Danu segera melarikan Mita ke rumah sakit terdekat. Sempat meminta Selena untuk membantu, tetapi malah tak diindahkan, lelaki itu akhirnya pergi sendirian sembari membawa istri pertamanya itu. Di sepanjang jalan Mita terus mengerang seolah menahan sakit di perutnya. Beberapa kali Danu harus memastikan istrinya itu dalam keadaan sadar. Sambil menyetir, fokusnya mungkin terganggu. Tapi, ia harus meyakinkan dirinya jika apa yang terjadi pada Mita saat ini tidak berakibat fatal. Sesampainya Danu di rumah sakit, ia segera meminta perawat jaga untuk menolongnya membawa Mita ke ruang IGD. Bekas darah tampak di jok mobil ketika Mita kemudian diangkat ke atas bangkar."Mas," rintih Mita sesaat akan dibawa ke bilik IGD. Situasinya yang tampak darurat, mengharuskan ia segera ditangani.Danu terlihat kebingungan. Ia yang memilih menunggu di depan teras rumah sakit, bergegas menghubungi kedua orang tuanya. Entah apa yang ia pikirkan. Berada di rumah sakit sendirian dengan kondisi Mita yang ber
"Tapi, Mit?" Tercekat Danu menyahut permintaan istrinya itu. "Itu yang Mas dan Selena harapkan bukan? Sekarang Mas bisa melakukan hal itu. Sudah tak ada lagi yang aku pertahankan setelah kehilangan calon bayi kita. Jadi, gugatan cerai bisa kamu layangkan secepatnya. Aku tak akan menghalangi.""Mit, Mita. Kamu masih dalam keadaan syok setelah keguguran yang kamu alami. Kita bisa membicarakan hal ini setelah kamu pulih."Entah apa yang ada di pikiran Danu sekarang. Sejak kemarin ia terus berkata akan menceraikan Mita dengan alasan sudah tak ada cinta. Bahkan ia akan berusaha menarik hati kedua orang tuanya supaya bisa menerima Selena dan menyayangi wanita yang sejatinya sangat ia cintai. Tapi sekarang, setelah melihat dan turut merasakan kesedihan yang istri pertamanya itu alami, Danu mendadak berubah tujuan. Tak ada semangat seperti kemarin di mana ia begitu ingin berpisah dari istri pertamanya itu. Bahkan, beberapa saat lalu ketika pikirannya masih berkeinginan mengusir Mita dari rum
"Dan kamu masih mau bertahan?" tanya Ranti tampak emosi. Saat ini Mita sudah dipindah ke ruang perawatan. Ranti datang bersama suaminya, tepat setelah Mita berada di ruangan tersebut. Sudah bisa ditebak, Mita pasti menceritakan semuanya mengenai kejadian sore tadi. Termasuk pertengkaran yang terjadi antara ia dan Selena yang sebetulnya sudah ia hindari. "Aku tidak berkata seperti itu. Aku justru mempersilakan Mas Danu untuk menceraikan aku sekarang," ucap Mita yang saat itu hanya tinggal berdua bersama Ranti. Suami sahabatnya pamit ke kantin untuk mencari kopi, sedangkan Danu pamit pulang untuk mengambil barang-barang pribadi miliknya yang pasti akan ia perlukan selama menginap di rumah sakit. "Lalu, apa katanya?" sahut Ranti yang terlihat cukup puas atas keputusan sahabatnya itu. "Dia enggan membahas masalah itu. Tidak tahu kenapa tiba-tiba ia fokus supaya aku pulih dulu.""Alasan. Itu hanya caranya saja untuk menutupi keburukan istrinya.""Aku tidak tahu." Mita menjawab pasrah.
