Kiran pernah berpikir kalau dia memang sudah gila.
Yah tentu saja, dengan menikahi Dafa dan terang-terangan melawan orang tuanya.Tapi hal itu sepertinya tidak lebih gila dengan apa yang dia lihatnya sekarang ini.“Mas Dafa, aku datang untuk mengantarkan makan siang untukmu tapi sekretarismu-““Saya sudah memesankan makan siang untuk anda seperti yang anda inginkan, Pak,” kata Liza penuh penekanan.“Mas Dafa tidak perlu pesan makanan di luar, makanan yang kubawa jelas lebih sehat.”“Saya sekretarisnya dan tahu apa yang beliau inginkan.”“Kamu hanya sekretaris bukan istri.”Kiran berdiri menatap semuanya sambil masih memeluk nampan di dada, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri seolah dia sedang menonton pergerakan bola tenis dalam sebuah permainan.“Saya yang paling memahami pak Dafa.”“Sudahlah, aku akan membayar makan siang yang kamu pesan dan kamu bisa memakannya.”“Saya“Aku mencintainya, sangat mencintainya dan aku akan memperjuangkannya.” “Aku bisa melihat itu, tapi memperjuangkan seseorang yang tidak mau berjuang akan sia-sia saja.” “Apa maksudmu tidak mau berjuang.” “Kamu tidak lihat sekelilingnya, apa sikapnya padamu beda dengan yang lain.” “Itu hanya soal waktu, dia akan bisa melihat ketulusanku.” Ini memang perdebatan konyol, menasehati orang yang sedang jatuh cinta untuk meninggalkan cintanya seperti bicara pada tembok batu. Tidak akan didengarkan. Kiran tahu benar akan hal itu, dia sudah memiliki pengalaman untuk itu dan sekarang dia menyesalinya. Dia yang biasanya sangat logis dan penuh empati, merasa sangat marah dan tidak terima saat orang tuanyanya menasehatinya tentang Dafa, dan sepertinya hal itu juga yang terjadi pada Rini saat ini. “Baiklah mungkin kamu benar, lambat laun dia akan mencintaimu, tapi satu hal yang perlu aku ingatkan jangan hanya menggunakan perasaanmu, gunakan juga logika.” Kiran keluar dari kamar itu secepat
Sebagian orang memang kadang ingin sendiri di waktu-waktu tertentu. Akan tetapi tentu saja tidak ada orang yang ingin seumur hidupnya hidup sendiri tanpa ada orang yang dia inginkan dan menginginkannya, itu betul-betul menyedihkan. “Jadi apa yang harus aku lakukan... ah aku akan menelpon bu Liza-“ “jangan lakukan itu juga, aku tidak ingin perempuan penuntut ini ada di sini,” katanya tajam. “Ah baiklah, tapi anda tidak bisa semalaman di sini.” “Kenapa tidak bisa, ini kantorku.” “Karena besok pagi-pagi sekali harus menghadiri rapat penting, dan anda butuh tidur cukup.” Oh terima kasih pada laki-laki yang memintanya memfoto kopi tadi setidaknya dia punya alasan yang masuk akal untuk itu. “Kalau begitu kamu yang mengantarkan aku pulang.” Kiran tersenyum samar. “Ehm... baiklah kita akan naik taksi saja.” “Aku bawa mobil.” “Tapi saya tidak bisa menyetir mobil.” Dafa menatap Kiran dengan kesal, tapi tidak mengatakan apapun dan itu dia artikan kalau laki-laki itu tidak keberatan na
Malam ini malam terpanjang untuk Kiran. Dia bahkan tidak kembali ke rumah besar Batara dan memutuskan untuk menginap di kamar kosnya, tentu saja setelah terlebih dahulu menghubungi Batara dan mbok Nah. Malam-malam yang dia habiskan untuk bekerja di waktu lalu terasa tidak sepanjang ini, sebentar-sebentar Kiran melirik jam dinding dan bahkan degan kurang kerjaannya dia akan mengamati setiap gerak jarum jamnya. Tubuhnya terasa penat dan letih, tapi matanya menolak keras untuk diajak tidur. Hatinya berdebar begitu kencang menunggu datangnya pagi. “Aku harus tidur dan mengumpulkan tenaga untuk besok pagi,” gumam Kiran putus asa. Tanpa mengganti bajunya yang sudah bau keringat yang seharian dia pakai, Kiran langsung merebahkan tubuhnya di sana, memeluk mesra gulingnya berharap kenyamanaan ini mampu membuat tubuhnya rileks dan matanya terpejam. Cukup lama Kiran mencoba sampai akhirya dengan kesal menendang selimutnya dan melempar guling. Matanya sama sekali tak mau memejam. “Aku but
