"Tapi, Mit?" Tercekat Danu menyahut permintaan istrinya itu. "Itu yang Mas dan Selena harapkan bukan? Sekarang Mas bisa melakukan hal itu. Sudah tak ada lagi yang aku pertahankan setelah kehilangan calon bayi kita. Jadi, gugatan cerai bisa kamu layangkan secepatnya. Aku tak akan menghalangi.""Mit, Mita. Kamu masih dalam keadaan syok setelah keguguran yang kamu alami. Kita bisa membicarakan hal ini setelah kamu pulih."Entah apa yang ada di pikiran Danu sekarang. Sejak kemarin ia terus berkata akan menceraikan Mita dengan alasan sudah tak ada cinta. Bahkan ia akan berusaha menarik hati kedua orang tuanya supaya bisa menerima Selena dan menyayangi wanita yang sejatinya sangat ia cintai. Tapi sekarang, setelah melihat dan turut merasakan kesedihan yang istri pertamanya itu alami, Danu mendadak berubah tujuan. Tak ada semangat seperti kemarin di mana ia begitu ingin berpisah dari istri pertamanya itu. Bahkan, beberapa saat lalu ketika pikirannya masih berkeinginan mengusir Mita dari rum
"Dan kamu masih mau bertahan?" tanya Ranti tampak emosi. Saat ini Mita sudah dipindah ke ruang perawatan. Ranti datang bersama suaminya, tepat setelah Mita berada di ruangan tersebut. Sudah bisa ditebak, Mita pasti menceritakan semuanya mengenai kejadian sore tadi. Termasuk pertengkaran yang terjadi antara ia dan Selena yang sebetulnya sudah ia hindari. "Aku tidak berkata seperti itu. Aku justru mempersilakan Mas Danu untuk menceraikan aku sekarang," ucap Mita yang saat itu hanya tinggal berdua bersama Ranti. Suami sahabatnya pamit ke kantin untuk mencari kopi, sedangkan Danu pamit pulang untuk mengambil barang-barang pribadi miliknya yang pasti akan ia perlukan selama menginap di rumah sakit. "Lalu, apa katanya?" sahut Ranti yang terlihat cukup puas atas keputusan sahabatnya itu. "Dia enggan membahas masalah itu. Tidak tahu kenapa tiba-tiba ia fokus supaya aku pulih dulu.""Alasan. Itu hanya caranya saja untuk menutupi keburukan istrinya.""Aku tidak tahu." Mita menjawab pasrah.
"Apakah kamu yakin?" tanya Ranti yang sudah meletakkan kursi roda di sisi ranjang Mita. "Tentu saja. Kamu pikir aku sudah gila atau apa?""Bukan begitu. Tapi, aku hanya merasa kalau kamu masih perlu beristirahat.""Hanya sebentar. Aku juga tidak mungkin berada di sana lama. Bukankah tadi Yola bilang kalau anak itu sedang tidur?" Mita bersikukuh ingin melihat kondisi Nina yang saat ini tengah terbaring sakit di salah satu kamar rumah sakit yang sama dengannya. Ranti yang merasa khawatir dengan kondisinya, ia anggap sebuah perhatian dari seorang sahabat yang sangat luar biasa. "Aku sungguh rindu dan ingin melihat anak itu, Ranti." Mita menatap Mita pilu. Alhasil, Ranti mengizinkan Mita untuk melihat Nina sembari membawa peralatan medis yang masih terpasang ke tubuh sahabatnya itu. "Tapi, aku harus izin dulu ke dokter jaga atau suster. Kamu tunggu di sini sampai aku benar-benar mendapatkan izin."Ranti pada akhirnya menyerah. Ia percaya bahwa Mita yang sebetulnya juga harus beristir