"Apakah kamu yakin?" tanya Ranti yang sudah meletakkan kursi roda di sisi ranjang Mita. "Tentu saja. Kamu pikir aku sudah gila atau apa?""Bukan begitu. Tapi, aku hanya merasa kalau kamu masih perlu beristirahat.""Hanya sebentar. Aku juga tidak mungkin berada di sana lama. Bukankah tadi Yola bilang kalau anak itu sedang tidur?" Mita bersikukuh ingin melihat kondisi Nina yang saat ini tengah terbaring sakit di salah satu kamar rumah sakit yang sama dengannya. Ranti yang merasa khawatir dengan kondisinya, ia anggap sebuah perhatian dari seorang sahabat yang sangat luar biasa. "Aku sungguh rindu dan ingin melihat anak itu, Ranti." Mita menatap Mita pilu. Alhasil, Ranti mengizinkan Mita untuk melihat Nina sembari membawa peralatan medis yang masih terpasang ke tubuh sahabatnya itu. "Tapi, aku harus izin dulu ke dokter jaga atau suster. Kamu tunggu di sini sampai aku benar-benar mendapatkan izin."Ranti pada akhirnya menyerah. Ia percaya bahwa Mita yang sebetulnya juga harus beristir
"Seharusnya kamu tidak memberi tahu padanya apa yang terjadi denganku," ucap Mita yang kini sudah berada di atas ranjang kamarnya. Ranti tampak tak peduli dengan kekesalan sahabatnya sebab kabar yang ia beri tahu pada Amar. Di samping sang suami, Ranti bersikap santai dan tidak terpengaruh dengan perkataan Mita barusan. "Ranti, aku bicara padamu." Mita terlihat kesal. "Aku tahu. Tapi, aku pikir itu bukan sesuatu yang perlu kita perdebatkan. Amar tidak dilarang untuk tahu apa yang terjadi padamu, seperti ia juga tidak melarang kamu tahu kondisi Nina bahkan tidak melarang kamu datang menjenguknya." Ranti membalas ucapan Mita yang langsung membuat sahabatnya itu terdiam. "Tapi, ini beda konsep dan situasi.""Tidak ada yang beda. Kamu hanya enggan membuat Mas Amar khawatir, atau sebetulnya kamu panik seandainya lelaki itu kembali mengejarmu setelah berita keguguran yang kamu alami." Ranti menatap Mita, merasa menang. Mita benar-benar terdiam sekarang. Ia tak bisa membalas perkataan R
Dua hari istirahat di rumah sakit Mita merasa tubuhnya sudah lebih baik. Ia kemudian berpikir untuk meminta Danu untuk bertanya pada dokter mengenai keinginannya untuk bisa pulang. "Apakah kamu yakin mau istirahat di rumah, Mita?" tanya ibu mertuanya yang begitu setia menemani Mita selama di rumah sakit. "Iya, Bu. Badanku sudah jauh lebih baik sekarang.""Tapi, bagaimana dengan luka paska keguguran, apakah kamu merasa baik-baik saja?""Hem, iya. Sudah tidak terasa apa-apa, Bu. Kalau sakit paling sewaktu-waktu aja, itu juga cuma sedikit. Masih bisa aku tahan."Sang mertua mengangguk. "Ya sudah, kamu tanyakan dokter dulu, Danu. Apakah Mita sudah diizinkan pulang dan istirahat di rumah."Perintah sang ibu, Danu lakukan dengan segera. Membuat Mita semakin merasa aneh dengan tingkah suaminya tersebut. Tak berapa lama, Danu kembali muncul. Lelaki itu terlihat cukup senang. Wajahnya tampak berseri seolah ia baru saja mendapat sebuah lotre. "Nanti dokter akan datang kemari untuk coba per
"Kamu ini bicara apa, Mita? Sejak tadi pertanyaan kamu ini terdengar aneh."Ibu mertua Mita tampak curiga. Kekhawatiran akan rasa kehilangan Mita terhadap buah hati yang dikandungnya, membuat wanita itu menjadi iba karenanya. "Mita, cerita sama Ibu kalau kamu merasa sedang tidak baik-baik saja."Meski mendapat perhatian luar biasa dari sang mertua, nyatanya Mita merasa jika hatinya tak lagi bisa bertahan lebih jauh. "Bu, aku mau istirahat. Boleh 'kan?"Tak menanggapi kekhawatiran ibu mertuanya, Mita memilih mengabaikan dan berpikir jika saat ini lebih baik dirinya menata hati dan pikiran sebelum ia membuat kejutan di hadapan banyak orang. "Tentu saja. Kamu memang seharusnya banyak beristirahat," ucap ibunya Danu seolah lupa dengan apa yang sebelumnya ia khawatirkan. "Ayo! Ibu antar.""Eh, enggak usah, Bu. Aku bisa sendiri." Mita menolak halus. Ia jelas tidak ingin ibu mertuanya tahu kebohongan yang selama ini ia dan Danu sembunyikan. Namun, wanita paruh baya itu tetap bergeming.