Jika dulu saja saat masih ada dalam tubuh aslinya yang lebih kuat dari Ayu, Kiran sama sekali tak mampu untuk lepas dari mereka, kali ini Kiran juga tak yakin bisa menghadapi mereka karena itu kabur kembali ke tempat Vina dan yang lain adalah solusinya. Akan tetapi sepertinya kelima orang itu sedikt memiliki otak, mereka seperti tahu rencana Kiran yang ingin lari dan berteriak memanggil yang lain. “Kepung! Kapan lagi kita dapat kelinci secantik ini,” kata salah satu dari mereka. Tubuh Kiran sudah bergetar hebat, kali ini bukan karena takut tapi karena marah, dia mengepalkan tangannya dengan kuat, tubuhnya seperti dialiri hawa panas yang menyengat, meski dia tahu ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan panas matahari saat ini. “Monyet-monyet pengecut, apa kalian hanya berani pada anak kecil saja, dan di sini sembunyi seperti tikus setelah melakukan kejahatan!” kata Kiran dengan suara keras menggelegar, yang dia sendiri terkejut kalau Ayu bisa mengeluarkan suara seperti ini. L
Kiran sudah memmbayangkan dirinya akan melihat ini semua ratusan bahkan ribuan kali sejak terjatuh dari jurang. Akan tetapi melihatnya secara langsung berhasil memukulnya secara telak, Dia menatap laki-laki tua itu dengan pandangan bingung. "Anda siapa?" tanyanya dengan suara goyah. Tanpa senyum sama sekali orang itu menatap Kiran dalam tubuh Ayu lalu... pada tubuh KIran sendiri di tengah ruangan. Yah laki-laki ini tidak bohong saat mengatakan kalau akan membawanya pada apa yang dicarinya selama ini. Ruangan itu tidak besar, hanya dikelilingi dinding bambu, sebuah ranjang dari bambu diletakkan di tengah ruangan dengan lapisan beberapa tikar pandan di atasnya, dan sosok tubuhnya terbaring di sana dengan beberapa lilin dan berbagai daun-daunan yang mungkin dimaksudkan untuk obat atau entahlah disekelilngnya. "Apa yang anda lakukan pada...tubuh itu?" Tak ada lagi jawaban dari laki-laki itu dia hanya menatap sosok asli tubuh Kiran dan berjalan ke arah sana. Kiran dalam tubuh Ay
"Apa kamu ingin mengabari Dafa tentang ini?" Kiran menatap Batara seperti laki-laki itu sudah gila, dan tentu saja Batara menyadari hal itu. "Aku hanya berpikir dia yang paling berhak atas istrinya." "Aku yang berhak atas tubuhku sendiri!" kalimat itu meluncur begitu saja dalam kemarahan yang menggeletak dalam dadanya. "Maaf?" tanya Batara bingung dan Kiran langsung menyadari apa yang baru saja dia katakan. "Kiran pasti tidak mau tubuhnya disalah gunakan hanya untuk jabatan suaminya," Kata KIran dengan sinis, pandangannya menajam pada Batara, apa dia telah melakukan kesalahan dengan memberi tahunya semua ini? "Kamu sepertinya punya dendam pribadi pada Dafa." KIran tahu Batara berkata begitu bukan karena peduli tapi karena ingin menghina KIran dan betapa Kiran yang saat ini ada dalam tubuh Ayu sama sekali tidak memiliki hak untuk itu. "Menurut anda begitu?" Kiran tahub Batara akan kesal jika dia bertanya balik seperti itu, tapi apa pedulinya laki-laki ini juga sudah membuatnya
