Esther menemukan dua orang sedang bercumbu mesra di atas tempat tidur. Vinson (orang yang paling tidak ingin dilihatnya) sibuk melumat bibir seorang mahasiswi yang beberapa saat lalu baru saja masuk ke kelas bersamaan dengan Nara. Sebelah tangan Vinson menahan kepala gadis itu, sementara tangannya yang lain berada di dalam roknya. Ciuman itu tampak penuh gairah dan hasrat sehingga mereka nyaris tidak menyadari keberadaan Esther yang berdiri shock disana seperti orang bodoh.
Esther yang menyadari bahwa mereka belum tahu keberadaannya langsung mengambil seribu langkah hendak pergi sebelum akhirnya dia mendengar suara Vinson dari balik bahunya. “Lihat siapa yang mengintip kita, apa kau menginginkannya juga Esther?”
Sadar bahwa pria itu tidak akan melepaskannya, pada akhirnya meski masih dalam kondisi kaget bercampur malu Esther menghadap pria itu dan memandang nyalang kepadanya. “Bukannya kau berpacaran dengan Nelsy?” balas gadis itu.
Sebetulnya itu bukan urusannya, hanya saja dia kesal menyadari bahwa gadis cantik dan baik hati meski populer di kampusnya bisa berpacaran dengan orang brengsek macam Vinson. Dia hanya merasa empati pada kekasihnya, meskipun Esther tidak begitu mengenal Nelsy secara pribadi.
Menyadari Esther menyebut nama perempuan lain, perempuan yang menjadi pasangan Vinson langsung kesal. Dia tidak peduli dengan penampilannya yang semraut setelah dijamah oleh Vinson beberapa saat yang lalu. “Siapa kau ini?!” sembur perempuan itu pada Esther.
“Mainan barunya Gaara.”
“Tidak!” sela Esther tidak terima dengan sebutan yang Vinson berikan kepadanya.
Perempuan itu langsung mencemooh Esther. “Kau tidak terlihat seperti tipenya Gaara, malah di mataku terlihat seperti perempuan culun yang sama sekali tidak punya daya tarik,” ujarnya sambil terkikik geli.
“Dia memang pecundang, Elise.”
“Setidaknya aku bukan perempuan murahan yang mau dijadikan pelampiasan dari si bangsat Vinson. Mau-maunya kau bercumbu dengan pacar oranglain, perempuan jalang!” timpal Esther sambil memberikan jari tengah kepada mereka berdua sebelum bergegas pergi dari klinik secepatnya.
Sekali lagi hubungan asmara Vinson bukan urusannya, hanya saja dia benci terhadap pria yang berselingkuh. Dia juga benci pada perempuan yang mau-maunya dijadikan mainan oleh pria yang sudah punya pasangan.
“Ah sial, ini bukan urusanku tapi ini menganggu sekali,” keluhnya dalam setiap langkah yang Esther lalui. “Aku saja sudah kelimpungan dengan masalahku sendiri, untuk apa aku mengurusi urusan oranglain?” omelnya lagi pada diri sendiri.
Tiba di loker miliknya, sekali lagi Esther mendapat kejutan. Ada foto-foto dirinya dan Gaara dicetak dan disebarkan di dalam lokernya. Sudah jelas siapa pelakunya dan hal ini membuat Esther makin murka. Mengapa Vinson selalu hadir di hidupnya untuk mengacau begini? Sejak SMA dia selalu usil dan mengikuti Esther kemana pun. Bahkan kini di kehidupan kampusnya saja dia tidak dibiarkan bernapas lega barang sejenak.
Karena emosi, Esther membanting pintu lokernya sendiri setelah memasukan foto-foto sialan itu ke dalam tasnya. Pulang dari kampus dia menanamkan pada dirinya sendiri dia akan membakar benda itu secepatnya. Namun yang mengherankan adalah padahal sudah lewat batas dari waktu. Tapi kenapa Vinson belum menyebarluaskan skandal yang Esther buat dengan Gaara?
