Kiran sama sekali tak menangis atau berteriak meski tubuh ringkihnya diseret paksa keluar dari ruangan itu.
Kiran tak tahu akan dibawa ke mana dia. Lagi-lagi perasaan familiar akan tempat ini dia rasakan, tapi dia juga tak bisa mengingat kapan dia pernah datang kemari. “Lihat! Dapur kotor, makanan tak ada cucian menumpuk!” Kiran jatuh terjerembab di lantai yang dingin, perlahan dia bangkit dan menatap sekelilingnya. Sebuah dapur yang bersatu dengan tempat cuci. Apa dia jadi pembantu di sini? Tapi masalahnya dia tidak pernah memasak apalagi mencuci pakaian. Ah dia pernah memperhatikan bibi di rumahnya mencuci dengan mesin cuci. Susah payah Kiran bangkit, dia lalu menatap dua orang itu tajam sebelum mengambil barang belanjaan yang berserakan. Entahlah dia tidak tahu akan masak apa? atau lebih tepatnya apa dia bisa menyajikan makanan yang layak makan tanpa membakar seluruh dapur. “Aku lapar, Ma. Suruh dia cepat masak.”“Kamu dengar bukan, Kakakmu sudah lapar, cepat masak!” Kiran bergidik jijik saat Mala mulai duduk dan mengupil di meja makan. Astaga keluarga macam apa tempatnya nyasar ini. Sedangkan wanita paruh baya yang dipanggil ibu itu duduk menatap anak gadis nya dengan pandangan sayang. Tiba-tiba, ia terbesit sebuah rencana. Ia pun langsung mulai bekerja. Kiran bergerak perlahan memotong-motong sayuran dengan asal, lantas memasukan bumbu apa saja yang ada di depan matanya. Begitu juga cabai dan merica dengan tumpah ruah."Aku harap ini sedikit membalaskan perbuatan mereka pada sosok Ayu!"Kiran sedikit menoleh ke belakang, memastikan kedua orang itu tidak melihat perbuatannya.Beberapa saat kemudian...“Brakk!”Kiran yang masih membersihkan bekas piring kotor yang ada di sana terlonjak kaget saat mendengar gebrakan meja dan siapa lagi yang membuat ulah kalau bukan gadis bernama Mala itu.“Sabar sayang, si Ayu memang lelet,” kata sang ibu lembut, tapi saat pandangannya beralih pada Kiran berubah seperti singa. “Kita makan di luar saja, Bu,” kata Mala lagi. “Jangan!” Kiran dan wanita yang dipanggil ibu itu berbicara bersamaan dan tentu saja dengan alasan yang berbeda. “Aku sudah masak,” kata Kiran memberi alasan pada keduanya. Sang ibu menarik napas panjang dan menatap Mala dengan sayang. “Benar, keenakan dia kalau hari ini makan kenyang.” Kiran mendengus, ia tak dapat membayangkan seberapa tersiksa Ayu di kehidupan sebelumnya.Ia pun mengambil mangkuk dan buru-buru mengambil sup yang entah dia sendiri sama sekali tidak tahu apa bisa dimakan manusia. Itu juga alasannya membuat makanan ini untuk membuat mereka jera.Lalu, tiba-tiba...“Huekkk!”“Kamu sengaja mau meracuni kita ya!” “Itu dari bahan makanan yang tadi ibu berikan,” kata Kiran sambil menunduk tapi dalam hati dia tidak bisa menghentikan tawanya.Tubuhnya memang lemah, tapi dia bukan orang yang bisa ditindas seenaknya!“Dia berani mempermainkan kita, kurung saja di gudang jangan beri makan!” kata Mala dengan kemarahan yang terlihat jelas di wajahnya. Diam-diam tangan Kiran bergerak dan begitu sang ibu akan mengayunkan tangannya untuk memukul Kiran, wanita itu menangkis dengan teflon di tangannya. Kiran bisa melihat wajah wanita paruh baya itu begitu geram padanya, tapi apa peduli Kiran. Kiran kira wanita itu akan maju dan menghajarnya, akan tetapi dia malah telungkup di atas meja dan menangis keras, membuat Kiran kebingungan sendiri. Tak lama kemudian pintu