"Seharusnya kamu tidak memberi tahu padanya apa yang terjadi denganku," ucap Mita yang kini sudah berada di atas ranjang kamarnya. Ranti tampak tak peduli dengan kekesalan sahabatnya sebab kabar yang ia beri tahu pada Amar. Di samping sang suami, Ranti bersikap santai dan tidak terpengaruh dengan perkataan Mita barusan. "Ranti, aku bicara padamu." Mita terlihat kesal. "Aku tahu. Tapi, aku pikir itu bukan sesuatu yang perlu kita perdebatkan. Amar tidak dilarang untuk tahu apa yang terjadi padamu, seperti ia juga tidak melarang kamu tahu kondisi Nina bahkan tidak melarang kamu datang menjenguknya." Ranti membalas ucapan Mita yang langsung membuat sahabatnya itu terdiam. "Tapi, ini beda konsep dan situasi.""Tidak ada yang beda. Kamu hanya enggan membuat Mas Amar khawatir, atau sebetulnya kamu panik seandainya lelaki itu kembali mengejarmu setelah berita keguguran yang kamu alami." Ranti menatap Mita, merasa menang. Mita benar-benar terdiam sekarang. Ia tak bisa membalas perkataan R
Dua hari istirahat di rumah sakit Mita merasa tubuhnya sudah lebih baik. Ia kemudian berpikir untuk meminta Danu untuk bertanya pada dokter mengenai keinginannya untuk bisa pulang. "Apakah kamu yakin mau istirahat di rumah, Mita?" tanya ibu mertuanya yang begitu setia menemani Mita selama di rumah sakit. "Iya, Bu. Badanku sudah jauh lebih baik sekarang.""Tapi, bagaimana dengan luka paska keguguran, apakah kamu merasa baik-baik saja?""Hem, iya. Sudah tidak terasa apa-apa, Bu. Kalau sakit paling sewaktu-waktu aja, itu juga cuma sedikit. Masih bisa aku tahan."Sang mertua mengangguk. "Ya sudah, kamu tanyakan dokter dulu, Danu. Apakah Mita sudah diizinkan pulang dan istirahat di rumah."Perintah sang ibu, Danu lakukan dengan segera. Membuat Mita semakin merasa aneh dengan tingkah suaminya tersebut. Tak berapa lama, Danu kembali muncul. Lelaki itu terlihat cukup senang. Wajahnya tampak berseri seolah ia baru saja mendapat sebuah lotre. "Nanti dokter akan datang kemari untuk coba per
"Kamu ini bicara apa, Mita? Sejak tadi pertanyaan kamu ini terdengar aneh."Ibu mertua Mita tampak curiga. Kekhawatiran akan rasa kehilangan Mita terhadap buah hati yang dikandungnya, membuat wanita itu menjadi iba karenanya. "Mita, cerita sama Ibu kalau kamu merasa sedang tidak baik-baik saja."Meski mendapat perhatian luar biasa dari sang mertua, nyatanya Mita merasa jika hatinya tak lagi bisa bertahan lebih jauh. "Bu, aku mau istirahat. Boleh 'kan?"Tak menanggapi kekhawatiran ibu mertuanya, Mita memilih mengabaikan dan berpikir jika saat ini lebih baik dirinya menata hati dan pikiran sebelum ia membuat kejutan di hadapan banyak orang. "Tentu saja. Kamu memang seharusnya banyak beristirahat," ucap ibunya Danu seolah lupa dengan apa yang sebelumnya ia khawatirkan. "Ayo! Ibu antar.""Eh, enggak usah, Bu. Aku bisa sendiri." Mita menolak halus. Ia jelas tidak ingin ibu mertuanya tahu kebohongan yang selama ini ia dan Danu sembunyikan. Namun, wanita paruh baya itu tetap bergeming.
