POV Mala. Ternyata menyenangkan sekali bermain drama kayak di sinetron. Hahaha. Tadi kalau aku tidak pura-pura pingsan, maka perihal sambal itu sudah pasti belum selesai hingga saat ini, aku yakin si pirang tidak akan menyerah untuk membuatku mengaku. Iya kali aku akan mengakuinya. Tidaklah, Bestie. Jika dia berniat mempermainkan kewarasanku, maka aku akan membuat dia gila sekalian. Dia pikir karena aku hanya ibu rumah tangga dan berpenampilan kusam, aku akan diam saja. Tidak begitu konsep nya. Aku sudah bilang, bahwa aku akan diam seribu bahasa, jika yang bersuara itu mertuaku, ibu suri rumah ini, tapi jika yang lainnya akan aku lawan hingga titik darah penghabisan. Tapi setidaknya saat aku pingsan tadi, aku tau, bahwa ibu yang selama ini bawel dan terkesan otoriter dalam memerintah penghuni rumah ini, setidaknya ia juga mengkhawatirkan aku. Eh, entah aku atau cucu nya yang ada di perutku yang sesungguhnya ia khawatirkan. Tapi itu pun sudah cukup membuatku senang. Meski setiap ome
#part aku masih mencintainya."Ada apa ini?" tanya Rahman kepada ibu dan bapaknya, saat memasuki ruang tengah. Ia menangkap percakapan seolah saling tegang antara kedua orang tuanya.Bu Samirah tak menjawab, ia kembali memusatkan pandangannya pada sinetron kesukaan emak-emak +62. Sedangkan Pak Manto, meraih cangkir kopinya dan menyeruputnya hingga menimbulkan suara. "Bagaimana rumahnya?" tanya pak Manto pada Rahman. Sungguh ia pun merasa berat melepas Rahman, karena hanya anak ketiganya itu saja yang bisa diandalkan dari segi apapun. Bahkan Rahman itu, pemikirannya lebih bijak dan lebih dewasa dibandingkan dengan kedua kakaknya. Jadi, cukup wajar saja kalau pak Manto dan bu Samirah tidak mau jauh dari Rahman. Karena, lewat Rahman lah Bu Samirah bisa menjadi seorang ibu yang selalu disayangi, dihargai dan diperhatikan. Rahman jarang sekali membantah perkataan ibunya, dia selalu menuruti apapun kata ibunya. Tapi, itu dulu sebelum dia menikahi Mala. sekarang kewajibannya bertambah, sela
Helen memang cantik dengan tubuh yang semampai dan kulit yang putih hasil perawatan dari salon, laki-laki mana yang tidak akan tergiur saat pertama melihat sosok Helen? Bahkan, Rahman pun terpukau saat pertama melihat mantan pacarnya itu. "Ini demi kebaikanmu, Len. Ibu gak sudi kalau sampai besanan sama orang miskin. Nanti mereka hanya akan jadi benalu di keluarga kita," ucapnya. Ia geram dengan kelakuan anaknya yang mulai tidak waras karena cinta masa lalunya. "Jangan menghina keluarga Rahman, Bu! Ingat! Dulu bahkan kita lebih miskin dari mereka," ucapnya dengan tatapan tajam pada ibunya."Ibu, tidak menghina, itu kenyataannya. Bapaknya dari dulu tak pernah berubah, hanya kuli tukang kayu," cibir ibunya dengan pongah. Membuat Helen naik pitam melihat kelakuan ibunya yang berubah setelah ia memiliki uang banyak. "Jangan lupa saat bapak kecelakaan, yang menolongnya adalah bapaknya Rahman. Bahkan mereka yang membayar biaya puskesmas bapak saat itu," ucap Helen mengingatkan ibunya. Bu
Di notaris.Mereka pun berjalan beriringan, maksudnya motor pak Manto berjalan duluan lalu disusul oleh Rahman dari belakang yang membonceng Mala. Kurang lebih perjalanan 20 menit mereka telah sampai di kantor notaris, disana banyak kendaraan terparkir karena itu adalah deretan ruko panjang ke samping ada sekitar 7-8 ruko, ada kantor notaris, apotek, toko tas dan lainnya. Kebetulan di sebelah kiri ada mobil perabot 5000an yang dikerubungi ibu-ibu. "Ibu, mana, Pak," tanya Rahman ketika matanya tidak melihat sosok ibunya di samping bapaknya. Pak Manto menunjuk ke arah kerumunan ibu-ibu di tukang perabotan dengan dagunya. Rahman segera mengerti dengan isyarat dari bapaknya."Ayo, kita masuk, Mas," ajak Mala."Oke, ayo masuk! Tapi aku panggil Ibu dulu," ucap Rahman dan kakinya hendak melangkah ke arah bu Samirah berada. "Udah, jangan! Biarin, Man. Biarin ibumu di sana," seru pak Manto melarang Rahman untuk memanggil bu Samirah."Tapi—," ucapan Rahman menggantung karena dipotong bapakny
