Heels pemberian Rini terlalu besar untuk kaki mungil Ayu. "Anak kecil! Tunggu. Kamu tidak berniat menjadikan mas Dafa targetmu bukan." Karin berjanji dia tidak akan menerima lagi heels merepotkan dari Rini. "Dia orang yang non Rini sukai?" tanya Karin memastikan. Kenapa juga Rini begitu cepat menyusulnya. "Iya," jawab gadis itu dengan tegas. Karin menghela napas panjang, rasa iba memenuhi hatinya. Dari seluruh laki-laki di dunia ini kenapa harus Dafa yang disukai Rini, tidakkah gadis ini tahu bagaimana Dafa. Ah bahkan Karin tidak bisa mengatakan kalau Rini bodoh, karena nyatanya dia seratus kali lebih bodoh dari gadis di depannya ini. "Tapi saya dengar tadi dia sudah punya istri," pancing Karin. "Jadi kamu benar menyukai mas Dafa," kata Rini kesal. "Saya hanya bertanya," jawab Karin sopan, sekarang ini dia lebih bisa mendalami perannya sebagai ART dari pada seorang pewaris kerajaan bisnis. Rini langsung menatap Kiran dengan merengut. "Aku bukan pelakor, istrinya yang selin
"Aku Kira hanya tampangmu saja yang bodoh ternyata kamu benar-benar bodoh."Kiran pernah mendengar ayahnya membicarakan tentang Batara, yang merupakan salah satu pengusaha muda yang sangat berbakat, kecerdasannya mampu membuat perusahaan keluarganya menembus pasar asia, begitu juga yg sering dia dengar dari mbok Nah. Akan tetapi selama dia tinggal di rumah Batara, Kiran hanya melihat laki-laki itu bermulut tajam dan... Mengerikan. "Apa maksud anda?" tanya Kiran tak terima dia lalu menghentikan kursi roda Batara. Laki-laki itu menoleh dan menatap malas pada Kiran. "Kamu terlalu bodoh jika ingin masuk ke dunia kami karena silau oleh harta kekayaan." "Dunia kami sangat berbahaya dan kamu harus selalu siap untuk tetap tenang meski hatimu menangis, kamu juga harus siap tersenyum meski hatimu penuh dendam" Kiran terdiam, dia tertegun tak menyangka kalau dibalik sikap kejam laki-laki ini dia bisa bicara seperti ini. Kiran akui memang tidak ada yang salah dengan apa yang Batara ucapkan
Kiran terlalu bernafsu sampai tanpa sadar menggali lubang kuburnya sendiri.Kiran mengusap keringat yang tiba-tiba saja membanjiri wajahnya. Belum lagi heels yang beberapa nomer lebih besar dari ukuran kaki Ayu yang membuatnya sangat tidak nyaman. Akan tetapi yang paling membuatnya panas dingin adalah tatapan dingin penuh selidik dari mata paling hitam dan paling kelam yang pernah dia lihat.“Ibu saya dulu menyukai batik hasil produksi mereka, sangat nyaman dipakai.” “Tentu harganya juga cukup mahal.” “Iya, ibu bahkan menabung lama untuk membelikan kami baju itu,” kata Kiran sambil terkekeh sambil menerawang jauh. Bukan karena kejadian itu benar adanya, karena Kiran memang tak pernah ingat apapun tentang Ayu, tapi lebih kepada ingatannya akan sang mama yang sering membuatkan baju-baju yang bagus dengan kain batik yang mereka produksi. Mengingatnya saja membuat hati Kiran rasanya tercabik. Sekarang mamanya sudah tidak ada lagi di dunia ini, dan bahkan sebagai anak dia tidak bisa
Masalah utama Kiran adalah dia akan sangat fokus pada masalah yang dia hadapi sampai tidak peduli masalah lain disekitarnya. Banyak alasan memang yang mendukung tindakan Kiran saat ini, dia tidak ingin selamanya terjebak dalam tubuh Ayu, entah dia sebenarnya sudah mati atau masih hidup. Yang dia inginkan hanyalah membalas orang yang membuat hidupnya seperti ini. Dan Kiran sangat maklum kalau dia membuka pintu kamar Batara dan mendapati pemilik kamar itu menatapnya dengan marah diantara tumpukan kertas yang hanya Tuhan yang tahu apa yang baru saja terjadi. “Kamu budeg ya aku memanggilmu dari tadi, atau jangan-jangan kamu sudah tidur tadi.” Batara bisa menjadi bos yang baik tapi tak jarang dia bisa menindasnya dengan kejam, salah satunya adalah larangan Kiran untuk tidur sebelum laki-laki itu tidur. Alasannya memang masuk akal sih, supaya saat Batara membutuhkan Kiran, laki-laki itu tidak kesulitan akan tetapi jam tidur Batara itu sam
