Seorang gadis dengan rambut brunette-nya berada dalam posisi duduk di sebrangnya. Kedua kakinya yang jenjang tersilang, mengekspos keindahannya. Sementara tangan kirinya sibuk mengetikan sesuatu pada ponselnya dengan tangan kanan yang memegang sebuah rokok. Sesekali gadis itu menghisap rokoknya lalu menghembuskan asapnya ke udara dengan santai. Sesekali dia juga melemparkan senyuman menggoda ke arahnya.
Nara menghembuskan napas jengkel, sejujurnya dia juga sangat ingin merokok sekarang tetapi dia masih punya otak untuk tidak melakukan hal itu di dalam ruangan. Hal yang lebih buruk baginya adalah berada dalam situasi menunggu dengan hanya berdua saja dengan gadis itu disana. Entah kebetulan atau bagaimana tetapi yang pasti Nara bisa menebak bahwa perempuan itu punya urusan yang sama dengannya.
“Siapa namamu?” tiba-tiba saja perempuan itu mengajaknya bicara, sepertinya dia sudah bosan dengan ponselnya dan memilih fokus dengan dunia nyata.
Nara hanya melirik sebentar sebelum akhirnya memutuskan menjawab. “Nara.”
“Okay, semoga kita mendapatkan tahun yang menyenangkan disini ya,” katanya dengan nada manis yang dibuat-buat, Nara langsung mencebik sebagai reaksi balasan.
“Tidakkah kau penasaran dengan aku?” tanya perempuan itu lagi setelah Nara memutuskan untuk mengabaikannya.
“Untuk?”
“Ini hal dasar lho, kalau ada seseorang yang menanyakan namamu sudah jadi peraturan tak tertulis kalau kau juga harus menanyakan nama mereka. Ibumu tidak mengajarkan tatakrama ya?” sahut perempuan itu lagi, tetapi sekarang nada bicaranya berubah menjadi jengkel barangkali karena melihat Nara yang sedari awal tidak tertarik untuk mengobrol dengannya sama sekali.
“Mungkin. Tapi aku yakin kalau aku tidak butuh tahu namamu. Kita tidak akan bergaul dalam lingkup sosial yang sama,” timpal Nara santai.
Sebelum perempuan itu bisa membalas komentar pedas Nara, seseorang keluar dari ruangan administrasi dan berdeham untuk mengalihkan perhatian mereka berdua.
“Nara Dragnells?” Nara langsung berdiri menghampiri si petugas administrasi dan melupakan keberadaan perempuan dibelakangnya. “Proses administrasinya sudah selesai dan kamu sudah bisa kembali bergabung menjadi mahasiswa kami. Dan … Elise Northway?”
Perempuan yang beberapa saat lalu sempat berdebat dengannya ikut berdiri dan menghampiri, membuat Nara hanya menghela napas berat. “Proses administrasimu juga sudah selesai.”
***
Esther memutar-mutar ballpoint di tangannya dengan resah. Pembicaraannya dengan Vinson masih mengisi seluruh pemikirannya. Kejadian itu sudah lewat dua hari, dan Esther juga sengaja tidak melakukan kontak apa pun dengan pria itu. Selama itu pula dia belum mendengar kabar burung aneh. Kemungkinan besar Vinson hanya mencoba untuk mengelabui dan mengancamnya saja.
Tetapi selain daripada bagian menyebalkan yang terjadi antara dia dan Vinson. Esther tidak bisa membuang sosok Gaara. Banyak kejadian gila terjadi padanya hanya dalam rentang satu hari, dan hal itu dia dapati dari sosok berandal kampus yang liar. Sejak ciuman panas yang diberikan oleh Gaara padanya, Esther jadi bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apa semua itu terjadi secara kebetulan dan tidak melibatkan perasaan macam dia punya daya pikat tersendiri di mata Gaara? Ataukah memang pria itu hanya tukang nyosor saja sehingga bisa dengan bebas mencium gadis mana pun yang berkeliaran di kediamannya di pagi hari?
Dia tidak perlu merasa terkejut sebenarnya ketika Gaara mengabaikannya seolah mereka tidak pernah bersinggungan. Dia sudah menduga hal itu terjadi, tapi rasanya agak kecewa saja begitu dia sadar bahwa hanya dia yang memikirkan Gaara akhir-akhir ini seperti orang yang betulan kasmaran.