***
Ada waktu satu jam lagi, perutnya keroncongan minta diisi. Esther sebenarnya paling malas mengisi perut di cafetaria kampus sebab disana sudah bisa dipastikan dia akan bertemu muka lagi dengan si brengsek Vinson. Namun karena sifatnya urgensi dan tidak bisa dinego lagi. Alhasil Esther melangkahkan kakinya menuju ke kafetaria kampus. Seperti biasa tempat itu sangat ramai dengan para mahasiswa berkantong tipis untuk mencari makan.
“Hei Esther!” Suara feminim memanggil namanya dari kejauhan. Menyadari si pemilik suara, Esther berbalik dan menemukan Nelsy melambai padanya dengan senyuman lima jari yang terlihat menyilaukan.
Sang dewi kampus itu memang terkenal baik dan ramah. Esther sendiri mengagumi dirinya, hanya saja melihat siapa yang ada di mejanya saat itu membuat Esther mengurungkan niat untuk bergabung. Disana ada Vinson, Elise, dan juga Gaara. Bagaimana bisa mereka berdua bersama lagi di depan Nelsy setelah bercumbu liar diklinik kampus? Meraka pasti sudah gila. Selain itu Esther juga sempat memperhatikan agak lama pada Gaara yang saat itu sedang menyantap makan siangnya dengan ogah-ogahan.
“Sini Esther ayo gabung bersama kami!” ajak Nelsy lagi dengan ceria. Pada akhirnya karena tidak enak menolak Nelsy yang wajahnya sudah berseri-seri seperti itu kepadanya, alhasil Esther menemukan dirinya malah mendekat ke meja tersebut. Dia tahu itu adalah hal bodoh, tetapi dia tidak bisa menyangkut pautkan Nelsy terhadap orang yang dia benci meskipun orang itu pacarnya.
“Kenapa kau memanggil pecundang itu kemari?” desis Vinson tidak terima dan cemas, melihatnya seperti itu satu ide gila muncul dikepala Esther saat itu juga.
“Lho memangnya kenapa? Kau dan Esther kudengar satu SMA kan dulu?” timpal Nelsy sambil tersenyum ke arah Vinson. “Jika kuperhatikan kau selalu bersikap buruk padanya, sebaiknya kalian berbaikan dan akur dan kurasa inilah saatnya.”
“Kenapa tiba-tiba kau peduli soal itu?”
“Entahlah sayang, setiap manusia kan bisa berubah,” sahut Nelsy yang kali ini dengan santainya mengecup pipi Vinson. “Sekarang bersikap baiklah padanya dan Esther ayo duduk disini,” ajak Nelsy sambil bergeser menepuk tempat diantara dirinya dan Elise.
Aneh sekali melihat dia memilih tempat itu untuk Esther duduki. Tetapi karena senyuman Nelsy yang lebar membuat Esther menurut dan duduk disitu meskipun canggung. Tatapan penghuni meja tersebut tampak mencemooh padanya, kecuali Nelsy dan Gaara yang lebih memilih tidak peduli.
“Hai Nelsy,” sapa Esther agak canggung.
Dia tersenyum lagi. “Aku perhatikan apa yang dilakukan oleh Vinson kepadamu sudah keterlaluan,” ujar gadis itu dengan pandangan penuh empati. Vinson hendak bereaksi memprotes tetapi Nelsy berhasil menghentikan ucapan pria itu sebelum dia sempat mengatakan apa-apa. “Sejujurnya aku tidak suka dengan apa yang kau lakukan padanya. Apa kau tidak pernah memikirkan posisi Esther? Kau menganggu dia padahal dia tidak pernah melakukan apa-apa padamu.” Vinson tidak menjawab kekasihnya, dia memilih berpaling muka alih-alih mendengarkan ceramah Nelsy kepadanya.
“Ngomong-ngomong Esther, kau mau mencicipi makananku?” tawar Nelsy sambil menyodorkan saladnya kepada Esther.
“Tidak terima kasih, aku sudah punya makananku sendiri,” tolak Esther dengan ramah dan untungnya Nelsy tidak memaksanya.
“Kau makan itu lagi?” tanya Vinson yang secara tiba-tiba perhatiannya teralih kepada kotak bekal kekasihnya.
“Iya, aku buat sendiri.”
“Tapi kau kan sedang diet sayang,”
Diet? Pikir Esther bingung. Untuk apa lagi Nelsy diet sementara tubuhnya saja sudah seindah itu? tetapi yang lebih membuat Esther muak adalah cara Vinson memperlalukan Nelsy seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal belum lama ini dia sudah bercumbu dengan Elise yang duduk disebelahnya sekarang.
“Aku bukannya mau ikut campur dengan urusan kalian,” celetuk Esther tiba-tiba.
Tentu saja hal tersebut membuat Nelsy langsung beralih pada Esther dan memandangnya penuh perhatian. “Ada apa Esther?”
“Kenapa kau bisa-bisanya bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, Vinson?” ungkap Esther pada akhirnya yang kontan langsung membuat Vinson yang saat itu sedang menyesap minumannya terbatuk-batuk. Sementara Elise yang juga sedang mengunyah makanannya ikut tersedak dan langsung melotot ke arah Esther.
Dahi Nelsy mengernyit tidak mengerti. “Apa maksud pertanyaanmu Esther?”
Esther menatap ke arah Nelsy dengan ekspresi simpati, tetapi dia mengalihkan pandangannya pada Vinson dengan ekspresi jijik. “Aku baru saja melihat Vinson dan Elise bercumbu di klinik kampus belum lama ini. Maafkan aku Nelsy, aku hanya tidak tahan melihat kepura-puraan di wajah kedua orang itu saat bersamamu.”
Pernyataan Esther yang lugas menghantam Nelsy dengan keras. Ekspresinya berubah kaku ketika menatap pacarnya dan Elise di meja yang sama. “Benarkah itu Vinson?” tetapi diluar dugaan Nelsy cukup dapat mengontrol suaranya sehingga masih terdengar tenang.
“Tidak! kenapa kau mempercayai orang yang baru kau ajak bicara hari ini? kau tahu sendiri hubunganku dengan dia tidak baik. Dia hanya berusaha memfitnahku dalam kesempatan ini!” Vinson mencoba merengkuh kekasihnya, tetapi Nelsy langsung menepis tangan pria itu.
“Bagaimana tanggapanmu Elise?”
“T-Tidak Nelsy, demi Tuhan! Perempuan pecundang ini pasti hanya sedang berhalusinasi. Dia sedang berusaha mengadu domba kita!” ungkap Elise mencoba menenangkan sahabatnya.
Tidak disangka Nelsy malah tertawa terbahak-bahak. Tawa yang tentu saja membuat semua orang yang ada di meja terheran-heran karena disituasi ini sama sekali tidak ada yang lucu. “Ya ampun, ini lucu sekali,” ujar Nelsy. “Aku sudah cukup bersabar selama ini, terima kasih untuk kejujuranmu Esther. Berkat kau aku menemukan keberanianku. Sebenarnya aku sudah tahu tabiat buruk orang ini sejak lama. Aku tahu semuanya, tetapi aku tidak bisa melepaskan dia sampai aku lelah. Dan sekarang saatnya Vinson. Hubungan kita sudah berakhir,” katanya dengan diakhiri dengan senyuman manis.
Tanpa menunggu jawaban Vinson, Nelsy bangkit dari posisinya dan berlari menjauh. Esther yang masih berada di kursi itu berpikir Vinson akan mengejar Nelsy atau mungkin mencekiknya sekarang juga disini. Namun diluar dugaan pria itu tidak melakukan apa-apa dan hanya menghela napas. “Dasar ratu drama, tunggu saja nanti dia tidak akan tahan jauh dariku. Dia pasti akan merangkak meminta kembali padaku.”
Begitu mendengar komentar tersebut, seisi cafetaria tertawa. Vinson menanggapi perasaan Nelsy adalah hal yang remeh dan seolah gadis itu sakit jiwa. Sungguh, Esther bersumpah itu adalah kali pertama dia merasa begitu marah dan ingin membunuh seseorang.
Esther ikut bangkit dari kursinya, lalu dengan seluruh kekuatan yang dia punya gadis itu menggenggam lengan baju Vinson dengan kasar seraya mendekatkan bibir ke telinga laki-laki itu.
“Aku terima penawaranmu waktu itu, kalau aku menang bersiap saja menjilat ludahmu sendiri,” ujar Esther berbisik sambil berlalu dari meja tersebut.
