Share

Bab 3

"Lama nggak bertemu, Daren," balasku.

Selama masa SMA, aku dan Daren duduk sebangku selama tiga tahun penuh.

Aku masih ingat saat Daren memilih jurusan sastra.

Wali kelas memandang nilai-nilai sainsnya yang sangat tinggi dengan kebingungan.

Daren melirikku sejenak, lalu mengatakan bahwa dia ingin membuat film.

Aku hanya terdiam.

Pada saat itu, aku merasa minder, bahkan impian masa mudaku yang paling umum pun tak berani aku ungkapkan.

Kemudian, Daren membawa naskah cerita yang aku tulis untuk mengikuti lomba atas namaku.

Dia memperlihatkan sertifikat penghargaan itu di depanku sambil menunjukkan nama "Velia Wijaya" yang ada di atasnya.

Dia berkata, "Jangan takut, Velia. Lihatlah, kamu benar-benar hebat."

Saat itu, ketika sinar matahari sedang bersinar lembut, dia selalu suka tidur sambil menatap ke arahku.

Suatu hari, ketika aku sedang menulis kerangka cerita, dia bergumam dengan mata yang menyipit.

"Nanti kamu bisa menulis cerita, sementara aku yang akan membuat filmnya. Kita nggak akan pernah berpisah."

Waktu itu kami masih muda, benar-benar sangat menantikan masa depan.

Aku juga sempat berpikir bahwa itu akan menjadi masa depan kami berdua.

Hari ketika ujian masuk perguruan tinggi berakhir, hujan turun dengan sangat deras.

Ketika aku keluar dari ruang ujian, Daren sudah menungguku sambil memegang payung.

Ketika melihat para siswa yang dengan gembira berlarian di bawah hujan, aku mencoleknya.

"Daren, bagaimana kalau kita juga bersenang-senang sedikit?" tanyaku.

Dia mendekatkan diri ke arahku, sementara payung di tangannya hampir sepenuhnya melindungiku.

"Nggak bisa, sebentar lagi waktumu datang bulan, jadi kamu nggak boleh kedinginan," kata Daren.

Wajahku langsung memerah. Aku melihat siswa-siswi yang lalu-lalang dengan hati yang terasa masam.

"Daren, setelah kita lulus, kita nggak akan bisa bertemu setiap hari lagi," kataku.

Daren menatap kabut hujan di kejauhan, lalu tertawa pelan.

"Kita hanya lulus, bukannya putus," balas Daren.

Suara hujan yang begitu deras membuatku merasa ragu apakah aku mendengarnya dengan benar. Jadi aku ingin memastikan lagi.

"Apa yang kamu katakan?" tanyaku.

"Kalau kamu nggak dengar, ya sudah," jawab Daren.

Daren dengan angkuh mengangkat dagunya.

Hingga saat kami berpisah, dia tidak pernah mengatakannya lagi.

Chris menuangkan segelas anggur, menyerahkannya padaku, lalu memberi isyarat dengan bibirnya.

"Kalian adalah teman lama yang bertemu kembali, cepat beri dia penghormatan dengan meminum segelas anggur ini," ujar Chris.

Mendengar itu, ekspresi dingin dan anggun Daren berubah menjadi sedikit tidak ramah.

Daren mengulurkan tangan untuk menahan gelasku.

"Nggak perlu. Dia adalah seorang wanita, jangan biarkan dia minum," kata Daren.

Aku mengedipkan mata, menahan air mata yang panas, lalu mengangkat gelas anggur.

"Nggak apa-apa, sekarang aku sudah bisa minum," kataku.

Daren terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil sambil mengangkat gelas anggur yang diberikan pelayan. Suaranya terdengar rendah.

"Ya, sekarang kamu sudah dewasa," kata Daren.

Chris makin erat memegang pinggangku. Dia menundukkan kepalanya untuk menatapku.

Tatapannya lurus, penuh ejekan serta kebencian.

"Pak Daren."

Chris tersenyum sinis, lalu membungkuk untuk menciumku.

"Aku dan Velia masih punya urusan penting yang harus dilakukan. Kami pamit dulu," lanjut Chris.

Kata-kata Chris terdengar sangat ambigu.

Wajahku langsung berubah pucat.

Daren mengulurkan tangan, mencoba meraih lengan Chris.

Tangan belakangnya tampak kaku, sementara urat-uratnya menonjol.

Semua ini menunjukkan betapa marahnya Daren.

Namun, saat dia menoleh ke arahku, suaranya terdengar jauh lebih lembut.

"Velia, apakah kamu mau pergi bersamanya?" tanya Daren.

Chris tertawa seakan tidak peduli, memberikan pilihan kepadaku.

"Sayang, dia sedang bertanya padamu. Apa kamu mau pergi bersamaku?" ucap Chris.

Aku merasa seluruh tubuhku gemetaran. Jari-jariku mencengkeram kuat hingga menusuk ke dalam daging.

Sampai Daren kembali berbicara, barulah aku tersadar.

Aku hampir tidak berani menatapnya, suaraku pun sangat pelan.

"Daren, kami akan pergi dulu."

Begitu kata-kataku terucap, aku segera pergi dengan Chris tanpa berani tinggal lebih lama lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status