Sesekali Delia hampir jatuh, karena tak bisa mengimbangi langkah Pasya.
"Mas Pasya, pelan-pelan. Badanku-"
"Diam! Jangan berani menyebut namaku!" sela Pasya dengan tatapan benci.
Delia tertegun sejenak sebelum akhirnya mencoba meraih tangan Pasya. Namun, detik itu pula tangannya ditepis keras.
"Pergi." Usir Pasya.
"Maas," lirih Delia mengiba.
"Pergi kau dari sini!" kembali Pasya menyuarakan pengusiran.
Delia meninggalkan area ruang tamu dengan isakan yang tak bisa berhenti. Setelah Pasya mengusirnya. Dia langsung ditinggalkan begitu saja.
Delia sebenarnya sudah tak mampu berjalan sekarang. Akibat Pasya menariknya, jahitan di area jalan lahir anaknya terasa begitu menyakitkan. Keringat dingin sampai mengucur membasahi tubuh.
Namun, sakit fisiknya itu seolah tak bisa dibandingkan dengan sakit hatinya menerima perlakuan kasar dari suami dan keluarganya.
Tak ada seorangpun yang mau mendengar penjelasannya. Tak ada pula tatapan iba setelah melihatnya dalam kondisi seperti ini. Tetap saja yang Delia terima hanyalah tatapan penuh benci.
Delia ingin pergi, tetapi dirinya merasa bersalah pada mendiang kakak iparnya, karena ia tak sempat berpamitan.
"Apa Anda sudah selesai?" tanya pak polisi begitu melihat kedatangan Delia.
Delia hanya bisa menggelengkan kepala pelan. Suaranya seolah tak bisa ke luar lagi.
Kedua polisi itu saling melirik dan kembali diam menunggu Delia yang terlihat masih sangat syok.
Meskipun sudah diusir, Delia masih juga bertahan di tempat itu. Dia sudah memutuskan untuk menyelinap di antara para tamu saat pemakaman nanti.
Delia sengaja menunggu di balik pilar besar. Tujuannya agar keluarga yang nantinya ke luar dari rumah tak melihatnya.
Delia diam-diam menangisi sikap suaminya, juga nasib buruk yang menimpanya di waktu yang tidak tepat.
Sampai akhirnya proses pengurusan jenazah di dalam rumah selesai, dan hal itu diumumkan oleh paman Pasya.
"Hadirin tamu yang kami hormati sekalian. Proses pengantaran jenazah akan dilakukan. Bagi yang berkenan ikut, kami mengucapkan terima kasih."
Setelah mendengar pengumuman itu, Delia lantas menghampiri kedua polisi yang sejak tadi masih menunggunya.
"Pak, tolong antar saya ke pemakaman." Delia lagi-lagi menunjukkan tatapan memohon.
Tidak ada yang bisa menolongnya di tempat ini, karena semua orang tidak menyukainya. Sementara untuk pergi ke tempat pemakaman mereka harus naik kendaraan.
"Baiklah, sebaiknya Ibu langsung ke mobil saja sekarang." Salah satu polisi itu memberi saran.
Delia yang tadinya sudah berniat untuk bersembunyi akhirnya membatalkan rencana, dan mengikuti apa yang dikatakan oleh petugas kepolisian tersebut.
Begitu Delia berada di dalam mobil. Iringan keluarga dari dalam rumah pun mulai ke luar dan memasuki kendaraan masing-masing.
Delia hanya bisa menggigit bibirnya keras untuk menahan isak, yang hampir lolos kembali saat melihat tubuh tak bernyawa Sidrat sedang di masukan ke mobil jenazah.
Tidak hanya itu, Delia juga melihat jelas saat Pasya sedang menopang tubuh Jesika sambil menggendong anak Jesika dan Sidrat.
"Kita akan berangkat sekarang," kata sopir polisi yang bersiap mengikuti ambulance.
Sepanjang mengantar mobil jenazah, Delia merasakan hancur yang luar biasa. Ia hanya bisa menyandarkan kepala di sisi pintu mobil sambil terus berusaha menahan diri agar isak tangisnya tak terdengar.
Sampai akhirnya mobil yang Delia tumpangi mulai memasuki area pemakaman umum.
Delia menunggu semua keluarga dan pelayat turun. Dia akan turun paling terakhir agar tidak membuat keributan. Hal itu dilakukannya semata-mata demi nama baik suami dan keluarganya.