Di sepanjang makan malam, ibu dan bapak Mita menatap Danu dengan tatapan tak bersahabat. Kedua orang tua Mita seperti baru saja melihat seorang pencuri yang masuk ke rumah. Ingin menghajar dan menghakimi. Entah apa yang mereka tengah lakukan kepada sang menantu, yang pasti sudah membuat Danu bersikap canggung hingga tak berselera ketika makan masakan sang ibu. "Mita, makan yang banyak." Di tengah makan ibu Danu berbicara pada menantunya. Mita terlihat tersenyum dan hanya mengangguk lemah. "Perut aku kecil, Bu. Enggak akan muat banyak makanannya," kekeh Mita. "Ya, tapi setidaknya enggak sedikit gitu. Ini 'kan lauk kesukaan kamu." Sembari berkata, sang ibu mertua mengambil sepotong lauk ayam yang dibumbu kecap. "Udah, Ibu. Nanti malah enggak kemakan. Sayang, mubazir."Mita terlihat enggan. Bukan tak suka, tapi kondisinya masih belum berselera untuk makan. "Ada Danu, biar dia yang habiskan kalau enggak kemakan." Mendengar sang ibu bicara demikian, Danu hanya nyengir kuda. Tak bera
Danu tampak salah tingkah. Clue yang Mita berikan sudah langsung bisa ditebak oleh sang ibu. "A-aku tidak begitu. Maksud aku ... maksud aku apa yang Mita katakan tidak sepenuhnya benar." Danu gagap ketika berbicara. "Perkataan aku yang mana, Mas? Aku cuma bilang nama Selena. Tak ada kalimat apapun lagi selain ucapan Ibu yang langsung mengambil kesimpulan.""Ya, maksud aku itu. Selena.""Jadi, Selena salah begitu?""Bukan Selena salah, tapi ...." Danu benar-benar dibuat tak bisa bicara. Bukan hanya karena tatapan marah Mita saja yang ia lihat, tapi kedua mertuanya juga yang memang sejak awal mereka datang sudah menampilkan gelagat lain, membuat Danu kebingungan dalam memilih kata. "Mita, katakan saja ada apa?" Giliran ayah mertua Mita yang angkat bicara. Ia tampak geram dengan pembahasan yang membuatnya suasana hatinya mulai tak enak. Mita tersenyum menanggapi permintaan sang mertua. Terlebih ketika ia melihat kode yang Danu berikan kepadanya supaya ia tidak mengatakan apapun, ia
Danu mungkin tengah bahagia sekarang. Sebab hubungannya dengan Nisa yang akan melangkah lebih maju dari sebelumnya. Kekhawatiran yang Nisa tunjukkan, dengan sangat mudah ia tenangkan. Mereka akan membawa hubungan yang belum matang itu agar tetap terjaga hingga perasaan cinta benar-benar hadir di hati mereka. Namun, satu yang Danu lupa jika saat ini ada sosok lain yang tengah menunggu responnya. Sosok itu yang sudah Danu buang jauh dari hatinya, kini muncul kembali seolah meminta perhatiannya."Aku mau bicara sama kamu," ucap Danu pada Nisa yang siang itu baru saja selesai istirahat. "Sekarang?" tanya Nisa yang masih berbicara santai dengan karyawan lainnya di kantin. "Kalau kamu sudah selesai istirahat saja," jawab Danu yang memilih melakukan komunikasi dengan calon istrinya itu melalui aplikasi pesan. Danu masih menjaga hubungannya dengan Nisa dari orang-orang di kantor. Bukan karena tidak mau orang lain tahu, tapi ia memilih menyimpan rahasia itu sampai di waktu yang tepat. "Ka
Danu terdiam beberapa saat setelah Nisa menjawab pertanyaannya. "Aku pikir itu cuma alasan saja," gumamnya. "Awalnya aku pikir juga begitu, tapi ketika aku kembali bertemu Tia, dengan penuh keyakinan perempuan itu mengatakan bahwa Noah merasa tak percaya diri karena statusnya yang cuma staf biasa bisa berpacaran dengan aku yang adalah anak dari bosnya." Helaan napas terdengar kencang setelah Nisa menjelaskan. "Dan kamu percaya?" Danu kembali bertanya. Nisa mengangguk. "Aku percaya kalau Tia tidak berbohong. Terlebih lagi sikap Noah yang selama ini tidak berani menyentuhku, aku pikir alasannya berubah dan akhirnya berselingkuh adalah karena itu.""Lantas, apakah maksudmu dengan menceritakan ini semua adalah karena kamu sudah memaafkan dan mau kembali padanya?""Tidak. Aku enggak bilang begitu!" Nisa sontak menggeleng. "Kenapa kamu berpikir ke arah sana, Mas?""Bukan. Aku cuma menyimpulkan apa yang kamu katakan di akhir tadi. Dengan ia tidak pernah menyentuhmu, lain denganku yang su
