“Sialan!” Gaara tiba-tiba terjaga dari tidurnya. Dada pemuda itu naik turun dengan cepat dengan napas yang tersenggal. Kaosnya basah oleh keringat dan secara spontan langsung melemparkan selimutnya beserta membuka kaos yang dia kenakan untuk kemudian dia lemparkan secara sembarangan.Setelah mendapatkan ketenangannya kembali, Gaara lantas segera menuju ke laci lemari di dekat closet pakaiannya. Mengeluarkan sebuah kotak dan dibawanya kotak tersebut ke jendela besar yang sengaja tirainya tidak dia tutup. Dari kotak itu dia mengeluarkan ganja dan melintingnya menjadi rokok. Dengan pematik yang sudah tersedia dia kemudian membakar ujungnya dan menghisap benda itu secara mendalam.Ini adalah malam kedua Gaara mengalami mimpi buruk yang memutar memori masa kecilnya. Dan jika sudah seperti ini dia akan menggunakan jalan pintas untuk menghilangkan seluruh rasa yang terbawa dari mimpi itu menggunakan hisapan rokoknya. Setidaknya itu lebih baik ketimbang menjadi gila karena rasa bersalah.Dia
Awal Minggu tidak pernah menjadi hari yang baik bagi semua orang. Hal itu juga berlaku untuk Esther yang paling malas menjalani harinya di kampus pada Senin pagi. Tubuh gadis itu masih melingkar dalam selimut, menolak untuk melepaskan kehangatannya barang sejenak. Dari semua suara-suara di luar kediamannya, dia tahu sebagian tetangganya mungkin telah memulai aktivitas. Dia pun seharusnya begitu, karena dia punya kelas pagi, hari ini.Tapi Demi Tuhan! Esther sangat ingin bolos hari itu.Semuanya makin rumit dan memenuhi kepala sampai dia mendengar seseorang mengetuk pintu. Esther bergegas turun dari ranjang dan membasuh mukanya dengan air sebelum bertatap muka dengan siapa pun pelakunya. Agak mengherankan sebab dia tidak pernah disatroni siapa pun di pagi hari.“Paket,” seru orang tersebut dari luar.“Ya, sebentar,” sahut Esther yang langsung membuka pintu untuk bertatap muka dengan sang kurir yang telah menyambutnya dengan senyum hangat beserta sebuah buket bunga ditangannya.“Esther
“Ya, karena dibuat oleh tangan professional.”Gaara menyeringai mendengarnya. Gadis itu cukup berani, dan to the point. Sepertinya dia baru saja melakukan yang benar. Perempuan ini suka bunga, dan pengetahuannya sebagai pria gentleman membantunya sedikit walaupun tidak cukup untuk meredakan kemarahan gadis ini.“Lalu kau tidak berterima kasih?”“Aku tidak minta diberi bunga.”Gaara merasa dirinya seakan-akan terhipnotis. Ketajaman mata gadis itu dan pembawaannya yang penuh dengan amarah entah kenapa terlihat dua kali lipat jauh lebih seksi. Itu terlihat lebih baik dari pada sebuah senyuman menggoda yang biasa Gaara terima dari gadis-gadis lain. Sesuatu seperti itu jarang dia terima dari orang lain.Mestinya dia merasa terganggu atau paling tidak marah karena diperlakukan seperti ini. Tetapi kenyataannya Gaara malah terdorong untuk merengkuh gadis itu dan memberinya sebuah ciuman penuh gairah. Tapi tentu saja dia tidak segila itu, dan masih bisa menahan dirinya. Dia tahu betul bahwa ha