Kiran sangat berpengalaman dalam hal yang berhubungan dengan asisten, terutama menyuruh asistennya sesuai kemauannya. Dan jika saat ini Batara menyuruhnya melakukan bolak-bali ke kantor laki-laki itu tiga kali dalam sehari, tentu itu merupakan tugasnya juga. Yah anggap saja ini hukum karma karena dulu sering memerintah asistennya seenaknya, batin Kiran geli sendiri saat untuk ketiga kalinya dia menemui resepsionis dan melapor akan menemui salah satu direktur di sini. Yah dengan semena-mena, atau mungkin memiliki insting kuat kalau Kiran mampu membantunya bekerja, Batara mengangkat Kiran menjadi asistennya, bentuk halus dari tukang disuruh-suruh tentu saja. Meski begitu Kiran girang bukan main, dia bisa mendapatkan fasilitas ponsel canggih juga akses keluar rumah itu, meski hanya ke kantor Batara, tapi tak mengapa paling tidak di sana Kiran bisa mencari informasi tentang perusahaan miliknya yang memang beberapa bulan yang lalu bekerja sama den
Kiran bahkan sudah lupa bagaimana caranya tertawa lepas seperti dua bocah di depan sana. Giginya gemeletuk dan tangannya berusaha memeluk dirinya sendiri seerat mungkin seperti orang kedinginan, padahal cuaca siang ini begitu panas dan matahari bersinar dengan teriknya. Mamanya selalu menyukai senyum mereka dan sering mengajak Kiran menemani anak-anak yang kurang beruntung itu untuk bermain. Bangunan panti itu memang belum dirobhkan, tapi sudah ada tanda kalau bangunan akan digusur. Mamanya pasti akan sedih melihat semua ini. Apa tidak cukup Dafa menghancurkan keluarganya kenapa juga anak-anak ini juga harus jadi korban. “Kamu tidak ingin masuk dan menyama mereka?” Kiran menoleh dan menatap Batara yang masih sibuk dengan laptop di pangkuannya tanpa mau repot-repot menoleh. Saat ini mereka sedang berada di sebuah mobil mewah milik Batara. Kiran tak tahu apa yang akan laki-laki lakukan, saat Kiran memintanya untuk meneruskan rencana itu saja tapi dengan syarat bangunan oanti tida
Kiran dibawa diarahkan ke sebuah ruangan presiden suit yang dipesan Batara. “Apa yang akan kita lakukan di sini tuan?” tanya Kiran sedikit takut. Dia berusaha mengusir pikiran buruk yang bermain di kepalanya sejak tadi. “Memangnya kamu pikir hotel tempat untuk apa?” tanya laki-laki itu balik. Jawaban Batara sama sekali tidak meredakan ketakutan dalam diri Kiran. Wanita itu menatap ruangan super mewah dengan ranjang besar di sana. Kiran menggelengkan kepalanya pelan, tubuh ini memang bukan miliknya tapi sampai dia bisa mengembalikan pada pemilik aslinya tentu Kiran harus menjaganya dnegan baik. “Ckkk dasar bodoh aku ada meeting dengan klien di sini, jadi hentikan pikiran burukmu itu.” “Hah!” “Bukan, hah tapi mulai sekarang kamu harus belajar membantuku mengelola perusahaan dengan baik.” Kiran masih melongo, tak bisa mencerna ucapan Batara dengan benar. “Maksud Tuan?” “Sudah jelas bukan kalau kamu mau melakukan apa saja seperti katamu, dan ini yang aku minta.” “Tapi tuan saya
“Apa tuan Batara itu membenci orang tuanya, Mbok?” tanya Kiran pada mbok Nah.“Hust! Jangan bicara sembarangan, nduk!” Wanita itu melangkah cepat ke arah pintu kamarnya dan menoleh ke kanan dan ke kiri, setelah yakin tidak ada orang di luar dia menutup pintu kamarnya. “Di rumah ini dinding juga punya telinga, jangan bicara sembarangan,” kata mbok Nah dengan penekanan di setiap ucapannya. Rasa takut dan khawatir jelas terpancar di matanya. Apa dugaannya benar? Karin menghela napas, dugaannya benar ada yang salah dengan semua ini. Batara Adinata yang dia baca profilnya bukan orang yang melakukan semua hal tanpa alasan, dia tidak akan mampu membawa bisnisnya ke puncak kesuksesan jika tidak memikirkan semua hal dengan rencana matang. Akan tetapi rencana apa yang dia miliki? Sungguh Kiran benar-benar bingung dibuatnya. Apalagi sekarang dia sama sekali tidak punya orang yang bisa dia ajak bertukar pikiran, papa dan mamanya telah pergi dengan begitu tragis, ditambah lagi dirinya sendi