Acara makan malam berlangsung penuh kehangatan. Kedua keluarga seperti sudah sangat akrab hingga membuat acara malam itu berlalu dengan penuh tawa dan kegembiraan. Baik Danu dan Nisa sama-sama bisa melupakan debaran di hati mereka karena kedua orang tua mereka yang berbicara tanpa henti, membicarakan apa saja yang bisa membuat semuanya tertawa. Kedua sejoli itu tentu saja bersyukur karena kegugupan yang tiba-tiba melanda, seketika sirna. Satu hal yang membuat keduanya sadar, bahwa tidak ada pembahasan apapun yang berhubungan dengan acara pertunangan mereka. Danu mengirim pesan ke ponsel Nisa secara sembunyi-sembunyi —khawatir aksinya akan membuat heboh jika ketahuan. 'Sepertinya makan malam hari ini memang murni hanya makan saja.'Bunyi pesan Danu pada Nisa yang langsung gadis itu sadari. Sebelum membalas, Nisa memandang Danu dan tersenyum. 'Iya. Sepertinya begitu.' Nisa mengirim balasannya singkat. Danu kembali memeriksa ponselnya, lalu mengetik balasan pesan dari Nisa. 'Maa
Nisa mematut wajahnya di depan cermin. Sudah lebih dari lima kali ia bolak balik di depan kaca besar yang memantulkan dirinya di sana. Beberapa kali juga ia berganti pakaian hanya demi terlihat sempurna saat makan malam nanti. Lebih tepatnya di depan keluarganya Danu. Danu benar kalau ibunya sudah dihubungi oleh orang tua Nisa mengenai undangan makan malam yang sepertinya memiliki arti. Sebab itulah Nisa melakukan persiapan yang sangat luar biasa agar penampilannya nanti tidak mengecewakan. Ah, mungkin bukan tidak mengecewakan bagi orang tua Danu atau Danu, tapi baginya sendiri yang tidak mau terlihat jelek di depan calon suaminya itu. Berbicara tentang calon suami, itu semua tak lepas karena perkataan Danu tadi siang saat keduanya berbicara di kantor. Danu yang tiba-tiba beranjak bangun setelah menanyakan satu hal sensitif, membuat Nisa sadar jika ada sesuatu pada diri Danu dahulu yang masih melekat padanya sekarang. Danu berdiri, lalu duduk di pegangan kursi setelah mendorong lem
Pekerjaan yang banyak tidak membuat Danu melupakan pesan-pesan yang Selena kirimkan semalam. Setelah hampir setengah tahun ia mengubur kisah masa lalunya, sosok itu kembali hadir di saat Danu sudah mulai membuka lembaran baru di dalam kehidupannya. Sepanjang malam Selena mencoba menghubungi, tapi tidak ada satu pun yang ia pedulikan sampai akhirnya Danu mematikan ponsel hingga ia bangun pagi. 'Dua puluh panggilan! Apa dia sengaja mau menerorku?' batin Danu yang kembali teringat dengan panggilan tak terjawab dari mantan istrinya itu. 'Aku salah, tapi kamu juga salah, Danu!''Seharusnya kamu tidak menceraikan aku.''Anak ini mungkin saja anakmu!''Apakah sekarang kamu sudah mulai berkelana dengan perempuan baru? Tidak akan aku biarkan!'Danu benar-benar kehilangan konsentrasinya karena ulah Selena tersebut. Tak mau sakit kepalanya berkelanjutan, Danu akhirnya memilih untuk memblokir nomor Selena tersebut. Ia ubah pengaturan supaya tidak ada panggilan dari nomor yang tidak dikenal. K
Danu sampai di rumahnya sebelum makan malam. Ibunya sudah stand by di dapur menemani pelayan yang sedang menyiapkan makanan. "Malam, Bu!" sapa Danu menyempatkan masuk ke dapur. "Eh, Nu. Malam. Baru pulang?" jawab sang ibu seraya mengulurkan tangan saat Danu menariknya. "Iya, Bu. Banyak banget kerjaan." Danu berkata seraya menghempaskan tubuhnya ke kursi di ruang makan. Danu melepas ikatan dasinya, lalu menggulung lengan kemejanya. "Ini apa, Bu?" tanya Danu saat matanya melihat bungkusan di atas meja. Sang ibu menoleh, lalu tersenyum. "Itu oleh-oleh dari Mita.""Oleh-oleh? Mereka memang udah pulang?" tanya Danu seraya membuka bungkusan tersebut, lalu mengambil sebungkus kecil kacang pistachio kesukaannya. "Udah kemarin. Tadi Ibu dan ayah mampir ke sana.""Ibu ke sana?" Danu menoleh sambil mengunyah kacang yang ia pegang. "Iya," kata ibunya Danu yang sudah menata makanan di meja makan. "Ayah yang ajakin. Bapaknya Mita kasih kabar pas ayah kirim pesan. Terus ayah langsung deh aj
Nisa tengah menunggu seseorang di sebuah kafe. Pulang dari bekerja, ia sengaja menghubungi seseorang untuk berkonsultasi tentang masalahnya sekarang. Seorang perempuan datang, lalu menyalami Nisa —bahkan mencium pipi kanan dan kiri. "Maaf, ya, Mba Mita. Baru pulang umroh langsung aku ajak ketemuan.""Enggak apa-apa, Nisa. Santai saja."Seseorang yang Nisa ajak ketemuan ternyata Mita, mantan istri Danu. "Tapi, Mba 'kan butuh istirahat," sahutnya tak enak hati. "Iya, sih. Ya sudah, kalau gitu aku pulang lagi, ya?" Mita tampak meledek Nisa. "Ya-ya udah. Kalau Mba Mita mau pulang, enggak apa-apa kok!"Mita menghela napas panjang. "Kamu ini gimana sih! Tadi ngajak ketemuan, tapi sekarang malah ngusir," ucapnya seraya duduk tanpa diminta. "Eh, itu. Habis enggak enak, Mba." Nisa ikut duduk berhadapan dengan Mita. "Udah, enggak usah dipikirin. Aku belain datang, karena berpikir kalau ada hal penting yang mau kamu tanyain." Mita tersenyum menatap Nisa. "Tapi, harus penting, ya? Jangan
Pekerjaan membuat Danu melupakan momen pertemuan Nisa dan Amar kemarin. Terlebih Nisa yang menjabat sebagai sekretaris-nya juga terlihat acuh dan bersikap biasa. Nisa mampu menguasai pekerjaannya dengan sangat baik dan cepat. Belum ada dua pekan pekerjaan yang ia kerjakan selalu berakhir sempurna. Hal itulah yang membuat Danu puas. Kekhawatiran akan sekretaris baru, seketika terlupakan dengan kinerja Nisa yang mumpuni. Siang saat seharusnya istirahat, Danu memilih untuk memesan makanan. Masih ada laporan yang belum ia selesaikan, membuatnya terpaksa makan di dalam ruangan. "Pesankan saja saya makanan dan minuman!"Nisa yang berdiri di depan Danu sekarang mengangguk paham. Kegiatan rutin yang ia lakukan di setiap jam istirahat, adalah menanyakan kebutuhan makan siang untuk Danu, manajernya. "Baik, Pak. Bapak mau pesan makanan dan minuman apa?"Danu berpikir sejenak. Beberapa detik ia berpikir, lalu menjawab."Sop buntut aja, sama nasi putihnya jangan lupa. Minumannya es jeruk saja.
Danu akhirnya kembali bertemu dengan orang tua yang pernah ia buat kecewa. Perasaan yang sejak tadi tak tenang karena khawatir akan membuat suasana tak nyaman, berubah seratus delapan puluh derajat kala orang tua itu tersenyum dan memeluknya. "Apa kabar, Nu?" tanya seorang wanita yang tak lain adalah ibunya Mita. Seketika Danu menangis dan memeluk wanita paruh baya itu lagi dengan perasaan yang tak bisa digambarkan. Terlebih saat lelaki tua di sebelahnya menepuk punggungnya lembut. "Aku belum sempat meminta maaf kepada Ibu dan Bapak secara langsung. Hukumlah aku, Bu, Pak, karena tidak punya nyali untuk menghampiri kalian dan meminta maaf atas kesalahanku kepada Mita.""Sudahlah. Yang lalu biarlah berlalu. Tuhan sudah memberikan teguran atas kesalahanmu itu. Sekarang Mita sudah hidup baik dengan Amar. Ibu dan Bapak do'akan semoga kamu juga segera bisa melewati dan melupakan semua masalah yang ada." Ibu Mita menatap Danu dan tersenyum, membuat mantan menantunya itu kembali memeluk pe