Dia tidak ingin semua orang melihat kemarahan keluarga suaminya yang dilampiaskan di tempat umum.
Setelah memastikan semuanya sudah menuju ke tempat pusara. Delia pun akhirnya memutuskan turun sambil membawa bayinya yang dalam keadaan terlelap.
Sesekali Delia melirik bayinya, yang terpaksa dibawa ke tempat pemakaman umum seperti ini.
Banyaknya tamu pelayat yang mengikuti proses pemakaman. Menyulitkan Delia untuk sedikit mendekat ke depan.
Alhasil, Delia sengaja berjalan ke arah dataran yang sedikit tinggi agar dia bisa melihat prosesnya dari tempat itu.
Semua orang tentunya fokus pada proses pelaksanaan pemakaman dan tidak ada yang menyadari posisi Delia.
Delia mendekap bayinya sambil terus menyaksikan semua orang yang sedang melepas kepergian Sidrat.
"Maaf dan terima kasih atas semua kebaikan kakak selama ini," lirih Delia dengan pandangan tak putus ke arah jasad Sidrat yang mulai diangkat.
Sejenak Delia memejamkan mata. Dia tak sanggup melihatnya lebih lama, terutama saat melihat Pasya yang juga ikut terisak di sana.
Proses pemakaman itu berlangsung cepat. Para tamu pelayat juga sudah ada yang membubarkan diri. Sampai akhirnya hanya tersisa orang tua, Pasya, Jesika dan anak Jesika yang memilih untuk tinggal lebih lama.
Delia yang merasa sudah bisa bergabung di sana, lantas melangkah ke arah mereka. Sementara kedua polisi yang mengantar Delia masih menunggu tidak jauh dari mobil.
Delia melangkah pelan dan berhenti tepat di belakang Jesika yang berbaring di samping pusara Sidrat.
"Jesi ... ini aku. Maafkan aku," ucap Delia tulus.
Tidak hanya Pasya, tapi kedua orang tua Pasya pun menoleh serentak dengan membelalakkan mata.
"Mamiiii!"
Anak Sidrat dan Jesika yang menyadari kehadiran Delia lantas dengan cepat memeluk paha kanan Delia.
"Stefan, menjauh darinya!" ibu mertua Delia dengan cepat menarik tubuh cucunya dari Delia.
Stefan yang tiba-tiba ditarik seperti itu kembali menangis keras.
"Untuk apa kamu ke sini? Belum puas melihat suamiku mati?! Kenapa kau melakukan ini padaku, Delia! Kenapa? Kenapa?!" jerit Jesika seperti orang gila sambil mengguncang kedua pundak Delia keras.
Delia bahkan hampir jatuh terduduk di atas tanah. Namun, satu tangan kirinya dengan cepat menahan diri dengan memegang kaki Pasya.
Namun, saat itu juga Pasya menepiskan kakinya hingga tangan Delia terlepas.
"Mas, tolong dengarkan aku–"
"Pergilah, Delia!" usir Pasya sambil membuang muka.
Delia lagi-lagi tak bisa menahan tangis sambil menggelengkan kepala kuat. "Aku berani bersumpah aku tidak pernah melakukan tuduhan itu.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tolong, percaya padaku! Apa selama ini kamu pernah mendapati kami berdua? Bahkan satu kali pun aku tidak pernah bertemu berdua dengan almarhum!
"Aku selalu berada di rumah dan hanya akan ke luar setelah mendapatkan izin darimu, Mas." Delia menunjukkan tatapan yang menyiratkan kejujuran.
"Aku tidak ingin mendengar penjelasan apapun," balas Pasya dengan suara yang terdengar datar.
Sontak saja Delia mengalihkan pandangan pada Jesika, dan berharap ketika iparnya itu percaya. Maka Pasya dan keluarga yang lain pun akan percaya juga padanya.
"Tolong percaya padaku, Jesi. Aku tidak pernah berpikir untuk menyakitimu. Kumohon percaya padaku," tutur Delia dengan tatapan penuh keyakinan."Terus kenapa suamiku mengakuinya di surat itu? Kenapa?! Kau tahu hancurnya aku setelah pulang dari luar negeri dan mendapati suamiku sudah tidak bernyawa?!
