Kiran sudah mengira kalau kondisi pemakanam di desa ini pasti tidak sebagus dan semewah makam orang tuanya yang ada di kompleks pemakaman elit dengan harga jutaan tiap meternya, tapi dia sama sekali tak menyangka kalau kompleks pemakaman orang tua Ayu begitu menyedihkan. Rumput-rumput liar tampak tumbuh memanjang di semua tempat dan juga sampah dedaunan yang menumpuk tak terurus. “Apa tidak ada orang yang membersihkan ini semua?” tanya Kiran pada Atik yang menoleh dengan sedikit takut padanya. “Biasanya hanya disapu pada hari-hari tertentu saja, tapi penjaga makam sepertinya sudah lama tidak memotong rumput itu.” Kiran menghela napas, dia sedikit takut untuk terus melangkah. Bunyi berkriutan dari bambu yang ada di dekat pekuburan itu seperti melodi mengerikan di telinganya. “Apa kamu tahu dimana makam ... ehm orang tuaku... aku sedikit lupa,” kata Kiran buru-buru saat Atik menatapnya dengan terkejut. “Mbak Ayu pasti sudah lama tak mengunjungi makam paman dan bibi,” kata Atik pri
Dia pulang kampung ternyata. Tepatnya kampung halaman sang ayah. Kiran memang langsung pergi kesini begitu tahu kalau orang tua Ayu berasal dari kampung yang sama dengan ayahnya. Sejujurnya dia tidak banyak tahu tentang tempat ini, meski dulu beberapa kali ayahnya sering mengajaknya untuk mengunjungi rumah besar keluarga yang dihuni oleh kakeknya dan setelah sang kakek meninggal, sebenarnya sang ayah lah yang mewarisinya, tapi karena mereka sudah punya rumah mewah di tempat lain, jadi ayahnya meminta beberapa saudara untuk tinggal di sini. Sejenak Kiran menatap rumah besar yang seharusnya itu menjadi miliknya sekarang dalam diam. Dengan rupa Ayu dia tidak mungkin masuk ke sana, tepatnya dia tidak punya alasan untuk masuk, karena alamat rumah orang tua Ayu terletak berbeda gang dengan rumah ini. Perlahan Kaki Kiran melangkah meninggalkan rumah mewah itu dan melongok ke setiap rumah yang dia lewati untuk mengintip nomernya, memastikan untuk tidak keliru. “Kamu sepertinya sudah k
Mereka akhirnya mendapat sebuah penginapan yang bagus. Sedikit jauh dengan rumah nene buyut Ayu sebenarnya, tapi Kiran merasa itu lebih baik. “Aku mau jalan-jalan sebentar, Mbok mau oleh-oleh apa?” tanya Kiran sambil nyengir saat dia ingat di depan penginapan ini hanya ada penjual jajanan anak karena dekat dengan sekolah, dan tentu saja mbok Nah yang memang orang... senior, sama sekali tidak tertarik dengan jajanan kekinian dengan berbagai toping yang menggoda. “Kamu yakin jalan-jalan sendiri? Ini tempat asing?” Kiran meringis saat lagi-lagi Mbok Nah memperlakukannya seperti anak usia lima tahun, mungkin dia akan mengalami serangan jantung kalau tahu apa yang dia lakukan di luar sana atas perintah Batara. “Aku akan baik-baik saja, ingat aku sudah kuliah,” kata Kiran. Dan Mbok Nah tidak bisa membantah lagi. Tujuan pertama Kiran tentu saja adalah rumah keluarga Ayu, atau seharusnya begitu sebelum mereka dianggap pengkhianat, meski dia juga tidak tahu pengkhianatan macam apa yang d
"Non KIran tolong saya! non Kiran!" Kiran menatap sekeliling tempat itu, hanya ada deretan pohon yang rapat di kanan kirinya. "Ayu kamu dimana!" suaranya menggema di tempat itu, tapi tak ada lagi jawaban dari Ayu. "Ayu! Kamu dimana!" teriak Kiran. Sampai serak rasanya Kiran memanggil tapi tidak ada lagi jawaban dari Ayu. Kiran berlari tak tentu arah, berkali-kali dia jatuh terjerembab terhalang akar pohon yang menonjol di sana sini. Dimana ini? Kiran merasa belum pernah datang ke tempat ini, pepohonan yang rapat menghalangi sinar matahari, Kiran tak tahu ini siang atau malam. "Ayu!" panggilnya sekali lagi. Tak putus asa kakinya terus melangkah, meski dia tidak tahu ini arah yang benar atau salah, hanya naluri yang dia andalkan untuk menuntunnya mencari Ayu. Entah sudah berapa lama Kiran berjalan berputar-putar tapi dia sama sekali tidak melihat sosok Ayu, Kiran jatuh terduduk, kakinya sudah lelah. Napasnya ngos-ngosan dan dadanya terasa sangat panas dia butuh air, tapi sepan
“Ah ternyata pelarianmu sampai di sini saja manis!” Kiran menatap pemandangan di depannya dengan ngeri, sebuah jurang yang tidak terlihat ujungnya menganga lebar di depannya. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi sial orang-orang itu sudah berdiri mengepungnya. Kiran menatap jurang yang menganga di sampingnya dan bergidik ngeri tubuhnya pasti akan hancur kalau jatuh ke sana. “Bagus sekali kalian mendapatkannya.” Kiran menolehkan kepalanya dan menatap benci pada Dafa, laki-laki iblis yang masih sah menjadi suaminya itu.Apakah tidak ada sedikipun rasa cinta di hati Dafa untuknya? Kiran menggeleng dengan keras. Bagaimana mungkin dia masih memikirkan hal itu saat Dafa berbuat sejauh ini padanya. “Apa yang terjadi pada orang tuaku?” tanya Kiran setelah jaraknya dengan Dafa lebih dekat. Laki-laki itu tersenyum sinis. Bukannya langsung menjawab dia menatap langir pagi ini dengan tenang. “Ayahku pasti bisa membalas dendam sendiri sekarang,” katanya.Dafa menatap Kiran dengan nyalang.