Tidak lama setelah itu, Gaara juga berdiri dari kursinya. Segala drama yang berlangsung di depan matanya membuat pria itu muak. Dia menatap Vinson sejenak “Terima kasih hiburannya,” ujar Gaara sambil mengangkat ujung bibir mengulas senyum mencemooh sebelum meninggalkan sahabatnya.
Gaara sebenarnya sama sekali tidak punya niat untuk mengejar perempuan yang telah memicu kehebohan di kafetaria, tetapi naasnya dia malah mendapati perempuan itu bersandar pada loker miliknya. Kebetulan area loker saat itu sepi, hanya ada dua atau tiga orang saja dan itu pun sibuk dengan urusan masing-masing. Namun begitu orang menyadari keberadaannya kebanyakan dari mereka memilih kabur atau pura-pura tidak melihat. Gaara sendiri tidak mengerti mengapa semua orang bersikap demikian, tetapi lebih dari itu dia tidak mau ambil pusing.Begitu Gaara mendekat, gadis itu sama sekali tidak bergeming, bahkan dia mungkin tidak menyadari kehadiran Gaara sama sekali. Karena itulah Gaara sengaja membuka lokernya yang kebetulan bersisian sampai menimbulkan bunyi cukup nyaring yang membuat gadis itu sedikit terlonjak.Dari ekor matanya Gaara bisa melihat bahwa dia agak panik dan cepat-cepat membuka loker miliknya juga, mencoba untuk menyembunyikan wajahnya. Buat Gaara sejujurnya itu hiburan tersend
Saat itu memasuki jadwal Esther berbelanja kebutuhan dapur mingguannya. Makanya pagi-pagi sekali Esther sudah membawa mobil kesayangannya untuk berbelanja. Tetapi di perjalanan dia menyadari bahwa kilometer SUV-nya telah mencapai sepuluh kilo meter lebih. Disaat yang bersamaan pula dia merasakan bahwa setir mobilnya terasa menjadi dua kali lipat lebih berat dari biasanya. Berdasarkan pengalamannya, itu berarti bahwa sang Land Rover kesayangannya sudah perlu di servis.Karena itulah disinilah dia sekarang, memarkir Discovery 4-nya di dalam sebuah bengkel lalu bergegas turun dan menyapa seorang montir yang telah menjadi langganannya sejak lama. Wajah pria paruh baya itu langsung berseri menyadari kehadiran Esther di bengkel mobilnya. “Selamat siang Nona Esther,” sapanya sambil membungkukan badan sebagai tanda menghormatinya membuat Esther tersenyum canggung.“Sudah saya bilang Paman tidak perlu sampai harus membungkuk seperti itu, anggap saja saya seperti pelanggan biasa,” kata Esther s
Seringai pria itu makin melebar ketika melihat wajah Esther tersentak dan bersemu merah. “Y—ya? Err … m—maksudku tidak begitu, tapi …ugh!” Dia menghela napas frustasi dan diam beberapa saat seolah sedang mengumpulkan kata-kata dikepalanya. Kelihatannya dia cukup jengkel lantaran dia tiba-tiba jadi gagap sendiri. “Jika kau tidak keberatan,” pungkas gadis itu pada akhirnya, terlihat agak malu-malu.Jika mengabaikan cara berpenampilan Esther, Gaara sebetulnya suka padanya karena semakin berinteraksi dia punya sisi yang … lucu? Dia memang kalah dari Elise Northway. Pembawaannya juga tidak sebersinar Nelsy sang bintang kampus. Tetapi Esther punya sesuatu yang membuat atensi Gaara terhadapnya selalu utuh.Dia suka ketika melihat bibir gadis itu bergerak ketika bicara dan gugup sendiri apalagi ketika dia gelisah. Dia bahkan menemukan dirinya turn on hanya karena menyadari gadis itu kerap membasahi bibirnya setelah menggigitnya sendiri. Seperti dia sedang mengundang Gaara untuk mencicipi bibi
Gaara mengangkat bahu. “Lalu kau sendiri bagaimana?”“Apanya yang bagaimana?” sahut Esther tidak mengerti.Gaara memutar mata mendengar jawaban gadis itu. “Hobimu.”Esther sejujurnya tidak menduga bahwa celetukan pertamanya akan benar-benar menghasilkan sebuah konversasi dua arah seperti ini. Dia bahkan tidak sama sekali berpikir bahwa Gaara akan kembali bertanya. Tetapi setitik harapan setidaknya tumbuh berkat itu, sebab sepertinya laki-laki itu menunjukan adanya sedikit ketertarikan pada pembicaraan iseng ini atau mungkin ini caranya menghargai.“Aku suka masak,” sahut Esther mengingat kegiatan yang membuat dirinya senang. Ada beberapa memang, tetapi akhir-akhir ini dia kerap kehilangan selera untuk melakukannya. “Aku juga suka seni …”Sepertinya gadis ini tipikal anak yang dicekoki banyak hal oleh orangtuanya sejak masih belia, pikir Gaara.“Ah … dan kurasa aku juga suka berenang. Sebenarnya lebih kepada aku suka dengan air,” tambah Esther lagi sambil tersenyum lemah. Untuk yang te
“Kau bilang ide yang bagus kan sebelumnya? Jadi ayo kerumahku dan berenang,” ujar pria itu lagi dengan santai.Esther hanya bisa menganga, dia menatap langit yang sudah mulai berubah warna menjadi oranye di luar sana. “Aku memang bilang kalau itu ide yang bagus, tapi bukan berarti aku mau berenang sekarang juga.”“Besok kan kau tidak ada kelas,” sahut pria itu singkat, yang sekali lagi membuat Esther hanya bisa mengerjapkan matanya.Bagaimana dia tahu soal itu?Namun sebelum dia bisa mengeluarkan suaranya lagi untuk protes, mereka sudah masuk ke dalam gerbang kediaman keluarga Maxwell yang megah. Mau menolak atau kabur juga rasanya percuma, toh laki-laki itu yang memegang setir mobilnya sekarang. Belum lagi dia jadi ingat perkataan si paman montir soal Gaara yang pemaksa. Sudah jelas keputusan pria itu menjadi sesuatu yang sifatnya mutlak.Gaara keluar lebih dulu dari mobilnya, sementara Esther masih sibuk melepas sabuk pengaman. Esther pikir laki-laki itu akan meninggalkannya, tetapi
Sebelum Esther bisa mengatakan balasan apa pun, tiba-tiba saja bibir Gaara sudah lebih dulu membungkam bibirnya. Dia pun tenggelam di dalam ciuman panas menggelora yang di penuhi oleh gairah. Esther mengerang saat lidah Gaara memaksa untuk membuka bibirnya. Tangan pria itu bahkan serta merta menurunkan pakaian renang yang dikenakan olehnya. Sambil terus saja mencumbu Esther, jari-jarinya yang sudah terlatih membelai puncak dadanya. Perut Esther secara refleks langsung menegang tatkala dia menerima sentuhan dari Gaara. Erangan keluar dari mulutnya tanpa bisa dia cegah, meskipun mulutnya masih dibungkam oleh Gaara.Esther sedikit lega ketika jemari pria itu mulai meninggalkan bagian dadanya, tetapi kelegaan itu tidak berlangsung lama lantaran Esther merasakan jari-jari yang sama membelai pangkal pahanya. Kedua mata Esther kontan terbuka dan dia tersadarkan bahwa ini sudah lebih jauh dari pada batas yang bisa dia toleransi.Kedua tangan gadis itu secara refleks langsung mendorong Gaara u
“Sialan!” Gaara tiba-tiba terjaga dari tidurnya. Dada pemuda itu naik turun dengan cepat dengan napas yang tersenggal. Kaosnya basah oleh keringat dan secara spontan langsung melemparkan selimutnya beserta membuka kaos yang dia kenakan untuk kemudian dia lemparkan secara sembarangan.Setelah mendapatkan ketenangannya kembali, Gaara lantas segera menuju ke laci lemari di dekat closet pakaiannya. Mengeluarkan sebuah kotak dan dibawanya kotak tersebut ke jendela besar yang sengaja tirainya tidak dia tutup. Dari kotak itu dia mengeluarkan ganja dan melintingnya menjadi rokok. Dengan pematik yang sudah tersedia dia kemudian membakar ujungnya dan menghisap benda itu secara mendalam.Ini adalah malam kedua Gaara mengalami mimpi buruk yang memutar memori masa kecilnya. Dan jika sudah seperti ini dia akan menggunakan jalan pintas untuk menghilangkan seluruh rasa yang terbawa dari mimpi itu menggunakan hisapan rokoknya. Setidaknya itu lebih baik ketimbang menjadi gila karena rasa bersalah.Dia
Awal Minggu tidak pernah menjadi hari yang baik bagi semua orang. Hal itu juga berlaku untuk Esther yang paling malas menjalani harinya di kampus pada Senin pagi. Tubuh gadis itu masih melingkar dalam selimut, menolak untuk melepaskan kehangatannya barang sejenak. Dari semua suara-suara di luar kediamannya, dia tahu sebagian tetangganya mungkin telah memulai aktivitas. Dia pun seharusnya begitu, karena dia punya kelas pagi, hari ini.Tapi Demi Tuhan! Esther sangat ingin bolos hari itu.Semuanya makin rumit dan memenuhi kepala sampai dia mendengar seseorang mengetuk pintu. Esther bergegas turun dari ranjang dan membasuh mukanya dengan air sebelum bertatap muka dengan siapa pun pelakunya. Agak mengherankan sebab dia tidak pernah disatroni siapa pun di pagi hari.“Paket,” seru orang tersebut dari luar.“Ya, sebentar,” sahut Esther yang langsung membuka pintu untuk bertatap muka dengan sang kurir yang telah menyambutnya dengan senyum hangat beserta sebuah buket bunga ditangannya.“Esther
Baiklah ini mungkin sedikit tentang keluarga pasutri muda. sebenarnya tidak ada yang terlihat wah atau bagaimana kecuali fakta bahwa mereka mulanya adalah pasangan yang terlihat abnormal tetapi nyatanya bisa membuat sebuah keluarga yang terlampau manis bak gulali, apple candy, dan kue lapis legit. Namun terkadang juga bisa sepahit kopi, se asam lemon, se asin garam. Ya, barangkali inilah alasan mengapa hidup itu tidak selalu tentang satu rasa, sebab manis itu sendiri tidak akan pernah berarti bila tidak ada rasa yang lain. Hidup tidak melulu soal bahagia.Matahari sudah meninggi, teriknya telah menghidupkan semesta mencoba mengintip dari celah tirai jendela yang sengaja belum dibuka. Seiring dengan langkah Gaara yang sampai di ujung tengah dan lekas membuka pelan pintu kamarnya.Lelaki itu berjalan tanpa suara, seraya mengukir senyum yang paling sempurna. Kedua matanya memancarkan cahaya yang lembut, tampak sekali bahwa pria tersebut menyukai sosok wanita yang masih meringkuk nyaman d
Tidak disangka hari yang ditunggu akan tiba. Dia juga tidak habis pikir bahwa akan tiba masanya dia akan mengenakan pakaian serba putih dan didandani dengan cantik, terlebih nantinya dia akan bersanding dengan pria yang dia cintai. Senyuman manis terpatri di wajah Esther yang sudah dipoles dengan make up sedemikian rupa. Gadis itu sama sekali tidak bisa berhenti tersenyum untuk moment ini. Hari ini dia akan menikah, dengan seseorang yang dulunya adalah bad boy di kampus, lelaki yang mulanya hanya dijadikan sebagai objek taruhan antara dia dengan Vinson. Ceritanya memang selucu itu, tetapi tidak memudarkan bahwa cinta yang dia miliki kepada sang pria adalah cinta yang tulus.Setelah lulus dan berpacaran selama kurang lebih tiga tahun, Gaara datang ke kediamannya dan dengan gentle meminang Esther di depan ayahnya. Lamaran itu datang tanpa diduga sama sekali oleh Esther, dan dia teramat bahagia mendengar kesungguhan Gaara terhadapnya. Selang beberapa waktu, pria itu langsung sibuk memper