Di sepanjang makan malam, ibu dan bapak Mita menatap Danu dengan tatapan tak bersahabat. Kedua orang tua Mita seperti baru saja melihat seorang pencuri yang masuk ke rumah. Ingin menghajar dan menghakimi. Entah apa yang mereka tengah lakukan kepada sang menantu, yang pasti sudah membuat Danu bersikap canggung hingga tak berselera ketika makan masakan sang ibu. "Mita, makan yang banyak." Di tengah makan ibu Danu berbicara pada menantunya. Mita terlihat tersenyum dan hanya mengangguk lemah. "Perut aku kecil, Bu. Enggak akan muat banyak makanannya," kekeh Mita. "Ya, tapi setidaknya enggak sedikit gitu. Ini 'kan lauk kesukaan kamu." Sembari berkata, sang ibu mertua mengambil sepotong lauk ayam yang dibumbu kecap. "Udah, Ibu. Nanti malah enggak kemakan. Sayang, mubazir."Mita terlihat enggan. Bukan tak suka, tapi kondisinya masih belum berselera untuk makan. "Ada Danu, biar dia yang habiskan kalau enggak kemakan." Mendengar sang ibu bicara demikian, Danu hanya nyengir kuda. Tak bera
Proses ijab kabul berjalan dengan lancar. Meski sudah dua kali menikah, Danu tetap merasa gugup ketika acara hendak dimulai. Tapi, sang penghulu membuat suasana hatinya jauh lebih baik sebab kepandaiannya mencairkan suasana. Nisa dihadirkan setelah Danu mengucap ijab kabul. Gadis itu muncul bersama Mita mengenakan kebaya berwarna pink yang cantik, secantik wajahnya. Beberapa orang yang belum mengenal Nisa, tampak terpesona dengan kecantikan gadis itu yang tampak alami. Ya, Nisa meminta pada penata riaknya untuk tidak mendadaninya dengan riasan yang tebal. "Natural saja, tapi bagus."Alhasil, beginilah penampakan Nisa sekarang. Mampu membuat semua orang terpana dengan kecantikannya yang khas dan alami. "Orang kaya yang enggak banyak tingkah. Danu beruntung." Amar berkata pelan kepada istrinya. Mita tersenyum mendengar ucapan Amar. Ia setuju dengan pujian suaminya itu. "Aku pikir keduanya beruntung," balas Mita memilih tak memihak. "Setuju.""Kamu tidak cemburu atau iri 'kan, Mas
Sebelum saya melanjutkan bab terakhir kisah Danu dan Nisa, izinkan saya mempromosikan cerita terbaru yang berjudul PENGANTIN YANG TAK DIINGINKAN. Saya berharap kalian suka dan membaca cerita tersebut yang akan saya update di bulan Februari besok. Cerita ini masih ber-genre romantis. Mengisahkan dua insan manusia yaitu Shania dan Alex yang menikah bukan atas dasar cinta.Bagaimana kisah keduanya? Tentu kalian harus membacanya dari awal sampai akhir supaya tidak penasaran. Untuk itu, saya beri kalian spoiler di bab awal, ya. Untuk bab selanjutnya kalian bisa buka cerita PENGANTIN YANG TAK DIINGINKAN di baris paling bawah. Selamat membaca. Happy reading! BAB 1.Malam itu Shania berdiri di depan cermin, memandang wajahnya yang lesu. Ia merasa terjebak dalam kehidupan yang tidak diinginkannya. Pernikahan dengan Alex, putra keluarga kaya, terasa seperti sebuah kesepakatan bisnis, bukan persatuan cinta.Shania masih ingat jika teman kuliahnya itu adalah kekasih Maura, primadona kampus yang