di ketuk dari luar. Tak mengerti apa yang terjadi Kiran bergeges melangkah ke arah pintu kayu itu dan membukanya. “Ada apa kenapa ibumu menangis?” tanya wanita itu yang membuat Kiran spontan memutar bola matanya dengan malas. Ah pasti ini tetangga kepo yang suka ikut campur urusan orang lain. “Budhe, lihatlah Kiran memukul ibu dengan teflon,” kata Mala yang sudah terisak. Kiran melongo, seingatnya tadi teflon itu hanya digunakan sebagai tameng tapi kenapa sekarang pipi sang ibu memerah seperti baru saja terkena hantam. Wanita tua menatap Kiran tajam. “Kamu memang pembawa sial, ayah dan ibumu sudah kamu bunuh sekarang kamu menyakiti ibu tirimu yang sudah mau merawatmu!” Apa gadis ini membunuh ayah dan ibumu? “Apa maksud anda?” tanya Kiran. Wanita tua itu terbelalak dan menampar wajah Kiran dengan keras. “Bahkan kamu tidak punya sopan santun padaku, suamiku tokoh masyarakat di sini jika kamu terus buat ulah aku akan minta mereka mengusirmu dari sini!” “Ini rumah ayah dan ibuku!” Kiran tak tahu kenapa dia bicara begitu, tapi dia yakin dua orang itu hanya benalu yang tinggal di sini. “Ayah dan ibu yang kamu bunuh! Aku sudah tidak tahan serumah dengannya budhe dia selalu saja kasar!” kata Mala dengan derai air mata. “Tapi ayahnya menitipkan dia pada ibu, kasihan-““Mala benar, sebaiknya kamu pergi saja dari rumah ini!” Keributan itu rupanya banyak mengundang tetangga yang meski jarak rumah mereka tak serapat perumahan sederhana tapi telinga mereka ada di mana-mana. Sayang sekali telinga mereka tidak digunakan dengan benar. Tapi satu hal yang baru disadari oleh Kiran akibat tindakan nekadnya? Dia belum tahu daerah sini dan jika pergi dari sini harus kemana dia? Akan tetapi dia juga tidak sudi untuk memohon pada mereka. Pagi yang sebenarnya indah ini berubah menjadi mengerikan, beberapa orang beramai-ramai menyeret Kiran pergi diikuti tangis buaya ibu tiri Ayu. “Aku tidak mau pergi kalian tidak berhak mengusirku!” kata Kiran dengan keras, tapi orang-orang itu makin menarik tubuhnya dengan kuat dan melemparnya ke halaman. “Pergi! Kamu pembawa sial! Pembunuh!” teriakan-teriakan itu membuat Kiran begitu marah, dia ingin menerjang maju tapi sadar kalau dirinya tak bisa melawan mereka semua. Mau tak mau Kiran melangkah pergi, nanti malam dia akan kembai ke rumah ini, dan berencana membuat dua orang itu jera. “Ayu!” Kiran melangkah menyusuri jalan berkerikil dengan kaki telanjang dan tubuh yang sakit semua. Luka-luka pukulan tadi pasti bertambah parah. “Yu, kamu mau kemana?” Kiran mengerjap, dia belum terbiasa dipanggil Ayu, karena nyatanya dia memang bukan Ayu. “Mereka menyuruh saya pergi,” kata Kiran datar. Di sini dia tidak bisa percaya siapapun. “Ikut saja denganku,” kata wanita tua itu. “Ibu siapa?” “Kamu kok lupa sama simbok, nduk ini mbok Nah yang dulu dibantu ayahmu bekerja di rumah tuan Adinata.” Kiran menggeleng tentu saja dia sama sekali tidak kenal. “Ah sudahlah ayo ikut saja, kamu juga sudah diusir dari sini, setidaknya di sana kamu bisa istirahat,” kata wanita itu dan menggandeng tangan Kiran. “Maaf aku kembali saja ke rumah, aku tidak kenal dengan ibu.” Wanita tua itu menghela napas dalam. “Kamu mau mati, Mala dan ibunya pasti akan mem-“Kalimat wanita itu tak selesai karena dari ujung jalan orang-orang yang tadi mengusir Kiran muncul dan menatap Kiran dengan bengis. “Ayo kita tidak punya waktu.”Mbok