Perbuatan Naila membuat mereka bertiga memandang bingung, Naila hanya diam dan merasa tidak enak terutama saat melihat ekspresi wajah Irwan yang menahan emosi.
“Maaf,” ucap Naila tidak enak “Bagi aku makanannya terlalu asin.”
“Asin?” ulang mereka bertiga bersamaan yang diangguki Naila.
“Apanya yang asin semua sudah sesuai bahkan mereka baik-baik saja.” Irwan menatap Naila tidak percaya dan mencobanya kembali dan mengambil milik Naila merasakannya juga “Nggak asin ini, Nay.”
“Gini aja gimana kalau kamu masak yang sama dan kasih tahu versi nggak asin kamu itu” Leo memberikan solusi.
“Memang boleh?” tanya Naila menatap Irwan takut.
“Lakuin apa yang menurut kamu baik.” Irwan mengatakannya dengan tenang dan memberikan senyuman pada Naila.
Melihat itu membuat Naila melangkah ke dapur, memulai apa yang tadi dilakukan Irwan. Beberapa bahan yang Irwan masukkan Naila kurangi sesuai takaran yang memang sudah dihitung sebelumnya, Naila tahu jika Irwan berada disampingnya menatap apa yang Naila lakukan. Tidak membutuhkan waktu lama akhirnya masakan milik Irwan versi Naila telah selesai, melihat itu Irwan membantu Naila membawanya ke meja makan. Naila menatap mereka bertiga dengan sedikit takut, pasalnya banyak bumbu yang Naila kurangi dan pastinya tidak sesuai dengan lidah mereka.
“Kamu mengurangi garam dan beberapa bumbu?” tanya Leo yang diangguki Naila “Ini sangat cocok buat orang-orang yang peduli dengan kesehatan, bukan?” sekali lagi Naila mengangguk “Menurut kamu makanan ini akan laku di hotel atau restoran dan cafe?”
“Cafe milik keluarga aku sudah melakukan itu, kami membuat juga bentuk seperti catering dengan harga terjangkau yang bisa dimakan setiap saat untuk mereka yang peduli kesehatan. Mereka nggak perlu datang ke cafe hanya untuk menikmati makanan sehat, meskipun semua menu di cafe ada juga yang nggak sehat tapi di daftar menu selalu kami tulis jumlah kalori dalam makanan itu.”
“Pantas papi membawa kamu ke hotel dan restoran ini.” Leo mengatakannya dengan tersenyum kecil “Berarti kalian akan menjadi saingan?”
Naila menatap Irwan yang hanya diam “Nggak mungkin saingan, saat itu Mbak Lila bilang kalau akan menjadi partner.”
“Memang partner seperti apa? Partner hidup? Bukankah kalian sudah menjadi partner hidup? Lalu?” tanya Endi langsung.
“Kami akan menjadi partner yang hebat bukan hanya rumah tangga tapi juga kantor, kalian tunggu aja nanti.” Irwan mengatakan dengan percaya diri bersamaan tangannya membelai rambut Naila perlahan.
Melanjutkan makan yang tertunda atas kejadian yang Naila buat, kali ini mereka berbicara panjang lebar mengenai kondisi hotel. Sesekali Endi bertanya mengenai pernikahan mereka berdua, lebih banyak Irwan yang menjawabnya bukan Naila disebabkan tidak tahu harus menjawab apa atas semua pertanyaan mereka.
“Kamu akan kasih tahu Pak Wijaya atau Mbak Lila?” tanya Leo menatap Irwan dan Naila bergantian.
“Aku besok rencananya yang akan bicara sama mereka.” Irwan menjawab santai “Mungkin bisa dipertegas Naila saat masuk nanti.”
“Memang nggak ada aturan dilarang memiliki hubungan di kantor?” tanya Naila yang membuat ketiga pria tertawa.
“Papi bukan orang yang begitu jadi tenang saja.” Leo menjawab sambil tersenyum “Kamu nggak minta cuti?” mengalihkan pandangan ke Irwan.
Irwan menggelengkan kepala “Naila udah masuk lusa jadi sudah cukup aku ambil cutinya.”
“Opa tahu juga bakal disuruh bulan madu kalian berdua.” Endi mengatakannya dengan sangat yakin “Bulan madunya di Bali tempat kita biasanya itu.”
Naila sekali lagi hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka bertiga, tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Menatap piring mereka yang telah kosong membuat Naila langsung membereskannya, langkah Naila terhenti dengan Irwan memegang tangannya.
“Panggil Bibi saja gunakan telepon yang di dinding itu, terus minta antar makanan dan minuman di ruang kerja.” Irwan menatap Naila lembut “Kita pindah ke ruang kerja aja.”
Menatap punggung mereka yang menjauh, melakukan perintah Irwan sesuai instruksi yang diberikan dan benar saja seorang wanita paruh baya keluar. Naila membantu dengan membuatkan minuman setelah bertanya apa yang biasanya mereka minum serta takarannya, menatap minuman yang ada dihadapannya dan kali ini bingung mengantarkan sendirin atau meminta Bibi yang mengantarkan.
“Biar Bibi saja yang bawa, Mbak.” Naila menatap bibi ragu dan anggukan kepala membuat Naila menyerah.
Memilih masuk kedalam kamar yang menjadi tempat tinggalnya ke depan, menatap luasnya ruangan membuat Naila terdiam. Kamar ini lebih besar dibandingkan dengan kamar di rumah orang tuanya, memilih masuk dalam kamar mandi membersihkan dirinya sebelum menuju ranjang. Memejamkan matanya terlalu lelah dengan apa yang terjadi secara tiba-tiba, semua secara tiba-tiba dan kejutan yang sangat mengejutkan membuat Naila bingung dengan sendirinya.
Ponsel Naila berbunyi dan terdapat nama Endi yang ada di layar, perasaan Naila menjadi tidak menentu antara mengangkatnya atau membiarkan begitu saja. Memilih memejamkan matanya tapi tetap tidak berhasil sama sekali, hanya bergerak tidak menentu di ranjang dan tidak tahu berapa lama Naila melakukan hal itu.
“Belum tidur?” tanya Irwan yang membuat Naila terkejut “Kamu yakin tidur disini?”
“Bagaimanapun pernikahan kita sah di mata agama dan negara, kalau pisah kamar pastinya aku dosa karena membiarkan suamiku tidur sendirian.”
“Berarti kamu sudah siap melayani aku selayaknya suami istri pada umumnya?” tanya Irwan menatap Naila dalam yang hanya mengangguk pelan “Tenang saja aku nggak akan minta itu sekarang, tubuhku benar-benar lelah dan pastinya membutuhkan istirahat.”
Menatap Irwan yang masuk dalam kamar mandi membuat Naila hanya diam, memikirkan semua sikap Irwan beberapa hari ini yang sangat berbeda dengan pria-pria Naila lainnya. Berbeda bukan berarti Naila bisa dengan mudah percaya pada Irwan, masa lalu Irwan sama sekali tidak diketahuinya terutama hubungannya dengan wanita. Ketakutan Naila adalah Irwan memiliki wanita lain yang tidak diketahui banyak orang, atau bisa juga sosok pria yang menakutkan dengan berbuat kasar pada wanita. Naila bergidik ngeri membayangkan itu semua, terlalu asyik melamun membuatnya tidak sadar jika Irwan menatap ke arahnya sambil tersenyum kecil.
“Kamu nggak lagi mikir kotor kan?”
“Kamu akan berangkat sendiri?” tanya Irwan menatap Naila yang sibuk dengan sarapannya “Apa kamu sarapan seperti itu setiap pagi?”“Aku membutuhkan tenaga saat berhadapan dengan pasien jadinya butuh asupan banyak sebelum bertemu mereka, itu sangat melelahkan apalagi kalau sampai mereka tidak mengikuti aturan yang sudah aku buat. Aku berangkat sendiri nggak enak kalau tiba-tiba datang bersama dengan chef kebangaan mereka.”Irwan mencibir perkataan Naila “Apa kamu peduli sama perkataan mereka?”Naila mengangkat bahu “Semua serba mendadak buatku jadinya ya....” Naila tidak melanjutkan perkataannya “Aku berangkat dulu.” Naila beranjak dari tempatnya dengan membawa piring ke tempatnya untuk dicuci.Pelukan dari belakang membuat tubuh Naila membeku, semalam mereka tidak melakukan apapun karena sama-sama terlalu lelah. Naila memang memutuskan berada dalam satu kamar dengan Irwan, pernikahan m
Tidak pernah ada dalam bayangan Naila akan berada satu tempat dengan orang yang menjadi pasangan hidupnya, selama ini Benny sendiri memiliki profesi berbeda begitu juga dengan Rafa. Lain halnya dengan Evan yang memang dalam satu tempat hanya saja mereka tidak berada dalam satu departemen atau divisi yang sama, Naila sebenarnya tahu kalau Irwan adalah seorang chef hanya saja tidak menyangka memiliki jabatan yang tinggi. Posisi Irwan dengan Naila sebenarnya sama di H&D Group tapi tidak di hotel atau restoran, Naila berada dibawah Irwan sebagai asistennya dalam menghasilkan menu-menu baru.“Ganti pakaian kamu sekarang dan ikut setelah ini.” Irwan menatap datar pada Naila yang hanya bisa mengangguk “Kamu tahu dimana pakaian dan juga ruang ganti?” Naila menggelengkan kepala.Naila menatap Irwan yang berdiri membuka salah satu lemari, melangkah kembali kearahnya dan memberikan bungkusan transparan berisi pakaian. Naila menatap bingung pada Irwan y
Naila hanya diam saat Irwan mengajaknya masuk dalam ruangan, ruangan yang berada tidak jauh dari tempat Leo. Ruangan yang hanya diisi dengan dua meja kerja beserta kursinya serta sofa, ada juga kamar mandi yang sama dengan ruangan Irwan di dekat dapur hanya saja disini lebih bagus. Naila hanya diam memandang sekitar, saat mengalihkan pandangan dimana Irwan sedang sibuk dengan kertas-kertasnya.“Aku harus melakukan apa?” tanya Naila membuka suara setelah mereka diam selama beberapa saat lalu.Irwan mendadak salah tingkah saat Leo membuka pembicaraan tentang kamar, melihat itu Naila tidak banyak bertanya karena bagaimanapun mereka masih menyesuaikan diri satu sama lain dan saling mengenal.“Tugas kamu sudah dikasih tahu Bu Lila, bukan?” Irwan berkata tanpa melepaskan tatapan dari kertas “Kalau kamu mau menggunakan dapur bisa lakukan didalam kamar.”“Kamar?” ulang Naila memastikan yang diangguki Irwan “Di
Naila menatap Irwan dan Leo yang terlibat dalam pembicaraan serius yang tidak diketahuinya sama sekali, setelah makan mereka memutuskan untuk kembali ke ruangan Leo dan kali ini ada asisten Leo yang baru dikenalkan Naila yaitu Mahe, Mahe sendiri sudah menjadi orang kepercayaan Leo ibarat kata Mahe dan Irwan adalah tangan kanan dan kiri Leo jika tidak ada di tempat.“Naila, bagaimana kalau kamu memegang restoran yang ada di seberang?” tanya Leo secara tiba-tiba membuat Naila bingung dengan menatap Leo serta Irwan bergantian.“Dia baru masuk disini jangan langsung diberikan tanggung jawab besar lagipula restoran itu masih banyak yang harus diubah setelah sidak yang dilakukan Lucas.” Irwan menolak usul Leo membuatnya mendapatkan cibiran.“Pak Lucas sedang membenahi dan apa salahnya Ibu Naila memulai disana dalam kondisi baru perubahan?” tanya Mahe membuat Irwan dan Leo saling memandang satu sama lain.“Kalau gitu bia
