Hari itu Mita kembali datang ke rumah sakit untuk memeriksakan kehamilannya. Sudah bulan kedua sekarang dan Mita sangat antusias mengetahui kabar si calon bayi di perutnya. Perempuan itu datang sendiri. Jangan tanyakan kemana suami yang seharusnya menemani dirinya menemui dokter kandungan. Sebab sosok lelaki tersebut memang tak pernah mengakui akan keberadaan janin di dalam kandungannya tersebut. "Bagus sekali. Kehamilan sudah memasuki minggu ke sembilan. Sejauh ini tidak ada apapun yang perlu dikhawatirkan." Dokter menjelaskan sembari melihat layar monitor di depannya dengan sebuah alat di perut Mita. Setelah selesai menjelaskan kondisi janin yang ada di dalam perut Mita, dokter meminta asisten membantu perempuan itu merapikan penampilannya kembali. "Silakan!" Dokter mempersilakan Mita untuk duduk. "Terima kasih, Dok!"Mita memperhatikan gerakan tangan dokter yang menari di atas selembar kertas catatannya. "Apakah ada keluhan yang Bu Mita rasakan di kehamilan pertama ini, setel
Tak disangka sama sekali, kedatangan Mita ke salah satu mall besar di pusat kota, dirinya malah bertemu dengan Selena dan Danu yang sedang makan siang. Mita yang saat itu sudah selesai mendapatkan apa yang dicari, berniat untuk mengisi perutnya yang kosong di salah satu restoran yang ada di lantai dua mall. Lucunya, setelah ia selesai memesan makanan, dirinya baru menyadari keberadaan sang suami dan madunya tengah duduk di sudut restoran. 'Kenapa dunia ini sempit sekali. Bagaimana bisa mereka juga datang ke restoran yang sama dengan yang aku datangi?' batin Mita bertanya. Ingin sekali perempuan itu pergi, tetapi karena makanan yang sudah ia pesan, membuatnya urung pergi. Namun, seketika ia memiliki ide brilian. Bergegas ia menghampiri meja kasir. Di sana ia meminta pelayan yang tadi mencatat pesanannya untuk mengganti pesanan dine in menjadi take a way. "Dibungkus saja, yah, Mbak."Permintaan Mita diangguki oleh seorang pelayan perempuan yang tadi melayaninya. "Ditunggu sebentar
Danu segera melarikan Mita ke rumah sakit terdekat. Sempat meminta Selena untuk membantu, tetapi malah tak diindahkan, lelaki itu akhirnya pergi sendirian sembari membawa istri pertamanya itu. Di sepanjang jalan Mita terus mengerang seolah menahan sakit di perutnya. Beberapa kali Danu harus memastikan istrinya itu dalam keadaan sadar. Sambil menyetir, fokusnya mungkin terganggu. Tapi, ia harus meyakinkan dirinya jika apa yang terjadi pada Mita saat ini tidak berakibat fatal. Sesampainya Danu di rumah sakit, ia segera meminta perawat jaga untuk menolongnya membawa Mita ke ruang IGD. Bekas darah tampak di jok mobil ketika Mita kemudian diangkat ke atas bangkar."Mas," rintih Mita sesaat akan dibawa ke bilik IGD. Situasinya yang tampak darurat, mengharuskan ia segera ditangani.Danu terlihat kebingungan. Ia yang memilih menunggu di depan teras rumah sakit, bergegas menghubungi kedua orang tuanya. Entah apa yang ia pikirkan. Berada di rumah sakit sendirian dengan kondisi Mita yang ber