“Makanlah kamu butuh tenaga.” Burger yang diberikan Batara terlihat sangat lezat, tapi dalam keadaan seperti ini Kiran sama sekali tak mampu untuk menelan makanan, meski itu makanan favoritnya. Perasaan lega karena Batara mau membayarkan biaya rumah sakit untuknya langsung menguap saat dokter mengatakan keadaannya saat ini kritis dan butuh penanganan intensif. Dan saat ini tim dokter masih berada di dalam sana melakukan entah apa saja pada tubuhnya dan Kiran yang ada di dalam tubuh Ayu hanya bisa berjalan mondar-mandir di depan pintu untuk mengusir kekalutan hatinya. “Nanti saja tuan.” Batara mendengus. “Kamu sudah banyak merepotkanku dan aku tidak ingin ingin lebih repot lagi jika kamu pingsan,” katanya dengan ketus. Kiran menghentikan acara mondar-mandirnya dan menatap Batara dengan kesal, tapi tanpa berkata apapun dia mendekati Batara dan mengambil burger yang disodorkan laki-laki itu dan menjejalkannya ke dalam mulut. “Sudah,” katanya setelah susah payah menelan burger yang
Belum pernah Kiran merasa sesenang ini saat mendengar bunyi ponsel Batara yang meruang minta perhatian. Dan kesempatan itu dia gunakan sebaik mungkin untuk melarikan diri dari Batara dan kamar mandi adalah alasan yang dia gunakan sambil berdo’a dalam hati semoga saja Batara sudah lupa dengan pertanyaannya nanti atau setidaknya dia punya jawaban bagus untuk menghindar dari semua ini. Dadanya bergemuruh dengan kencang, seperti akan ada badai di sana, dan saat sampai di depan cermin kamar mandi Kiran mendapati seorang gadis beranjak dewasa yang berwajah pucat dan berantakan. Dan Kiran merasa sangat bersalah saat wajah Ayu menjadi lebih tua beberapa tahun dari usianya saat dia menggunakannya. Kiran membasuh wajah itu beberapa kali, tidak banyak berubah memang karena itu air biasa tentu saja, tapi setidaknya wajah itu lebih segar lalu tangannya membenarkan ikatan rambutnya yang sudah tidak rapi. “Apa aku terlalu banyak menyusahkanmu, Yu?
"Non KIran tolong saya! non Kiran!" Kiran menatap sekeliling tempat itu, hanya ada deretan pohon yang rapat di kanan kirinya. "Ayu kamu dimana!" suaranya menggema di tempat itu, tapi tak ada lagi jawaban dari Ayu. "Ayu! Kamu dimana!" teriak Kiran. Sampai serak rasanya Kiran memanggil tapi tidak ada lagi jawaban dari Ayu. Kiran berlari tak tentu arah, berkali-kali dia jatuh terjerembab terhalang akar pohon yang menonjol di sana sini. Dimana ini? Kiran merasa belum pernah datang ke tempat ini, pepohonan yang rapat menghalangi sinar matahari, Kiran tak tahu ini siang atau malam. "Ayu!" panggilnya sekali lagi. Tak putus asa kakinya terus melangkah, meski dia tidak tahu ini arah yang benar atau salah, hanya naluri yang dia andalkan untuk menuntunnya mencari Ayu. Entah sudah berapa lama Kiran berjalan berputar-putar tapi dia sama sekali tidak melihat sosok Ayu, Kiran jatuh terduduk, kakinya sudah lelah. Napasnya ngos-ngosan dan dadanya terasa sangat panas dia butuh air, tapi sepan
Mereka akhirnya mendapat sebuah penginapan yang bagus. Sedikit jauh dengan rumah nene buyut Ayu sebenarnya, tapi Kiran merasa itu lebih baik. “Aku mau jalan-jalan sebentar, Mbok mau oleh-oleh apa?” tanya Kiran sambil nyengir saat dia ingat di depan penginapan ini hanya ada penjual jajanan anak karena dekat dengan sekolah, dan tentu saja mbok Nah yang memang orang... senior, sama sekali tidak tertarik dengan jajanan kekinian dengan berbagai toping yang menggoda. “Kamu yakin jalan-jalan sendiri? Ini tempat asing?” Kiran meringis saat lagi-lagi Mbok Nah memperlakukannya seperti anak usia lima tahun, mungkin dia akan mengalami serangan jantung kalau tahu apa yang dia lakukan di luar sana atas perintah Batara. “Aku akan baik-baik saja, ingat aku sudah kuliah,” kata Kiran. Dan Mbok Nah tidak bisa membantah lagi. Tujuan pertama Kiran tentu saja adalah rumah keluarga Ayu, atau seharusnya begitu sebelum mereka dianggap pengkhianat, meski dia juga tidak tahu pengkhianatan macam apa yang d