“Bagaimana Irwan, Nay?” tanya Fajar saat Naila mendatangi rumah orang tuanya “Baik kan sama kamu?”“Baru beberapa hari jadi belum bisa menilai, Pa.” Naila menjawab dengan santai “Waktu itu alasan apa sih yang buat papa yakin sama Mas Irwan?”“Keseriusan sama latar belakang keluarganya.”“Rafa juga serius loh, Pa.”Fajar mengangguk “Tapi kamu memulai dengan cara nggak baik dan dari awal memang kesan melepaskan tanggung jawab terlihat, kenapa papa dulu setuju kamu sama Rafa karena melihat ketulusan dia dan juga perasaan bersalahnya. Semua ternyata salah dan papa salah melangkah dalam mencarikan kamu pasangan.”“Memang papa yakin sama Mas Irwan?” tanya Naila menatap selidik pada Fajar.“Kita lihat saja, Irwan juga sudah tahu mengenai masa lalu kamu takutnya akan menjadi masalah dalam hubungan kalian nantinya.” Naila membelalakkan mata men
Kedua kali mereka bertemu membuat Naila tidak bisa lagi menghindar, pertama saat membantu Irwan di hari pertamanya bekerja dan sekarang. Pria yang membuat Naila merasakan bagaimana dicintai dan dilukai dalam waktu bersamaan, Benny yang tidak lain adalah mantan Naila dimana keluarganya tidak menyukai dirinya dan melakukan banyak cara agar mereka berpisah dan karena keluarganya itu membuat Naila berada di hotel ini.“Kamu ngapain disini?” tanya Benny dengan memandang curiga.“Bukan urusan kamu.”“Main kamu sudah sampai hotel mewah ya?” Naila menatap tajam pada Benny dengan mencoba bersikap tenang.“Ada apa ini?” tanya sebuah suara yang berada disamping Naila membuatnya terkejut dengan kedatangan Irwan “Apa kalian tidak bisa bertengkar di tempat lain membuat pemandangan beberapa orang disini terganggu.”“Permisi.”Naila memutuskan pergi meninggalkan mereka berdua, tidak tah
Suasana diantara Naila dan Irwan menjadi dingin setelah pengakuan yang keluar dari bibir Irwan mengenai alasan Naila berada di tempat ini, tempat yang sama sekali berbeda dengannya meskipun juga berlatar belakang di cafe tetap saja berbeda.“Aku mandi dulu.” Irwan beranjak dari tempatnya yang tidak dibalas sama sekali oleh Naila.Memilih membereskan piring serta gelas-gelas yang menjadi tempat hidangan mereka, perasaan Naila benar-benar menjadi satu dan tidak menentu. Semua bermula dari pernikahan mendadaknya sampai yang baru saja terjadi, kedepannya kenyataan apa lagi yang akan Naila dapatkan dari Irwan atau keluarganya seperti tadi papanya.Menatap keadaan dapur yang telah rapi, mengingatkan Naila jika sebentar lagi harus ke restoran untuk membuat menu baru. Masuk dalam kamar tidak mendapati Irwan yang sepertinya masih berada didalam kamar mandi, memilih berangkat tanpa berpamitan langsung tapi tetap memberi pesan jika dirinya akan ke restoran.
Naila hanya bisa mengikuti apa yang Irwan rencanakan, liburan berdua dan itu benar-benar mereka lakukan. Setelah semalam mengatakan liburan dan besoknya Irwan meminta Naila bersiap-siap dengan menyiapkan pakaian mereka berdua untuk berlibur, tidak tahu akan dibawa kemana bahkan Naila tidak bisa berpamitan pada anak-anak restoran karena Leo yang memastikan secara langsung.“Memang mas sudah sedekat itu sama mereka?” tanya Naila penasaran saat mereka sudah duduk di pesawat.“Dekat banget tapi kalau sudah berkaitan dengan pekerjaan kita bisa berubah serius.”Naila akhirnya tahu tujuan mereka setelah masuk ke bandara dan melakukan check in, tujuan Lombok yang benar-benar tidak ada dalam benak Naila sama sekali. Irwan sendiri tidak melepaskan genggaman tangannya dari tangan Naila, seakan takut Naila menghilang dari hadapannya bahkan saat sudah duduk di pesawat.“Nay, kamu mau mendengar kenyataan dulu atau mau senang-senang dulu?&r