Kiran sama sekali tak menangis atau berteriak meski tubuh ringkihnya diseret paksa keluar dari ruangan itu. Kiran tak tahu akan dibawa ke mana dia. Lagi-lagi perasaan familiar akan tempat ini dia rasakan, tapi dia juga tak bisa mengingat kapan dia pernah datang kemari. “Lihat! Dapur kotor, makanan tak ada cucian menumpuk!” Kiran jatuh terjerembab di lantai yang dingin, perlahan dia bangkit dan menatap sekelilingnya. Sebuah dapur yang bersatu dengan tempat cuci. Apa dia jadi pembantu di sini? Tapi masalahnya dia tidak pernah memasak apalagi mencuci pakaian. Ah dia pernah memperhatikan bibi di rumahnya mencuci dengan mesin cuci. Susah payah Kiran bangkit, dia lalu menatap dua orang itu tajam sebelum mengambil barang belanjaan yang berserakan. Entahlah dia tidak tahu akan masak apa? atau lebih tepatnya apa dia bisa menyajikan makanan yang layak makan tanpa membakar seluruh dapur. “Aku lapar, Ma. Suruh dia cepat masak.”“Kamu dengar bukan, Kakakmu sudah lapar, cepat masak!” Kira
Mbok Nah membawanya ke sebuah bangunan megah yang hampir mirip dengan rumahnya sendiri. “Siapa ini? Mbok nemu di mana anak kecil dekil begini?” Kiran yang semua sibuk memperhatikan rumah ini langsung mendongak. Seorang gadis yang tadinya duduk dalam ayunan perlahan bangkit dan menghampirinya, menatapnya penuh selidik. “Neng Rini, ini keponakan saya dari kampung. Orang tuanya sudah meninggal dan saya mau minta ijin tuan untuk bisa tinggal di sini,” kata mbok Nah dengan sopan. Ah mungkin ini salah satu anak majikan mbok Nah. Melihat cara berpakaian gadis itu yang masih terbilang sopan, membuat Kiran langsung menepis pikiran buruknya tentang mbok Nah yang mungkin berniat menjualnya. Ah kesalahan fatal yang membuatnya berada di titik ini menjadikannya orang yang penuh curiga. “Siapa namamu?” tanya gadis itu lagi, usianya mungkin sekitar awal dua puluhan.“KI... Ayu,” jawab Kiran hampir menyebutkan nama aslinya. “Oh, ya sudah masuklah,” katanya kembali duduk di ayunan tapi sebelum
Batara Adinata, ingin sekali Kiran menampar mulut laki-laki ceriwis ini. Mbok Nah bilang tuannya adalah orang yang pendiam dan tak banyak tingkah, tapi apa yang dilakukan laki-laki itu sekarang padanya sungguh sangat bertentangan dengan apa yang dia dengar.“Sikat kamar mandi itu dengan bersih, setelah itu lap jendela kamarku. Kamu harus memastikan semua udara yang aku hirup bersih dan segar!” Dengarkan perintah bodoh laki-laki itu, mana bisa dia memilah udara. Tapi yang bisa dikatakan Kiran hanya. “Baik Tuan.” Kiran merasa dia bukan dijadikan perawat tapi lebih tepat dijadikan budak, bahkan laki-laki itu dengan sengaja mencegah ART yang bertugas membersihkan tempat ini dan memintanya melakukan semuanya. Sejak pagi Kiran sudah bekerja keras bagai kuda, tapi pekerjaan yang dia kerjakan sama sekali tidak ada yang beres di mata tuan sok sempurna itu. Kiran menghela napas lega saat ruangan ini sudah bersih, dia berharap tuan sok sempurna itu tidak mencari-cari kesalahannya lagi.Kir