Esther terbangun karena rasa lapar di perut. Dia berbalik dan menemukan sepasang mata Gaara yang menatapnya dengan intens.Dia tertidur saat ditengah permainan, dan ranjang Gaara sekarang sudah menjadi favorit Esther. Dia tidak mau meninggalkannya.“Hei,” sapa gadis itu pada sang pemuda, dia tersenyum malu-malu.“Hei,” balas Gaara membalas senyumannya. “Kau lapar ya?”Esther mengangguk.“Aku sudah memanaskan sup dan ada sedikit roti juga. Mungkin rasanya tidak akan terlalu cocok, tapi aku pribadi memang jarang makan dirumah.”Esther terkekeh. “Kau seperti cenayang, bagaimana kau bisa tahu aku lapar?”“Aku mendengar suara perutmu.”Wajah Esther memerah, sementara Gaara malah tertawa. Mereka kemudian makan bersama di tempat tidur. Makan terakhir yang Esther makan memang hanya sarapan di pesawat. Rasa lelah membuat Esther melupakan banyak hal termasuk urusan mengisi perut. Dan meski Gaara bilang rasanya mungkin tidak sesuai, tetapi bagi Esther makanan itu adalah yang paling nikmat yang p
“Menurutmu apa aku punya pilihan Gaara?” Dia merasakan air mata membasahi pelupuk mata. “Aku sendirian. Jika ada satu kesempatan bagiku untuk bisa menyelamatkan diri, tentu aku akan melakukannya.”“Bagaimana bisa kau melakukan itu sementara—”“Siapa yang kau pikir akan menolongku saat itu? Apakah kau Gaara? Kau? Tentu saja aku tidak pernah berpikir kesana karena aku orang asing bagimu sementara Vinson adalah teman baikmu. Dan apa yang kau lakukan saat kau tahu aku kesulitan di kampus ketika Vinson membully-ku? Kau tidak melakukan apapun.” Gaara hendak memotongnya, tetapi Esther segera mengangkat tangan mencoba untuk menghentikan apapun yang akan lelaki katakan sebagai bentuk dari pada pembelaan. “Kita pernah membicarakan ini dulu sekali. Aku tidak berusaha sedang menyalahkan keadaan ini kepadamu. Faktanya, memang pada saat itu aku tidak punya seorangpun yang bisa menolongku. Pada akhirnya aku hanya harus melakukan sesuatu agar aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Terus terang taruha
Gaara yakin dia berhalusinasi ketika melihat sosok perempuan berambut keperakan yang berdiri di muka rumahnya.Tidak. Tidak mungkin itu Esther.Selain Gaara hanya ada dua orang yang tahu soal keberadaan rumah ini. Paman Yoshi dan ayahnya.Bahkan saat Gaara turun dari jeep dan melepas kacamata hitamnya untuk memastikan bahwa terik matahari tidak membuatnya berhalusinasi, sosok tersebut masih berada disana. Semakin mendekat, Gaara semakin yakin bahwa sosok itu memang adalah Esther.Perasaannya kian membuncah dan tidak terkendali. Tetapi diantara itu semua, Gaara tidak bisa berbohong bahwa dia bersyukur melihat Esther ada disini. Apalagi mengingat bahwa beberapa saat yang lalu dia nyaris membuat keputusan yang mungkin akan disesalinya.Ketika dia berhasil memeluk sosok itu, rasa lega segera menyebar dalam hatinya. Dia tidak tahu bagaimana caranya Esther bisa berada disini. Namun dia bersyukur bahwa sekali lagi dia masih bisa menyentuh kehangatan kulit gadis itu. Berada didekat Esther mem
Sejak meninggalkan rumah yang dahulu menjadi tempat dia menghabiskan waktu bersama sang bunda tercinta. Gaara tidak menduga bahwa akan ada saatnya dia kembali ke rumah ini. Tepat seperti dugaannya pula tidak ada satu bagian dari rumah ini yang berubah. Ayahnya pasti melakukan segala cara agar rumah tersebut tetap sama persis seperti saat masih ditinggali oleh ibunya terakhir kali. Gaara bisa melihatnya dari taman bunga dan juga gazebo tempat ibunya dulu selalu menghabiskan waktu bersama Gaara untuk membacakannya sebuah dongeng.Gaara tidak bisa membohongi dirinya. Rumah itu sangat mencerminkan kepribadian ibunya. Setiap sudutnya memaksa Gaara mengingat semua memori tentang wanita itu. Ketika Gaara pertama kali melewati pintu depan rumah tersebut, dia merasa seperti melihat hantu ibunya dari masa lalu.Dalam perjalannnya ke Australia, Gaara sebenarnya telah membayangkan ratusan skenario yang ingin dia lakukan pada rumah tersebut. Hal pertama yang mampir ke otaknya adalah membersihkan s