"Tapi, Mit?" Tercekat Danu menyahut permintaan istrinya itu. "Itu yang Mas dan Selena harapkan bukan? Sekarang Mas bisa melakukan hal itu. Sudah tak ada lagi yang aku pertahankan setelah kehilangan calon bayi kita. Jadi, gugatan cerai bisa kamu layangkan secepatnya. Aku tak akan menghalangi.""Mit, Mita. Kamu masih dalam keadaan syok setelah keguguran yang kamu alami. Kita bisa membicarakan hal ini setelah kamu pulih."Entah apa yang ada di pikiran Danu sekarang. Sejak kemarin ia terus berkata akan menceraikan Mita dengan alasan sudah tak ada cinta. Bahkan ia akan berusaha menarik hati kedua orang tuanya supaya bisa menerima Selena dan menyayangi wanita yang sejatinya sangat ia cintai. Tapi sekarang, setelah melihat dan turut merasakan kesedihan yang istri pertamanya itu alami, Danu mendadak berubah tujuan. Tak ada semangat seperti kemarin di mana ia begitu ingin berpisah dari istri pertamanya itu. Bahkan, beberapa saat lalu ketika pikirannya masih berkeinginan mengusir Mita dari rum
"Dan kamu masih mau bertahan?" tanya Ranti tampak emosi. Saat ini Mita sudah dipindah ke ruang perawatan. Ranti datang bersama suaminya, tepat setelah Mita berada di ruangan tersebut. Sudah bisa ditebak, Mita pasti menceritakan semuanya mengenai kejadian sore tadi. Termasuk pertengkaran yang terjadi antara ia dan Selena yang sebetulnya sudah ia hindari. "Aku tidak berkata seperti itu. Aku justru mempersilakan Mas Danu untuk menceraikan aku sekarang," ucap Mita yang saat itu hanya tinggal berdua bersama Ranti. Suami sahabatnya pamit ke kantin untuk mencari kopi, sedangkan Danu pamit pulang untuk mengambil barang-barang pribadi miliknya yang pasti akan ia perlukan selama menginap di rumah sakit. "Lalu, apa katanya?" sahut Ranti yang terlihat cukup puas atas keputusan sahabatnya itu. "Dia enggan membahas masalah itu. Tidak tahu kenapa tiba-tiba ia fokus supaya aku pulih dulu.""Alasan. Itu hanya caranya saja untuk menutupi keburukan istrinya.""Aku tidak tahu." Mita menjawab pasrah.
"Apakah kamu yakin?" tanya Ranti yang sudah meletakkan kursi roda di sisi ranjang Mita. "Tentu saja. Kamu pikir aku sudah gila atau apa?""Bukan begitu. Tapi, aku hanya merasa kalau kamu masih perlu beristirahat.""Hanya sebentar. Aku juga tidak mungkin berada di sana lama. Bukankah tadi Yola bilang kalau anak itu sedang tidur?" Mita bersikukuh ingin melihat kondisi Nina yang saat ini tengah terbaring sakit di salah satu kamar rumah sakit yang sama dengannya. Ranti yang merasa khawatir dengan kondisinya, ia anggap sebuah perhatian dari seorang sahabat yang sangat luar biasa. "Aku sungguh rindu dan ingin melihat anak itu, Ranti." Mita menatap Mita pilu. Alhasil, Ranti mengizinkan Mita untuk melihat Nina sembari membawa peralatan medis yang masih terpasang ke tubuh sahabatnya itu. "Tapi, aku harus izin dulu ke dokter jaga atau suster. Kamu tunggu di sini sampai aku benar-benar mendapatkan izin."Ranti pada akhirnya menyerah. Ia percaya bahwa Mita yang sebetulnya juga harus beristir
"Seharusnya kamu tidak memberi tahu padanya apa yang terjadi denganku," ucap Mita yang kini sudah berada di atas ranjang kamarnya. Ranti tampak tak peduli dengan kekesalan sahabatnya sebab kabar yang ia beri tahu pada Amar. Di samping sang suami, Ranti bersikap santai dan tidak terpengaruh dengan perkataan Mita barusan. "Ranti, aku bicara padamu." Mita terlihat kesal. "Aku tahu. Tapi, aku pikir itu bukan sesuatu yang perlu kita perdebatkan. Amar tidak dilarang untuk tahu apa yang terjadi padamu, seperti ia juga tidak melarang kamu tahu kondisi Nina bahkan tidak melarang kamu datang menjenguknya." Ranti membalas ucapan Mita yang langsung membuat sahabatnya itu terdiam. "Tapi, ini beda konsep dan situasi.""Tidak ada yang beda. Kamu hanya enggan membuat Mas Amar khawatir, atau sebetulnya kamu panik seandainya lelaki itu kembali mengejarmu setelah berita keguguran yang kamu alami." Ranti menatap Mita, merasa menang. Mita benar-benar terdiam sekarang. Ia tak bisa membalas perkataan R
