“Kamu akan berangkat sendiri?” tanya Irwan menatap Naila yang sibuk dengan sarapannya “Apa kamu sarapan seperti itu setiap pagi?”
“Aku membutuhkan tenaga saat berhadapan dengan pasien jadinya butuh asupan banyak sebelum bertemu mereka, itu sangat melelahkan apalagi kalau sampai mereka tidak mengikuti aturan yang sudah aku buat. Aku berangkat sendiri nggak enak kalau tiba-tiba datang bersama dengan chef kebangaan mereka.”
Irwan mencibir perkataan Naila “Apa kamu peduli sama perkataan mereka?”
Naila mengangkat bahu “Semua serba mendadak buatku jadinya ya....” Naila tidak melanjutkan perkataannya “Aku berangkat dulu.” Naila beranjak dari tempatnya dengan membawa piring ke tempatnya untuk dicuci.
Pelukan dari belakang membuat tubuh Naila membeku, semalam mereka tidak melakukan apapun karena sama-sama terlalu lelah. Naila memang memutuskan berada dalam satu kamar dengan Irwan, pernikahan mereka bukan perjodohan atau paksaan sekalipun tapi setidaknya Naila yakin jika ini akan bertahan lama hanya saja masih banyak yang membuatnya berpikir mengenai masa lalu Irwan.
Tujuan Naila saat ini memang rumah sakit, sesuai dengan perjanjian bersama Wijaya yang tetap ke rumah sakit meskipun tidak terlalu sering. Tidak banyak yang tahu mengenai pernikahan dirinya membuat Naila sedikitnya bernafas lega,
“Saya kira nggak akan kesini.” Lela menatap Naila yang masuk dalam ruangan “Ada yang perlu dilihat?”
Naila mengangguk “Ada janji sama pasiennya Dokter Evan.”
“Panjang umur datang juga.” Lela menatap Evan dengan tatapan menggoda.
Naila menatap Evan yang berjalan kearahnya, memberikan senyuman terbaik sebelum akhirnya Evan duduk dihadapannya. Memberikan kode pada Lela untuk keluar dari ruangan, langsung dilakukan membuat mereka hanya berdua saja. Naila menatap Evan yang baru disadarinya jika tatapan Evan adalah tatapan kecewa, Naila sudah tidak perlu banyak bicara pastinya kakak sepupunya sudah bicara dengan Evan.
“Bagaimana bisa kamu menikah? Kamu cinta dia? Aku nggak akan membahas mengenai apa yang kita lakukan termasuk ciuman itu. Aku hanya tahu kebenarannya semua dari kamu.” Evan menatap kecewa pada Naila.
“Semua terjadi begitu saja dan secara tiba-tiba aku menikah.” Naila mengatakan sebenarnya membuat Evan mengangkat alisnya “Cinta? Aku sendiri belum yakin cinta sama dia, tapi kami telah resmi menikah.”
“Apa aku bisa merebut kamu?” tanya Evan yang membuat Naila membelalakkan matanya “Tidak ada cinta kan?”
“Bukan berarti mas melakukan hal itu.”
“Banyak orang menikah yang bercerai meskipun mereka saling mencintai apalagi kamu yang tanpa cinta lebih mudah berpisah.”
“Aku nggak akan melakukan itu, Mas. Kami menikah secara sah dan bukankah lebih baik mencari wanita lain?” menatap Evan dengan penyesalan.
“Perasaan sama kamu terlalu dalam, jika dulu aku bisa mengalah pada atlet itu tapi kali ini...entahlah aku sendiri nggak tahu, Nay.”
Berdua sama-sama larut dalam pikiran masing-masing, Naila sendiri tidak menatap mata Evan dengan terlihat menyibukkan diri dengan rekam medis yang ada di tangannya. Naila tidak tahu apa yang dilakukan Evan saat ini, bisa saja Naila seperti sebelumnya saat bersama dengan Rafa tapi sekarang kondisinya berbeda dimana dirinya telah resmi menikah. Naila hanya tidak mau menyakiti banyak pihak ataupun dirinya, keputusan dirinya menerima Irwan sepenuhnya sudah dipirkan dengan baik.
“Huh...berarti memang nggak ada kesempatan sama sekali.” Naila mengangkat kepalanya membuat mereka saling memandang satu sama lain “Kamu bisa datang kapanpun kalau dia membuat masalah atau sedih, aku siap menemani kamu dalam kondisi terburuk sekalipun.”
Tidak menanggapi perkataan Evan yang berjalan keluar dari ruangannya, pandangan Naila tidak lepas mengikuti langkah Evan sampai benar-benar pintunya tertutup. Menghembuskan nafas panjang setelah Evan benar-benar keluar dari ruangan, suara ketukan membuat Naila kembali dalam mode seriusnya.
“Pasiennya sudah datang, anak baru mau masuk bisa?” tanya Lela yang diangguki Naila.
Mereka keluar dari ruangan menuju poli tempat dimana Naila menerima pasien, melangkah bersama Lela dan juga anak-anak baru. Naila seharusnya tidak perlu datang karena anak-anak baru ini sudah bisa menghadapinya, hanya saja pasien Evan ini sudah dibuatkan janji jauh sebelum keputusan dirinya.
Lela langsung memanggil pasien yang artinya Naila sudah siap dalam memberikan penjelasan mengenai apa yang harus dimakan, boleh dilakukan sampai pantangannya. Sedikit bersyukur pasien Kali ini tidak seperti keluarga Benny, mereka tidak mengikuti aturan dengan menggunakan aturan sendiri dan ketika tidak sesuai mengatakan tim dokter melakukan malpraktek.
“Setelah ini kemana?” tanya Lela saat mereka berjalan ke ruangan meninggalkan anak-anak baru.
“Hotel.”
“Enak sekali pasti banyak lihat cowok cakep.” Lela memajukan bibirnya membuat Naila tersenyum “Boleh bertanya?” Naila mengerutkan keningnya lalu mengangguk pelan “Kapan kalian berdua menikah?”
“Aku dan Evan?” Lela mengangguk membuat Naila tersenyum tanpa berniat menjawab “Aku duluan, Mbak.” Naila menepuk bahu Lela sebelum benar-benar meninggalkan dirinya.
Perjalanan rumah sakit dengan hotel berjalan sedikit lambat, Naila menghubungi Irwan mengatakan jika dirinya mengalami keterlambatan dan tidak ada balasan sama sekali. Memastikan mobilnya parkir dengan benar Naila langsung berjalan masuk kedalam menggunakan pintu karyawan, tidak banyak karyawan yang berada di ruangan tapi mereka yang ada disana memandang Naila dengan tatapan menilai.
“Permisi ruangan Pak Irwan dimana?” tanya Naila sopan pada salah satu pria.
“Chef Irwan?” Naila mengangguk ragu “Mari ikut.”
Melangkah bersama pria itu menuju ruangan Irwan, mengetuk pintunya pelan tapi sayangnya tidak ada jawaban sama sekali. Mereka berdua saling memandang dan Naila semakin bingung dibuatnya.
“Chef Irwan bukannya rapat sama Pak Leo dan Bu Tina?” tanya salah satu pegawai yang lewat lalu tatapannya beralih pada Naila “Anda Bu Naila?” Naila mengangguk pelan “Anda tidak ikut rapat?”
“Tinggalkan kami berdua.”
Bertiga memandang sumber suara dan secara otomatis kedua pegawai tadi meninggalkan Naila dengan Irwan berdua, tanpa banyak bicara Irwan langsung masuk kedalam ruangan membuat Naila melakukan hal yang sama dan tidak lupa menutup pintunya.
“Apa kamu lupa mengenai rapat ini? Bukan berarti kita melarang kamu ke rumah sakit, tapi kamu harus bisa membagi waktu dengan membuat skala prioritas.” Naila hanya diam “Kenapa diam? Bisu?”
“Saya belum tahu jadwalnya.” Naila mencoba mengeluarkan kata-kata yang bisa membuat orang lain berkurang emosinya
“Kenapa tidak tanya dirumah? Kamu lupa kita menikah?” Naila menggelengkan kepalanya “Lalu?”
“Maaf.”
“Kali ini aku ampuni entah bagaimana.”
Tidak pernah ada dalam bayangan Naila akan berada satu tempat dengan orang yang menjadi pasangan hidupnya, selama ini Benny sendiri memiliki profesi berbeda begitu juga dengan Rafa. Lain halnya dengan Evan yang memang dalam satu tempat hanya saja mereka tidak berada dalam satu departemen atau divisi yang sama, Naila sebenarnya tahu kalau Irwan adalah seorang chef hanya saja tidak menyangka memiliki jabatan yang tinggi. Posisi Irwan dengan Naila sebenarnya sama di H&D Group tapi tidak di hotel atau restoran, Naila berada dibawah Irwan sebagai asistennya dalam menghasilkan menu-menu baru.“Ganti pakaian kamu sekarang dan ikut setelah ini.” Irwan menatap datar pada Naila yang hanya bisa mengangguk “Kamu tahu dimana pakaian dan juga ruang ganti?” Naila menggelengkan kepala.Naila menatap Irwan yang berdiri membuka salah satu lemari, melangkah kembali kearahnya dan memberikan bungkusan transparan berisi pakaian. Naila menatap bingung pada Irwan y
Naila hanya diam saat Irwan mengajaknya masuk dalam ruangan, ruangan yang berada tidak jauh dari tempat Leo. Ruangan yang hanya diisi dengan dua meja kerja beserta kursinya serta sofa, ada juga kamar mandi yang sama dengan ruangan Irwan di dekat dapur hanya saja disini lebih bagus. Naila hanya diam memandang sekitar, saat mengalihkan pandangan dimana Irwan sedang sibuk dengan kertas-kertasnya.“Aku harus melakukan apa?” tanya Naila membuka suara setelah mereka diam selama beberapa saat lalu.Irwan mendadak salah tingkah saat Leo membuka pembicaraan tentang kamar, melihat itu Naila tidak banyak bertanya karena bagaimanapun mereka masih menyesuaikan diri satu sama lain dan saling mengenal.“Tugas kamu sudah dikasih tahu Bu Lila, bukan?” Irwan berkata tanpa melepaskan tatapan dari kertas “Kalau kamu mau menggunakan dapur bisa lakukan didalam kamar.”“Kamar?” ulang Naila memastikan yang diangguki Irwan “Di
Naila menatap Irwan dan Leo yang terlibat dalam pembicaraan serius yang tidak diketahuinya sama sekali, setelah makan mereka memutuskan untuk kembali ke ruangan Leo dan kali ini ada asisten Leo yang baru dikenalkan Naila yaitu Mahe, Mahe sendiri sudah menjadi orang kepercayaan Leo ibarat kata Mahe dan Irwan adalah tangan kanan dan kiri Leo jika tidak ada di tempat.“Naila, bagaimana kalau kamu memegang restoran yang ada di seberang?” tanya Leo secara tiba-tiba membuat Naila bingung dengan menatap Leo serta Irwan bergantian.“Dia baru masuk disini jangan langsung diberikan tanggung jawab besar lagipula restoran itu masih banyak yang harus diubah setelah sidak yang dilakukan Lucas.” Irwan menolak usul Leo membuatnya mendapatkan cibiran.“Pak Lucas sedang membenahi dan apa salahnya Ibu Naila memulai disana dalam kondisi baru perubahan?” tanya Mahe membuat Irwan dan Leo saling memandang satu sama lain.“Kalau gitu bia
“Bagaimana Irwan, Nay?” tanya Fajar saat Naila mendatangi rumah orang tuanya “Baik kan sama kamu?”“Baru beberapa hari jadi belum bisa menilai, Pa.” Naila menjawab dengan santai “Waktu itu alasan apa sih yang buat papa yakin sama Mas Irwan?”“Keseriusan sama latar belakang keluarganya.”“Rafa juga serius loh, Pa.”Fajar mengangguk “Tapi kamu memulai dengan cara nggak baik dan dari awal memang kesan melepaskan tanggung jawab terlihat, kenapa papa dulu setuju kamu sama Rafa karena melihat ketulusan dia dan juga perasaan bersalahnya. Semua ternyata salah dan papa salah melangkah dalam mencarikan kamu pasangan.”“Memang papa yakin sama Mas Irwan?” tanya Naila menatap selidik pada Fajar.“Kita lihat saja, Irwan juga sudah tahu mengenai masa lalu kamu takutnya akan menjadi masalah dalam hubungan kalian nantinya.” Naila membelalakkan mata men
Kedua kali mereka bertemu membuat Naila tidak bisa lagi menghindar, pertama saat membantu Irwan di hari pertamanya bekerja dan sekarang. Pria yang membuat Naila merasakan bagaimana dicintai dan dilukai dalam waktu bersamaan, Benny yang tidak lain adalah mantan Naila dimana keluarganya tidak menyukai dirinya dan melakukan banyak cara agar mereka berpisah dan karena keluarganya itu membuat Naila berada di hotel ini.“Kamu ngapain disini?” tanya Benny dengan memandang curiga.“Bukan urusan kamu.”“Main kamu sudah sampai hotel mewah ya?” Naila menatap tajam pada Benny dengan mencoba bersikap tenang.“Ada apa ini?” tanya sebuah suara yang berada disamping Naila membuatnya terkejut dengan kedatangan Irwan “Apa kalian tidak bisa bertengkar di tempat lain membuat pemandangan beberapa orang disini terganggu.”“Permisi.”Naila memutuskan pergi meninggalkan mereka berdua, tidak tah
Suasana diantara Naila dan Irwan menjadi dingin setelah pengakuan yang keluar dari bibir Irwan mengenai alasan Naila berada di tempat ini, tempat yang sama sekali berbeda dengannya meskipun juga berlatar belakang di cafe tetap saja berbeda.“Aku mandi dulu.” Irwan beranjak dari tempatnya yang tidak dibalas sama sekali oleh Naila.Memilih membereskan piring serta gelas-gelas yang menjadi tempat hidangan mereka, perasaan Naila benar-benar menjadi satu dan tidak menentu. Semua bermula dari pernikahan mendadaknya sampai yang baru saja terjadi, kedepannya kenyataan apa lagi yang akan Naila dapatkan dari Irwan atau keluarganya seperti tadi papanya.Menatap keadaan dapur yang telah rapi, mengingatkan Naila jika sebentar lagi harus ke restoran untuk membuat menu baru. Masuk dalam kamar tidak mendapati Irwan yang sepertinya masih berada didalam kamar mandi, memilih berangkat tanpa berpamitan langsung tapi tetap memberi pesan jika dirinya akan ke restoran.
Naila hanya bisa mengikuti apa yang Irwan rencanakan, liburan berdua dan itu benar-benar mereka lakukan. Setelah semalam mengatakan liburan dan besoknya Irwan meminta Naila bersiap-siap dengan menyiapkan pakaian mereka berdua untuk berlibur, tidak tahu akan dibawa kemana bahkan Naila tidak bisa berpamitan pada anak-anak restoran karena Leo yang memastikan secara langsung.“Memang mas sudah sedekat itu sama mereka?” tanya Naila penasaran saat mereka sudah duduk di pesawat.“Dekat banget tapi kalau sudah berkaitan dengan pekerjaan kita bisa berubah serius.”Naila akhirnya tahu tujuan mereka setelah masuk ke bandara dan melakukan check in, tujuan Lombok yang benar-benar tidak ada dalam benak Naila sama sekali. Irwan sendiri tidak melepaskan genggaman tangannya dari tangan Naila, seakan takut Naila menghilang dari hadapannya bahkan saat sudah duduk di pesawat.“Nay, kamu mau mendengar kenyataan dulu atau mau senang-senang dulu?&r
“Bagaimana____bagaimana tahu mengenai....?” Naila menutup mulutnya saat mendengar pengakuan Irwan.“Aku menyadari satu hal saat pertama kali kita bertemu setelah lama tidak bertemu, aku melihat kamu di cafe yang awal aku tidak tahu itu kamu, gadis kecil yang pernah aku sukai dulu.” Naila mengerutkan keningnya mendengar pengakuan Irwan “Aku melamar di cafe keluarga kamu atas saran Om Awang, hanya saja papa tidak dengan mudah menerima karyawan dan pada saat itu kondisi tidak memungkinkan pasca meninggalnya dia. Kamu datang dengan penampilan anak kuliah yang baru pulang, penampilan kamu yang alami membuat aku suka, lalu Frida menunjukkan sahabat-sahabatnya selama sekolah dan langsung mengenali kamu. Gadis kecil yang pernah bermain dengan kami dan selalu mengikuti kemana Yudo pergi seakan tidak mau lepas dari dia, wajah kamu sangat menggemaskan.”“Lalu kamu tahu?” potong Naila membuat Irwan tersenyum.“Aku menden
Melahirkan adalah hal yang membuat Naila merasakan perasaan tidak tenang selama beberapa hari mendekati waktunya, semua hilang dengan hadirmya keluarga baik dari pihak Naila sendiri dan juga Irwan. Memilih berada dirumah kedua orang tuanya dibandingkan hotel, membuat kebutuhan Naila tercukupi.Irwan sudah menjual rumahnya dengan mengganti membeli rumah tidak terlalu jauh dari hotel, lebih tepatnya rumah tersebut tidak jauh dari rumah kedua orang tua mereka. Langkah ini Irwan ambil agar memudahkan mereka menjaga Naila jika memang dibutuhkan, meskipun pada akhirnya Naila lebih banyak tinggal di rumah kedua orang tuanya.“Ma, kayaknya sudah waktunya ini.” Naila mengatakannya saat merasakan perutnya sakit.“Masih kuat jalan?” tanya Indira yang diangguki Naila.Berjalan perlahan dengan bantuan Indira menuju ke mobil, memasukinya dengan perlahan berkat bantuan sopir dan juga Indira. Mengatur nafas agar bisa melahirkan dengan tenang, meng
Tatapan Evan membuat Naila hanya diam, tidak bisa bergerak sama sekali. Keputusan menemui Evan sudah dipertimbangkan dari lama, meminta bantuan Bagas untuk bertemu dengan Evan tanpa sepengetahuan Irwan.“Selamat buat kehamilan kamu, agak tidak menyangka kehamilan kamu bisa sebesar ini.” Evan membuka suara membuat Naila hanya diam tidak tahu harus menanggapi seperti apa atas perkataan Evan “Aku tahu kamu merasa terbebani, beberapa minggu atau lebih tepatnya setelah aku tahu kamu hamil banyak hal yang aku pikirkan.” Naila menelan saliva kasar mendengar kata-kata Evan.“Aku nggak tahu harus menanggapi apa, Mas.” Naila membuka suara.Evan tertawa membuat Naila menatap bingung “Kayaknya kamu nggak harus menanggapi apapun, semua bermula dari aku yang nggak bisa membuat semuanya menjadi mudah. Aku seharusnya sadar kalau kita nggak mungkin bersama, tapi aku memaksa kamu sampai berbuat hal gila.”“Tempat
Suasana dalam kamar terasa panas, Naila melanggar perkataan Irwan dengan turun ke dapur hotel. Naila pikir Irwan akan keluar lama tapi nyatanya hanya beberapa menit, bertepatan dengan Naila sedang memeriksa kelayakan dari makanan yang akan dikeluarkan. Kehamilan diri sudah berjalan melewati trimester, tepatnya bulan kelima dan sangat diluar prediksi dimana Naila hamil kembar yang semakin membuat Irwan protektif dengannya.Hembusan nafas kasar terdengar membuat Naila memejamkan matanya “Berapa kali aku bilang kalau kamu jangan kesana, Nay.” Naila semakin menundukkan kepalanya “Aku khawatir sama kamu.” Irwan menghembuskan nafas kasar “Kalau kamu nggak mikirin aku nggak papa tapi setidaknya kamu mikirin anak yang ada dalam perut kamu itu.”Irwan keluar dari kamar dengan membanting pintu, Naila hanya diam dengan menundukkan kepalanya. Perbuatan Naila memang salah dan sangat salah, Irwan memang tidak suka jika dirinya turun ke dapur hotel
Pendekatan dengan mertua, Naila merasa anak yang tidak berguna sama sekali. Menikah dengan Irwan tidak pernah mencoba dekat dengan keluarganya, bukan hanya mertua tapi juga saudara Irwan yang lain kecuali Frida dan Awang tentunya. Naila tahu jika keluarga Irwan tidak jauh berbeda dengan keluarga lain, hanya saja pernikahan mendadak membuat Naila tidak tahu bagaimana harus bersikap pada mereka.“Nay, makanan udah siap.” Naila menatap Wati yang membuka pintu kamar mereka “Irwan bilang kalau kamu masih harus dalam kamar, dikira orang hamil itu penyakitan apa.”Naila tersenyum mendengarnya “Ibu sendiri udah makan?”“Udah tadi sama ayah, mau dibantu nggak berdiri dari ranjang dan melangkah ke dapur?” Naila menggelengkan kepala dan tahu jika ibu mertuanya sedang menggoda.“Mas Irwan itu terlalu takut aku kenapa-kenapa, Bu.” Naila menggelengkan kepala dan berjalan kearah Wati “Ibu kasih tahu supay
“Rumah ini mau aku jual.” Irwan membuka suara saat mereka sudah berada didalam kamar “Aku minta bantuan ke papa dan ayah.”Naila mengerutkan keningnya “Kenapa dijual?” Irwan terdiam “Dekat sama rumah Dona?” tembak Naila langsung “Mas masih nggak bisa melupakan Dona?”“Bukan masalah melupakan, tapi aku mau menghargai perasaanmu. Aku nggak enak aja punya rumah dekat sama dia.” Irwan menjelaskan “Lagian kita nggak selamanya tinggal di apartemen atau hotel, kita perlu rumah buat masa depan kita bersama anak-anak.” Irwan berkata dengan membelai perut Naila perlahan.“Aku nggak masalah sama rumah ini, ya...meskipun dekat sama Dona tapi bukan suatu hal yang perlu membuat kita harus pindah. Alasan Mas Irwan nggak masuk akal, suatu saat hubungan kalian pasti baik-baik saja, Dona wanita yang cerdas mungkin saat ini belum bisa menerimanya tapi aku yakin perlahan dia pasti bisa menerim