Nah membawanya ke sebuah bangunan megah yang hampir mirip dengan rumahnya sendiri. “Siapa ini? Mbok nemu di mana anak kecil dekil begini?” Kiran yang semua sibuk memperhatikan rumah ini langsung mendongak. Seorang gadis yang tadinya duduk dalam ayunan perlahan bangkit dan menghampirinya, menatapnya penuh selidik. “Neng Rini, ini keponakan saya dari kampung. Orang tuanya sudah meninggal dan saya mau minta ijin tuan untuk bisa tinggal di sini,” kata mbok Nah dengan sopan. Ah mungkin ini salah satu anak majikan mbok Nah. Melihat cara berpakaian gadis itu yang masih terbilang sopan, membuat Kiran langsung menepis pikiran buruknya tentang mbok Nah yang mungkin berniat menjualnya. Ah kesalahan fatal yang membuatnya berada di titik ini menjadikannya orang yang penuh curiga. “Siapa namamu?” tanya gadis itu lagi, usianya mungkin sekitar awal dua puluhan.“KI... Ayu,” jawab Kiran hampir menyebutkan nama aslinya. “Oh, ya sudah masuklah,” katanya kembali duduk di ayunan tapi sebelum
Batara Adinata, ingin sekali Kiran menampar mulut laki-laki ceriwis ini. Mbok Nah bilang tuannya adalah orang yang pendiam dan tak banyak tingkah, tapi apa yang dilakukan laki-laki itu sekarang padanya sungguh sangat bertentangan dengan apa yang dia dengar.“Sikat kamar mandi itu dengan bersih, setelah itu lap jendela kamarku. Kamu harus memastikan semua udara yang aku hirup bersih dan segar!” Dengarkan perintah bodoh laki-laki itu, mana bisa dia memilah udara. Tapi yang bisa dikatakan Kiran hanya. “Baik Tuan.” Kiran merasa dia bukan dijadikan perawat tapi lebih tepat dijadikan budak, bahkan laki-laki itu dengan sengaja mencegah ART yang bertugas membersihkan tempat ini dan memintanya melakukan semuanya. Sejak pagi Kiran sudah bekerja keras bagai kuda, tapi pekerjaan yang dia kerjakan sama sekali tidak ada yang beres di mata tuan sok sempurna itu. Kiran menghela napas lega saat ruangan ini sudah bersih, dia berharap tuan sok sempurna itu tidak mencari-cari kesalahannya lagi.Kir
Sejujurnya Kiran bukan gadis yang menyukai gemerlap pesta. Tidak seperti apa yang dia bilang pada Batara kalau dia ingin jadi cinderella. Mengingat perkataan konyolnya itu rasanya Kiran ingin tertawa, dan pandangan mengejek laki-laki itu membuat Kiran sangat tidak nyaman. Akan tetapi ini satu-satunya cara dia bisa mengikuti pesta ini, yah meski dia harus rela jadi kacung yang selalu berdiri di samping tuan muda. Tak mengapa, setidaknya saat ini memang itu yang dia butuhkan. “Apa berjalan bersama seperti ini juga bagian dari cerita cinderella yang kamu sukai itu.” Kiran memutar bola matanya malas, tuan ceriwis ini ternyata masih saja menunjukkan sikap menyebalkan, padahal saat ini mereka sedang memasuki rumah megah orang tua Batara, yang bahkan jaraknya tak sampai lima belas menit perjalanan. Entah apa alasan Batara dan Rini untuk memilih rumah terpisah dengan orang tuanya, padahal mereka sama-sama belum menikah, apalagi mengingat kondisi Batara yang harus kemana-mana dengan kur
