Teriakan yang begitu familiar segera saja langsung mengagetkan mereka berdua. Gaara langsung tersentak ke belakang, sementara Esther langsung mengambil kesempatan untuk menutupi dadanya dan beranjak turun dari meja dapur untuk menjauhkan dirinya dari si tuan mdua. Rasa kaget bercampur malu menjadi satu dalam diri Esther. Dia sangat takut Stella bisa melihat bekas mulut Gaara yang mengulum dadanya tadi.
Esther melirik ke arah Gaara, ekspresi pria itu bisa dibilang terlihat geram lantaran kesenangannya harus diganggu secara paksa oleh seseorang. Dia melempar pandangan tajam ke arah asistennya yang sudah berdiri tidak jauh dari mereka.
“Tunggu dulu, jangan marah padaku begitu. Tuan Gaara. Aku sengaja berteriak karena jika tidak, kau mungkin tidak akan menyadari bahwa temanmu sejak tadi sudah menunggu di depan dapur,” tutur Stella santai.
Lalu seakan diberi aba-aba orang yang dimaksud teman oleh Stella muncul dari balik badannya. Dengan kedua tangan terlipat di depan dada dia memasang senyuman paling kurang ajar yang pernah ada. Dia adalah Vinson, laki-laki paling Esther benci sekampus karena hobby mengganggu dirinya. Kontan ekspresi Esther langsung mengernyit tidak suka atas kehadiran orang itu.
“Aku tidak tahu kalau kau sedang bersenang-senang Gaara. Aku tidak pernah punya niat untuk menganggumu. Tadinya aku mau langsung pergi, tetapi asistenmu datang dan dia jadi berteriak,” ungkap Vinson seraya mengedikan bahu ke arah Stella sebelum kembali memandang Gaara dan juga Esther.
Tetapi sejurus kemudian tatapan pria itu terhenti pada Esther, pria itu memandangnya dari atas ke bawah seolah sedang mencemooh dirinya. Lalu setelah itu dia menatap pada Gaara. “Kurasa kau perlu mandi air dingin, Gaara. Kita akan bicara setelah itu.”
Sepeninggal Gaara kini hanya ada Esther dan Vinson. Stella juga undur diri karena wanita itu perlu bekerja memenuhi keperluan Gaara. Tetapi situasi ini justru membuat Esther tidak nyaman.
“Well … well … Esther,” ujar Vinson sambil bertepuk tangan lambat-lambat yang jelas sedang mencoba untuk mencacinya sekarang. Seolah tidak cukup dengan apa yang dia telah perbuat di kampus, pria itu kembali merundungnya disini. Seperti bila dia tidak melakukannya dia akan mati.
Esther sendiri menatap datar pada lelaki itu. Sesungguhnya dia amat jijik tatkala mendengar namanya di sebut dengan nada manis dibuat-buat. Tetapi dia tidak bisa mengatakan apa-apa lantaran orang ini baru saja memergokinya melakukan hal tidak senonoh. Dia terlalu malu setelah perbuatannya dilihat oleh laki-laki ini.
“Siapa sangka kalau ternyata Esther yang so suci se-kampus malah membiarkan dirinya digerayangi seorang berandalan macam Gaara,” ujar Vinson sambil mengikis jarak diantara mereka.
Esther sendiri berusaha mengabaikan laki-laki itu, menganggapnya tidak ada sudah bagian dari hidup Esther. Jadi apa bedanya sekarang?
“Hah, masih punya nyali juga kau bertingkah sombong dengan mengabaikanku. Apa kau pikir setelah kau bisa bermesraan dengan Gaara kau adalah pemenangnya?” Bahu Esther menegang tatkala merasakan pria itu sudah memposisikan diri tepat dibelakangnya. “Kau pikir hanya kau satu-satunya perempuan yang disentuh dengan cara seperti itu oleh Gaara didapurnya?” tambah Vinson lagi, kali ini diikuti dengan sindiran yang tajam.