Dia pulang kampung ternyata. Tepatnya kampung halaman sang ayah. Kiran memang langsung pergi kesini begitu tahu kalau orang tua Ayu berasal dari kampung yang sama dengan ayahnya. Sejujurnya dia tidak banyak tahu tentang tempat ini, meski dulu beberapa kali ayahnya sering mengajaknya untuk mengunjungi rumah besar keluarga yang dihuni oleh kakeknya dan setelah sang kakek meninggal, sebenarnya sang ayah lah yang mewarisinya, tapi karena mereka sudah punya rumah mewah di tempat lain, jadi ayahnya meminta beberapa saudara untuk tinggal di sini. Sejenak Kiran menatap rumah besar yang seharusnya itu menjadi miliknya sekarang dalam diam. Dengan rupa Ayu dia tidak mungkin masuk ke sana, tepatnya dia tidak punya alasan untuk masuk, karena alamat rumah orang tua Ayu terletak berbeda gang dengan rumah ini. Perlahan Kaki Kiran melangkah meninggalkan rumah mewah itu dan melongok ke setiap rumah yang dia lewati untuk mengintip nomernya, memastikan untuk tidak keliru. “Kamu sepertinya sudah k
Kiran sudah mengira kalau kondisi pemakanam di desa ini pasti tidak sebagus dan semewah makam orang tuanya yang ada di kompleks pemakaman elit dengan harga jutaan tiap meternya, tapi dia sama sekali tak menyangka kalau kompleks pemakaman orang tua Ayu begitu menyedihkan. Rumput-rumput liar tampak tumbuh memanjang di semua tempat dan juga sampah dedaunan yang menumpuk tak terurus. “Apa tidak ada orang yang membersihkan ini semua?” tanya Kiran pada Atik yang menoleh dengan sedikit takut padanya. “Biasanya hanya disapu pada hari-hari tertentu saja, tapi penjaga makam sepertinya sudah lama tidak memotong rumput itu.” Kiran menghela napas, dia sedikit takut untuk terus melangkah. Bunyi berkriutan dari bambu yang ada di dekat pekuburan itu seperti melodi mengerikan di telinganya. “Apa kamu tahu dimana makam ... ehm orang tuaku... aku sedikit lupa,” kata Kiran buru-buru saat Atik menatapnya dengan terkejut. “Mbak Ayu pasti sudah lama tak mengunjungi makam paman dan bibi,” kata Atik pri
Kiran sudah berusaha dengan baik untuk membantu Dafa memenangkan tender itu. Dua minggu yang tersisa sebelum pengumuman pemenang Kiran manfaatkan untuk mencari tahu siapa Ayu. Seperti petunjuk yang diberikan kakek tua waktu itu. Dan di sinilah dia sekarang, kampung halaman Ayu bersama mbok Jum. “Kok kamu tiba-tiba ingin pulang kampung, nduk?” tanya mbok Jum heran. “Mereka pasti akan memusuhimu.” Kiran tahu hal itu, pengalamannya terakhir ada di tempat ini sangat tidak menyenangkan, dan dia tidak yakin warga desa sudah melupakan hal itu. “Ehm... aku ingin ke makam orang tuaku, mbok. Kangen mereka,” kata Kiran dengan gugup. Sejujurnya dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan di sini dan kemana dia harus bertanya, mbok Nah memang sudah menceritakan beberapa hal tentang Ayu, tapi menurut Kiran itu sama sekali bukan hal yang dia cari, karena mbok Nah hanya mengenal orang tua Ayu setelah mereka pindah ke desa ini. Pagi-pagi sekali Kiran sudah merapikan diri. “Sudah mau berangkat, n
"Kamu sudah Gila! untuk apa membantunya!" Kiran tak tahu bagaimana Dafa tahu tentang 'bantuan kecil' yang dia berikan pada Dafa. "Anda memata-matai saya," katanya tak senang. "Anda mungkin sudah berjasa dalam pencarian KIran dan pengobatannya sekarang tapi anda tidak berhak menghancurkan usaha keluarganya." "Aku sama sekali tidak menghancurkan usaha keluarganya," kata Batara lempeng. "Lalu apa maksud anda menjegal usahanya," katanya berani. "Perusahaan anda di bidang arsitektur dan interior sangat jauuhhh dari garmen." "Itu urusanku." "Dan menjadi urusan saya jika itu menyangkut Ardani group dan saya akan melakukan apa saja supaya perusahaan keluarga saya tidak hancur!" kata Kiran dan dia sangat menyesali omongannya itu karena Batara langsung menatapnya dengan curiga. "Keluarga ya? sudah lama aku ingin tahu apa kamu punya hubungan darah dengan KIran?" Kiran langsung mundur saat Batara berdiri dari kursi rodanya, tubuhnya yang tinggi menjulang membuatnya sedikit terintimidasi
Kegembiraan Kiran tak sampai di sana saja, begitu masuk ke dalam ruangan Dafa yang seperti kapal pecah dia melihat banyak kertas penting yang berhamburan di sana. “Jangan sentuh itu, kita makan saja di meja sana,” kata Dafa menghentikan gerakan Kiran yang ingin merapikan meja itu sekaligus mengintip apa saja yang dilakukan wanita itu. Tapi Kiran tahu tidak ada gunanya bersikeras saat dia belum mendapatkan kepercayaan penuh dari Dafa. Dia melangkah ke meja yang ditunjuk Dafa dan menyajikan makanan yang baru saja dia beli, wangi steak membuat perutnya keroncongan. “Makanlah kamu pasti lapar,” kata Dafa tenang. “Maaf soal yang tadi,” Kiran menatap Dafa sambil membuka bungkusan makanan untuknya. “Bukan masalah,” kata laki-laki Itu dengan senyum lebar. “Apa tidak sebaiknya bu Liza yang menemani anda, ehm maksud saya, dia akan makin benci...” “Jangan pikirkan apapun aku bisa makan dengan siapa saja.” Dan Kiran yang memang sejujurnya tidak peduli makan dengan lahap makanan untuknya.
“Jika itu bisa menghentikannya, itu yang harus aku lakukan.” Kiran tak pernah berpikir kalau dia akan menjadi salah satu orang yang menghancurkan perusahaan keluarga yang dibangun ayah dan ibunya dengan tetasan keringat dan air mata. Tanpa sadar Kiran melangkah mundur dengan pandangan ngeri, dan sepertinya Batara mengetahuinya tapi laki-laki itu tidak mencegahnya pergi dan membiarkan Kiran berlari terbirit-birit keluar dari kamarnya dan memasuki kamarnya sendiri di bagian belakang rumah dengan pikiran yang tak menentu. Kiran jatuh terduduk setelah menutup pintu kamarnya, pikirannya kosong, dia kira permasalahan yang kemarin menghampirinya sudah cukup buruk untuknya tapi sekarang dia baru tahu kalau selama ini dia tengah berjalan untuk menghancurkan kerja keras orang tuanya. Rasa kagum dan hormatnya pada Batara hilang sudah berganti rasa benci yang membuatnya ingin berteriak di telinga laki-laki itu. Kiran pikir Dafa adalah laki-laki yang licik dan penuh tipu muslihat, tapi sepert
“Dari mana saja kamu?” Kiran terlonjak saat mendengar bentakan itu, otaknya masih penuh memikirkan kira-kira siapa leluhurnya yang bisa ditanyai soal ini semua, dan tentu saja hasilnya nihil karena dia tahu leluhur dari ayahnya semuanya telah berpulang kecuali satu orang pamannya yang dia sangat yakin tak tahu apapun soal kalung ini karena dia anak bungsu dan sama sekali bukan pewaris keluarga. Mungkin aku harus belajar bicara pada roh, gerutunya kesal. Dan saat itulah kakinya berjalan menuju tempat tubuhnya di rawat dan tentu saja di sana masih ada Batara yang menatapnya seperti harimau yang siap memangsa korbannya. “Yu, kamu masih hidup bukan!” Kiran terlonjak lagi dan kali ini langsung memberi perhatian pada Batara. “Ah iya tentu saja,” jawabnya sambil tersenyum, maksudnya berusaha tersenyum dengan otak masih terus berputar cepat. Apa berpindah ke tubuh Ayu membuat otaknya pelan-pelan juga menyusut, kenapa dia sama sekali tidak bisa memikirkan satu pun solusi untuk masalah ya