Beranda / Pernikahan / Bakti Seorang Menantu / 67. Pov Rahman bagian A.

Share

67. Pov Rahman bagian A.

Penulis: RatuNna Kania
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-30 17:27:16

POV Rahman.

Sungguh, aku tak habis pikir dengan kelakuan Mbak Susan dan juga Ibu. Sebegitu bencinya mereka terhadap istriku? Apa salahnya Mala pada mereka? Aku terkadang malu dan bingung dengan sikap Ibu kepada Mala. Aku tidak bisa mengabaikan istriku. Aku pun tidak bisa mengabaikan Ibuku. Tapi Ibu selalu saja membuat masalah, aku kasihan pada Mala, yang selalu saja di pojokan, yang selalu saja disalahkan. Ditambah dengan Mbak Susan tinggal di rumah ini. Malah menambah beban pekerjaannya Istriku saja. Mala itu lagi hamil, ada janin yang harus dijaganya.

"Apa Mbak Susan selama ini selalu mengandalkan kamu untuk mengurusi suaminya?" tanyaku pada Mala yang tengah menunduk menikmati nasi goreng buatannya.

"Ya, mau bagaimana lagi, Mas. kan Mbak Susan kerja. Dinas malam, dia pulang pagi-pagi langsung tidur. Akhirnya, ya urusan Bang Rahmat sama Wulan jadi tanggung jawabku. Lagian kalau bukan aku siapa lagi? Mana tega aku membiarkan Ibu mengurusi mereka. Aku mengurusi rumah ini saja, Ibu ma
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bakti Seorang Menantu    68. Pov Rahman bagian B.

    "Banyak sekali itu. Itu untuk angsuran berapa puluh tahun? Kamu harus hati-hati dengan pinjam-meminjam, meskipun jaminannya adalah gajimu. Kalau saran Bapak sih, kamu ngambil secukupnya saja untuk rumah. Biar yang lain-lainnya nanti nyicil saja. Jangan sampai, kau gadaikan Sk-mu itu, hingga pensiun. bisa-bisa nggak akan sejahtera hidupmu, Man," tutur Bapak sambil memandangku. Ada gurat kekhawatiran di tatapan mata Bapak. "Iya, Pak. Rahman juga nanti mau mempertimbangkan angsurannya. Agar bisa terpenuhi dengan baik. begitupun untuk kebutuhan Rahman sehari-hari. karena Rahman kan, tidak bisa lagi mengajar seperti waktu masih nge-honor. Tapi nanti, Rahman akan membuka les privat lagi di rumah. Kayak dulu, untuk mencari tambahan. Tapi untuk saat ini sih, Rahman masih fokus mengajar satu Sekolah karena Rahman guru baru diangkat. Pelan-pelan nanti kalau sudah mengenal warga di sana, Rahman juga akan membuka les seperti dulu di sini," ucapku pada Bapak."Bagus pemikiranmu, Man. kita sebagai

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-30
  • Bakti Seorang Menantu    69. Gagal cair bagian A.

    Gagal cair."Mau kemana kalian?" tegur Bu Samirah. "Mau ke bank, Bu." jawab Rahman dengan cepat. "Ibu ikut, tungguin, ucapnya ketus, saat melihat, menantu dan anaknya telah bersiap pergi. Rahman dan Mala saling tatap melihat tingkah wanita yang paling tua itu, kini berubah bak tak ingin kalah saing dengan Mala. Rahman memberi isyarat pada Mala dengan memainkan matanya. Tapi Mala, malah mengendikan bahunya menandakan ia pun bingung. "Mau ngapain, Ibu, ikut?" tanya Rahman, yang segera menyusul ke kamar ibunya. "Kenapa? Kamu tak suka, wanita tua ini ikut?" jawab ibunya sambil berkacak pinggang pada Rahman."Bu—bukan begitu, Bu." Rahman kini makin bingung, bagaimana cara menjelaskannya pada ibunya. Karena mereka akan pergi hanya menaiki motor. Lalu, jika ibunya ikut, masa iya harus bonceng tiga. Rahman menggaruk tengkuknya yang tak gatal sedangkan Mala kembali duduk di tepi ranjang. "Pak, Ibu mau ke bank, ikut sama Rahman," pamitnya dari ambang pintu tengah. Pak Manto yang sedang me

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-01
  • Bakti Seorang Menantu    70. Gagal cair bagian B.