Naila menatap tidak percaya dengan kehadiran keluarga mereka berdua di rumah, Irwan membawa Naila pulang ke rumah yang sudah lama tidak mereka datangi. Kedatangan mereka membuat Naila mendapatkan pelukan hangat dari mereka semua, tidak tersenyum menerima pelukan dari mereka semua.Mrndengarkan para orang tua yang memberikan banyak nasehat tentang kehamilan, membuat Naila hanya bisa diam dan mengangguk. Bukan hanya Naila tapi Irwan juga mendapatkan banyak nasehat, tidak bisa menggambarkan dengan kata-kata perasaannya saat ini.“Makannya tetap yang sehat berarti?” tanya Wati yang diangguki Naila pelan “Bisa kamu buat, Mas?” menatap tajam pada Irwan yang hanya mengangguk “Jangan berbuat aneh-aneh lagi.”“Mas Irwan udah jago buatnya, Bu.” Naila mengatakan sebenarnya membuat Wati menggelengkan kepalanya mendengar pembelaan Naila.“Ibu lebih senang kamu yang sama Irwan.” Wati membelai wajah Naila pelan
“Semua akan baik-baik saja, Nay.” Irwan menggenggam tangan Naila untuk menenangkan dirinya.“Aku baik-baik saja.” Naila tersenyum kearah Irwan.Mempererat genggaman tangan mereka menandakan bahwa Naila sangat gugup saat ini, beberapa bayangan buruk berada di kepalanya. Naila memejamkan matanya agar bisa bersikap tenang, selama beberapa hari belakangan ini semua perkataan dokter diturutinya tanpa ada yang terlewatkan. Sebelah tangan Naila yang kosong membelai perutnya perlahan, sedikit berdoa agar semuanya baik-baik saja.Naila sangat tahu jika Irwan juga sama cemasnya dengan dirinya, tapi tidak ingin membuat Naila khawatir dengan menunjukkannya. Irwan selalu mendukung dan berkata tentang hal positif untuk perkembangan mental Naila, tidak jarang Irwan membelai dan mengajak anaknya berbicara. Naila bahkan pernah melihat Irwan tengah malam dalam keadaan meminta pada Tuhan dengan meneteskan air mata, berpura-pura tidak tahu agar Irwan bisa me
Perasaan tidak enak dan ingin marah dari beberapa hari yang lalu, lebih tepatnya seminggu setelah keluar dari rumah sakit. Naila sudah terlalu bosan berada didalam kamar tanpa bisa keluar sama sekali, meskipun masih dibolehkan berjalan atau melakukan kegiatan yang ringan tetap saja membuat Naila kesal.Frida dan Hadi sendiri pulang beberapa hari setelah Naila keluar dari rumah sakit, dan saat ini Naila benar-benar dalam titik bosan yang tidak melakukan apapun. Irwan lebih sering berada didalam kamar memastikan semua kebutuhan Naila, membuat Leo dan Endi yang datang untuk membicarakan pekerjaan.Karyawan lainnya tahu jika Irwan sudah menikah dengan Naila, bahkan Naila tidak peduli dengan perkataan mereka, pasalnya belum mereka berbicara Leo sudah memberikan peringatan tajam. Naila sebenarnya bisa merasakan senang karena mereka melindunginya, tapi di sisi lain tidak enak pada perusahaan tempatnya bekerja.“Kamu mau ngapain, Nay?” tanya Irwan saat menat
Pintu terbuka menampilkan Dona membuat Naila menatap tidak percaya dengan kedatangan wanita itu, Dona menutup pintu dan melangkah kearah Naila serta Frida. Naila tidak bisa membaca tatapan yang Dona berikan sampai sebuah kata keluar dari bibirnya untuk berbicara berdua, memberi kode pada Frida untuk keluar tapi tidak dipedulikannya.“Kamu bisa berbicara anggap aja aku nggak ada.” Frida berkata datar dan memilih membuka ponselnya.Naila menatap Dona yang tampak ragu untuk berbicara, membuat Naila sekali lagi memberikan tatapan memohon pada Frida.“Aku nggak papa jadi kamu keluar dulu aja.” Naila berkata lembut pada Frida yang membuatnya menatap tajam “Dia nggak mungkin berbuat aneh-aneh jadi tenang saja.”Frida berdiri menatap datar pada Dona yang hanya diam “Awas kalau kamu buat Naila kenapa-kenapa.”Naila menggelengkan kepala melihat sikap Frida, tidak lama langsung keluar dari kamar inapnya. M