Wajah Esther memerah, sejujurnya dia juga tahu betul soal itu. Dia tahu bahwa dia bukan satu-satunya dan itu sebabnya pula dia merasa sangat bodoh atas apa yang sudah terlanjur terjadi. Memikirkan Gaara melakukan hal serupa dengan perempuan lain di tempat yang sama, entah kenapa membuat dadanya terasa sesak.
Vinson tertawa kecil mendapati ekspresi Esther yang muram, dia seolah cukup puas memberikan guratan menyakitkan kepadanya dengan cara ini. “Sejujurnya ini pertama kalinya aku memergoki dia dengan seorang perempuan, dan adalah sebuah kejutan sekali menemukanmu bersamanya disini. Tapi yang jelas kau kalah jauh dengan perempuan yang pernah dia bawa ke tempat tidurnya.”
“Sebenarnya apa maumu?” Esther kini memutuskan untuk melawan. Kupingnya terasa panas mendengar ocehan pria itu sejak tadi.
“Seharusnya aku yang bertanya, apa yang sedang kau lakukan disini?” Vinson memegang kedua bahu Esther erat-erat bahkan nyaris terlalu keras sehingga Esther sampai mengernyitkan wajahnya karena itu.
“Apa pun yang aku lakukan disini itu bukan urusanmu!” sambar Esther geram.
“Oh ya? Kau sadar saat ini bicara dengan siapa?”
“Bedebah busuk yang usil terhadap hidup orang lain.”
“Setidaknya aku bukan perempuan yang bertingkah so suci di kampus tapi berkeliaran tanpa celana di rumah laki-laki asing di pagi hari,” sahut Vinson mencelanya. “Esther, Esther … melihat keadaanmu sekarang kau ini seperti baru saja mengakui seberapa murahnya harga diri yang kau agungkan itu.”
Mendengar kata murahan terucap dari bibir Vinson. Tangan Esther sesungguhnya sangat gatal untuk melayangkan tamparan. Tetapi gadis itu menahannya sehingga tangannya terkepal dan gemetar di samping tubuhnya.
Melihat respon Esther yang demikian, Vinson menyeringai padanya. “Seluruh tindakan dan ucapanmu terlalu berkebalikan. Meski kau menutupinya, aku bisa melihat tempat dimana Gaara menghisapmu tadi.”
“Brengsek!” Esther menjauh dari Vinson dan mendorongnya. Ini gila! Seluruh situasinya terlalu tidak sejalan. Apa yang dikatakan Vinson ada benarnya, dan itu membuat Esther frustasi akan dirinya sendiri. Kata-kata menohok yang pria itu ucapkan membuatnya merasa memang pantas mendapatkannya.
“Kau menolakku dan mengataiku brengsek. Tetapi beberapa saat yang lalu kau mendesah-desah saat Gaara menggerayangi tubuhmu. Dasar perempuan munafik.” Suara Vinson yang dalam membuat bulu kuduk Esther berdiri. Bahkan entah bagaimana caranya tiba-tiba saja Esther sudah terdesak diantara tubuh Vinson dan dinding. Pria itu sudah berada dibelakang tubuhnya dan karena jarak mereka yang begitu dekat Esther bisa merasakan napas hangat pria itu dibelakang lehernya.
“Tapi kau tahu fakta uniknya? Aku suka suaramu saat itu,” bisik pria itu pelan dan sejurus kemudian sesuatu yang hangat dan basah tiba-tiba saja sudah menempel di leher Esther.
Begitu sadar bahwa benda itu adalah lidah si brengsek Vinson, secara otomatis Esther langsung berbalik dan mencoba untuk memberinya satu tamparan. Untung saja tamparan keras yang dia layangkan sukses dan membuat pria itu terdiam cukup lama. Dia secara perlahan menyentuh pipi bekas tamparan Esther, sementara gadis itu sibuk mengatur napasnya yang memburu karena amarah. Belum pernah seumur hidupnya dia kehilangan kontrol seperti ini. Tetapi bila itu karena Vinson, Esther tidak perlu berpikir dua kali untuk melakukan kekerasan.