    "Mertuamu tahu?" Bu Samirah kembali bertanya. Membuat wanita disebelahnya yang ditanya sejak tadi mulai jengah. "Apa urusannya dengan mertua saya, Bu. Ini kehidupan rumah tangga saya dan suami. Berarti apapun di dalamnya adalah urusan kami berdua," ucapnya dengan ketus dan tatapan tajam. Membuat Bu Samirah mencebik. "Mertuamu itu surganya suamimu, tidak bisa kamu durhaka seperti itu," tegasnya. "Durhaka dalam hal apa ya, Bu? Karena saya mau merenovasi rumah orang tua saya? Asal Ibu tahu, ya! Seorang suami tidak akan masuk surga, jika tidak memuliakan istrinya. Sudah jelas ada hadistnya," ucapnya dengan sengit. "Terserah deh," Bu Samirah akhirnya tak mau bertanya lagi, ia sedikit malu dengan ucapan wanita di sebelahnya yang sedikit kencang, hingga ada beberapa orang yang menoleh kepadanya. Dan ia pun tahu dengan apa yang dikatakan oleh wanita muda itu. Rahman pun mendengarkan percakapan antara ibunya dan pengantri lainnya. Tapi ia lebih memilih diam saja daripada terjadi huru-hara.

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-01
  • Bakti Seorang Menantu    71. Rahman emosi bagian A.

    Rahman emosi. "Tunggu di sini, Rahman ambil motor dulu," titah Rahman saat sudah mencapai halaman bank. "Ibu mau pulang sendiri. Gak usah peduliin ibu tuamu ini," ucapnya ketus. Hati orang tua mana yang tak akan sakit, jika dibentak oleh anak kandungnya sendiri. Padahal sejak dalam kandungan, ia mengasihi anaknya itu, tapi setelah besar malah seolah ingin memakan dirinya yang telah mengandung dan melahirkannya. "Di sini tak ada angkutan umum," ucap Rahman lagi sambil memepetkan motornya pada Bu Samirah. Tapi ibunya tetap tak menatap ke arahnya, kali ini sepertinya Bu Samirah benar-benar marah sama Rahman. "Maafkan Rahman, Bu. Rahman emang gak tau diri. Rahman minta maaf banget," ucapnya dengan lesu. Bu Samirah tak bergeming terus berjalan di trotoar dan Rahman terus memacu motornya dengan kakinya. Udara yang menuju tengah hari, membuat matahari sudah tepat ada di atas ubun-ubun kepala mereka meski jam baru menunjukkan pukul 10:30 pagi. "Bu!" panggil Rahman lagi. Beberapa pengenda

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-02
  • Bakti Seorang Menantu    72. Rahman emosi bagian B.

    "Banyak alasan, bilang aja kalian gak mau ajak anakku," sungutnya sinis. "La, ayo," ajak Rahman lagi, Mala pun mendudukan dirinya di belakang Rahman, dengan tangan melingkar di perut suaminya. Meski ia memakai gamis. Tapi ia bisa duduk layaknya yang memakai celana panjang. Ia menyingsingkan gamisnya hingga ke perut, karena kebetulan ia mengenakan legging panjang warna hitam. Wulan yang melihat tantenya susah duduk di motor, lantas tangisnya pun kembali kencang."Mulai sombong kalian, ya! Sampai tak mau membawa anakku," jerit Susan emosi saat Wulan semakin mengeraskan tangisannya, ketika Rahman sudah bersiap melajukan motornya. "Itu anakmu, Mbak, kewajibanmu. Jadi, urus yang bener! Jangan apa-apa ngandelin orang lain," ucap Rahman sambil langsung meng-gas motornya. Membuat Susan mengumpat dengan segala serapahnya. Dan jeritan Wulan semakin menggema. Tapi tak membuat Rahman menghentikan motornya, ia malah sedikit menambah kecepatan laju kendaraannya. Mala memeluk suaminya dengan erat

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-02
  • Bakti Seorang Menantu    73. Di peras Anton bagian A.