"Aku tidak pernah berbuat jahat padamu, Delia! Aku bahkan meninggalkan ayahku yang sedang dirawat di rumah sakit dan pulang mendadak ke negara ini karena ingin sekali melihatmu melahirkan.
"Tapi, apa? Apa yang kudapatkan justru nyawa suamiku hilang karena dia tak sanggup melihatmu hidup bersama Pasya! Kau sangat menyakitiku, Delia! Kau benar-benar jahat." Jesika terkulai kembali di samping pusara sang suami dengan penampilan yang sangat berantakan.
Delia kehabisan kata-kata. Dia sudah menjelaskan, tapi respon Jesika justru sebaliknya.
"Pasya, ceraikan perempuan ini sekarang juga! Dia tidak pantas berada di keluarga kita lagi!" perintah ibu mertua Delia.
Detik itu juga Delia seolah merasakan dunianya runtuh.
Hampir saja Delia bersimpuh di kaki ibu mertuanya. Namun, gerakannya dengan cepat dicegah oleh ayah mertuanya."Jangan mencoba menyentuh istriku dengan tangan kotormu!" maki ayah mertua Delia. "A-ayah, Ibu, tolong jangan katakan itu. Aku sangat mencintai Mas Pasya. Aku berani bersumpah apapun, kalau aku tidak pernah mengkhianatinya," ujar Delia penuh kepanikan. Wajahnya menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Bercerai adalah mimpi terburuk yang tidak akan pernah Delia terima. "Tapi kau sudah mengkhianati kami semua! Kau sudah melukai kami begitu dalam. Jangan harap kau akan tetap diterima di keluarga kami!" ujar ibu Pasya sambil menunjuk wajah Delia beberapa kali.Delia yang panik, tak dapat mengontrol kata-katanya dengan baik, sampai akhirnya ia berkata, "Aku akan menerima hukuman apa saja asal tidak bercerai! Tolong jangan pisahkan kami." Delia dengan cepat meraih tangan Pasya, dan lanjut berkata," Mas, aku sangat mencintaimu dan tidak ingin berpisah denganmu. Lihat, sekarang bahk
Susana di depan ruang bersalin tampak riuh oleh keluarga besar dari suami Delia. Suara mereka yang berada di luar, bahkan terdengar sampai di ruangan yang saat ini sedang ditempati oleh Delia. Telapak tangan kanan Delia terangkat dan segera meraih seragam putih yang dikenakan oleh seorang bidan. "Bu Bidan, apa yang terjadi di luar? Kenapa suara keluarga saya sampai terdengar ke dalam sini?" tanya Delia.Tampang Delia yang sejak beberapa jam lalu sudah menegang, karena ini adalah pengalaman pertamanya bersalin. Kini diperparah setelah mendengar suara jeritan dari luar, yang kemudian disusul suara tangisan. Delia tentu saja penasaran berat. Namun, dia bahkan tak bisa duduk sekarang. Bagaimana bisa dia bangkit dari atas ranjang bersalin dan menemui mereka? Sedangkan kini dia pun sedang merasakan sakitnya kontraksi. "Bu Bidan, kenapa diam saja? Apa yang terjadi dengan keluarga saya di luar? Tolong periksa mereka. Apa baik-baik saja atau--""Ibu, tenanglah! Tidak ada masalah serius ya
Perjuangan yang mengoyak daging dan mengucurkan darah, serta tulang yang seolah diremukkan akhirnya selesai.Delia berhasil melewati proses hidup dan mati itu sendirian, tanpa didampingi oleh satupun keluarga. Tidak hanya fisiknya yang sakit. Namun, hatinya jauh lebih sakit saat mengetahui jika semua keluarga meninggalkannya sendirian di rumah sakit. Bahkan sampai menjelang pagi kembali, sang suami juga tak kunjung datang. "Permisi, kami membawa bayi, Ibu," ucap seorang perawat yang baru saja membuka pintu ruangan Delia, dan tak lama kemudian satu orang perawat lainnya yang sedang menggendong bayi Delia ikut masuk. Suara dari kedua perawat itu, berhasil mengalihkan pikiran Delia mengenai keberadaan suami dan keluarganya. Segala kegundahan yang menyelimuti hati Delia seketika sirna, begitu netra hitam teduhnya mendapati sosok mungil dalam selimut hangat yang baru saja di letakkan di sisi kanannya."Keluarga Ibu belum ada yang datang?" tanya salah satu perawat tersebut.Delia yang t
