"Banyak alasan, bilang aja kalian gak mau ajak anakku," sungutnya sinis. "La, ayo," ajak Rahman lagi, Mala pun mendudukan dirinya di belakang Rahman, dengan tangan melingkar di perut suaminya. Meski ia memakai gamis. Tapi ia bisa duduk layaknya yang memakai celana panjang. Ia menyingsingkan gamisnya hingga ke perut, karena kebetulan ia mengenakan legging panjang warna hitam. Wulan yang melihat tantenya susah duduk di motor, lantas tangisnya pun kembali kencang."Mulai sombong kalian, ya! Sampai tak mau membawa anakku," jerit Susan emosi saat Wulan semakin mengeraskan tangisannya, ketika Rahman sudah bersiap melajukan motornya. "Itu anakmu, Mbak, kewajibanmu. Jadi, urus yang bener! Jangan apa-apa ngandelin orang lain," ucap Rahman sambil langsung meng-gas motornya. Membuat Susan mengumpat dengan segala serapahnya. Dan jeritan Wulan semakin menggema. Tapi tak membuat Rahman menghentikan motornya, ia malah sedikit menambah kecepatan laju kendaraannya. Mala memeluk suaminya dengan erat
Di peras Anton."Baru punya jabatan segitu aja, udah sombong naudzubilah," omel Susan sambil menuntun Wulan masuk. "Ada apa sih?" tanya Rahmat yangs sedang menyadar pada dipan milik Ria. "Itu, adikmu. Wulan ingin ikut, malah dibentak. Kalau gak mau ngajak ya, sudah. Nggak usah bentak-bentak anak orang. Sakit hati aku, Bang! Anakku dibentak-bentak orang," adunya dengan wajah masam. "Rahman Om-nya, pengganti bapaknya. Pasti ada alasan begitu. Mungkin anak kita tak bisa dibilangin," bela Rahmat. Sejauh ini ia tahu, Mala sangat perhatian pada Wulan melebihi Susan yang notabene-nya Ibu kandungnya wulan. Mala lebih telaten mengurusi anaknya. Jadi Rahmat pikir, tak mungkin Rahman marah, hingga membentak anaknya tanpa sebab."Pokoknya aku gak ikhlas anakku dibentak orang. Apa kamu rela anak perempuanmu dibentak-bentak orang lain?" tanya Susan dengan sedikit emosi dengan jawaban suaminya tadi. Rahmat hanya menghela nafas panjang. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia pun tak rela men
"Nggak-nggak! Pokoknya aku mau visum. Aku mau lapor ke polisi," tegas Anton tak terbantah. Membuat Susan seketika terdiam."Bang, ini ada apa? Kamu kenapa?" Tiba-tiba Eni datang dengan membawa ketiga anaknya. Karena memang tadi Anton mengambil motor itu, berniat akan membeli bakso bersama istri dan anak-anaknya. Tapi kejadian nahas malah menimpanya."Ini apa? kenapa?" tanya Eni lagi sambil meraup wajah suaminya, ia melihatnya dengan seksama, hitam di pangkal hidung Anton yang bengkak dan mulai semakin menghitam."Tuh, dilempar Mbak Susan. Aku mau ke rumah sakit, ayo! Ni. Kamu yang bawa motor," ucap Anton. "Eh, eh, eh. Tunggu sebentar, ya…Allah. kamu itu, gimana sih! Ton. Aku mau obatin malah mau maksa ke rumah sakit segala. Jauh-jauh amat sih! aku pun perawat loh, aku bisa ngobatin kamu," ucap Susan, padahal sesungguhnya, dia takut kalau Anton benar melaporkannya. "Aku nggak mau diobatin sama Mbak! Sini uangnya saja, buat berobat," pinta Anton dengan menengadahkan tangannya ke arah
Azab suami mata kerangjang."Rasakan!" ucap Eni saat sendalnya mendarat cantik di hidung Anton yang bengkak. Anton meraung-raung memegangi wajahnya. "Azab suami mata keranjang," ucap Mala sambil berlalu masuk menggandeng suaminya."Heh! sembarangan kalau ngomong," ucap Anton tak terima."Bener kata Mala itu, selain mata keranjang, tukang peras pula," sahut Susan. "Peras apa? Cucian apa susu? Susu sapi atau susu kamu?" ucap Anton dengan gaya kemayu. Membuat Helen yang sejak tadi berdiri di halaman, bergidik ngeri. Batinnya bermonolog sendiri "Ganteng-ganteng ternyata gemulai.""Abang! Mau aku tambahin pake helm," ancam Eni yang sejak tadi jengah dengan kelakuan suaminya. Hati istri mana yang tidak panas, melihat suaminya ganjen ke wanita lain. Sudah ribuan kali Eni menghajar Anton gara-gara cemburu buta, namun tak sekali pun Anton jera meski harus babak belur dipukuli Eni. "Akh, iya Sayang, aku dataaaang," ucap Anton. Pikirnya, apa jadinya kalau helm di tangan istrinya melayang juga
