Share

Bab 6

"Daren." Aku memotongnya, lalu berujar, "Peluk aku."

Daren tertegun, seakan tidak memercayai apa yang didengarnya.

"Peluk aku," ulangku sekali lagi.

Pelukan hangat membalut tubuhku, makin lama menjadi makin erat.

Aku bisa merasakan tangan yang memelukku sedikit gemetar.

Tujuh tahun lalu, Daren dengan gembira menunggu di pesisir sambil memegang seikat mawar.

Dia menunggu dari fajar hingga senja, tapi tetap tidak bisa menemuiku.

Pada hari saat aku menolaknya, matanya tampak memerah.

Dia bertanya, "Benarkah? Apa kamu nggak menyukaiku sedikit pun?"

Aku menggelengkan kepala.

Tak peduli seberapa keras dia memohon, aku tetap tidak menoleh.

Waktu itu bebanku terlalu berat. Aku sama sekali tidak berani menatap matanya.

Namun, sekarang saat napas hangatnya menyapu telingaku, kabut itu seakan telah sirna.

Saat tengah malam, aku menarik Daren untuk duduk di atas karpet hotel, lalu minum sepuasnya.

Setelah beberapa putaran, Daren sudah minum terlalu banyak. Pipinya memerah, sementara pandangannya tampak kabur.

Aku bangkit berdiri, mencoba menyalakan musik dari televisi.

Saat aku duduk kembali, Daren diam-diam mendekat padaku.

Jarak kami hanya terpaut satu jari.

Tangan kami hampir bersentuhan, tapi itu cukup untuk membuat hatiku berdebar penuh kehangatan.

"Daren, besok aku harus pulang sebentar," kataku.

Tangannya yang memegang gelas membeku beberapa detik, lalu dia berbicara pelan.

"Velia, kamu yang sekarang sangat mirip dengan kamu yang menolakku dulu," balas Daren.

Musik memekakkan telinga, tapi seolah ada dinding yang memisahkan dunia kami berdua.

Aku mendengar setiap kata yang dia ucapkan.

Daren bersandar ke tempat tidur di belakangnya sambil menoleh padaku.

Suaranya terdengar sangat serak.

"Kamu mau meninggalkanku lagi, ya?" tanya Daren.

Saat itu, pertahanan yang aku bangun dengan susah payah runtuh seketika.

Dia adalah Daren, satu-satunya kehangatan dalam hidupku yang penuh kekecewaan.

Dia juga adalah satu-satunya harapan saat aku terjebak dalam jurang keputusasaan.

Selama bertahun-tahun ini, hanya dengan menyebut namanya, hatiku terasa sakit.

Aku hanya ingin pria ini bahagia.

Aku tidak ingin dia tercemar noda karena diriku.

Jadi, aku dengan keras kepala menjauhinya, mendorongnya.

Namun, sekarang tampaknya hidupnya sama sekali tidak berjalan dengan baik.

Jadi, apa gunanya semua perjuanganku selama ini?

Aku mendekatkan diri padanya, lalu memegang wajahnya dengan kedua tangan.

"Mulai sekarang, kita nggak akan pernah berpisah lagi," ujarku.

Saat aku terbangun, Daren masih tertidur dengan satu tangannya mencengkeram erat lengan bajuku.

Aku perlahan melepaskan cengkeraman tangannya, lalu turun dari tempat tidur dengan hati-hati.

Di ponselku, ada lebih dari lima puluh panggilan tak terjawab. Semuanya adalah panggilan dari Chris.

Ketika tiba di rumah, hari sudah hampir siang.

Begitu aku membuka pintu, aku melihat Chris sedang bersandar di sofa. Pakaian dan rambutnya terlihat acak-acakan.

Ponselnya tergeletak di sebelahnya.

Aku berjalan mendekat, lalu mengulurkan tangan untuk menepuk bahunya.

Namun, tiba-tiba dia mencengkeram tanganku.

Chris membuka matanya yang terlihat penuh dengan urat-urat merah.

"Akhirnya kamu pulang juga?"

"Bagaimana? Tadi malam menyenangkan, ya?"

Aku tersenyum simpul, tidak menanggapi sindiran dinginnya.

Aku mengeluarkan dokumen perceraian yang baru saja aku buat dengan bantuan pengacara, lalu meletakkannya di depan Chris.

"Ini surat perceraian, tolong tanda tangani," ucapku.

Chris bahkan tidak melihatnya. Dia langsung merobeknya hingga beberapa bagian.

Pria itu tampak terengah-engah, menatapku dengan tatapan yang ganas.

Detik berikutnya, jaket tipisku ditarik dengan paksa olehnya.

Aku berusaha melawan, tapi Chris mengambil dasi di samping untuk mengikat tanganku erat-erat.

"Ayo, buka semuanya. Biar aku lihat seberapa liar kalian tadi malam," kata Chris.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status