Kiran bukan orang yang mudah marah.Sebagai pewaris tunggal kerajaan bisnis ayahnya, tentu hal yang pertama dia pelajari adalah mengendalikan diri. "Apa kamu mengenalku?" Kiran yang sedang berusaha mengendalikan dirinya.Matanya menatap benci laki-laki yang pernah sangat dikaguminya ini. Ah... Betapa tipisnya jarak antara benci dan cinta, padahal mereka belum lama menikah dalam cinta yang indah, setidaknya itu yang dirasakan Kiran. "Orang tidak harus saling kenal untuk masuk toilet yang sama bukan." Bahkan di telinga Kiran sendiri ucapan itu terdengar begitu ketus, dan dia tahu Dafa bukan orang bodoh. Sebaik mungkin Kiran mengatur ekspresi wajahnya menjadi datar tak terbaca. "Maaf jika aku mengganggu, tapi entah kenapa aku merasa kita saling kenal," laki-laki itu tersenyum kalem membuat Kiran makin muak. "Itu yang sering dikatakan laki-laki buaya, jadi maaf aku tidak punya waktu." Kiran melangkah cepat melewati Dafa yang menatapnya dengan pandangan menyelidik. Rasa benci itu
Heels pemberian Rini terlalu besar untuk kaki mungil Ayu. "Anak kecil! Tunggu. Kamu tidak berniat menjadikan mas Dafa targetmu bukan." Karin berjanji dia tidak akan menerima lagi heels merepotkan dari Rini. "Dia orang yang non Rini sukai?" tanya Karin memastikan. Kenapa juga Rini begitu cepat menyusulnya. "Iya," jawab gadis itu dengan tegas. Karin menghela napas panjang, rasa iba memenuhi hatinya. Dari seluruh laki-laki di dunia ini kenapa harus Dafa yang disukai Rini, tidakkah gadis ini tahu bagaimana Dafa. Ah bahkan Karin tidak bisa mengatakan kalau Rini bodoh, karena nyatanya dia seratus kali lebih bodoh dari gadis di depannya ini. "Tapi saya dengar tadi dia sudah punya istri," pancing Karin. "Jadi kamu benar menyukai mas Dafa," kata Rini kesal. "Saya hanya bertanya," jawab Karin sopan, sekarang ini dia lebih bisa mendalami perannya sebagai ART dari pada seorang pewaris kerajaan bisnis. Rini langsung menatap Kiran dengan merengut. "Aku bukan pelakor, istrinya yang selin
"Aku Kira hanya tampangmu saja yang bodoh ternyata kamu benar-benar bodoh."Kiran pernah mendengar ayahnya membicarakan tentang Batara, yang merupakan salah satu pengusaha muda yang sangat berbakat, kecerdasannya mampu membuat perusahaan keluarganya menembus pasar asia, begitu juga yg sering dia dengar dari mbok Nah. Akan tetapi selama dia tinggal di rumah Batara, Kiran hanya melihat laki-laki itu bermulut tajam dan... Mengerikan. "Apa maksud anda?" tanya Kiran tak terima dia lalu menghentikan kursi roda Batara. Laki-laki itu menoleh dan menatap malas pada Kiran. "Kamu terlalu bodoh jika ingin masuk ke dunia kami karena silau oleh harta kekayaan." "Dunia kami sangat berbahaya dan kamu harus selalu siap untuk tetap tenang meski hatimu menangis, kamu juga harus siap tersenyum meski hatimu penuh dendam" Kiran terdiam, dia tertegun tak menyangka kalau dibalik sikap kejam laki-laki ini dia bisa bicara seperti ini. Kiran akui memang tidak ada yang salah dengan apa yang Batara ucapkan
Kiran terlalu bernafsu sampai tanpa sadar menggali lubang kuburnya sendiri.Kiran mengusap keringat yang tiba-tiba saja membanjiri wajahnya. Belum lagi heels yang beberapa nomer lebih besar dari ukuran kaki Ayu yang membuatnya sangat tidak nyaman. Akan tetapi yang paling membuatnya panas dingin adalah tatapan dingin penuh selidik dari mata paling hitam dan paling kelam yang pernah dia lihat.“Ibu saya dulu menyukai batik hasil produksi mereka, sangat nyaman dipakai.” “Tentu harganya juga cukup mahal.” “Iya, ibu bahkan menabung lama untuk membelikan kami baju itu,” kata Kiran sambil terkekeh sambil menerawang jauh. Bukan karena kejadian itu benar adanya, karena Kiran memang tak pernah ingat apapun tentang Ayu, tapi lebih kepada ingatannya akan sang mama yang sering membuatkan baju-baju yang bagus dengan kain batik yang mereka produksi. Mengingatnya saja membuat hati Kiran rasanya tercabik. Sekarang mamanya sudah tidak ada lagi di dunia ini, dan bahkan sebagai anak dia tidak bisa
