Malam ini malam terpanjang untuk Kiran. Dia bahkan tidak kembali ke rumah besar Batara dan memutuskan untuk menginap di kamar kosnya, tentu saja setelah terlebih dahulu menghubungi Batara dan mbok Nah. Malam-malam yang dia habiskan untuk bekerja di waktu lalu terasa tidak sepanjang ini, sebentar-sebentar Kiran melirik jam dinding dan bahkan degan kurang kerjaannya dia akan mengamati setiap gerak jarum jamnya. Tubuhnya terasa penat dan letih, tapi matanya menolak keras untuk diajak tidur. Hatinya berdebar begitu kencang menunggu datangnya pagi. “Aku harus tidur dan mengumpulkan tenaga untuk besok pagi,” gumam Kiran putus asa. Tanpa mengganti bajunya yang sudah bau keringat yang seharian dia pakai, Kiran langsung merebahkan tubuhnya di sana, memeluk mesra gulingnya berharap kenyamanaan ini mampu membuat tubuhnya rileks dan matanya terpejam. Cukup lama Kiran mencoba sampai akhirya dengan kesal menendang selimutnya dan melempar guling. Matanya sama sekali tak mau memejam. “Aku but
Jika dulu saja saat masih ada dalam tubuh aslinya yang lebih kuat dari Ayu, Kiran sama sekali tak mampu untuk lepas dari mereka, kali ini Kiran juga tak yakin bisa menghadapi mereka karena itu kabur kembali ke tempat Vina dan yang lain adalah solusinya. Akan tetapi sepertinya kelima orang itu sedikt memiliki otak, mereka seperti tahu rencana Kiran yang ingin lari dan berteriak memanggil yang lain. “Kepung! Kapan lagi kita dapat kelinci secantik ini,” kata salah satu dari mereka. Tubuh Kiran sudah bergetar hebat, kali ini bukan karena takut tapi karena marah, dia mengepalkan tangannya dengan kuat, tubuhnya seperti dialiri hawa panas yang menyengat, meski dia tahu ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan panas matahari saat ini. “Monyet-monyet pengecut, apa kalian hanya berani pada anak kecil saja, dan di sini sembunyi seperti tikus setelah melakukan kejahatan!” kata Kiran dengan suara keras menggelegar, yang dia sendiri terkejut kalau Ayu bisa mengeluarkan suara seperti ini. L
Kiran sudah memmbayangkan dirinya akan melihat ini semua ratusan bahkan ribuan kali sejak terjatuh dari jurang. Akan tetapi melihatnya secara langsung berhasil memukulnya secara telak, Dia menatap laki-laki tua itu dengan pandangan bingung. "Anda siapa?" tanyanya dengan suara goyah. Tanpa senyum sama sekali orang itu menatap Kiran dalam tubuh Ayu lalu... pada tubuh KIran sendiri di tengah ruangan. Yah laki-laki ini tidak bohong saat mengatakan kalau akan membawanya pada apa yang dicarinya selama ini. Ruangan itu tidak besar, hanya dikelilingi dinding bambu, sebuah ranjang dari bambu diletakkan di tengah ruangan dengan lapisan beberapa tikar pandan di atasnya, dan sosok tubuhnya terbaring di sana dengan beberapa lilin dan berbagai daun-daunan yang mungkin dimaksudkan untuk obat atau entahlah disekelilngnya. "Apa yang anda lakukan pada...tubuh itu?" Tak ada lagi jawaban dari laki-laki itu dia hanya menatap sosok asli tubuh Kiran dan berjalan ke arah sana. Kiran dalam tubuh Ay
"Apa kamu ingin mengabari Dafa tentang ini?" Kiran menatap Batara seperti laki-laki itu sudah gila, dan tentu saja Batara menyadari hal itu. "Aku hanya berpikir dia yang paling berhak atas istrinya." "Aku yang berhak atas tubuhku sendiri!" kalimat itu meluncur begitu saja dalam kemarahan yang menggeletak dalam dadanya. "Maaf?" tanya Batara bingung dan Kiran langsung menyadari apa yang baru saja dia katakan. "Kiran pasti tidak mau tubuhnya disalah gunakan hanya untuk jabatan suaminya," Kata KIran dengan sinis, pandangannya menajam pada Batara, apa dia telah melakukan kesalahan dengan memberi tahunya semua ini? "Kamu sepertinya punya dendam pribadi pada Dafa." KIran tahu Batara berkata begitu bukan karena peduli tapi karena ingin menghina KIran dan betapa Kiran yang saat ini ada dalam tubuh Ayu sama sekali tidak memiliki hak untuk itu. "Menurut anda begitu?" Kiran tahub Batara akan kesal jika dia bertanya balik seperti itu, tapi apa pedulinya laki-laki ini juga sudah membuatnya
“Makanlah kamu butuh tenaga.” Burger yang diberikan Batara terlihat sangat lezat, tapi dalam keadaan seperti ini Kiran sama sekali tak mampu untuk menelan makanan, meski itu makanan favoritnya. Perasaan lega karena Batara mau membayarkan biaya rumah sakit untuknya langsung menguap saat dokter mengatakan keadaannya saat ini kritis dan butuh penanganan intensif. Dan saat ini tim dokter masih berada di dalam sana melakukan entah apa saja pada tubuhnya dan Kiran yang ada di dalam tubuh Ayu hanya bisa berjalan mondar-mandir di depan pintu untuk mengusir kekalutan hatinya. “Nanti saja tuan.” Batara mendengus. “Kamu sudah banyak merepotkanku dan aku tidak ingin ingin lebih repot lagi jika kamu pingsan,” katanya dengan ketus. Kiran menghentikan acara mondar-mandirnya dan menatap Batara dengan kesal, tapi tanpa berkata apapun dia mendekati Batara dan mengambil burger yang disodorkan laki-laki itu dan menjejalkannya ke dalam mulut. “Sudah,” katanya setelah susah payah menelan burger yang
Belum pernah Kiran merasa sesenang ini saat mendengar bunyi ponsel Batara yang meruang minta perhatian. Dan kesempatan itu dia gunakan sebaik mungkin untuk melarikan diri dari Batara dan kamar mandi adalah alasan yang dia gunakan sambil berdo’a dalam hati semoga saja Batara sudah lupa dengan pertanyaannya nanti atau setidaknya dia punya jawaban bagus untuk menghindar dari semua ini. Dadanya bergemuruh dengan kencang, seperti akan ada badai di sana, dan saat sampai di depan cermin kamar mandi Kiran mendapati seorang gadis beranjak dewasa yang berwajah pucat dan berantakan. Dan Kiran merasa sangat bersalah saat wajah Ayu menjadi lebih tua beberapa tahun dari usianya saat dia menggunakannya. Kiran membasuh wajah itu beberapa kali, tidak banyak berubah memang karena itu air biasa tentu saja, tapi setidaknya wajah itu lebih segar lalu tangannya membenarkan ikatan rambutnya yang sudah tidak rapi. “Apa aku terlalu banyak menyusahkanmu, Yu?
“Dari mana saja kamu?” Kiran terlonjak saat mendengar bentakan itu, otaknya masih penuh memikirkan kira-kira siapa leluhurnya yang bisa ditanyai soal ini semua, dan tentu saja hasilnya nihil karena dia tahu leluhur dari ayahnya semuanya telah berpulang kecuali satu orang pamannya yang dia sangat yakin tak tahu apapun soal kalung ini karena dia anak bungsu dan sama sekali bukan pewaris keluarga. Mungkin aku harus belajar bicara pada roh, gerutunya kesal. Dan saat itulah kakinya berjalan menuju tempat tubuhnya di rawat dan tentu saja di sana masih ada Batara yang menatapnya seperti harimau yang siap memangsa korbannya. “Yu, kamu masih hidup bukan!” Kiran terlonjak lagi dan kali ini langsung memberi perhatian pada Batara. “Ah iya tentu saja,” jawabnya sambil tersenyum, maksudnya berusaha tersenyum dengan otak masih terus berputar cepat. Apa berpindah ke tubuh Ayu membuat otaknya pelan-pelan juga menyusut, kenapa dia sama sekali tidak bisa memikirkan satu pun solusi untuk masalah ya
“Jika itu bisa menghentikannya, itu yang harus aku lakukan.” Kiran tak pernah berpikir kalau dia akan menjadi salah satu orang yang menghancurkan perusahaan keluarga yang dibangun ayah dan ibunya dengan tetasan keringat dan air mata. Tanpa sadar Kiran melangkah mundur dengan pandangan ngeri, dan sepertinya Batara mengetahuinya tapi laki-laki itu tidak mencegahnya pergi dan membiarkan Kiran berlari terbirit-birit keluar dari kamarnya dan memasuki kamarnya sendiri di bagian belakang rumah dengan pikiran yang tak menentu. Kiran jatuh terduduk setelah menutup pintu kamarnya, pikirannya kosong, dia kira permasalahan yang kemarin menghampirinya sudah cukup buruk untuknya tapi sekarang dia baru tahu kalau selama ini dia tengah berjalan untuk menghancurkan kerja keras orang tuanya. Rasa kagum dan hormatnya pada Batara hilang sudah berganti rasa benci yang membuatnya ingin berteriak di telinga laki-laki itu. Kiran pikir Dafa adalah laki-laki yang licik dan penuh tipu muslihat, tapi sepert