"Mala! Ayo, segera siap-siap. Kita harus pergi lebih pagi, agar tidak mengantri lama," ucap Mas Rahman yang baru saja memasuki dapur. "Sebentar Mas, aku buat kopi buat kamu dan menyelesaikan ini dulu," sahutku sambil tanganku semakin cekatan membolak-balik nasi. Serta memberinya bumbu dan kecap. "Mau kemana kalian?" tanya Ibu. "Mau ke Bank, Bu," sahut mas Rahman."Ngapain?" "Mau ngajuin pinjaman," jawab Mas Rahman pelan. "Buat apa? Bikin rumah? Kamu gak mau ngurusin Ibu bapakmu lagi, Rahman?" Pertanyaan Ibu membuat suamiku terdiam dan menunduk. "Bukan begitu, Bu." "Biarkan mereka mengurus hidupnya sendiri, Mirah. Ingat! Rahman sudah mempunyai istri. Artinya tanggung jawab dia sebagai suami akan dipertanyakan jika terus-menerus tidak mandiri," ucap Bapak dari arah belakang. "Rahman tetap tanggung jawab kok. buktinya, keperluan rumah ini separo dari gajinya dia, kalau ngandelin kamu, mana cukup!" sentak Ibu dengan amarah yang sepertinya akan meledak. "Ini pasti gara-gara kamu,
POV Rahman.Sungguh, aku tak habis pikir dengan kelakuan Mbak Susan dan juga Ibu. Sebegitu bencinya mereka terhadap istriku? Apa salahnya Mala pada mereka? Aku terkadang malu dan bingung dengan sikap Ibu kepada Mala. Aku tidak bisa mengabaikan istriku. Aku pun tidak bisa mengabaikan Ibuku. Tapi Ibu selalu saja membuat masalah, aku kasihan pada Mala, yang selalu saja di pojokan, yang selalu saja disalahkan. Ditambah dengan Mbak Susan tinggal di rumah ini. Malah menambah beban pekerjaannya Istriku saja. Mala itu lagi hamil, ada janin yang harus dijaganya. "Apa Mbak Susan selama ini selalu mengandalkan kamu untuk mengurusi suaminya?" tanyaku pada Mala yang tengah menunduk menikmati nasi goreng buatannya. "Ya, mau bagaimana lagi, Mas. kan Mbak Susan kerja. Dinas malam, dia pulang pagi-pagi langsung tidur. Akhirnya, ya urusan Bang Rahmat sama Wulan jadi tanggung jawabku. Lagian kalau bukan aku siapa lagi? Mana tega aku membiarkan Ibu mengurusi mereka. Aku mengurusi rumah ini saja, Ibu ma
"Banyak sekali itu. Itu untuk angsuran berapa puluh tahun? Kamu harus hati-hati dengan pinjam-meminjam, meskipun jaminannya adalah gajimu. Kalau saran Bapak sih, kamu ngambil secukupnya saja untuk rumah. Biar yang lain-lainnya nanti nyicil saja. Jangan sampai, kau gadaikan Sk-mu itu, hingga pensiun. bisa-bisa nggak akan sejahtera hidupmu, Man," tutur Bapak sambil memandangku. Ada gurat kekhawatiran di tatapan mata Bapak. "Iya, Pak. Rahman juga nanti mau mempertimbangkan angsurannya. Agar bisa terpenuhi dengan baik. begitupun untuk kebutuhan Rahman sehari-hari. karena Rahman kan, tidak bisa lagi mengajar seperti waktu masih nge-honor. Tapi nanti, Rahman akan membuka les privat lagi di rumah. Kayak dulu, untuk mencari tambahan. Tapi untuk saat ini sih, Rahman masih fokus mengajar satu Sekolah karena Rahman guru baru diangkat. Pelan-pelan nanti kalau sudah mengenal warga di sana, Rahman juga akan membuka les seperti dulu di sini," ucapku pada Bapak."Bagus pemikiranmu, Man. kita sebagai
Gagal cair."Mau kemana kalian?" tegur Bu Samirah. "Mau ke bank, Bu." jawab Rahman dengan cepat. "Ibu ikut, tungguin, ucapnya ketus, saat melihat, menantu dan anaknya telah bersiap pergi. Rahman dan Mala saling tatap melihat tingkah wanita yang paling tua itu, kini berubah bak tak ingin kalah saing dengan Mala. Rahman memberi isyarat pada Mala dengan memainkan matanya. Tapi Mala, malah mengendikan bahunya menandakan ia pun bingung. "Mau ngapain, Ibu, ikut?" tanya Rahman, yang segera menyusul ke kamar ibunya. "Kenapa? Kamu tak suka, wanita tua ini ikut?" jawab ibunya sambil berkacak pinggang pada Rahman."Bu—bukan begitu, Bu." Rahman kini makin bingung, bagaimana cara menjelaskannya pada ibunya. Karena mereka akan pergi hanya menaiki motor. Lalu, jika ibunya ikut, masa iya harus bonceng tiga. Rahman menggaruk tengkuknya yang tak gatal sedangkan Mala kembali duduk di tepi ranjang. "Pak, Ibu mau ke bank, ikut sama Rahman," pamitnya dari ambang pintu tengah. Pak Manto yang sedang me
"Mertuamu tahu?" Bu Samirah kembali bertanya. Membuat wanita disebelahnya yang ditanya sejak tadi mulai jengah. "Apa urusannya dengan mertua saya, Bu. Ini kehidupan rumah tangga saya dan suami. Berarti apapun di dalamnya adalah urusan kami berdua," ucapnya dengan ketus dan tatapan tajam. Membuat Bu Samirah mencebik. "Mertuamu itu surganya suamimu, tidak bisa kamu durhaka seperti itu," tegasnya. "Durhaka dalam hal apa ya, Bu? Karena saya mau merenovasi rumah orang tua saya? Asal Ibu tahu, ya! Seorang suami tidak akan masuk surga, jika tidak memuliakan istrinya. Sudah jelas ada hadistnya," ucapnya dengan sengit. "Terserah deh," Bu Samirah akhirnya tak mau bertanya lagi, ia sedikit malu dengan ucapan wanita di sebelahnya yang sedikit kencang, hingga ada beberapa orang yang menoleh kepadanya. Dan ia pun tahu dengan apa yang dikatakan oleh wanita muda itu. Rahman pun mendengarkan percakapan antara ibunya dan pengantri lainnya. Tapi ia lebih memilih diam saja daripada terjadi huru-hara.
