Liza sepertinya menganggap Dafa budeg atau terlalu percaya diri sampai semua yang akan dia lakukan akan mendapat dukungan dari Dafa.
Nyatanya wanita itu salah, atau lebih tepatnya itu yang ditunjukkan Dafa saat ini.“Apa yang terjadi kenapa semua ini? apa kamu tidak bisa membawa sebuah nampan,” kata Dafa tajam pada Kiran.“Seseorang sengaja membuat nampan saya jatuh, padahal saya tadi membeli kue itu dengan uang terakhir saya.”Satu hal yang dipelajari dengan baik dari Dafa adalah berakting menyedihkan yang bisa mempengaruhi orang yang melihatnya.Dafa menatap kue-kue yang berserakan itu dan menghembuskan napas berat. “kenapa kamu melakukannya, Liza?” tanyanya pelan.“Makanan itu pasti dibeli di pinggir jalan dan tidak higienis, aku akan membelikan yang lebih-““Cukup, bereskan itu dan bawakan aku minuman yang lain,” dia lalu menarik napas panjang. “Dimana kamu membeli kue itu?” lanjutnya.Kiran masih menKiran pernah berpikir kalau dia memang sudah gila. Yah tentu saja, dengan menikahi Dafa dan terang-terangan melawan orang tuanya. Tapi hal itu sepertinya tidak lebih gila dengan apa yang dia lihatnya sekarang ini. “Mas Dafa, aku datang untuk mengantarkan makan siang untukmu tapi sekretarismu-“ “Saya sudah memesankan makan siang untuk anda seperti yang anda inginkan, Pak,” kata Liza penuh penekanan. “Mas Dafa tidak perlu pesan makanan di luar, makanan yang kubawa jelas lebih sehat.” “Saya sekretarisnya dan tahu apa yang beliau inginkan.” “Kamu hanya sekretaris bukan istri.” Kiran berdiri menatap semuanya sambil masih memeluk nampan di dada, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri seolah dia sedang menonton pergerakan bola tenis dalam sebuah permainan. “Saya yang paling memahami pak Dafa.” “Sudahlah, aku akan membayar makan siang yang kamu pesan dan kamu bisa memakannya.” “Saya
“Aku mencintainya, sangat mencintainya dan aku akan memperjuangkannya.” “Aku bisa melihat itu, tapi memperjuangkan seseorang yang tidak mau berjuang akan sia-sia saja.” “Apa maksudmu tidak mau berjuang.” “Kamu tidak lihat sekelilingnya, apa sikapnya padamu beda dengan yang lain.” “Itu hanya soal waktu, dia akan bisa melihat ketulusanku.” Ini memang perdebatan konyol, menasehati orang yang sedang jatuh cinta untuk meninggalkan cintanya seperti bicara pada tembok batu. Tidak akan didengarkan. Kiran tahu benar akan hal itu, dia sudah memiliki pengalaman untuk itu dan sekarang dia menyesalinya. Dia yang biasanya sangat logis dan penuh empati, merasa sangat marah dan tidak terima saat orang tuanyanya menasehatinya tentang Dafa, dan sepertinya hal itu juga yang terjadi pada Rini saat ini. “Baiklah mungkin kamu benar, lambat laun dia akan mencintaimu, tapi satu hal yang perlu aku ingatkan jangan hanya menggunakan perasaanmu, gunakan juga logika.” Kiran keluar dari kamar itu secepat
Sebagian orang memang kadang ingin sendiri di waktu-waktu tertentu. Akan tetapi tentu saja tidak ada orang yang ingin seumur hidupnya hidup sendiri tanpa ada orang yang dia inginkan dan menginginkannya, itu betul-betul menyedihkan. “Jadi apa yang harus aku lakukan... ah aku akan menelpon bu Liza-“ “jangan lakukan itu juga, aku tidak ingin perempuan penuntut ini ada di sini,” katanya tajam. “Ah baiklah, tapi anda tidak bisa semalaman di sini.” “Kenapa tidak bisa, ini kantorku.” “Karena besok pagi-pagi sekali harus menghadiri rapat penting, dan anda butuh tidur cukup.” Oh terima kasih pada laki-laki yang memintanya memfoto kopi tadi setidaknya dia punya alasan yang masuk akal untuk itu. “Kalau begitu kamu yang mengantarkan aku pulang.” Kiran tersenyum samar. “Ehm... baiklah kita akan naik taksi saja.” “Aku bawa mobil.” “Tapi saya tidak bisa menyetir mobil.” Dafa menatap Kiran dengan kesal, tapi tidak mengatakan apapun dan itu dia artikan kalau laki-laki itu tidak keberatan na
Malam ini malam terpanjang untuk Kiran. Dia bahkan tidak kembali ke rumah besar Batara dan memutuskan untuk menginap di kamar kosnya, tentu saja setelah terlebih dahulu menghubungi Batara dan mbok Nah. Malam-malam yang dia habiskan untuk bekerja di waktu lalu terasa tidak sepanjang ini, sebentar-sebentar Kiran melirik jam dinding dan bahkan degan kurang kerjaannya dia akan mengamati setiap gerak jarum jamnya. Tubuhnya terasa penat dan letih, tapi matanya menolak keras untuk diajak tidur. Hatinya berdebar begitu kencang menunggu datangnya pagi. “Aku harus tidur dan mengumpulkan tenaga untuk besok pagi,” gumam Kiran putus asa. Tanpa mengganti bajunya yang sudah bau keringat yang seharian dia pakai, Kiran langsung merebahkan tubuhnya di sana, memeluk mesra gulingnya berharap kenyamanaan ini mampu membuat tubuhnya rileks dan matanya terpejam. Cukup lama Kiran mencoba sampai akhirya dengan kesal menendang selimutnya dan melempar guling. Matanya sama sekali tak mau memejam. “Aku but
Jika dulu saja saat masih ada dalam tubuh aslinya yang lebih kuat dari Ayu, Kiran sama sekali tak mampu untuk lepas dari mereka, kali ini Kiran juga tak yakin bisa menghadapi mereka karena itu kabur kembali ke tempat Vina dan yang lain adalah solusinya. Akan tetapi sepertinya kelima orang itu sedikt memiliki otak, mereka seperti tahu rencana Kiran yang ingin lari dan berteriak memanggil yang lain. “Kepung! Kapan lagi kita dapat kelinci secantik ini,” kata salah satu dari mereka. Tubuh Kiran sudah bergetar hebat, kali ini bukan karena takut tapi karena marah, dia mengepalkan tangannya dengan kuat, tubuhnya seperti dialiri hawa panas yang menyengat, meski dia tahu ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan panas matahari saat ini. “Monyet-monyet pengecut, apa kalian hanya berani pada anak kecil saja, dan di sini sembunyi seperti tikus setelah melakukan kejahatan!” kata Kiran dengan suara keras menggelegar, yang dia sendiri terkejut kalau Ayu bisa mengeluarkan suara seperti ini. L
Kiran sudah memmbayangkan dirinya akan melihat ini semua ratusan bahkan ribuan kali sejak terjatuh dari jurang. Akan tetapi melihatnya secara langsung berhasil memukulnya secara telak, Dia menatap laki-laki tua itu dengan pandangan bingung. "Anda siapa?" tanyanya dengan suara goyah. Tanpa senyum sama sekali orang itu menatap Kiran dalam tubuh Ayu lalu... pada tubuh KIran sendiri di tengah ruangan. Yah laki-laki ini tidak bohong saat mengatakan kalau akan membawanya pada apa yang dicarinya selama ini. Ruangan itu tidak besar, hanya dikelilingi dinding bambu, sebuah ranjang dari bambu diletakkan di tengah ruangan dengan lapisan beberapa tikar pandan di atasnya, dan sosok tubuhnya terbaring di sana dengan beberapa lilin dan berbagai daun-daunan yang mungkin dimaksudkan untuk obat atau entahlah disekelilngnya. "Apa yang anda lakukan pada...tubuh itu?" Tak ada lagi jawaban dari laki-laki itu dia hanya menatap sosok asli tubuh Kiran dan berjalan ke arah sana. Kiran dalam tubuh Ay
"Apa kamu ingin mengabari Dafa tentang ini?" Kiran menatap Batara seperti laki-laki itu sudah gila, dan tentu saja Batara menyadari hal itu. "Aku hanya berpikir dia yang paling berhak atas istrinya." "Aku yang berhak atas tubuhku sendiri!" kalimat itu meluncur begitu saja dalam kemarahan yang menggeletak dalam dadanya. "Maaf?" tanya Batara bingung dan Kiran langsung menyadari apa yang baru saja dia katakan. "Kiran pasti tidak mau tubuhnya disalah gunakan hanya untuk jabatan suaminya," Kata KIran dengan sinis, pandangannya menajam pada Batara, apa dia telah melakukan kesalahan dengan memberi tahunya semua ini? "Kamu sepertinya punya dendam pribadi pada Dafa." KIran tahu Batara berkata begitu bukan karena peduli tapi karena ingin menghina KIran dan betapa Kiran yang saat ini ada dalam tubuh Ayu sama sekali tidak memiliki hak untuk itu. "Menurut anda begitu?" Kiran tahub Batara akan kesal jika dia bertanya balik seperti itu, tapi apa pedulinya laki-laki ini juga sudah membuatnya
“Makanlah kamu butuh tenaga.” Burger yang diberikan Batara terlihat sangat lezat, tapi dalam keadaan seperti ini Kiran sama sekali tak mampu untuk menelan makanan, meski itu makanan favoritnya. Perasaan lega karena Batara mau membayarkan biaya rumah sakit untuknya langsung menguap saat dokter mengatakan keadaannya saat ini kritis dan butuh penanganan intensif. Dan saat ini tim dokter masih berada di dalam sana melakukan entah apa saja pada tubuhnya dan Kiran yang ada di dalam tubuh Ayu hanya bisa berjalan mondar-mandir di depan pintu untuk mengusir kekalutan hatinya. “Nanti saja tuan.” Batara mendengus. “Kamu sudah banyak merepotkanku dan aku tidak ingin ingin lebih repot lagi jika kamu pingsan,” katanya dengan ketus. Kiran menghentikan acara mondar-mandirnya dan menatap Batara dengan kesal, tapi tanpa berkata apapun dia mendekati Batara dan mengambil burger yang disodorkan laki-laki itu dan menjejalkannya ke dalam mulut. “Sudah,” katanya setelah susah payah menelan burger yang