Ketika Esther pikir pria itu akan berhenti, tanpa diduga dia malah tertawa sendiri. “Kau menamparku? Gila! Ini gila sekali!”
“Tutup mulutmu brengsek!” Esther secara impulsive melemparkan sebuah piring melamin yang dia dapat dari bak cuci piring. Tetapi dengan mudah Vinson dapat menghindarinya, sehingga piring tersebut berakhir teronggok dilantai.
“Apakah ini sebuah deklarasi bahwa kau menyukai Gaara? Kau sesuka itu padanya?”
“Omong kosong apa yang sedang kau bicarakan? Aku tidak menyukai dia!”
“Benarkah?” seringai Vinson makin melebar mendengar pernyataan Esther. Biasanya dia selalu membosankan, tetapi saat dia membawa Gaara dalam permainan entah kenapa reaksi yang gadis itu berikan sungguh berbeda dan dia jadi menyukainya. “Kalau begitu buktikan ucapanmu!”
Untuk apa hal seperti itu perlu dilakukan? Mereka bahkan bukan remaja puber. “Untuk apa pula aku perlu membuktikan hal itu?”
“Aku punya rekaman video apa yang kalian perbuat di dapur ini, pasti akan bagus bila bukan hanya aku saja yang tahu soal ini.”
Mulut Esther terbuka mendengar omong kosong yang baru saja dikatakan oleh Vinson kepadanya. Sejujurnya itu penawaran yang menarik. “Apa yang kau mau?”
“Sederhana, jinakanlah Gaara Maxwell, maka aku akan berhenti mengganggu hidupmu lagi.”
Esther terdiam, dia menatap pria itu lekat-lekat. Dia sungguh tidak menyangka bahwa pembicaraan ini akan terdengar sedikit lebih serius. Yang dia tahu adalah Gaara adalah kawannya sendiri, tetapi mengapa dia menginginkan Esther untuk melakukan hal seperti itu?
“Kau sakit jiwa!”
“Intinya kau setuju atau tidak? penawaran ini tidak akan datang dua kali. Aku tunggu jawabanmu paling lambat esok hari. Jika kau tidak memberiku jawaban, kau semua orang akan tahu apa yang aku lihat hari ini,” ujar Vinson sambil berlalu dari ruangan tersebut.
Dia cukup puas melihat ekspresi wajah Esther yang pucat pasi. Sesuatu dalam diri pemuda itu mengatakan bahwa gadis itu pasti akan mau menerima tawarannya cepat atau lambat. Dia tidak bisa menunggu sama sekali untuk melihat kehancuran Esther di depan matanya.
"Mati aku!"