Dua hari istirahat di rumah sakit Mita merasa tubuhnya sudah lebih baik. Ia kemudian berpikir untuk meminta Danu untuk bertanya pada dokter mengenai keinginannya untuk bisa pulang. "Apakah kamu yakin mau istirahat di rumah, Mita?" tanya ibu mertuanya yang begitu setia menemani Mita selama di rumah sakit. "Iya, Bu. Badanku sudah jauh lebih baik sekarang.""Tapi, bagaimana dengan luka paska keguguran, apakah kamu merasa baik-baik saja?""Hem, iya. Sudah tidak terasa apa-apa, Bu. Kalau sakit paling sewaktu-waktu aja, itu juga cuma sedikit. Masih bisa aku tahan."Sang mertua mengangguk. "Ya sudah, kamu tanyakan dokter dulu, Danu. Apakah Mita sudah diizinkan pulang dan istirahat di rumah."Perintah sang ibu, Danu lakukan dengan segera. Membuat Mita semakin merasa aneh dengan tingkah suaminya tersebut. Tak berapa lama, Danu kembali muncul. Lelaki itu terlihat cukup senang. Wajahnya tampak berseri seolah ia baru saja mendapat sebuah lotre. "Nanti dokter akan datang kemari untuk coba per
"Aku akan jadi sekretarisnya Mas Danu, Yah."Seketika mulut kedua orang tua Nisa tercengang. Mereka tampak tak percaya dengan lancarnya perjodohan yang direncanakan. "Kalau begitu Ayah setuju. Silakan kamu cari pengalaman menjadi seorang sekretaris. Itu posisi pekerjaan yang kamu mau untuk terakhir kalinya 'kan?""Cepet banget setujunya?" sindir Nisa tersenyum. "Ya ... selagi ada fasilitas yang bikin kalian berdua bersama, kenapa enggak. Iya 'kan, Bu?""Iya," jawab ibunya Nisa mengangguk. "Ibu juga setuju banget. Dengan begitu kamu jadi bisa ketemu setiap hari dan akhirnya tahu kebiasaan calon suami kamu itu."Dalam hati Nisa tertawa mendengar kalimat terakhir ibunya barusan. 'Calon suami apaan?' batin Nisa bicara. "Oke! Oke! Sekarang kita atur waktu buat bikin acara pertemuan keluarga." Rendy tampak begitu bersemangat. "Tunggu! Acara pertemuan keluarga siapa, Yah?" Nisa menatap ayahnya bingung. "Ya, keluarga kita dan keluarga Danu-lah. Siapa lagi memangnya?""Mau ngapain? Ini 'k
"Aku tidak peduli kamu mau percaya aku atau tidak. Tapi yang pasti, kamu itu bukan seleraku.""Ap-apa?" Nisa menatap Danu emosi. "Kamu bilang aku bukan seleramu? Lantas, perempuan seperti apa yang jadi seleramu? Apakah lebih cantik, lebih kaya, atau lebih pintar dari aku?"Danu tertawa mendengar pertanyaan Nisa. "Kenapa kamu marah? Selera seseorang enggak melulu tentang cantik, kaya, atau pintar bukan?""Y-Ya. Tapi, apa yang para lelaki lihat kalau bukan tiga poin yang aku sebutkan tadi?"Sekali lagi Danu tertawa sembari meminum kopinya yang tinggal setengah. "Aku sudah pernah mendapatkan perempuan dengan tiga poin yang kamu sebutkan tadi. Jadi, bukan itu yang membuatku berselera ketika ingin kembali menikahi seorang perempuan untuk aku jadikan istri."Nisa menaikkan sebelah alisnya tak mengerti. Bagaimana mungkin ada perempuan yang memiliki poin istimewa seperti yang ia sebutkan tadi selain dirinya. "Apa ayahmu sudah memberitahu padamu tentang kehidupanku sebelumnya?""Tentang kamu