“Kenapa kau menyeretku dalam hal ini?” protes Esther untuk kesekian kalinya.Saat ini mereka sudah berada di dalam Range Rover-nya Gaara yang sudah melaju di jalan raya, dan rasanya sudah sangat terlambat baginya untuk terus menerus memprotes apa yang Gaara perbuat. Esther tidak tahu kemana pria itu akan membawanya, tetapi jelas di lubuk hatinya bila pria itu bermaksud untuk membawanya ke tempat yang mencurigakan Esther bersumpah akan menghadiahi pria itu satu bogem mentah di wajahnya dan menendang tulang keringnya hingga geser.“Tidak bisakah kau terima kenyataan saja kalau aku hanya ingin bolos bersamamu hari ini?”Esther langsung bungkam, tetapi sekarang yang jadi kegelisahannya adalah ayahnya. Dia terlalu takut untuk menebak bagaimana reaksi ayahnya jika sampai tahu putri sulungnya berbuat aneh-aneh macam bolos kuliah dengan seorang berandalan macam Gaara Maxwell.“Berhentilah terus melirik ke layar handphonemu! Itu mengesalkan! Kau membuatku gila!” Akibat terlalu fokus pada Esthe
Esther mulanya agak ragu untuk duduk disebelah Gaara, tetapi kemudian setelah mempertimbangkan akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti kemauan pemuda itu. Dia mengambil jarak aman darinya, tidak terlalu dekat tetapi tidak juga terlalu jauh. Baginya itu perlu mengingat Gaara terkadang bersikap diluar prediksi.“Aku pernah punya pemikiran kalau kau dari luar negeri. Tapi aku tidak yakin juga kau memang lahir disini.”“Karena sudah kuberitahu harusnya kau sekarang yakin aku bukan dari sini,” sahut Gaara sambil menyesap minumannya.“Jadi … sebenarnya kau dari daerah mana?” tanya Esther memulai.“Wah, kau penasaran juga ya?”Wajah Esther memerah, dia agak malu karena kepergok memperlihatkan rasa keingintahuannya yang besar. “Kau sendiri kan yang pertama menyinggung-nyinggung masalah tempat kelahiran?”Sesaat Gaara terdiam cukup lama. Pandangan matanya menerawang jauh seakan-akan dia sedang melihat sesuatu dari masa lalu. “Aku lahir di sebuah kota kecil dekat gurun pasir di Australia.”Mulu
Perjalanan mereka kembali ke kampus lebih banyak diisi oleh kebisuan. Gaara menyetir dalam diam, pun juga dengan Esther yang lebih memilih bungkam sambil mengawasi pemandangan di luar kaca mobil dengan ekspresi wajah yang muram. Karena tidak ada percakapan sama sekali, entah mengapa perjalanan kali ini terasa jadi jauh lebih lama daripada yang sebelumnya.Tetapi untung saja, dengan kepiawaian Gaara dalam berkendara mereka kini telah sampai di parkiran kampus. Esther segera turun dari mobil dan memberikan pria itu sebuah salam terakhir.“Terima kasih,” katanya dengan suara pelan sambil membawa tubuhnya menjauh. Dia memang sengaja tidak ingin berlama-lama dan tidak mau banyak berinteraksi dengan Gaara. Dia tidak mau tahu apa yang pria itu katakan sebagai jawabannya. Tetapi …“Hei Esther!”Esther mau tidak mau menghentikan langkahnya tatkala mendengar namanya dipanggil dari arah belakang. Dia mendapati Gaara yang berlari kecil mendekat padanya dengan ekspresi wajah yang tidak mudah diteb
Satu hal yang dipastikan akan terjadi adalah Gaara sudah pasti akan murka terhadapnya. Dan Esther merasa bahwa bila kemarahan telah mendominasi pria itu maka dia tidak akan ragu-ragu untuk melakukan apa saja, sama seperti cerita yang pria itu bagi padanya saat di taman kota. Tentang bagaimana dia mengirim kakak tingkat yang menipunya ke rumah sakit. Esther rasa nasib serupa akan dia dapatkan bila si Vinson bajingan ini tiba-tiba saja buka mulut. Tubuh gadis itu mendadak merinding karena pemikirannya sendiri.“Kalau kau memberitahu dia perjanjian kita batal.”“Oh? Jadi kau sangat peduli terhadap pendapat Gaara juga ya? Aku kira kau sama kejamnya seperti sepupumu.” Vinson mengucapkan kata terakhirnya dengan penuh nada kebencian. Sudah bukan rahasia umum bahwa Elson dan Vinson adalah musuh bebuyutan. Mereka tidak pernah akur, dan Esther tahu kebencian yang mereka miliki untuk masing-masing. “Tapi karena kau tidak sama dengan sepupumu, maka aku akan memberimu sedikit keringanan. Permainan
Esther menyipitkan kedua matanya, rasanya agak aneh saat ayahnya mengajak keluar untuk sekadar makan malam dan yang membuat kecurigaannya makin meningkat levelnya adalah fakta bahwa sang ayah ingin membawa Esther untuk makan malam bersama seorang kolega. Lagipula keberadaan Esther tidak diperlukan bila hanya untuk makan malam bisnis. Esther mencium sesuatu yang tidak beres dari itu.“Aku harap ini bukan salah satu usaha Ayah untuk menjodohkanku lagi seperti saat itu. Ayah tahu betul kalau aku belum tertarik untuk menikah,” ungkap Esther diplomatis.Dia masih cukup mengingat kesan pertamanya saat ikut makan malam bersama sang ayah saat masih SMA dan bisa dibilang itu adalah pengalaman yang agak traumatis untuknya.“Kenapa kau bisa langsung menyimpulkan begitu? tapi ya, Ayah dengar anak dari kolega bisnis ayah ini seumuran denganmu, dia laki-laki dan kalian kuliah di kampus yang sama. Jadi kami bermaksud untuk saling memperkenalkan anak kami berdua dalam acara makan malam tersebut.”Est
Baiklah ini mungkin sedikit tentang keluarga pasutri muda. sebenarnya tidak ada yang terlihat wah atau bagaimana kecuali fakta bahwa mereka mulanya adalah pasangan yang terlihat abnormal tetapi nyatanya bisa membuat sebuah keluarga yang terlampau manis bak gulali, apple candy, dan kue lapis legit. Namun terkadang juga bisa sepahit kopi, se asam lemon, se asin garam. Ya, barangkali inilah alasan mengapa hidup itu tidak selalu tentang satu rasa, sebab manis itu sendiri tidak akan pernah berarti bila tidak ada rasa yang lain. Hidup tidak melulu soal bahagia.Matahari sudah meninggi, teriknya telah menghidupkan semesta mencoba mengintip dari celah tirai jendela yang sengaja belum dibuka. Seiring dengan langkah Gaara yang sampai di ujung tengah dan lekas membuka pelan pintu kamarnya.Lelaki itu berjalan tanpa suara, seraya mengukir senyum yang paling sempurna. Kedua matanya memancarkan cahaya yang lembut, tampak sekali bahwa pria tersebut menyukai sosok wanita yang masih meringkuk nyaman d
Tidak disangka hari yang ditunggu akan tiba. Dia juga tidak habis pikir bahwa akan tiba masanya dia akan mengenakan pakaian serba putih dan didandani dengan cantik, terlebih nantinya dia akan bersanding dengan pria yang dia cintai. Senyuman manis terpatri di wajah Esther yang sudah dipoles dengan make up sedemikian rupa. Gadis itu sama sekali tidak bisa berhenti tersenyum untuk moment ini. Hari ini dia akan menikah, dengan seseorang yang dulunya adalah bad boy di kampus, lelaki yang mulanya hanya dijadikan sebagai objek taruhan antara dia dengan Vinson. Ceritanya memang selucu itu, tetapi tidak memudarkan bahwa cinta yang dia miliki kepada sang pria adalah cinta yang tulus.Setelah lulus dan berpacaran selama kurang lebih tiga tahun, Gaara datang ke kediamannya dan dengan gentle meminang Esther di depan ayahnya. Lamaran itu datang tanpa diduga sama sekali oleh Esther, dan dia teramat bahagia mendengar kesungguhan Gaara terhadapnya. Selang beberapa waktu, pria itu langsung sibuk memper
Esther terbangun karena rasa lapar di perut. Dia berbalik dan menemukan sepasang mata Gaara yang menatapnya dengan intens.Dia tertidur saat ditengah permainan, dan ranjang Gaara sekarang sudah menjadi favorit Esther. Dia tidak mau meninggalkannya.“Hei,” sapa gadis itu pada sang pemuda, dia tersenyum malu-malu.“Hei,” balas Gaara membalas senyumannya. “Kau lapar ya?”Esther mengangguk.“Aku sudah memanaskan sup dan ada sedikit roti juga. Mungkin rasanya tidak akan terlalu cocok, tapi aku pribadi memang jarang makan dirumah.”Esther terkekeh. “Kau seperti cenayang, bagaimana kau bisa tahu aku lapar?”“Aku mendengar suara perutmu.”Wajah Esther memerah, sementara Gaara malah tertawa. Mereka kemudian makan bersama di tempat tidur. Makan terakhir yang Esther makan memang hanya sarapan di pesawat. Rasa lelah membuat Esther melupakan banyak hal termasuk urusan mengisi perut. Dan meski Gaara bilang rasanya mungkin tidak sesuai, tetapi bagi Esther makanan itu adalah yang paling nikmat yang p
“Menurutmu apa aku punya pilihan Gaara?” Dia merasakan air mata membasahi pelupuk mata. “Aku sendirian. Jika ada satu kesempatan bagiku untuk bisa menyelamatkan diri, tentu aku akan melakukannya.”“Bagaimana bisa kau melakukan itu sementara—”“Siapa yang kau pikir akan menolongku saat itu? Apakah kau Gaara? Kau? Tentu saja aku tidak pernah berpikir kesana karena aku orang asing bagimu sementara Vinson adalah teman baikmu. Dan apa yang kau lakukan saat kau tahu aku kesulitan di kampus ketika Vinson membully-ku? Kau tidak melakukan apapun.” Gaara hendak memotongnya, tetapi Esther segera mengangkat tangan mencoba untuk menghentikan apapun yang akan lelaki katakan sebagai bentuk dari pada pembelaan. “Kita pernah membicarakan ini dulu sekali. Aku tidak berusaha sedang menyalahkan keadaan ini kepadamu. Faktanya, memang pada saat itu aku tidak punya seorangpun yang bisa menolongku. Pada akhirnya aku hanya harus melakukan sesuatu agar aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Terus terang taruha
Gaara yakin dia berhalusinasi ketika melihat sosok perempuan berambut keperakan yang berdiri di muka rumahnya.Tidak. Tidak mungkin itu Esther.Selain Gaara hanya ada dua orang yang tahu soal keberadaan rumah ini. Paman Yoshi dan ayahnya.Bahkan saat Gaara turun dari jeep dan melepas kacamata hitamnya untuk memastikan bahwa terik matahari tidak membuatnya berhalusinasi, sosok tersebut masih berada disana. Semakin mendekat, Gaara semakin yakin bahwa sosok itu memang adalah Esther.Perasaannya kian membuncah dan tidak terkendali. Tetapi diantara itu semua, Gaara tidak bisa berbohong bahwa dia bersyukur melihat Esther ada disini. Apalagi mengingat bahwa beberapa saat yang lalu dia nyaris membuat keputusan yang mungkin akan disesalinya.Ketika dia berhasil memeluk sosok itu, rasa lega segera menyebar dalam hatinya. Dia tidak tahu bagaimana caranya Esther bisa berada disini. Namun dia bersyukur bahwa sekali lagi dia masih bisa menyentuh kehangatan kulit gadis itu. Berada didekat Esther mem
Sejak meninggalkan rumah yang dahulu menjadi tempat dia menghabiskan waktu bersama sang bunda tercinta. Gaara tidak menduga bahwa akan ada saatnya dia kembali ke rumah ini. Tepat seperti dugaannya pula tidak ada satu bagian dari rumah ini yang berubah. Ayahnya pasti melakukan segala cara agar rumah tersebut tetap sama persis seperti saat masih ditinggali oleh ibunya terakhir kali. Gaara bisa melihatnya dari taman bunga dan juga gazebo tempat ibunya dulu selalu menghabiskan waktu bersama Gaara untuk membacakannya sebuah dongeng.Gaara tidak bisa membohongi dirinya. Rumah itu sangat mencerminkan kepribadian ibunya. Setiap sudutnya memaksa Gaara mengingat semua memori tentang wanita itu. Ketika Gaara pertama kali melewati pintu depan rumah tersebut, dia merasa seperti melihat hantu ibunya dari masa lalu.Dalam perjalannnya ke Australia, Gaara sebenarnya telah membayangkan ratusan skenario yang ingin dia lakukan pada rumah tersebut. Hal pertama yang mampir ke otaknya adalah membersihkan s
Sesuai dengan janji, setelah mengunjungi makam ibunya Gaara, Jorge mengantar Esther menuju ke kediaman mendiang istrinya dimana gadis itu bilang bahwa Gaara berpotensi berada disana. Jorge sebenarnya tidak yakin bahwa sang putra akan berada di rumah tua itu. Apalagi karena Gaara punya alasan yang kuat mengapa dia bersedia tinggal bersamanya dari pada tinggal dirumah itu.Namun entah bagaimana, Esther mampu mematahkan semua statement pria itu berdasarkan intuisinya yang liar.Sementara Esther sendiri kini semakin diliputi rasa bersalah yang teramat mendalam kepada Gaara. Setelah mendengar cerita Jorge tentang mendiang istrinya. Esther memahami bahwa Gaara tumbuh dengan pemahaman bahwa sang ibu meninggal karena cinta yang terlalu besar kepada ayahnya. Memang masuk akal bahwa pemuda itu akan bersikap sinis dan membenci ayahnya. Tetapi terlepas dari hal itu, Esther pun tidak bisa menjudge keduanya. Tetapi yang pasti setelah mendengar segalanya dari kedua belah pihak, Esther malah merasa k
Esther benar-benar tidak tahu bahwa dia punya keberuntungan sebesar ini dalam hidupnya.Lima belas menit yang lalu dia benar-benar dibuat kelimpungan dan nyaris menangis gara-gara kehabisan mobil jemputan. Memang benar keputusan yang dia buat kali ini pun terbilang sangat gila seumur hidupnya. Terbang ke Australia tanpa punya kenalan satu pun, bahkan alamat yang hendak dia tuju pun Esther tak tahu. Esther hanya punya modal ingatan foto-foto lama Gaara dengan mendiang ibunya saja. Makanya rencana Esther adalah menyewa mobil dan pergi berkeliling sambil mencari rumah yang mirip dengan gambar yang pernah Esther lihat.Saat itulah mendadak pria baik hati yang Esther temui di pesawat menghampiri. Karena Esther punya pengalaman kurang baik dengan orang asing, maka Esther sempat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada orang itu. Tetapi bila mengingat kebaikan yang pria itu lakukan, Esther berasumsi bahwa orang itu bukanlah orang yang punya maksud jahat.“Ah, saya Jorge Maxwell. Orang ya
“Maaf?” balas gadis itu tampak agak kaget dengan pertanyaan yang Jorge berikan terhadapnya.“Mimpimu.”“A—ah… itu … b—bukan apa-apa,” sahutnya agak tergagap sambil menggelengkan kepala. “Maaf saja tapi itu … bukan tipik yang cukup menyenangkan untuk … dibicarakan.”Jorge mengangguk. “Baiklah kalua begitu, tapi saat melihatmu aku jadi teringat putra bungsuku yang kurasa seumuran denganmu.”Sekilas gadis itu jadi tampak sedikit tertarik. “Benarkah? Umur berapa?”“Tahun ini masuk dua puluh dua tahun.”Gadis itu menganggukan kepala. “Ah, benarkah? Saya juga.”“Jadi, kalua boleh tahu apa yang gadis sepertimu lakukan sendirian? Apa kau ingin mengunjungi seseorang?”Selama sesaat gadis itu tampak menimbang-nimbang jawabannya. Ekspresinya juga sedikit berubah. Tetapi kemudian tak selang beberapa lama dia menganggukan kepala. “Ya, begitulah.”“Keluarga?”“Ah, bukan. Hanya seorang teman.”“Kurasa dia adalah teman yang special sampai kau mau terbang sendirian seperti ini.”Jorge jadi terkekeh sa