Seorang gadis dengan rambut brunette-nya berada dalam posisi duduk di sebrangnya. Kedua kakinya yang jenjang tersilang, mengekspos keindahannya. Sementara tangan kirinya sibuk mengetikan sesuatu pada ponselnya dengan tangan kanan yang memegang sebuah rokok. Sesekali gadis itu menghisap rokoknya lalu menghembuskan asapnya ke udara dengan santai. Sesekali dia juga melemparkan senyuman menggoda ke arahnya.Nara menghembuskan napas jengkel, sejujurnya dia juga sangat ingin merokok sekarang tetapi dia masih punya otak untuk tidak melakukan hal itu di dalam ruangan. Hal yang lebih buruk baginya adalah berada dalam situasi menunggu dengan hanya berdua saja dengan gadis itu disana. Entah kebetulan atau bagaimana tetapi yang pasti Nara bisa menebak bahwa perempuan itu punya urusan yang sama dengannya.“Siapa namamu?” tiba-tiba saja perempuan itu mengajaknya bicara, sepertinya dia sudah bosan dengan ponselnya dan memilih fokus dengan dunia nyata.Nara hanya melirik sebentar sebelum akhirnya mem
Esther menemukan dua orang sedang bercumbu mesra di atas tempat tidur. Vinson (orang yang paling tidak ingin dilihatnya) sibuk melumat bibir seorang mahasiswi yang beberapa saat lalu baru saja masuk ke kelas bersamaan dengan Nara. Sebelah tangan Vinson menahan kepala gadis itu, sementara tangannya yang lain berada di dalam roknya. Ciuman itu tampak penuh gairah dan hasrat sehingga mereka nyaris tidak menyadari keberadaan Esther yang berdiri shock disana seperti orang bodoh.Esther yang menyadari bahwa mereka belum tahu keberadaannya langsung mengambil seribu langkah hendak pergi sebelum akhirnya dia mendengar suara Vinson dari balik bahunya. “Lihat siapa yang mengintip kita, apa kau menginginkannya juga Esther?”Sadar bahwa pria itu tidak akan melepaskannya, pada akhirnya meski masih dalam kondisi kaget bercampur malu Esther menghadap pria itu dan memandang nyalang kepadanya. “Bukannya kau berpacaran dengan Nelsy?” balas gadis itu.Sebetulnya itu bukan urusannya, hanya saja dia kesal
Gaara sebenarnya sama sekali tidak punya niat untuk mengejar perempuan yang telah memicu kehebohan di kafetaria, tetapi naasnya dia malah mendapati perempuan itu bersandar pada loker miliknya. Kebetulan area loker saat itu sepi, hanya ada dua atau tiga orang saja dan itu pun sibuk dengan urusan masing-masing. Namun begitu orang menyadari keberadaannya kebanyakan dari mereka memilih kabur atau pura-pura tidak melihat. Gaara sendiri tidak mengerti mengapa semua orang bersikap demikian, tetapi lebih dari itu dia tidak mau ambil pusing.Begitu Gaara mendekat, gadis itu sama sekali tidak bergeming, bahkan dia mungkin tidak menyadari kehadiran Gaara sama sekali. Karena itulah Gaara sengaja membuka lokernya yang kebetulan bersisian sampai menimbulkan bunyi cukup nyaring yang membuat gadis itu sedikit terlonjak.Dari ekor matanya Gaara bisa melihat bahwa dia agak panik dan cepat-cepat membuka loker miliknya juga, mencoba untuk menyembunyikan wajahnya. Buat Gaara sejujurnya itu hiburan tersend
Saat itu memasuki jadwal Esther berbelanja kebutuhan dapur mingguannya. Makanya pagi-pagi sekali Esther sudah membawa mobil kesayangannya untuk berbelanja. Tetapi di perjalanan dia menyadari bahwa kilometer SUV-nya telah mencapai sepuluh kilo meter lebih. Disaat yang bersamaan pula dia merasakan bahwa setir mobilnya terasa menjadi dua kali lipat lebih berat dari biasanya. Berdasarkan pengalamannya, itu berarti bahwa sang Land Rover kesayangannya sudah perlu di servis.Karena itulah disinilah dia sekarang, memarkir Discovery 4-nya di dalam sebuah bengkel lalu bergegas turun dan menyapa seorang montir yang telah menjadi langganannya sejak lama. Wajah pria paruh baya itu langsung berseri menyadari kehadiran Esther di bengkel mobilnya. “Selamat siang Nona Esther,” sapanya sambil membungkukan badan sebagai tanda menghormatinya membuat Esther tersenyum canggung.“Sudah saya bilang Paman tidak perlu sampai harus membungkuk seperti itu, anggap saja saya seperti pelanggan biasa,” kata Esther s
Seringai pria itu makin melebar ketika melihat wajah Esther tersentak dan bersemu merah. “Y—ya? Err … m—maksudku tidak begitu, tapi …ugh!” Dia menghela napas frustasi dan diam beberapa saat seolah sedang mengumpulkan kata-kata dikepalanya. Kelihatannya dia cukup jengkel lantaran dia tiba-tiba jadi gagap sendiri. “Jika kau tidak keberatan,” pungkas gadis itu pada akhirnya, terlihat agak malu-malu.Jika mengabaikan cara berpenampilan Esther, Gaara sebetulnya suka padanya karena semakin berinteraksi dia punya sisi yang … lucu? Dia memang kalah dari Elise Northway. Pembawaannya juga tidak sebersinar Nelsy sang bintang kampus. Tetapi Esther punya sesuatu yang membuat atensi Gaara terhadapnya selalu utuh.Dia suka ketika melihat bibir gadis itu bergerak ketika bicara dan gugup sendiri apalagi ketika dia gelisah. Dia bahkan menemukan dirinya turn on hanya karena menyadari gadis itu kerap membasahi bibirnya setelah menggigitnya sendiri. Seperti dia sedang mengundang Gaara untuk mencicipi bibi
Gaara mengangkat bahu. “Lalu kau sendiri bagaimana?”“Apanya yang bagaimana?” sahut Esther tidak mengerti.Gaara memutar mata mendengar jawaban gadis itu. “Hobimu.”Esther sejujurnya tidak menduga bahwa celetukan pertamanya akan benar-benar menghasilkan sebuah konversasi dua arah seperti ini. Dia bahkan tidak sama sekali berpikir bahwa Gaara akan kembali bertanya. Tetapi setitik harapan setidaknya tumbuh berkat itu, sebab sepertinya laki-laki itu menunjukan adanya sedikit ketertarikan pada pembicaraan iseng ini atau mungkin ini caranya menghargai.“Aku suka masak,” sahut Esther mengingat kegiatan yang membuat dirinya senang. Ada beberapa memang, tetapi akhir-akhir ini dia kerap kehilangan selera untuk melakukannya. “Aku juga suka seni …”Sepertinya gadis ini tipikal anak yang dicekoki banyak hal oleh orangtuanya sejak masih belia, pikir Gaara.“Ah … dan kurasa aku juga suka berenang. Sebenarnya lebih kepada aku suka dengan air,” tambah Esther lagi sambil tersenyum lemah. Untuk yang te
“Kau bilang ide yang bagus kan sebelumnya? Jadi ayo kerumahku dan berenang,” ujar pria itu lagi dengan santai.Esther hanya bisa menganga, dia menatap langit yang sudah mulai berubah warna menjadi oranye di luar sana. “Aku memang bilang kalau itu ide yang bagus, tapi bukan berarti aku mau berenang sekarang juga.”“Besok kan kau tidak ada kelas,” sahut pria itu singkat, yang sekali lagi membuat Esther hanya bisa mengerjapkan matanya.Bagaimana dia tahu soal itu?Namun sebelum dia bisa mengeluarkan suaranya lagi untuk protes, mereka sudah masuk ke dalam gerbang kediaman keluarga Maxwell yang megah. Mau menolak atau kabur juga rasanya percuma, toh laki-laki itu yang memegang setir mobilnya sekarang. Belum lagi dia jadi ingat perkataan si paman montir soal Gaara yang pemaksa. Sudah jelas keputusan pria itu menjadi sesuatu yang sifatnya mutlak.Gaara keluar lebih dulu dari mobilnya, sementara Esther masih sibuk melepas sabuk pengaman. Esther pikir laki-laki itu akan meninggalkannya, tetapi
Sebelum Esther bisa mengatakan balasan apa pun, tiba-tiba saja bibir Gaara sudah lebih dulu membungkam bibirnya. Dia pun tenggelam di dalam ciuman panas menggelora yang di penuhi oleh gairah. Esther mengerang saat lidah Gaara memaksa untuk membuka bibirnya. Tangan pria itu bahkan serta merta menurunkan pakaian renang yang dikenakan olehnya. Sambil terus saja mencumbu Esther, jari-jarinya yang sudah terlatih membelai puncak dadanya. Perut Esther secara refleks langsung menegang tatkala dia menerima sentuhan dari Gaara. Erangan keluar dari mulutnya tanpa bisa dia cegah, meskipun mulutnya masih dibungkam oleh Gaara.Esther sedikit lega ketika jemari pria itu mulai meninggalkan bagian dadanya, tetapi kelegaan itu tidak berlangsung lama lantaran Esther merasakan jari-jari yang sama membelai pangkal pahanya. Kedua mata Esther kontan terbuka dan dia tersadarkan bahwa ini sudah lebih jauh dari pada batas yang bisa dia toleransi.Kedua tangan gadis itu secara refleks langsung mendorong Gaara u
Baiklah ini mungkin sedikit tentang keluarga pasutri muda. sebenarnya tidak ada yang terlihat wah atau bagaimana kecuali fakta bahwa mereka mulanya adalah pasangan yang terlihat abnormal tetapi nyatanya bisa membuat sebuah keluarga yang terlampau manis bak gulali, apple candy, dan kue lapis legit. Namun terkadang juga bisa sepahit kopi, se asam lemon, se asin garam. Ya, barangkali inilah alasan mengapa hidup itu tidak selalu tentang satu rasa, sebab manis itu sendiri tidak akan pernah berarti bila tidak ada rasa yang lain. Hidup tidak melulu soal bahagia.Matahari sudah meninggi, teriknya telah menghidupkan semesta mencoba mengintip dari celah tirai jendela yang sengaja belum dibuka. Seiring dengan langkah Gaara yang sampai di ujung tengah dan lekas membuka pelan pintu kamarnya.Lelaki itu berjalan tanpa suara, seraya mengukir senyum yang paling sempurna. Kedua matanya memancarkan cahaya yang lembut, tampak sekali bahwa pria tersebut menyukai sosok wanita yang masih meringkuk nyaman d
Tidak disangka hari yang ditunggu akan tiba. Dia juga tidak habis pikir bahwa akan tiba masanya dia akan mengenakan pakaian serba putih dan didandani dengan cantik, terlebih nantinya dia akan bersanding dengan pria yang dia cintai. Senyuman manis terpatri di wajah Esther yang sudah dipoles dengan make up sedemikian rupa. Gadis itu sama sekali tidak bisa berhenti tersenyum untuk moment ini. Hari ini dia akan menikah, dengan seseorang yang dulunya adalah bad boy di kampus, lelaki yang mulanya hanya dijadikan sebagai objek taruhan antara dia dengan Vinson. Ceritanya memang selucu itu, tetapi tidak memudarkan bahwa cinta yang dia miliki kepada sang pria adalah cinta yang tulus.Setelah lulus dan berpacaran selama kurang lebih tiga tahun, Gaara datang ke kediamannya dan dengan gentle meminang Esther di depan ayahnya. Lamaran itu datang tanpa diduga sama sekali oleh Esther, dan dia teramat bahagia mendengar kesungguhan Gaara terhadapnya. Selang beberapa waktu, pria itu langsung sibuk memper
Esther terbangun karena rasa lapar di perut. Dia berbalik dan menemukan sepasang mata Gaara yang menatapnya dengan intens.Dia tertidur saat ditengah permainan, dan ranjang Gaara sekarang sudah menjadi favorit Esther. Dia tidak mau meninggalkannya.“Hei,” sapa gadis itu pada sang pemuda, dia tersenyum malu-malu.“Hei,” balas Gaara membalas senyumannya. “Kau lapar ya?”Esther mengangguk.“Aku sudah memanaskan sup dan ada sedikit roti juga. Mungkin rasanya tidak akan terlalu cocok, tapi aku pribadi memang jarang makan dirumah.”Esther terkekeh. “Kau seperti cenayang, bagaimana kau bisa tahu aku lapar?”“Aku mendengar suara perutmu.”Wajah Esther memerah, sementara Gaara malah tertawa. Mereka kemudian makan bersama di tempat tidur. Makan terakhir yang Esther makan memang hanya sarapan di pesawat. Rasa lelah membuat Esther melupakan banyak hal termasuk urusan mengisi perut. Dan meski Gaara bilang rasanya mungkin tidak sesuai, tetapi bagi Esther makanan itu adalah yang paling nikmat yang p
“Menurutmu apa aku punya pilihan Gaara?” Dia merasakan air mata membasahi pelupuk mata. “Aku sendirian. Jika ada satu kesempatan bagiku untuk bisa menyelamatkan diri, tentu aku akan melakukannya.”“Bagaimana bisa kau melakukan itu sementara—”“Siapa yang kau pikir akan menolongku saat itu? Apakah kau Gaara? Kau? Tentu saja aku tidak pernah berpikir kesana karena aku orang asing bagimu sementara Vinson adalah teman baikmu. Dan apa yang kau lakukan saat kau tahu aku kesulitan di kampus ketika Vinson membully-ku? Kau tidak melakukan apapun.” Gaara hendak memotongnya, tetapi Esther segera mengangkat tangan mencoba untuk menghentikan apapun yang akan lelaki katakan sebagai bentuk dari pada pembelaan. “Kita pernah membicarakan ini dulu sekali. Aku tidak berusaha sedang menyalahkan keadaan ini kepadamu. Faktanya, memang pada saat itu aku tidak punya seorangpun yang bisa menolongku. Pada akhirnya aku hanya harus melakukan sesuatu agar aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Terus terang taruha
Gaara yakin dia berhalusinasi ketika melihat sosok perempuan berambut keperakan yang berdiri di muka rumahnya.Tidak. Tidak mungkin itu Esther.Selain Gaara hanya ada dua orang yang tahu soal keberadaan rumah ini. Paman Yoshi dan ayahnya.Bahkan saat Gaara turun dari jeep dan melepas kacamata hitamnya untuk memastikan bahwa terik matahari tidak membuatnya berhalusinasi, sosok tersebut masih berada disana. Semakin mendekat, Gaara semakin yakin bahwa sosok itu memang adalah Esther.Perasaannya kian membuncah dan tidak terkendali. Tetapi diantara itu semua, Gaara tidak bisa berbohong bahwa dia bersyukur melihat Esther ada disini. Apalagi mengingat bahwa beberapa saat yang lalu dia nyaris membuat keputusan yang mungkin akan disesalinya.Ketika dia berhasil memeluk sosok itu, rasa lega segera menyebar dalam hatinya. Dia tidak tahu bagaimana caranya Esther bisa berada disini. Namun dia bersyukur bahwa sekali lagi dia masih bisa menyentuh kehangatan kulit gadis itu. Berada didekat Esther mem
Sejak meninggalkan rumah yang dahulu menjadi tempat dia menghabiskan waktu bersama sang bunda tercinta. Gaara tidak menduga bahwa akan ada saatnya dia kembali ke rumah ini. Tepat seperti dugaannya pula tidak ada satu bagian dari rumah ini yang berubah. Ayahnya pasti melakukan segala cara agar rumah tersebut tetap sama persis seperti saat masih ditinggali oleh ibunya terakhir kali. Gaara bisa melihatnya dari taman bunga dan juga gazebo tempat ibunya dulu selalu menghabiskan waktu bersama Gaara untuk membacakannya sebuah dongeng.Gaara tidak bisa membohongi dirinya. Rumah itu sangat mencerminkan kepribadian ibunya. Setiap sudutnya memaksa Gaara mengingat semua memori tentang wanita itu. Ketika Gaara pertama kali melewati pintu depan rumah tersebut, dia merasa seperti melihat hantu ibunya dari masa lalu.Dalam perjalannnya ke Australia, Gaara sebenarnya telah membayangkan ratusan skenario yang ingin dia lakukan pada rumah tersebut. Hal pertama yang mampir ke otaknya adalah membersihkan s