Sesuai dengan janji, setelah mengunjungi makam ibunya Gaara, Jorge mengantar Esther menuju ke kediaman mendiang istrinya dimana gadis itu bilang bahwa Gaara berpotensi berada disana. Jorge sebenarnya tidak yakin bahwa sang putra akan berada di rumah tua itu. Apalagi karena Gaara punya alasan yang kuat mengapa dia bersedia tinggal bersamanya dari pada tinggal dirumah itu.Namun entah bagaimana, Esther mampu mematahkan semua statement pria itu berdasarkan intuisinya yang liar.Sementara Esther sendiri kini semakin diliputi rasa bersalah yang teramat mendalam kepada Gaara. Setelah mendengar cerita Jorge tentang mendiang istrinya. Esther memahami bahwa Gaara tumbuh dengan pemahaman bahwa sang ibu meninggal karena cinta yang terlalu besar kepada ayahnya. Memang masuk akal bahwa pemuda itu akan bersikap sinis dan membenci ayahnya. Tetapi terlepas dari hal itu, Esther pun tidak bisa menjudge keduanya. Tetapi yang pasti setelah mendengar segalanya dari kedua belah pihak, Esther malah merasa k
Esther benar-benar tidak tahu bahwa dia punya keberuntungan sebesar ini dalam hidupnya.Lima belas menit yang lalu dia benar-benar dibuat kelimpungan dan nyaris menangis gara-gara kehabisan mobil jemputan. Memang benar keputusan yang dia buat kali ini pun terbilang sangat gila seumur hidupnya. Terbang ke Australia tanpa punya kenalan satu pun, bahkan alamat yang hendak dia tuju pun Esther tak tahu. Esther hanya punya modal ingatan foto-foto lama Gaara dengan mendiang ibunya saja. Makanya rencana Esther adalah menyewa mobil dan pergi berkeliling sambil mencari rumah yang mirip dengan gambar yang pernah Esther lihat.Saat itulah mendadak pria baik hati yang Esther temui di pesawat menghampiri. Karena Esther punya pengalaman kurang baik dengan orang asing, maka Esther sempat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada orang itu. Tetapi bila mengingat kebaikan yang pria itu lakukan, Esther berasumsi bahwa orang itu bukanlah orang yang punya maksud jahat.“Ah, saya Jorge Maxwell. Orang ya
“Maaf?” balas gadis itu tampak agak kaget dengan pertanyaan yang Jorge berikan terhadapnya.“Mimpimu.”“A—ah… itu … b—bukan apa-apa,” sahutnya agak tergagap sambil menggelengkan kepala. “Maaf saja tapi itu … bukan tipik yang cukup menyenangkan untuk … dibicarakan.”Jorge mengangguk. “Baiklah kalua begitu, tapi saat melihatmu aku jadi teringat putra bungsuku yang kurasa seumuran denganmu.”Sekilas gadis itu jadi tampak sedikit tertarik. “Benarkah? Umur berapa?”“Tahun ini masuk dua puluh dua tahun.”Gadis itu menganggukan kepala. “Ah, benarkah? Saya juga.”“Jadi, kalua boleh tahu apa yang gadis sepertimu lakukan sendirian? Apa kau ingin mengunjungi seseorang?”Selama sesaat gadis itu tampak menimbang-nimbang jawabannya. Ekspresinya juga sedikit berubah. Tetapi kemudian tak selang beberapa lama dia menganggukan kepala. “Ya, begitulah.”“Keluarga?”“Ah, bukan. Hanya seorang teman.”“Kurasa dia adalah teman yang special sampai kau mau terbang sendirian seperti ini.”Jorge jadi terkekeh sa