Namun, ide dan saran Danu justru diterima dengan sangat baik oleh Rendy dan istrinya. Kedua orang tua Nisa dengan serta merta setuju dan langsung mem-booking aula hotel miliknya di tanggal yang Danu minta. "Kalian ini kenapa sih? Kok bisa-bisanya kompak untuk urusan beginian," ucap Nisa saat Danu menyampaikan keinginannya tersebut. Nisa mungkin hanya protes di mulut, karena pada kenyataannya, ia pun merasa bahagia karena akan segera melepas masa lajangnya. Ia dan Danu akan menikah dengan acara yang ayahnya buat begitu mewah. "Kamu anak Ayah dan ibu satu-satunya. Tidak mungkin kalau kami membuat pesta sederhana dengan keluarga dan kolega kita yang begitu banyak.""Lagipula, Ayah ingin semua orang tahu bahwa putri Ayah yang cantik ini sudah ada pemiliknya. Seorang laki-laki pemberani yang bisa menaklukan hati putri Ayah yang sangat terjaga ini. Danu bukan seorang lelaki pengecut yang tidak mampu menghadapi aral dan masalah."Ucapan sang ayah membuat Nisa terdiam. 'Apakah ayah sudah t
"Jadi, Mas Danu yakin kalau dia tidak akan mengganggu kita lagi?" tanya Nisa setelah mendengar penuturan Danu tentang pertemuannya dengan Selena. "Semoga saja begitu. Aku tidak mau berkata yakin sebab wanita itu bisa saja melakukan hal di luar nalarnya. Tapi, aku cukup memberinya penjelasan tentang sesuatu.""Penjelasan apa?""Bukan penjelasan. Tapi, lebih ke ancaman mungkin." Danu terkekeh. "Mas Danu ngancam apa?""Aku cuma bilang, jangan macam-macam dengan hubunganku sekarang. Karena calon mertuaku bukanlah keluarga sembarangan. Mereka bisa melakukan apa saja jika ada yang berani mengusik anaknya.""Kamu bilang begitu?" Nisa menatap tak percaya. "Ya." Danu terkekeh. Dipandangnya Nisa yang malah menggeleng karena ceritanya. "Kamu ini ada-ada saja.""Memanfaatkan kekayaan keluargamu aku pikir akan berhasil. Setidaknya, ia langsung bungkam ketika aku bicara begitu.""Haha. Kamu percaya diri sekali.""Aku kenal Selena. Dia memang bukan perempuan lemah lembut seperti Mita. Tapi, aku
Danu sudah parkir di depan gerbang rumah Nisa setelah pertemuannya dengan Selena berakhir dengan keributan. Perempuan itu jelas tidak terima dengan keputusan yang diambilnya. "Dia bukan anakku. Seharusnya kamu meminta pertanggung jawaban lelaki itu, dan bukan malah mengganggu bahkan menemui aku seperti ini.""Dia pergi meninggalkan aku, Danu.""Apa bedanya dengan kamu yang pergi meninggalkan aku dengan dalih balas dendam. Padahal saat itu aku tidak tahu menahu tentang hubungan gelapmu dengan lelaki itu. Bahkan, aku juga menyangka bahwa anak yang ada di dalam kandunganmu adalah anakku.""Aku minta maaf, Danu.""Aku sudah memaafkan kamu, Selena. Tapi, aku tidak bisa kembali denganmu. Apalagi setelah semua yang kamu lakukan.""Kamu yang lebih dulu menyakiti aku!" teriak Selena di tengah taman yang sepi. Tak banyak orang yang ada di sana, kecuali ia dan Danu juga beberapa pasangan muda mudi lain yang menempati titik berbeda. "Ya, kalau begitu kita impas bukan?""Benar. Kita impas. Jadi,
Nisa sudah akan beranjak meninggalkan Danu dan Noah, tapi tiba-tiba Danu bersuara. "Aku pikir bukan kamu yang seharusnya pergi. Tapi, aku."Nisa menoleh. "Bukannya tadi kamu mau bertanya sama dia? Kenapa jadi berubah pikiran?" tanya Nisa ketus. "Awalnya, iya. Tapi, buat apa aku bicara pada laki-laki pecundang yang bahkan kisah masa lalunya sudah tidak memiliki harapan lagi," ucap Danu yang kemudian berbalik untuk menuju ke mobilnya. Nisa tidak menghentikan langkah lelaki itu. Ia memilih diam sampai mobil milik Danu berlalu meninggalkannya dan Noah. Sekarang hanya tinggal ia dan Noah. Laki-laki itu tampak senang karena bisa berbicara berdua saja dengan sang mantan kekasih. "Apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Nisa masih tidak bergeming di posisinya. Di tempat lain Danu yang sudah meninggalkan area gedung, melajukan kendaraannya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Meninggalkan Nisa yang saat ini tengah berbicara dengan Noah, membuat dadanya sesak menahan kesal. Saat dirinya masih