Masalah utama Kiran adalah dia akan sangat fokus pada masalah yang dia hadapi sampai tidak peduli masalah lain disekitarnya. Banyak alasan memang yang mendukung tindakan Kiran saat ini, dia tidak ingin selamanya terjebak dalam tubuh Ayu, entah dia sebenarnya sudah mati atau masih hidup. Yang dia inginkan hanyalah membalas orang yang membuat hidupnya seperti ini. Dan Kiran sangat maklum kalau dia membuka pintu kamar Batara dan mendapati pemilik kamar itu menatapnya dengan marah diantara tumpukan kertas yang hanya Tuhan yang tahu apa yang baru saja terjadi. “Kamu budeg ya aku memanggilmu dari tadi, atau jangan-jangan kamu sudah tidur tadi.” Batara bisa menjadi bos yang baik tapi tak jarang dia bisa menindasnya dengan kejam, salah satunya adalah larangan Kiran untuk tidur sebelum laki-laki itu tidur. Alasannya memang masuk akal sih, supaya saat Batara membutuhkan Kiran, laki-laki itu tidak kesulitan akan tetapi jam tidur Batara itu sam
"Non KIran tolong saya! non Kiran!" Kiran menatap sekeliling tempat itu, hanya ada deretan pohon yang rapat di kanan kirinya. "Ayu kamu dimana!" suaranya menggema di tempat itu, tapi tak ada lagi jawaban dari Ayu. "Ayu! Kamu dimana!" teriak Kiran. Sampai serak rasanya Kiran memanggil tapi tidak ada lagi jawaban dari Ayu. Kiran berlari tak tentu arah, berkali-kali dia jatuh terjerembab terhalang akar pohon yang menonjol di sana sini. Dimana ini? Kiran merasa belum pernah datang ke tempat ini, pepohonan yang rapat menghalangi sinar matahari, Kiran tak tahu ini siang atau malam. "Ayu!" panggilnya sekali lagi. Tak putus asa kakinya terus melangkah, meski dia tidak tahu ini arah yang benar atau salah, hanya naluri yang dia andalkan untuk menuntunnya mencari Ayu. Entah sudah berapa lama Kiran berjalan berputar-putar tapi dia sama sekali tidak melihat sosok Ayu, Kiran jatuh terduduk, kakinya sudah lelah. Napasnya ngos-ngosan dan dadanya terasa sangat panas dia butuh air, tapi sepan
Mereka akhirnya mendapat sebuah penginapan yang bagus. Sedikit jauh dengan rumah nene buyut Ayu sebenarnya, tapi Kiran merasa itu lebih baik. “Aku mau jalan-jalan sebentar, Mbok mau oleh-oleh apa?” tanya Kiran sambil nyengir saat dia ingat di depan penginapan ini hanya ada penjual jajanan anak karena dekat dengan sekolah, dan tentu saja mbok Nah yang memang orang... senior, sama sekali tidak tertarik dengan jajanan kekinian dengan berbagai toping yang menggoda. “Kamu yakin jalan-jalan sendiri? Ini tempat asing?” Kiran meringis saat lagi-lagi Mbok Nah memperlakukannya seperti anak usia lima tahun, mungkin dia akan mengalami serangan jantung kalau tahu apa yang dia lakukan di luar sana atas perintah Batara. “Aku akan baik-baik saja, ingat aku sudah kuliah,” kata Kiran. Dan Mbok Nah tidak bisa membantah lagi. Tujuan pertama Kiran tentu saja adalah rumah keluarga Ayu, atau seharusnya begitu sebelum mereka dianggap pengkhianat, meski dia juga tidak tahu pengkhianatan macam apa yang d
Dia pulang kampung ternyata. Tepatnya kampung halaman sang ayah. Kiran memang langsung pergi kesini begitu tahu kalau orang tua Ayu berasal dari kampung yang sama dengan ayahnya. Sejujurnya dia tidak banyak tahu tentang tempat ini, meski dulu beberapa kali ayahnya sering mengajaknya untuk mengunjungi rumah besar keluarga yang dihuni oleh kakeknya dan setelah sang kakek meninggal, sebenarnya sang ayah lah yang mewarisinya, tapi karena mereka sudah punya rumah mewah di tempat lain, jadi ayahnya meminta beberapa saudara untuk tinggal di sini. Sejenak Kiran menatap rumah besar yang seharusnya itu menjadi miliknya sekarang dalam diam. Dengan rupa Ayu dia tidak mungkin masuk ke sana, tepatnya dia tidak punya alasan untuk masuk, karena alamat rumah orang tua Ayu terletak berbeda gang dengan rumah ini. Perlahan Kaki Kiran melangkah meninggalkan rumah mewah itu dan melongok ke setiap rumah yang dia lewati untuk mengintip nomernya, memastikan untuk tidak keliru. “Kamu sepertinya sudah k
Kiran sudah mengira kalau kondisi pemakanam di desa ini pasti tidak sebagus dan semewah makam orang tuanya yang ada di kompleks pemakaman elit dengan harga jutaan tiap meternya, tapi dia sama sekali tak menyangka kalau kompleks pemakaman orang tua Ayu begitu menyedihkan. Rumput-rumput liar tampak tumbuh memanjang di semua tempat dan juga sampah dedaunan yang menumpuk tak terurus. “Apa tidak ada orang yang membersihkan ini semua?” tanya Kiran pada Atik yang menoleh dengan sedikit takut padanya. “Biasanya hanya disapu pada hari-hari tertentu saja, tapi penjaga makam sepertinya sudah lama tidak memotong rumput itu.” Kiran menghela napas, dia sedikit takut untuk terus melangkah. Bunyi berkriutan dari bambu yang ada di dekat pekuburan itu seperti melodi mengerikan di telinganya. “Apa kamu tahu dimana makam ... ehm orang tuaku... aku sedikit lupa,” kata Kiran buru-buru saat Atik menatapnya dengan terkejut. “Mbak Ayu pasti sudah lama tak mengunjungi makam paman dan bibi,” kata Atik pri
Kiran sudah berusaha dengan baik untuk membantu Dafa memenangkan tender itu. Dua minggu yang tersisa sebelum pengumuman pemenang Kiran manfaatkan untuk mencari tahu siapa Ayu. Seperti petunjuk yang diberikan kakek tua waktu itu. Dan di sinilah dia sekarang, kampung halaman Ayu bersama mbok Jum. “Kok kamu tiba-tiba ingin pulang kampung, nduk?” tanya mbok Jum heran. “Mereka pasti akan memusuhimu.” Kiran tahu hal itu, pengalamannya terakhir ada di tempat ini sangat tidak menyenangkan, dan dia tidak yakin warga desa sudah melupakan hal itu. “Ehm... aku ingin ke makam orang tuaku, mbok. Kangen mereka,” kata Kiran dengan gugup. Sejujurnya dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan di sini dan kemana dia harus bertanya, mbok Nah memang sudah menceritakan beberapa hal tentang Ayu, tapi menurut Kiran itu sama sekali bukan hal yang dia cari, karena mbok Nah hanya mengenal orang tua Ayu setelah mereka pindah ke desa ini. Pagi-pagi sekali Kiran sudah merapikan diri. “Sudah mau berangkat, n
"Kamu sudah Gila! untuk apa membantunya!" Kiran tak tahu bagaimana Dafa tahu tentang 'bantuan kecil' yang dia berikan pada Dafa. "Anda memata-matai saya," katanya tak senang. "Anda mungkin sudah berjasa dalam pencarian KIran dan pengobatannya sekarang tapi anda tidak berhak menghancurkan usaha keluarganya." "Aku sama sekali tidak menghancurkan usaha keluarganya," kata Batara lempeng. "Lalu apa maksud anda menjegal usahanya," katanya berani. "Perusahaan anda di bidang arsitektur dan interior sangat jauuhhh dari garmen." "Itu urusanku." "Dan menjadi urusan saya jika itu menyangkut Ardani group dan saya akan melakukan apa saja supaya perusahaan keluarga saya tidak hancur!" kata Kiran dan dia sangat menyesali omongannya itu karena Batara langsung menatapnya dengan curiga. "Keluarga ya? sudah lama aku ingin tahu apa kamu punya hubungan darah dengan KIran?" Kiran langsung mundur saat Batara berdiri dari kursi rodanya, tubuhnya yang tinggi menjulang membuatnya sedikit terintimidasi
Kegembiraan Kiran tak sampai di sana saja, begitu masuk ke dalam ruangan Dafa yang seperti kapal pecah dia melihat banyak kertas penting yang berhamburan di sana. “Jangan sentuh itu, kita makan saja di meja sana,” kata Dafa menghentikan gerakan Kiran yang ingin merapikan meja itu sekaligus mengintip apa saja yang dilakukan wanita itu. Tapi Kiran tahu tidak ada gunanya bersikeras saat dia belum mendapatkan kepercayaan penuh dari Dafa. Dia melangkah ke meja yang ditunjuk Dafa dan menyajikan makanan yang baru saja dia beli, wangi steak membuat perutnya keroncongan. “Makanlah kamu pasti lapar,” kata Dafa tenang. “Maaf soal yang tadi,” Kiran menatap Dafa sambil membuka bungkusan makanan untuknya. “Bukan masalah,” kata laki-laki Itu dengan senyum lebar. “Apa tidak sebaiknya bu Liza yang menemani anda, ehm maksud saya, dia akan makin benci...” “Jangan pikirkan apapun aku bisa makan dengan siapa saja.” Dan Kiran yang memang sejujurnya tidak peduli makan dengan lahap makanan untuknya.
“Jika itu bisa menghentikannya, itu yang harus aku lakukan.” Kiran tak pernah berpikir kalau dia akan menjadi salah satu orang yang menghancurkan perusahaan keluarga yang dibangun ayah dan ibunya dengan tetasan keringat dan air mata. Tanpa sadar Kiran melangkah mundur dengan pandangan ngeri, dan sepertinya Batara mengetahuinya tapi laki-laki itu tidak mencegahnya pergi dan membiarkan Kiran berlari terbirit-birit keluar dari kamarnya dan memasuki kamarnya sendiri di bagian belakang rumah dengan pikiran yang tak menentu. Kiran jatuh terduduk setelah menutup pintu kamarnya, pikirannya kosong, dia kira permasalahan yang kemarin menghampirinya sudah cukup buruk untuknya tapi sekarang dia baru tahu kalau selama ini dia tengah berjalan untuk menghancurkan kerja keras orang tuanya. Rasa kagum dan hormatnya pada Batara hilang sudah berganti rasa benci yang membuatnya ingin berteriak di telinga laki-laki itu. Kiran pikir Dafa adalah laki-laki yang licik dan penuh tipu muslihat, tapi sepert
“Dari mana saja kamu?” Kiran terlonjak saat mendengar bentakan itu, otaknya masih penuh memikirkan kira-kira siapa leluhurnya yang bisa ditanyai soal ini semua, dan tentu saja hasilnya nihil karena dia tahu leluhur dari ayahnya semuanya telah berpulang kecuali satu orang pamannya yang dia sangat yakin tak tahu apapun soal kalung ini karena dia anak bungsu dan sama sekali bukan pewaris keluarga. Mungkin aku harus belajar bicara pada roh, gerutunya kesal. Dan saat itulah kakinya berjalan menuju tempat tubuhnya di rawat dan tentu saja di sana masih ada Batara yang menatapnya seperti harimau yang siap memangsa korbannya. “Yu, kamu masih hidup bukan!” Kiran terlonjak lagi dan kali ini langsung memberi perhatian pada Batara. “Ah iya tentu saja,” jawabnya sambil tersenyum, maksudnya berusaha tersenyum dengan otak masih terus berputar cepat. Apa berpindah ke tubuh Ayu membuat otaknya pelan-pelan juga menyusut, kenapa dia sama sekali tidak bisa memikirkan satu pun solusi untuk masalah ya