Sepekan yang lalu saat Danu baru pulang dari kantor, ia sudah dibuat kesal oleh ayahnya. Hal itu karena ucapan lelaki yang ia sayangi itu mengenai perjodohan yang tetap harus dilaksanakan. "Ibumu sakit. Dokter bilang waktunya tidak lama lagi.""Jangan bercanda, Yah. Ini bukan waktunya main-main." Danu mulai emosi ketika sang ayah membawa-bawa penyakit ibunya. "Bu, apa betul dokter bilang begitu? Memang Ibu itu sakit apa, kok tiba-tiba jadi parah? Kalian ke luar negeri 'kan cuma cek rutin, bukan mau konsultasi penyakit serius." Danu menatap ibunya bertanya. Perasaannya mendadak tak enak. "Enggak, dokter enggak bilang gitu.""Nah, terus? Barusan ayah ngomong gitu!" seru Danu kesal menatap ayahnya. Namun, lelaki di depannya itu terlihat cuek dan santai. Membuat Danu kembali menatap ibunya. "Kenapa Ibu mau aja diajak kongkalikong sama ayah meminta aku buat nikah sama perempuan itu? Sampai bawa-bawa penyakit segala.""Enggak ada yang salah kok, Nu. Apa yang ayahmu katakan itu ada bena
Terdengar suara gedebuk orang jatuh dari ketinggian. Danu yang masih kebingungan menjawab pertanyaannya sang ayah, seketika membuka mata dan menyadari jika ia baru saja bermimpi. "Ah, sial! Ternyata cuma mimpi," gerutunya kesal. Danu kemudian kembali ke atas ranjang. Membaringkan tubuhnya kembali yang terasa sakit sebab terjatuh tadi. "Kenapa aku jadi bermimpi seperti itu? Jelas-jelas aku ingin melupakannya. Tapi, kenapa sosoknya malah muncul. Lalu, kenapa juga ayah enggan membatalkan perjodohan ini?" ucapnya semakin kesal. Danu melihat jam di atas nakas. Jam digital di sana menunjukkan angka dua dini hari. "Aku baru tidur satu jam dan sudah bermimpi? Ini benar-benar gila!" gerutu Danu lagi. Ia mencoba untuk kembali tertidur, tapi mengalami kesulitan. Kantuknya seketika hilang setelah insiden terjatuh tadi. Ia pun kemudian memutuskan untuk ke toilet untuk membuang hajat. Setelahnya ia mencuci muka, menatap wajahnya di depan cermin wastafel. 'Hei! Apa kamu masih belum puas membu
"Nisa Naura Setiawan. Dia adalah putri tinggal alias putri semata wayang dari Rendy Setiawan, seorang pengusaha, pebisnis yang lumayan disegani." Danu mendengarkan cerita Amar tentang sosok Nisa, gadis yang dijodohkan dengannya. "Nisa adalah gadis baik-baik. Aku kenal dengannya sejak kami kuliah di fakultas yang sama.""Mas Amar satu angkatan sama Nisa? Kok bisa?" Mita bertanya bingung. Ia berpikir jika usia keduanya jauh berbeda. "Oh, enggak. Nisa di bawahku. Aku kenal dia karena orang tua kami yang adalah rekan bisnis," jelas Amar. Baik Mita atau pun Danu sama-sama menyimak dengan serius. Entah apa yang terjadi, keduanya seperti menemukan sebuah kisah seru yang ingin mereka dengarkan sampai tuntas. "Kalian enggak dijodohkan?" tanya Mita iseng. "Enggak. Aku sudah punya pacar waktu Nisa masuk kuliah. Selain itu usia kami juga lumayan jauh." Amar mencoba membayangkan hal yang membuat kedua orang tua mereka tidak menjodohkannya dengan Nisa. "Lagian, orang tua kamu cuma rekan bisni
"Apa? Jadi, ibu sama ayah mau jodohin Mas Danu lagi?" Mita tampak terkejut saat mendengar cerita Danu mengenai perjodohannya dengan Nisa. "Ehm, menurut sahabat ayah begitu." Danu menjawab sambil mengangguk. "Tapi, sebelumnya ayah dan ibu enggak bilang. Aku baru tahu pas hubungi mereka tadi."Mita melempar pandangannya pada Amar. Amar hanya diam dengan senyum tipis. Ekspresinya menunjukkan rasa ingin tahu. Pertemuan malam itu antara Danu, Mita, dan Amar, membuat Danu bercerita tentang rencana perjodohan yang kedua orang tuanya lakukan. Ia yang saat ini sedang menenangkan hati, hanya bisa bercerita pada sosok yang sekiranya bisa dipercaya. "Eh, maafkan aku. Aku enggak bermaksud mengganggu kehidupan baru kalian dengan menceritakan kisahku. Aku cuma butuh tempat bercerita," ucap Danu sembari menyesap kopi panas yang ia pesan. "Setidaknya hal tersebut membuatku lega. Tak perlu ada saran atau pendapat." Danu menatap Mita, terlebih Amar dengan raut muka tak enak hati. "Enggak apa-apa kok
Danu berjalan pelan menuju meja, tempat di mana keluarga Setiawan alias Nisa berada. Makanan sudah terhidang, dan mau tak mau Danu harus melanjutkan makan malamnya dengan keluarga Setiawan. Ia tak mau membuat dua orang tua di depannya kecewa atau pun tak nyaman. "Maafkan saya, Pak Rendy. Maaf karena sudah membuat Anda dan keluarga menunggu," ucap Danu sembari duduk. Di dekatnya Nisa seolah enggan menatapnya. Ekspresinya masih sama, jutek dan kesal. "Tidak apa-apa, Nak Danu. Kami maklum. Kami juga minta maaf karena kecerobohan Nisa membuat kamu terkejut.""Kok aku, Yah?" Nisa menyela, tapi cubitan sang ibu seketika membuatnya bungkam. "Kalau saja Nisa tidak bicara tadi, mungkin suasananya tidak akan se-canggung ini. Kita masih bisa makan dengan santai dan akrab.""Oh, tidak, Pak Rendy. Dengan Nisa bicara tadi, bukankah saya jadi tahu mengenai rencana perjodohan kalian terhadap kami berdua. Saya jadi bisa bertanya pada ayah dan ibu mengenai kebenaran berita tersebut.""Ya, tapi mung
"Mau ngapain kamu di sini?" Nisa bertanya kaget saat melihat Danu berdiri di depannya. "Nisa! Tolong yang sopan sama tamu Ayah."Nisa menengok kepada ayahnya. "Ja-jadi, ini tamu ... eh, maksudnya anak sahabat Ayah yang mau dijodohin sama aku?"Ayah Nisa mengangguk yakin. Tapi, di depannya Danu tercengang. "Maaf, Pak Rendy. Ini maksudnya apa, ya? Siapa yang dijodohkan dan dengan siapa?" Danu merasakan kengerian sebab perkataan Nisa tadi. "Kamu dan Nisa, anak saya.""Kok bisa? Ma-maksud saya, siapa yang bilang begitu?""Loh, apakah orang tua kamu enggak bilang apa-apa tentang perjodohan ini?" Rendy menatap Danu bingung. Danu menggeleng. Ia terlihat lemas dan tak bertenaga. 'Jadi, apakah ini yang ayah dan ibu sembunyikan sejak kemarin?' batin Danu mengingat ucapan-ucapan kedua orang tuanya di telepon beberapa hari belakangan. "Danu, apa udah ada kabar dari Pak Rendy?""Danu, kamu jadi 'kan datang ke undangannya teman Ayah?""Danu! Awas loh kalau kamu sampai enggak datang. Jangan bik
Danu baru akan pulang dari kantor ketika ibunya menelepon. "Iya, Bu?" tanya Danu setelah menerima panggilan dari ibunya tersebut. "Sudah pulang, Nu?""Baru aja mau pulang. Kenapa?""Enggak kenapa-kenapa. Ibu cuma mau tanya, tadi siang apa Pak Rendy jadi datang?""Jadi, Bu. Kenapa memang?""Enggak, Ibu cuma mau mastiin aja.""Mastiin? Emang beliau siapa sih, Bu?""Loh, memangnya Pak Rendy enggak ngenalin dirinya ke kamu?"Danu sudah sampai parkiran. Ia masuk ke mobil, lalu menyalakan mesin mobil. "Ngenalin namanya sama hubungan beliau sama kalian. Itu aja.""Oh, gitu.""Memang kenapa sih, Bu?" tanya Danu penasaran. "Tapi, ngomong-ngomong kok tumben banget, ya, Ibu sama ayah bisa ketemuan sama teman lama. Di sana kalian enggak jadi pulang besok karena mau reunian sama teman juga. Sekarang, tiba-tiba aja muncul Pak Rendy yang katanya teman ayah.""Eh, memangnya enggak boleh?""Siapa yang bilang enggak boleh? Tapi, kok tumben-tumbenan banget. Bisa dua orang begini.""Enggak kenapa-kena