Sesuai dengan janji, setelah mengunjungi makam ibunya Gaara, Jorge mengantar Esther menuju ke kediaman mendiang istrinya dimana gadis itu bilang bahwa Gaara berpotensi berada disana. Jorge sebenarnya tidak yakin bahwa sang putra akan berada di rumah tua itu. Apalagi karena Gaara punya alasan yang kuat mengapa dia bersedia tinggal bersamanya dari pada tinggal dirumah itu.Namun entah bagaimana, Esther mampu mematahkan semua statement pria itu berdasarkan intuisinya yang liar.Sementara Esther sendiri kini semakin diliputi rasa bersalah yang teramat mendalam kepada Gaara. Setelah mendengar cerita Jorge tentang mendiang istrinya. Esther memahami bahwa Gaara tumbuh dengan pemahaman bahwa sang ibu meninggal karena cinta yang terlalu besar kepada ayahnya. Memang masuk akal bahwa pemuda itu akan bersikap sinis dan membenci ayahnya. Tetapi terlepas dari hal itu, Esther pun tidak bisa menjudge keduanya. Tetapi yang pasti setelah mendengar segalanya dari kedua belah pihak, Esther malah merasa k
Esther benar-benar tidak tahu bahwa dia punya keberuntungan sebesar ini dalam hidupnya.Lima belas menit yang lalu dia benar-benar dibuat kelimpungan dan nyaris menangis gara-gara kehabisan mobil jemputan. Memang benar keputusan yang dia buat kali ini pun terbilang sangat gila seumur hidupnya. Terbang ke Australia tanpa punya kenalan satu pun, bahkan alamat yang hendak dia tuju pun Esther tak tahu. Esther hanya punya modal ingatan foto-foto lama Gaara dengan mendiang ibunya saja. Makanya rencana Esther adalah menyewa mobil dan pergi berkeliling sambil mencari rumah yang mirip dengan gambar yang pernah Esther lihat.Saat itulah mendadak pria baik hati yang Esther temui di pesawat menghampiri. Karena Esther punya pengalaman kurang baik dengan orang asing, maka Esther sempat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada orang itu. Tetapi bila mengingat kebaikan yang pria itu lakukan, Esther berasumsi bahwa orang itu bukanlah orang yang punya maksud jahat.“Ah, saya Jorge Maxwell. Orang ya
“Maaf?” balas gadis itu tampak agak kaget dengan pertanyaan yang Jorge berikan terhadapnya.“Mimpimu.”“A—ah… itu … b—bukan apa-apa,” sahutnya agak tergagap sambil menggelengkan kepala. “Maaf saja tapi itu … bukan tipik yang cukup menyenangkan untuk … dibicarakan.”Jorge mengangguk. “Baiklah kalua begitu, tapi saat melihatmu aku jadi teringat putra bungsuku yang kurasa seumuran denganmu.”Sekilas gadis itu jadi tampak sedikit tertarik. “Benarkah? Umur berapa?”“Tahun ini masuk dua puluh dua tahun.”Gadis itu menganggukan kepala. “Ah, benarkah? Saya juga.”“Jadi, kalua boleh tahu apa yang gadis sepertimu lakukan sendirian? Apa kau ingin mengunjungi seseorang?”Selama sesaat gadis itu tampak menimbang-nimbang jawabannya. Ekspresinya juga sedikit berubah. Tetapi kemudian tak selang beberapa lama dia menganggukan kepala. “Ya, begitulah.”“Keluarga?”“Ah, bukan. Hanya seorang teman.”“Kurasa dia adalah teman yang special sampai kau mau terbang sendirian seperti ini.”Jorge jadi terkekeh sa