"Ibu!" Rahman reflek meninggikan suaranya saat melihat istrinya ditarik secara kasar oleh ibunya. Mala pun terkejut, dan merasa sakit di tangannya karena ditarik dalam satu hentakan."Aku gak apa-apa, Mas," potong Mala, karena kalau ia diam saja, sudah pasti urusannya akan panjang. Apalagi di tempat umum. Tukang es yang di sebelah kanan aja, sejak tadi mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Mala meraih helmnya. Dan berjalan menuju ke arah mertua lelakinya. "Ibumu ngambek," ucap pak Manto, sambil terkekeh. Mala hanya diam saja. Karena ini memang kesalahan mertuanya, seandainya saja tadi ibunya itu dipanggil mungkin gak akan seperti ini. Mala prihatin sebenarnya dengan perlakuan mertua lelakinya ke Bu Samirah. Tapi di sisi lain, jika mertua perempuan nya tadi ikut ke dalam, tipis kemungkinan proses AJB tadi akan lancar tanpa kendala. Namun kini, ia harus menebalkan telinganya. Karena sesampainya ke rumah nanti, tentu saja ibu mertuanya tak akan diam saja. Akhirnya, pak Manto dan Rah
"I—itu, itu, aku," ucapnya seketika gagap. Rahman langsung mendekati Abang iparnya itu, lalu menyerahkan uang tadi yang hendak diberikannya. "Ini mah pinjem, ya! Man. Kapan-kapan Abang, balikin," ucapnya sambil meraih uang yang diulurkan Rahman. Rahman hanya mengangguk. Ia paham apa yang dirasakan Anton. Mungkin saja kalau tadi uang itu diterima, berasa motornya di sewa. Tapi kalau ia pinjam begini kan lain ceritanya. "Tenang, Bang. Pake aja, gak dibalikin juga nggak apa-apa. Toh nanti kalau aku tak punya juga, pasti minta sama, Abang," ucap Rahman membesarkan hati iparnya itu. Anton tersenyum malu. Lalu Rahman pamit kedalam dan Anton pun pulang dengan membawa motornya. Sebenarnya ia malu karena meminjam uang pada keluarga istrinya secara langsung. Selama ini, Eni-lah yang suka merong-merong pada keluarganya dan namanya tetap bersih. Tapi hari ini ia terpaksa meminjam pada Rahman, karena Eni menolak memberikan uang yang telah diberikan suaminya. Padahal Anton bilang ada perlu ke kot
Hoax dari Rini."Rini bilang apa?" tanya Rahman, sesaat setelah Rini dan Bu Hana pergi. "Rini bilang, rumah ini ada penunggunya, Mas," ucap Mala sambil sedikit berbisik."Hei, kalian! Ngapain bisik-bisik?" tanya Tika yang baru saja masuk ke halaman rumah Mala sambil menuntun anaknya."Takut digosipin sama aku, ya? tanya Mala, sambil mencubit pipi gembul Alia, anak kedua Tika. "Yey," ucap Tika mencebik. Yang disambut kekehan Mala. "Eh, Ka. Apa kamu suka melihat sesuatu, selama rumah ini kosong?" tanya Mala penasaran. Karena rumah Tika dan rumah barunya hanya terhalang tembok setinggi dada saja."Maksudnya gimana?" tanya Tika, tidak paham dengan apa yang Mala sampaikan. "Ya, mungkin kamu pernah liat, emh— ayunan itu ada yang ngisi?" tanya Mala yang bingung cara menyampaikannya pada Tika. "Maksudnya setan?" tanya Tika dengan lantang. "Hust, jangan keras-keras," sahut Mala sambil menempelkan satu jemarinya di bibirnya."Siapa yang bilang? Si Rini, ya? Hahahaha." Tika malah tertawa d
POV Mala. Sengaja aku bangun lebih pagi. Agar ibu tak mengomel, juga aku berniat kerumahku lebih pagi. Aku sudah menelpon orang tuaku dan menyuruh kedua adikku agar membantu mas Rahman membersihkan rumah kami. Aku tak mungkin membantu mas Rahman, dari kemarin saja aku hanya pegang sapu saja. Suamiku tak mengizinkan aku mengerjakan apapun. Sedangkan kedua iparku tak ada yang membantu. Apalagi, bang Rahmat sakit, bang Anton keluar kota dan Mbak Susan kerja. Kak Eni, mana mau dia membantu bersih-bersih. Selama ini bekas makan dia dan anaknya saja ibu yang mencucinya. Huft. Suamiku bak anak tunggal yang segala mengerjakan apapun sendirian tapi jika salah satu kakaknya kesulitan, maka suamiku yang paling cepat bergerak membantu, meski semampunya. "Ayo, La," ajak Mas Rahman yang berdiri di ambang pintu ruang tengah. "Iya," sahutku. Aku membawa sebotol air mineral yang besar untuk kami minum nanti. Sengaja aku tak membawa bekal makan meski masakan sudah matang. Karena adik-adikku akan da
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda