang memburu setelah mengatakan kalimat itu. Dia tidak tahu apa Batara akan mempercayai dirinya atau tidak, yang jelas dia harus bisa mengungkapkan fakta ini secepatnya, dan laki-laki di depannya ini satu-satunya harapan untuknya. “Istri Dafa? Pewaris Ardani group?” Kiran mengangguk, sepertinya Batara tahu banyak tentang dirinya. “Kenapa? Bukankah kamu hanya ingin mendapatkan seorang pangeran?” kejar Batara. Kiran terdiam dan menatap Batara lama. “Saya sudah mendapatkannya, bukankah begitu yang anda bilang pada tunangan anda tadi.” Tawa keras langsung memenuhi mobil itu, Kiran sampai menolehkan kepalanya menatap heran laki-laki di sebelahnya. Tampan dan penuh pesona. Kiran tak pernah melihat Batara tertawa selepas ini dan dia memutuskan menyukai tawa itu. Begi
Kiran kira Batara memang tidak menyukai Dafa, tapi dia keliru, laki-laki itu bukannya tidak menyukai Dafa tapi dia membencinya. Kesimpulan itu dia dapat saat diam-diam mengikuti Dafa menemui Batara. Ini memang masih jam kerja, tapi Kiran punya keyakinan kuat kalau Dafa akan pergi ke suatu tempat yang penting melihat bagaimana dia mengabaikan sekretarisnya yang genit itu dan memasuki mobilnya. Dengan alasan membelikan makanan untuk salah satu staff di sana, Kiran yang sudah diam-diam melempaskan gps ke mobil Dafa bisa mengikuti laki-laki itu dengan mudah. Tapi sialnya saat memasuki rumah Batara Kiran lupa kalau dia masih menggunakan riasan tebal seperti biasa, sehingga mbok Nah menahannya di pintu masuk, dan harus menjelaskan panjang lebar. “Pergilah, kehadiranmu sama sekali tidak diharapkan disini,” usir Batara. “Apa yang membuat anda bersikap sulit seperti ini, bukaankah kita sudah sepakat soal pembangunan apartemen itu.”
“Tidak ada nama itu di sini.” Entah jawaban itu untuk ke berapa kalinya Kiran dengar dari petugas yang dia tanyakan. Hari libur yang biasanya dia gunakan untuk membantu mbok Nah memanggang kue, atau sekedar membersihkan sayuran yang akan dimasak kali ini dia gunakan untuk berkeliling kota. Ehm... ini bukan tentang rekreasi tentu saja. Kiran memang sudah meren canakan ini jauh-jauh hari sebelumnya, setidaknya dia tahu apa yang harus dia prioritaskan sekarang. Yah dia harus menemukan tubuhnya yang sebenarnya dan mencari tahu apa bisa dia kembali ke tubuh itu lagi. Meski saat ini akan lebih aman kalau Kiran tetao berada di tubuh kecil Ayu. “Apa anda yakin, dia mengalami kecelakaan sekitar dua bulan yang lalu dan koma,” kata Kiran sedikit memaksa. Tapi petugas itu untuk ketiga kalinya menggeleng dengan kesal. Dan Kiran juga ikut kesal. Otaknya terus berpikir di mana kira-kira Dafa menempatkan tubuhnya. Kiran sudah mendekati sekertaris Dafa, juga beberapa orang yang mungkin saja