Suara gedebug terdengar dari sisi kanan kursi yang Esther duduki membuat Esther dipaksa untuk kembali ke alam nyata, dia melirik dan mendapati seorang lelaki tinggi, dengan kulit yang agak kecoklatan dan rambut yang diikat asal dibelakang kepala. Dari ekor matanya Esther memperhatikan pria itu langsung jatuh tertidur di bangkunya setelah meletakan kepalanya di atas meja begitu saja tanpa peduli kepalanya meniduri buku milik Esther.
“Permisi,” dengan suara pelan dan sentuhan kecil di bahu Esther mencoba untuk mengambil bukunya.
Mendengar suara Esther lelaki itu berbalik padanya, dan sejujurnya saat itu Esther terkejut bukan main tatkala kedua mata mereka berdua beradu pandang. Lelaki itu tidak tersenyum dan tidak terlihat kesal meskipun Esther sudah menganggu tidurnya.
Merasa canggung dengan situasi yang ada, Esther hanya tersenyum padanya.
“Kau putri sulungnya Pak Zeref,” kata lelaki itu yang serta merta membuat Esther terkejut karena dia mengetahui apa yang berusaha dia sembunyikan rapat-rapat.
“Maaf, kau meniduri buku milikku,” sahut Esther yang membuat pria itu langsung beringsut dari posisinya dan memberikan bukunya.
“Aku Nara Dragnells,” ujar pria itu menyodorkan tangannya. Esther hanya melongo menatap tangan yang terulur kepadanya. Tidak yakin apa yang ingin dilakukan oleh si pria yang mengaku bernama Nara Dragnells ini kepadanya. Setelah beberapa saat tangannya tergantung tanpa sambutan di udara, pria itu kembali buka suara lagi. “Apa kau tidak akan menjabat tanganku?”
“A—Ah, maaf,” sahut Esther cepat dan langsung meraih tangan pria yang warnanya sangat kontras dengan kulit tangannya yang berwarna putih. “Esther Rodrigo.”
“Kau sudah punya patner untuk kelas ini?” Esther memberinya pandangan kosong. Patner? Selama ini Esther yang berusaha terlihat tidak mencolok selalu menghabiskan waktunya sendirian di kelas. Terlebih dia juga setengah dikucilkan, jadi buat Esther memiliki patner sudah terdengar seperti sesuatu yang asing buatnya.
“Tidak, sebenarnya aku—”
“Baiklah kalau begitu mulai sekarang aku akan jadi patnermu dikelas yang sama,” potong pria itu cepat sebelum Esther sempat menyelesaikan kalimat yang hendak dia ucapkan. “Aku mau tidur siang, jika ada tugas kelompok bangunkan saja aku, oke?”
Sebelum Esther bisa memprotes, lelaki aneh itu kembali sudah tertidur pulas tanpa gangguan. Esther benar-benar takjub dengan kemampuannya yang bisa langsung nyenyak hanya dalam waktu singkat sekaligus bingung dengan kepribadiannya yang tiba-tiba saja menawarkan diri menjadi patner Esther saat dirinya selalu sendirian dalam kesempatan apapun.
***
“Kenapa kau tidak bangunkan aku? Sudah berpesan untuk bangunkan aku kalau ada tugas kelompok,” keluh Nara begitu mereka keluar dari kelas.
“Maafkan aku, kau terlihat tidur sangat pulas jadi aku tidak tega membangunkanmu,” sahut Esther jujur. Sebetulnya selain tidak tega dia belum pernah berinteraksi dengan seorang pria secara bebas. Agak aneh baginya untuk tiba-tiba bertingkah seperti mereka kawan lama padahal kenyataannya mereka baru berkenalan beberapa jam yang lalu.
“Pokoknya nanti jangan segan-segan untuk bangunkan aku di kelas, oke?” ujar pria itu bersungguh-sungguh.
“Baiklah,” sahut Esther yang sejujurnya tidak terlalu mengambil pusing. Terlebih mereka mungkin hanya punya beberapa kelas yang sama dan tidak seluruhnya akan terus bersama.
“Sampai nanti Esther,” kata lelaki itu sebelum mereka berpisah.
Sepeninggal Nara, Esther masih punya satu kelas lagi untuk dia ikuti. Namun sebelum itu, dia merasa kepalanya sedikit pusing. Terkadang di beberapa kesempatan Esther kerap mengalami rasa sakit kepala yang luar biasa yang membuatnya sedikit kesulitan beraktivitas. Dia mencoba mencari obat di tasnya tetapi sebanyak apa pun usaha yang dia lakukan dia tidak dapat menemukan obatnya. Hasilnya tidak ada pilihan lain selain pergi ke klinik kampus dan meminta aspirin untuk meredakan sakit kepalanya.
Dengan langkah terseok-seok, Esther mencoba mencapai klinik sambil menahan rasa sakit dikepalanya.
“Permisi saya mau minta aspirin,” ujar Esther seraya membuka pintu klinik dan menemukan ruangan itu kosong melompong. Petugas kesehatan yang biasanya berjaga tidak ada di tempat. Meski situasinya aneh, Esther memutuskan untuk masuk ke dalam dan mulai mencari apa yang dia butuhkan. Ketika telah mendapatkan apa yang dia cari, Esther segera menelannya dan bermaksud beristirahat sebentar selagi menunggu obatnya berekasi.
Namun alangkah terkejutnya Esther ketika dia menarik tirai tempat tidur.
Kedua mata gadis itu terbelalak lebar atas pemandangan yang dia lihat disana. Ini gila! Bagaimana bisa mereka …
Esther menemukan dua orang sedang bercumbu mesra di atas tempat tidur. Vinson (orang yang paling tidak ingin dilihatnya) sibuk melumat bibir seorang mahasiswi yang beberapa saat lalu baru saja masuk ke kelas bersamaan dengan Nara. Sebelah tangan Vinson menahan kepala gadis itu, sementara tangannya yang lain berada di dalam roknya. Ciuman itu tampak penuh gairah dan hasrat sehingga mereka nyaris tidak menyadari keberadaan Esther yang berdiri shock disana seperti orang bodoh.Esther yang menyadari bahwa mereka belum tahu keberadaannya langsung mengambil seribu langkah hendak pergi sebelum akhirnya dia mendengar suara Vinson dari balik bahunya. “Lihat siapa yang mengintip kita, apa kau menginginkannya juga Esther?”Sadar bahwa pria itu tidak akan melepaskannya, pada akhirnya meski masih dalam kondisi kaget bercampur malu Esther menghadap pria itu dan memandang nyalang kepadanya. “Bukannya kau berpacaran dengan Nelsy?” balas gadis itu.Sebetulnya itu bukan urusannya, hanya saja dia kesal
Gaara sebenarnya sama sekali tidak punya niat untuk mengejar perempuan yang telah memicu kehebohan di kafetaria, tetapi naasnya dia malah mendapati perempuan itu bersandar pada loker miliknya. Kebetulan area loker saat itu sepi, hanya ada dua atau tiga orang saja dan itu pun sibuk dengan urusan masing-masing. Namun begitu orang menyadari keberadaannya kebanyakan dari mereka memilih kabur atau pura-pura tidak melihat. Gaara sendiri tidak mengerti mengapa semua orang bersikap demikian, tetapi lebih dari itu dia tidak mau ambil pusing.Begitu Gaara mendekat, gadis itu sama sekali tidak bergeming, bahkan dia mungkin tidak menyadari kehadiran Gaara sama sekali. Karena itulah Gaara sengaja membuka lokernya yang kebetulan bersisian sampai menimbulkan bunyi cukup nyaring yang membuat gadis itu sedikit terlonjak.Dari ekor matanya Gaara bisa melihat bahwa dia agak panik dan cepat-cepat membuka loker miliknya juga, mencoba untuk menyembunyikan wajahnya. Buat Gaara sejujurnya itu hiburan tersend
Saat itu memasuki jadwal Esther berbelanja kebutuhan dapur mingguannya. Makanya pagi-pagi sekali Esther sudah membawa mobil kesayangannya untuk berbelanja. Tetapi di perjalanan dia menyadari bahwa kilometer SUV-nya telah mencapai sepuluh kilo meter lebih. Disaat yang bersamaan pula dia merasakan bahwa setir mobilnya terasa menjadi dua kali lipat lebih berat dari biasanya. Berdasarkan pengalamannya, itu berarti bahwa sang Land Rover kesayangannya sudah perlu di servis.Karena itulah disinilah dia sekarang, memarkir Discovery 4-nya di dalam sebuah bengkel lalu bergegas turun dan menyapa seorang montir yang telah menjadi langganannya sejak lama. Wajah pria paruh baya itu langsung berseri menyadari kehadiran Esther di bengkel mobilnya. “Selamat siang Nona Esther,” sapanya sambil membungkukan badan sebagai tanda menghormatinya membuat Esther tersenyum canggung.“Sudah saya bilang Paman tidak perlu sampai harus membungkuk seperti itu, anggap saja saya seperti pelanggan biasa,” kata Esther s
Seringai pria itu makin melebar ketika melihat wajah Esther tersentak dan bersemu merah. “Y—ya? Err … m—maksudku tidak begitu, tapi …ugh!” Dia menghela napas frustasi dan diam beberapa saat seolah sedang mengumpulkan kata-kata dikepalanya. Kelihatannya dia cukup jengkel lantaran dia tiba-tiba jadi gagap sendiri. “Jika kau tidak keberatan,” pungkas gadis itu pada akhirnya, terlihat agak malu-malu.Jika mengabaikan cara berpenampilan Esther, Gaara sebetulnya suka padanya karena semakin berinteraksi dia punya sisi yang … lucu? Dia memang kalah dari Elise Northway. Pembawaannya juga tidak sebersinar Nelsy sang bintang kampus. Tetapi Esther punya sesuatu yang membuat atensi Gaara terhadapnya selalu utuh.Dia suka ketika melihat bibir gadis itu bergerak ketika bicara dan gugup sendiri apalagi ketika dia gelisah. Dia bahkan menemukan dirinya turn on hanya karena menyadari gadis itu kerap membasahi bibirnya setelah menggigitnya sendiri. Seperti dia sedang mengundang Gaara untuk mencicipi bibi
Gaara mengangkat bahu. “Lalu kau sendiri bagaimana?”“Apanya yang bagaimana?” sahut Esther tidak mengerti.Gaara memutar mata mendengar jawaban gadis itu. “Hobimu.”Esther sejujurnya tidak menduga bahwa celetukan pertamanya akan benar-benar menghasilkan sebuah konversasi dua arah seperti ini. Dia bahkan tidak sama sekali berpikir bahwa Gaara akan kembali bertanya. Tetapi setitik harapan setidaknya tumbuh berkat itu, sebab sepertinya laki-laki itu menunjukan adanya sedikit ketertarikan pada pembicaraan iseng ini atau mungkin ini caranya menghargai.“Aku suka masak,” sahut Esther mengingat kegiatan yang membuat dirinya senang. Ada beberapa memang, tetapi akhir-akhir ini dia kerap kehilangan selera untuk melakukannya. “Aku juga suka seni …”Sepertinya gadis ini tipikal anak yang dicekoki banyak hal oleh orangtuanya sejak masih belia, pikir Gaara.“Ah … dan kurasa aku juga suka berenang. Sebenarnya lebih kepada aku suka dengan air,” tambah Esther lagi sambil tersenyum lemah. Untuk yang te
“Kau bilang ide yang bagus kan sebelumnya? Jadi ayo kerumahku dan berenang,” ujar pria itu lagi dengan santai.Esther hanya bisa menganga, dia menatap langit yang sudah mulai berubah warna menjadi oranye di luar sana. “Aku memang bilang kalau itu ide yang bagus, tapi bukan berarti aku mau berenang sekarang juga.”“Besok kan kau tidak ada kelas,” sahut pria itu singkat, yang sekali lagi membuat Esther hanya bisa mengerjapkan matanya.Bagaimana dia tahu soal itu?Namun sebelum dia bisa mengeluarkan suaranya lagi untuk protes, mereka sudah masuk ke dalam gerbang kediaman keluarga Maxwell yang megah. Mau menolak atau kabur juga rasanya percuma, toh laki-laki itu yang memegang setir mobilnya sekarang. Belum lagi dia jadi ingat perkataan si paman montir soal Gaara yang pemaksa. Sudah jelas keputusan pria itu menjadi sesuatu yang sifatnya mutlak.Gaara keluar lebih dulu dari mobilnya, sementara Esther masih sibuk melepas sabuk pengaman. Esther pikir laki-laki itu akan meninggalkannya, tetapi
Sebelum Esther bisa mengatakan balasan apa pun, tiba-tiba saja bibir Gaara sudah lebih dulu membungkam bibirnya. Dia pun tenggelam di dalam ciuman panas menggelora yang di penuhi oleh gairah. Esther mengerang saat lidah Gaara memaksa untuk membuka bibirnya. Tangan pria itu bahkan serta merta menurunkan pakaian renang yang dikenakan olehnya. Sambil terus saja mencumbu Esther, jari-jarinya yang sudah terlatih membelai puncak dadanya. Perut Esther secara refleks langsung menegang tatkala dia menerima sentuhan dari Gaara. Erangan keluar dari mulutnya tanpa bisa dia cegah, meskipun mulutnya masih dibungkam oleh Gaara.Esther sedikit lega ketika jemari pria itu mulai meninggalkan bagian dadanya, tetapi kelegaan itu tidak berlangsung lama lantaran Esther merasakan jari-jari yang sama membelai pangkal pahanya. Kedua mata Esther kontan terbuka dan dia tersadarkan bahwa ini sudah lebih jauh dari pada batas yang bisa dia toleransi.Kedua tangan gadis itu secara refleks langsung mendorong Gaara u
“Sialan!” Gaara tiba-tiba terjaga dari tidurnya. Dada pemuda itu naik turun dengan cepat dengan napas yang tersenggal. Kaosnya basah oleh keringat dan secara spontan langsung melemparkan selimutnya beserta membuka kaos yang dia kenakan untuk kemudian dia lemparkan secara sembarangan.Setelah mendapatkan ketenangannya kembali, Gaara lantas segera menuju ke laci lemari di dekat closet pakaiannya. Mengeluarkan sebuah kotak dan dibawanya kotak tersebut ke jendela besar yang sengaja tirainya tidak dia tutup. Dari kotak itu dia mengeluarkan ganja dan melintingnya menjadi rokok. Dengan pematik yang sudah tersedia dia kemudian membakar ujungnya dan menghisap benda itu secara mendalam.Ini adalah malam kedua Gaara mengalami mimpi buruk yang memutar memori masa kecilnya. Dan jika sudah seperti ini dia akan menggunakan jalan pintas untuk menghilangkan seluruh rasa yang terbawa dari mimpi itu menggunakan hisapan rokoknya. Setidaknya itu lebih baik ketimbang menjadi gila karena rasa bersalah.Dia
Baiklah ini mungkin sedikit tentang keluarga pasutri muda. sebenarnya tidak ada yang terlihat wah atau bagaimana kecuali fakta bahwa mereka mulanya adalah pasangan yang terlihat abnormal tetapi nyatanya bisa membuat sebuah keluarga yang terlampau manis bak gulali, apple candy, dan kue lapis legit. Namun terkadang juga bisa sepahit kopi, se asam lemon, se asin garam. Ya, barangkali inilah alasan mengapa hidup itu tidak selalu tentang satu rasa, sebab manis itu sendiri tidak akan pernah berarti bila tidak ada rasa yang lain. Hidup tidak melulu soal bahagia.Matahari sudah meninggi, teriknya telah menghidupkan semesta mencoba mengintip dari celah tirai jendela yang sengaja belum dibuka. Seiring dengan langkah Gaara yang sampai di ujung tengah dan lekas membuka pelan pintu kamarnya.Lelaki itu berjalan tanpa suara, seraya mengukir senyum yang paling sempurna. Kedua matanya memancarkan cahaya yang lembut, tampak sekali bahwa pria tersebut menyukai sosok wanita yang masih meringkuk nyaman d
Tidak disangka hari yang ditunggu akan tiba. Dia juga tidak habis pikir bahwa akan tiba masanya dia akan mengenakan pakaian serba putih dan didandani dengan cantik, terlebih nantinya dia akan bersanding dengan pria yang dia cintai. Senyuman manis terpatri di wajah Esther yang sudah dipoles dengan make up sedemikian rupa. Gadis itu sama sekali tidak bisa berhenti tersenyum untuk moment ini. Hari ini dia akan menikah, dengan seseorang yang dulunya adalah bad boy di kampus, lelaki yang mulanya hanya dijadikan sebagai objek taruhan antara dia dengan Vinson. Ceritanya memang selucu itu, tetapi tidak memudarkan bahwa cinta yang dia miliki kepada sang pria adalah cinta yang tulus.Setelah lulus dan berpacaran selama kurang lebih tiga tahun, Gaara datang ke kediamannya dan dengan gentle meminang Esther di depan ayahnya. Lamaran itu datang tanpa diduga sama sekali oleh Esther, dan dia teramat bahagia mendengar kesungguhan Gaara terhadapnya. Selang beberapa waktu, pria itu langsung sibuk memper
Esther terbangun karena rasa lapar di perut. Dia berbalik dan menemukan sepasang mata Gaara yang menatapnya dengan intens.Dia tertidur saat ditengah permainan, dan ranjang Gaara sekarang sudah menjadi favorit Esther. Dia tidak mau meninggalkannya.“Hei,” sapa gadis itu pada sang pemuda, dia tersenyum malu-malu.“Hei,” balas Gaara membalas senyumannya. “Kau lapar ya?”Esther mengangguk.“Aku sudah memanaskan sup dan ada sedikit roti juga. Mungkin rasanya tidak akan terlalu cocok, tapi aku pribadi memang jarang makan dirumah.”Esther terkekeh. “Kau seperti cenayang, bagaimana kau bisa tahu aku lapar?”“Aku mendengar suara perutmu.”Wajah Esther memerah, sementara Gaara malah tertawa. Mereka kemudian makan bersama di tempat tidur. Makan terakhir yang Esther makan memang hanya sarapan di pesawat. Rasa lelah membuat Esther melupakan banyak hal termasuk urusan mengisi perut. Dan meski Gaara bilang rasanya mungkin tidak sesuai, tetapi bagi Esther makanan itu adalah yang paling nikmat yang p
“Menurutmu apa aku punya pilihan Gaara?” Dia merasakan air mata membasahi pelupuk mata. “Aku sendirian. Jika ada satu kesempatan bagiku untuk bisa menyelamatkan diri, tentu aku akan melakukannya.”“Bagaimana bisa kau melakukan itu sementara—”“Siapa yang kau pikir akan menolongku saat itu? Apakah kau Gaara? Kau? Tentu saja aku tidak pernah berpikir kesana karena aku orang asing bagimu sementara Vinson adalah teman baikmu. Dan apa yang kau lakukan saat kau tahu aku kesulitan di kampus ketika Vinson membully-ku? Kau tidak melakukan apapun.” Gaara hendak memotongnya, tetapi Esther segera mengangkat tangan mencoba untuk menghentikan apapun yang akan lelaki katakan sebagai bentuk dari pada pembelaan. “Kita pernah membicarakan ini dulu sekali. Aku tidak berusaha sedang menyalahkan keadaan ini kepadamu. Faktanya, memang pada saat itu aku tidak punya seorangpun yang bisa menolongku. Pada akhirnya aku hanya harus melakukan sesuatu agar aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Terus terang taruha
Gaara yakin dia berhalusinasi ketika melihat sosok perempuan berambut keperakan yang berdiri di muka rumahnya.Tidak. Tidak mungkin itu Esther.Selain Gaara hanya ada dua orang yang tahu soal keberadaan rumah ini. Paman Yoshi dan ayahnya.Bahkan saat Gaara turun dari jeep dan melepas kacamata hitamnya untuk memastikan bahwa terik matahari tidak membuatnya berhalusinasi, sosok tersebut masih berada disana. Semakin mendekat, Gaara semakin yakin bahwa sosok itu memang adalah Esther.Perasaannya kian membuncah dan tidak terkendali. Tetapi diantara itu semua, Gaara tidak bisa berbohong bahwa dia bersyukur melihat Esther ada disini. Apalagi mengingat bahwa beberapa saat yang lalu dia nyaris membuat keputusan yang mungkin akan disesalinya.Ketika dia berhasil memeluk sosok itu, rasa lega segera menyebar dalam hatinya. Dia tidak tahu bagaimana caranya Esther bisa berada disini. Namun dia bersyukur bahwa sekali lagi dia masih bisa menyentuh kehangatan kulit gadis itu. Berada didekat Esther mem
Sejak meninggalkan rumah yang dahulu menjadi tempat dia menghabiskan waktu bersama sang bunda tercinta. Gaara tidak menduga bahwa akan ada saatnya dia kembali ke rumah ini. Tepat seperti dugaannya pula tidak ada satu bagian dari rumah ini yang berubah. Ayahnya pasti melakukan segala cara agar rumah tersebut tetap sama persis seperti saat masih ditinggali oleh ibunya terakhir kali. Gaara bisa melihatnya dari taman bunga dan juga gazebo tempat ibunya dulu selalu menghabiskan waktu bersama Gaara untuk membacakannya sebuah dongeng.Gaara tidak bisa membohongi dirinya. Rumah itu sangat mencerminkan kepribadian ibunya. Setiap sudutnya memaksa Gaara mengingat semua memori tentang wanita itu. Ketika Gaara pertama kali melewati pintu depan rumah tersebut, dia merasa seperti melihat hantu ibunya dari masa lalu.Dalam perjalannnya ke Australia, Gaara sebenarnya telah membayangkan ratusan skenario yang ingin dia lakukan pada rumah tersebut. Hal pertama yang mampir ke otaknya adalah membersihkan s
Sesuai dengan janji, setelah mengunjungi makam ibunya Gaara, Jorge mengantar Esther menuju ke kediaman mendiang istrinya dimana gadis itu bilang bahwa Gaara berpotensi berada disana. Jorge sebenarnya tidak yakin bahwa sang putra akan berada di rumah tua itu. Apalagi karena Gaara punya alasan yang kuat mengapa dia bersedia tinggal bersamanya dari pada tinggal dirumah itu.Namun entah bagaimana, Esther mampu mematahkan semua statement pria itu berdasarkan intuisinya yang liar.Sementara Esther sendiri kini semakin diliputi rasa bersalah yang teramat mendalam kepada Gaara. Setelah mendengar cerita Jorge tentang mendiang istrinya. Esther memahami bahwa Gaara tumbuh dengan pemahaman bahwa sang ibu meninggal karena cinta yang terlalu besar kepada ayahnya. Memang masuk akal bahwa pemuda itu akan bersikap sinis dan membenci ayahnya. Tetapi terlepas dari hal itu, Esther pun tidak bisa menjudge keduanya. Tetapi yang pasti setelah mendengar segalanya dari kedua belah pihak, Esther malah merasa k
Esther benar-benar tidak tahu bahwa dia punya keberuntungan sebesar ini dalam hidupnya.Lima belas menit yang lalu dia benar-benar dibuat kelimpungan dan nyaris menangis gara-gara kehabisan mobil jemputan. Memang benar keputusan yang dia buat kali ini pun terbilang sangat gila seumur hidupnya. Terbang ke Australia tanpa punya kenalan satu pun, bahkan alamat yang hendak dia tuju pun Esther tak tahu. Esther hanya punya modal ingatan foto-foto lama Gaara dengan mendiang ibunya saja. Makanya rencana Esther adalah menyewa mobil dan pergi berkeliling sambil mencari rumah yang mirip dengan gambar yang pernah Esther lihat.Saat itulah mendadak pria baik hati yang Esther temui di pesawat menghampiri. Karena Esther punya pengalaman kurang baik dengan orang asing, maka Esther sempat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada orang itu. Tetapi bila mengingat kebaikan yang pria itu lakukan, Esther berasumsi bahwa orang itu bukanlah orang yang punya maksud jahat.“Ah, saya Jorge Maxwell. Orang ya
“Maaf?” balas gadis itu tampak agak kaget dengan pertanyaan yang Jorge berikan terhadapnya.“Mimpimu.”“A—ah… itu … b—bukan apa-apa,” sahutnya agak tergagap sambil menggelengkan kepala. “Maaf saja tapi itu … bukan tipik yang cukup menyenangkan untuk … dibicarakan.”Jorge mengangguk. “Baiklah kalua begitu, tapi saat melihatmu aku jadi teringat putra bungsuku yang kurasa seumuran denganmu.”Sekilas gadis itu jadi tampak sedikit tertarik. “Benarkah? Umur berapa?”“Tahun ini masuk dua puluh dua tahun.”Gadis itu menganggukan kepala. “Ah, benarkah? Saya juga.”“Jadi, kalua boleh tahu apa yang gadis sepertimu lakukan sendirian? Apa kau ingin mengunjungi seseorang?”Selama sesaat gadis itu tampak menimbang-nimbang jawabannya. Ekspresinya juga sedikit berubah. Tetapi kemudian tak selang beberapa lama dia menganggukan kepala. “Ya, begitulah.”“Keluarga?”“Ah, bukan. Hanya seorang teman.”“Kurasa dia adalah teman yang special sampai kau mau terbang sendirian seperti ini.”Jorge jadi terkekeh sa