***Di sosor soang***"Masuk, Len. Ngapain kamu malah ngeliatin si mantu gak waras," ucap Bu Samirah. "Oh..iya, Bu. Sehat Bu?" tanya Helen sambil mencium takjim tangan Bu Samirah. Helen datang sebenarnya karena ingin bertemu kembali dengan Rahman."Ayo, masuk!" ajak Bu Samirah. Diiringi Helen dan Susan.Sementara Mala yang tadi melihat kedatangan Helen, kini sedang bergelayut manja. Rahman menghirup aroma musk dari istrinya itu. Tiba-tiba perut Rahman bunyi. "Kamu lapar, Mas?" "Nggak sih, hehehe." "Tapi aku belum masak lho," ucap Mala. "Aku kangen indomie buatanmu," ucap Rahman. "Hahahaha, bisa aja kamu, Mas! Ya…udah, aku buatin dulu ya," ucapnya sambil bangkit dari pelukan suaminya. "Jangan lama-lama," ucap Rahman, sesaat sebelum Mala menghilang di balik pintu. Sementara Susan kini sedang mengomel pada suaminya. Perihal pemerasan yang Anton lakukan. "Uang yang harus ku pake perawatan, malah sekarang raib di gondol si pengangguran Syal*n!" umpatnya sangat kesal."Kamu kenapa bi
Part 77. Misi yang gagal.Mala terkikik geli di kursi makan, begitupun Rahman yang baru saja masuk. Ia terlihat menutup mulutnya dengan pangkalnya. Sementara Helen, memegangi dan memegangi bokongnya yang disosor soang. Pasti rasanya sangat sakit. "Ha ha ha ha." Mala tak bisa menahan tawanya. "Ini ulah kamu ya?" tudingnya. Mala tak bisa menjawab. Ia tertawa hingga menangis. Puas sekali sepertinya mengerjai janda itu. "Ada apa ini?" tanya Bu Samirah yang tiba-tiba masuk. Tapi Mala tak bisa menyudahi tertawanya, untungnya Rahman mengambilkan segelas air. "Minumlah," titahnya."Aku di sosor soang, Bu. Tuh! menantu Ibu jahat banget, aku lagi di belakang sama Rahman. Eh, dia melepas soangnya," sungut Helen sambil terus memegangi bokongnya. Bu Samirah malah ikut tertawa mendengar penuturan Helen. Siapa pula yang tidak akan tertawa jika mendengarnya atau melihat tragedi semacam itu. Pikir Mala, karena lagi jaman SD, dirinya pun pernah lari tunggang langgang saat dikejar soang milik pak ha
***Mala Ngambek***Mala yang melihat rivalnya pergi, tersenyum lega, kini ia tengah bersiap mengadili lelaki di sampingnya yang tadi sempat terlihat terpesona melihat janda pirang itu. Mala pun tak menampik pesona janda mantan pacar suaminya itu. Sebagai manusia ia pun kagum dengan ciptaan Tuhan yang satu ini. Sudah cantik, kaya masih muda pula. "Nyesel ya, Mas? Menolak ajakan wanita cantik," ucapnya dengan smirk evilnya. Tatapannya tajam bak sebuah busur panah yang siap melukai Rahman. "Heh, sembarangan aja," bela Rahman, yang sudah mencium bau-bau akan ada keributan. Mala memiringkan wajahnya dengan sengaja, guna melihat lebih jelas wajah suaminya."Really?" "Yes, sure!" "BOHONG!" "NGGAK!" "PEMBOHONG!" "APA SIH?" Rahman jadi terpancing suasana. ucapnya ikut meninggi. Ia paham dengan maksud istrinya itu. Apalagi Mala memang sedang dalam masanya sensitif. Mala bangkit dan meninggalkan Rahman, dengan bulir air mata yang tak bisa di hindari. Bahkan ia pun tak paham kenapa tiba-t
Pov Mala Aku bangkit dan meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Ternyata sudah jam lima sore. Bahkan aku belum sempat sholat ashar gara-gara ngambek sama Mas Rahman tadi. Dan aku juga yakin Mas Rahman pun belum melaksanakan shalat, ia masih begitu pulas dalam tidurnya. Lebih baik mandi dulu dan memanfaatkan waktu yang tersisa. Aku bergegas ke kamar mandi, agar ritual yang waktunya sudah mau habis ini segera terlaksana. Saat aku keluar dari kamar, aku berpapasan dengan Helen yang baru keluar dari kamar mandi. Rupanya sudah pulang mereka. Dia memicingkan matanya saat melihatku yang baru bangun tidur. Aku tak peduli padanya. Saat kami berpapasan aku mencium wangi yang menguar dari arah Helen. Akh, dia kan baru pulang dari salon habis perawatan. "Ops, bau sekali," celutuknya sambil menutup hidung. Waah, minta di garuk ni perempuan. Tapi aku segera ingat, waktu Ashar yang sudah mepet. Aku gegas masuk ke kamar mandi dan tidak memperdulikannya, tentu saja urusan dengan si pirang itu
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda