Sesuai rencana, pagi-pagi sekali Lady Neenash dan rekan-rekannya masuk ke ruangan teleportasi. Para penyihir utara mengelilingi lingkaran sihir dengan posisi siaga. Mata mereka terlihat berbinar. Tentu ada rasa bangga memiliki andil untuk membantu pemilik menara sihir yang terkenal jenius dan menjadi idola setiap penyihir.Sementara itu, si pemilik menara sihir alias Pangeran Sallac terus memasang wajah ketus. Sejak semalam, dia mengeluh tak ingin dibantu dan berpikir akan melakukan teleportasi sendiri. Dengan manna sebesar miliknya, Pangeran Sallac bahkan bisa memindahkan serarus orang sekaligus. "Ayolah, Sallac! Berhenti bemuka masam! Kau tahu aku melarangmu melakukan teleportasi demi kebaikan bersama bukan? Jika kau menggunakan sihir, mereka akan bisa melacak pergerakan kita. Iblis itu pasti akan melakukan apa saja untuk menghalangi," tegur Lady Neenash."Iya, iya," sahut Pangeran Sallac ketus. "Padahal aku bisa memindahkan tanpa goncangan sedikit pun," gerutunya dengan suara liri
Saat Grand Duke Erbish sibuk mengumpat, alat komunikasi tersambung lagi. Wajah Count Calliant yang tampak di bola kristal komunikasi terlihat sendu. Ada rasa bersalah tersirat dari sorot matanya. Sepertinya, dia juga kurang tidur jika dilihat parahnya kantung mata lelaki paruh baya itu."Tenanglah, Yang Mulia Grand Duke. Saya akan berusaha mengulur waktu agar penyerangan wilayah utara bisa ditunda selama mungkin," tutur Count Calliant dengan hati-hati."Aku sudah lelah dengan ini semua, Tuan Count, "keluh Grand Duke Erbish."Saya tahu. Kita semua lelah, tapi bersabarlah sedikit lagi, Yang Mulia–"Bunyi mendenging memekakkan telinga. Bola kristal komunikasi tidak lagi menunjukkan wajah Count Calliant. Kini, hanya lima garis abu-abu yang terlihat. Count Calliant lagi-lagi memutuskan komunikasi secara mendadak. "Sial! Apa ayahmu itu tidak bisa membiarkan kita bernapas sejenak saja, Sallac?" geram Grand Duke Erbish.Bukannya menjawab, Pangeran Sallac malah mengangkat bahu dengan raut waj
"Bagus taruh di sebelah sana!" titah Lady Hazel seraya mondar-mandir sembari membawa gulungan perkamen.Para penyihir utara bergantian menggunakan teleportasi untuk memindahkan rangkaian besi dan tumpukan logam langka. Goreit, adalah logam yang hanya ada di wilayah Grand Duchy. Jumlahnya memang melimpah ruah di tambang pribadi Grand Duke Erbish, tetapi sangat sulit untuk mengeluarkannya dari perut bumi.Jika sebidang tanah mengandung goreit, maka teksturnya akan menjadi sangat kokoh. Puluhan alat penambang harus hancur dulu hanya untuk mendapatkan segenggam serpihan logam tersebut. Oleh karena itu, Grand Duke Erbish memutuskan untuk menunda eksploitasi tambangnya.Namun, kedatangan Lady Hazel mengubah semuanya. Dalam waktu singkat, gadis itu bisa menciptakan alat yang dapat menembus lapisan tanah mengandung goreit. Tak hanya sampai di situ, Lady Hazel juga berencana mengolah goreit menjadi perisai raksasa untuk menghadang pasukan istana agar tak banyak macam korban."Bagaimana kalau p
Pangeran Sallac seketika menghambur ke luar tenda. Bagaimana tidak? Lady Neenash tengah berjalan dengan mata terpejam menuju jalur pendakian. Sementara Louvi masih tercengang di pintu tenda."Neenash! Neenash!" panggil Pangeran Sallac panik saat melihat kekasihnya menuju sungai.Dia berlari secepat mungkin untuk menyusul Lady Neenash. Beruntung, Pangeran Sallac berhasil meraih pinggang Lady Neenash, tepat gadis itu menginjak tanah lembek di pinggiran sungai. Sedikit saja terlambat, sang kekasih dapat dipastikan akan terpeleset ke sungai berarus deras.Sayangnya, Lady Neenash belum juga terbangun. Gadis itu malah meronta-ronta dari pelukan Pangeran Sallac. "Neenash! Kumohon sadarlah!" panggil Pangeran Sallac lagi sembari menepuk pelan pipi Lady Neenash.Namun, sang kekasih tak kunjung sadar. Lady Neenash malah semakin memberontak. Pangeran Sallac mengeratkan pelukan. Sialnya, Lady Neenash malah menyikut perutnya.Pelukan Pangeran Sallac terlepas. Dia berusaha lagi meraih lengan Lady N
Lady Neenash tersadar saat berada di depan altar kuil tua. Dia refleks bersiaga saat melihat pria tak dikenal berdiri di sebelahnya. Telapak tangannya sudah siap melepaskan belasan belati es sebagai bentuk pertahanan diri. Sebagai putri dari pahlawan perang, Lady Neenash memang memiliki kesiagaan melebihi gadis bangsawan rata-rata. Sebelumnya, dia tengah tidur nyenyak dalam tenda. Namun, tiba-tiba sudah berada di ruangan yang terlihat seperti kuil bersama orang asing. Satu-satunya dugaan yang muncul dalam benaknya tentu sebuah penculikan. "Tenanglah, Nak. Aku tidak akan menyakitimu," tutur pria asing itu."Bagaimana saya bisa percaya itu? Seorang penjahat tidak mungkin mengaku begitu saja. Lalu, di mana teman-teman saya? Atau jangan-jangan Anda melukai mereka?" cecar Lady Neenash.Dia urung menggunakan belati es. Kini, Lady Neenash menggenggam pedang dari es yang begitu indah. Matanya menatap nyalang, siap menerkam musuh di hadapan."Teman-temanmu ada di luar. Mereka tak boleh masuk
Lady Neenash memejamkan mata. Dia merasakan kekecewaan mendalam, tak menyangka akan gagal dengan sangat mengenaskan. Bukan hanya tak lolos ujian, dia juga bisa dipastikan mati dengan sia-sia.Namun, Nasib baik masih berpihak pada Lady Neenash. Tepat beberapa langkah sebelum tubuhnya menghantam tebing, kalung yang dipinjamkan Lady Hazel berpendar. Cahaya hangat menyelimuti Lady Neenash. Bagian tebing yang mengenai tubuhnya malah hancur."Eh, tidak sakit?" seru Lady Neenash seraya membuka mata. Dia seketika meneteskan air mata haru saat melihat kalung Lady Hazel yang masih berpendar. "Aku harus sangat berterima kasih kepada Lady Hazel," gumamnya. "Terima kasih, Lady Cherrie," bisiknya lagi sambil mengusap kalung."Ini sudah tugasku, Lady," balas Lady Cherrie dengan suara yang seperti menggaung dalam kepala Lady Neenash.Wushhh!Nyatanya, Lady Neenash belum bisa tenang. Sepatu artefak kembali membawanya berputar-putar. Kalung berisi jiwa Lady Cherrie sudah berkali-kali melakukan perlindu
Wushh!Angin kencang bertiup. Panah api Pangeran Sallac berbalik arah. Louvi yang baru saja tersadar bersiap membentuk perisai cahaya. Namun, waktunya terlalu mepet.Pendeta muda itu memejamkan mata, pasrah. Namun, hawa dingin terasa membekukan tubuh. Louvi tersentak dan refleks membuka mata. Panah api Pangeran Sallac entah bagaimana telah raib. Louvi mengembuskan napas lega. Namun, rasa kesalnya terbangkitkan lagi saat melihat aksi Pangeran Sallac. Pemuda itu tak jua jera meskipun sudah hampir terkena senjata sendiri. Pangeran Sallac kembali mengumpulkan manna, bermaksud menyerang perisai kuil sekali lagi."Ya ampun, Pangeran! Bukankah sudah saya bilang kita harus bersabar? Kenapa Anda malah melakukan hal yang berbahaya?" gerutu Louvi sembari menghentikan aksi Pangeran Sallac."Aku tak peduli mau bahaya atau tidak! Aku hanya ingin menyelamatkan Neenash!" sergah Pangeran Sallac."Menyelamatkanku?"Pangeran Sallac seketika menegakkan badan saat mendengar suara Lady Neenash. Dia tak pe
"Apa yang kau lihat, Neenash?" cecar Pangeran Sallac."Benang cahaya. Persis seperti yang dikatakan Lady Cherrie dari kalung ini. Saat aku memusatkan pikiran, benang cahaya terlihat," sahut Lady Neenash sembari menunjuk ke depan.Pangeran Sallac mengerutkan kening. Beberapa kali dia memicingkan mata, juga berkedip. Namun, benang cahaya yang dimaksud sang kekasih tak tertangkap pandangan. Louvi yang mengerti kebingungan Pangeran Sallac terkekeh. Tak ayal, Pangeran Sallac mendelik tajam karena merasa diremehkan. Dia hampir saja mencengkeram kerah jubah si pendeta. Beruntung, Lady Neenash sudah memperingatkan dengan lirikan mata."Jangan berbuat kasar kepada Tuan Louvi, Sallac," desis gadis itu tajam."Aku hanya kesal karena dia mencoba meremehkanku," gerutu Pangeran Sallac."Saya tidak meremehkan Anda, Yang Mulia. Sebenarnya, saya juga tidak bisa melihat benang cahaya yang dimaksud Lady Neenash. Sepertinya, hanya bisa dilihat saintess," kilah Louvi."Kau tertawa, Pendeta! Aku jelas-jel