    Di peras Anton."Baru punya jabatan segitu aja, udah sombong naudzubilah," omel Susan sambil menuntun Wulan masuk. "Ada apa sih?" tanya Rahmat yangs sedang menyadar pada dipan milik Ria. "Itu, adikmu. Wulan ingin ikut, malah dibentak. Kalau gak mau ngajak ya, sudah. Nggak usah bentak-bentak anak orang. Sakit hati aku, Bang! Anakku dibentak-bentak orang," adunya dengan wajah masam. "Rahman Om-nya, pengganti bapaknya. Pasti ada alasan begitu. Mungkin anak kita tak bisa dibilangin," bela Rahmat. Sejauh ini ia tahu, Mala sangat perhatian pada Wulan melebihi Susan yang notabene-nya Ibu kandungnya wulan. Mala lebih telaten mengurusi anaknya. Jadi Rahmat pikir, tak mungkin Rahman marah, hingga membentak anaknya tanpa sebab."Pokoknya aku gak ikhlas anakku dibentak orang. Apa kamu rela anak perempuanmu dibentak-bentak orang lain?" tanya Susan dengan sedikit emosi dengan jawaban suaminya tadi. Rahmat hanya menghela nafas panjang. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia pun tak rela men

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-03
  • Bakti Seorang Menantu    74. Di peras Anton bagian B.

    "Nggak-nggak! Pokoknya aku mau visum. Aku mau lapor ke polisi," tegas Anton tak terbantah. Membuat Susan seketika terdiam."Bang, ini ada apa? Kamu kenapa?" Tiba-tiba Eni datang dengan membawa ketiga anaknya. Karena memang tadi Anton mengambil motor itu, berniat akan membeli bakso bersama istri dan anak-anaknya. Tapi kejadian nahas malah menimpanya."Ini apa? kenapa?" tanya Eni lagi sambil meraup wajah suaminya, ia melihatnya dengan seksama, hitam di pangkal hidung Anton yang bengkak dan mulai semakin menghitam."Tuh, dilempar Mbak Susan. Aku mau ke rumah sakit, ayo! Ni. Kamu yang bawa motor," ucap Anton. "Eh, eh, eh. Tunggu sebentar, ya…Allah. kamu itu, gimana sih! Ton. Aku mau obatin malah mau maksa ke rumah sakit segala. Jauh-jauh amat sih! aku pun perawat loh, aku bisa ngobatin kamu," ucap Susan, padahal sesungguhnya, dia takut kalau Anton benar melaporkannya. "Aku nggak mau diobatin sama Mbak! Sini uangnya saja, buat berobat," pinta Anton dengan menengadahkan tangannya ke arah

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-03
  • Bakti Seorang Menantu    75. Azab suami mata keranjang.

    Azab suami mata kerangjang."Rasakan!" ucap Eni saat sendalnya mendarat cantik di hidung Anton yang bengkak. Anton meraung-raung memegangi wajahnya. "Azab suami mata keranjang," ucap Mala sambil berlalu masuk menggandeng suaminya."Heh! sembarangan kalau ngomong," ucap Anton tak terima."Bener kata Mala itu, selain mata keranjang, tukang peras pula," sahut Susan. "Peras apa? Cucian apa susu? Susu sapi atau susu kamu?" ucap Anton dengan gaya kemayu. Membuat Helen yang sejak tadi berdiri di halaman, bergidik ngeri. Batinnya bermonolog sendiri "Ganteng-ganteng ternyata gemulai.""Abang! Mau aku tambahin pake helm," ancam Eni yang sejak tadi jengah dengan kelakuan suaminya. Hati istri mana yang tidak panas, melihat suaminya ganjen ke wanita lain. Sudah ribuan kali Eni menghajar Anton gara-gara cemburu buta, namun tak sekali pun Anton jera meski harus babak belur dipukuli Eni. "Akh, iya Sayang, aku dataaaang," ucap Anton. Pikirnya, apa jadinya kalau helm di tangan istrinya melayang juga

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-04

Bab terbaru

  • Bakti Seorang Menantu    223. Suka sama, Abang, nggak?

    Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"

  • Bakti Seorang Menantu    Bab 222. Maaf

    Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany

  • Bakti Seorang Menantu    221. Kesasar Bagian 2.

    Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad

  • Bakti Seorang Menantu    220. Kesasar.

    Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar

  • Bakti Seorang Menantu    219. Kesasar atau hilang bagian B

    Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan

  • Bakti Seorang Menantu    218. Kesasar atau hilang bagian A.

    art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi

  • Bakti Seorang Menantu    217. Pedekate bagian B.

    "Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok

  • Bakti Seorang Menantu    216. pede kate bagian A.

    "Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto

  • Bakti Seorang Menantu    215. Aisyah mau pulang.

    Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda

DMCA.com Protection Status