Rahman emosi. "Tunggu di sini, Rahman ambil motor dulu," titah Rahman saat sudah mencapai halaman bank. "Ibu mau pulang sendiri. Gak usah peduliin ibu tuamu ini," ucapnya ketus. Hati orang tua mana yang tak akan sakit, jika dibentak oleh anak kandungnya sendiri. Padahal sejak dalam kandungan, ia mengasihi anaknya itu, tapi setelah besar malah seolah ingin memakan dirinya yang telah mengandung dan melahirkannya. "Di sini tak ada angkutan umum," ucap Rahman lagi sambil memepetkan motornya pada Bu Samirah. Tapi ibunya tetap tak menatap ke arahnya, kali ini sepertinya Bu Samirah benar-benar marah sama Rahman. "Maafkan Rahman, Bu. Rahman emang gak tau diri. Rahman minta maaf banget," ucapnya dengan lesu. Bu Samirah tak bergeming terus berjalan di trotoar dan Rahman terus memacu motornya dengan kakinya. Udara yang menuju tengah hari, membuat matahari sudah tepat ada di atas ubun-ubun kepala mereka meski jam baru menunjukkan pukul 10:30 pagi. "Bu!" panggil Rahman lagi. Beberapa pengenda
"Banyak alasan, bilang aja kalian gak mau ajak anakku," sungutnya sinis. "La, ayo," ajak Rahman lagi, Mala pun mendudukan dirinya di belakang Rahman, dengan tangan melingkar di perut suaminya. Meski ia memakai gamis. Tapi ia bisa duduk layaknya yang memakai celana panjang. Ia menyingsingkan gamisnya hingga ke perut, karena kebetulan ia mengenakan legging panjang warna hitam. Wulan yang melihat tantenya susah duduk di motor, lantas tangisnya pun kembali kencang."Mulai sombong kalian, ya! Sampai tak mau membawa anakku," jerit Susan emosi saat Wulan semakin mengeraskan tangisannya, ketika Rahman sudah bersiap melajukan motornya. "Itu anakmu, Mbak, kewajibanmu. Jadi, urus yang bener! Jangan apa-apa ngandelin orang lain," ucap Rahman sambil langsung meng-gas motornya. Membuat Susan mengumpat dengan segala serapahnya. Dan jeritan Wulan semakin menggema. Tapi tak membuat Rahman menghentikan motornya, ia malah sedikit menambah kecepatan laju kendaraannya. Mala memeluk suaminya dengan erat
Di peras Anton."Baru punya jabatan segitu aja, udah sombong naudzubilah," omel Susan sambil menuntun Wulan masuk. "Ada apa sih?" tanya Rahmat yangs sedang menyadar pada dipan milik Ria. "Itu, adikmu. Wulan ingin ikut, malah dibentak. Kalau gak mau ngajak ya, sudah. Nggak usah bentak-bentak anak orang. Sakit hati aku, Bang! Anakku dibentak-bentak orang," adunya dengan wajah masam. "Rahman Om-nya, pengganti bapaknya. Pasti ada alasan begitu. Mungkin anak kita tak bisa dibilangin," bela Rahmat. Sejauh ini ia tahu, Mala sangat perhatian pada Wulan melebihi Susan yang notabene-nya Ibu kandungnya wulan. Mala lebih telaten mengurusi anaknya. Jadi Rahmat pikir, tak mungkin Rahman marah, hingga membentak anaknya tanpa sebab."Pokoknya aku gak ikhlas anakku dibentak orang. Apa kamu rela anak perempuanmu dibentak-bentak orang lain?" tanya Susan dengan sedikit emosi dengan jawaban suaminya tadi. Rahmat hanya menghela nafas panjang. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia pun tak rela men