Danu mungkin tengah bahagia sekarang. Sebab hubungannya dengan Nisa yang akan melangkah lebih maju dari sebelumnya. Kekhawatiran yang Nisa tunjukkan, dengan sangat mudah ia tenangkan. Mereka akan membawa hubungan yang belum matang itu agar tetap terjaga hingga perasaan cinta benar-benar hadir di hati mereka. Namun, satu yang Danu lupa jika saat ini ada sosok lain yang tengah menunggu responnya. Sosok itu yang sudah Danu buang jauh dari hatinya, kini muncul kembali seolah meminta perhatiannya."Aku mau bicara sama kamu," ucap Danu pada Nisa yang siang itu baru saja selesai istirahat. "Sekarang?" tanya Nisa yang masih berbicara santai dengan karyawan lainnya di kantin. "Kalau kamu sudah selesai istirahat saja," jawab Danu yang memilih melakukan komunikasi dengan calon istrinya itu melalui aplikasi pesan. Danu masih menjaga hubungannya dengan Nisa dari orang-orang di kantor. Bukan karena tidak mau orang lain tahu, tapi ia memilih menyimpan rahasia itu sampai di waktu yang tepat. "Ka
Danu terdiam beberapa saat setelah Nisa menjawab pertanyaannya. "Aku pikir itu cuma alasan saja," gumamnya. "Awalnya aku pikir juga begitu, tapi ketika aku kembali bertemu Tia, dengan penuh keyakinan perempuan itu mengatakan bahwa Noah merasa tak percaya diri karena statusnya yang cuma staf biasa bisa berpacaran dengan aku yang adalah anak dari bosnya." Helaan napas terdengar kencang setelah Nisa menjelaskan. "Dan kamu percaya?" Danu kembali bertanya. Nisa mengangguk. "Aku percaya kalau Tia tidak berbohong. Terlebih lagi sikap Noah yang selama ini tidak berani menyentuhku, aku pikir alasannya berubah dan akhirnya berselingkuh adalah karena itu.""Lantas, apakah maksudmu dengan menceritakan ini semua adalah karena kamu sudah memaafkan dan mau kembali padanya?""Tidak. Aku enggak bilang begitu!" Nisa sontak menggeleng. "Kenapa kamu berpikir ke arah sana, Mas?""Bukan. Aku cuma menyimpulkan apa yang kamu katakan di akhir tadi. Dengan ia tidak pernah menyentuhmu, lain denganku yang su
Acara makan malam berlangsung penuh kehangatan. Kedua keluarga seperti sudah sangat akrab hingga membuat acara malam itu berlalu dengan penuh tawa dan kegembiraan. Baik Danu dan Nisa sama-sama bisa melupakan debaran di hati mereka karena kedua orang tua mereka yang berbicara tanpa henti, membicarakan apa saja yang bisa membuat semuanya tertawa. Kedua sejoli itu tentu saja bersyukur karena kegugupan yang tiba-tiba melanda, seketika sirna. Satu hal yang membuat keduanya sadar, bahwa tidak ada pembahasan apapun yang berhubungan dengan acara pertunangan mereka. Danu mengirim pesan ke ponsel Nisa secara sembunyi-sembunyi —khawatir aksinya akan membuat heboh jika ketahuan. 'Sepertinya makan malam hari ini memang murni hanya makan saja.'Bunyi pesan Danu pada Nisa yang langsung gadis itu sadari. Sebelum membalas, Nisa memandang Danu dan tersenyum. 'Iya. Sepertinya begitu.' Nisa mengirim balasannya singkat. Danu kembali memeriksa ponselnya, lalu mengetik balasan pesan dari Nisa. 'Maa