Saat di perjalanan yang entah menuju ke mana. Delia lantas memohon dengan wajah penuh harap. "Pak, saya mohon biarkan saya menemui suami saya dulu, dan juga ikut melihat jenazah almarhum. Saya mohon, Pak." Delia memohon sambil menahan tangis. Satu satu polisi yang tadi menjelaskan duduk permasalahannya pada Delia, lantas menoleh dan berkata, "Ibu harus menunggu bapak Pasya di kantor polisi." Delia menggelengkan kepala. "Pak, tolonglah! Bagaimana bisa saya yang baru selesai melahirkan dan membawa bayi sekarang harus menunggu di kantor polisi? Kenapa saya langsung ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan proses penyelidikan belum dimulai? Mana buktinya kalau saya sudah berselingkuh?!"Apa seperti ini prosedur penangkapan yang sebenarnya? Bahkan tanpa surat penangkapan, saya langsung diminta untuk menunggu di kantor polisi. Ini tidak adil bagi saya!"Hanya karena surat yang ditinggalkan almarhum, jadi saya bisa langsung dituduh begitu saja? Bagaimana kalau ada yang memalsukannya? Saya
Hampir saja Delia bersimpuh di kaki ibu mertuanya. Namun, gerakannya dengan cepat dicegah oleh ayah mertuanya."Jangan mencoba menyentuh istriku dengan tangan kotormu!" maki ayah mertua Delia. "A-ayah, Ibu, tolong jangan katakan itu. Aku sangat mencintai Mas Pasya. Aku berani bersumpah apapun, kalau aku tidak pernah mengkhianatinya," ujar Delia penuh kepanikan. Wajahnya menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Bercerai adalah mimpi terburuk yang tidak akan pernah Delia terima. "Tapi kau sudah mengkhianati kami semua! Kau sudah melukai kami begitu dalam. Jangan harap kau akan tetap diterima di keluarga kami!" ujar ibu Pasya sambil menunjuk wajah Delia beberapa kali.Delia yang panik, tak dapat mengontrol kata-katanya dengan baik, sampai akhirnya ia berkata, "Aku akan menerima hukuman apa saja asal tidak bercerai! Tolong jangan pisahkan kami." Delia dengan cepat meraih tangan Pasya, dan lanjut berkata," Mas, aku sangat mencintaimu dan tidak ingin berpisah denganmu. Lihat, sekarang bahk
Sesekali Delia hampir jatuh, karena tak bisa mengimbangi langkah Pasya. "Mas Pasya, pelan-pelan. Badanku-""Diam! Jangan berani menyebut namaku!" sela Pasya dengan tatapan benci.Delia tertegun sejenak sebelum akhirnya mencoba meraih tangan Pasya. Namun, detik itu pula tangannya ditepis keras."Pergi." Usir Pasya. "Maas," lirih Delia mengiba. "Pergi kau dari sini!" kembali Pasya menyuarakan pengusiran.Delia meninggalkan area ruang tamu dengan isakan yang tak bisa berhenti. Setelah Pasya mengusirnya. Dia langsung ditinggalkan begitu saja. Delia sebenarnya sudah tak mampu berjalan sekarang. Akibat Pasya menariknya, jahitan di area jalan lahir anaknya terasa begitu menyakitkan. Keringat dingin sampai mengucur membasahi tubuh.Namun, sakit fisiknya itu seolah tak bisa dibandingkan dengan sakit hatinya menerima perlakuan kasar dari suami dan keluarganya. Tak ada seorangpun yang mau mendengar penjelasannya. Tak ada pula tatapan iba setelah melihatnya dalam kondisi seperti ini. Tetap s
Saat di perjalanan yang entah menuju ke mana. Delia lantas memohon dengan wajah penuh harap. "Pak, saya mohon biarkan saya menemui suami saya dulu, dan juga ikut melihat jenazah almarhum. Saya mohon, Pak." Delia memohon sambil menahan tangis. Satu satu polisi yang tadi menjelaskan duduk permasalahannya pada Delia, lantas menoleh dan berkata, "Ibu harus menunggu bapak Pasya di kantor polisi." Delia menggelengkan kepala. "Pak, tolonglah! Bagaimana bisa saya yang baru selesai melahirkan dan membawa bayi sekarang harus menunggu di kantor polisi? Kenapa saya langsung ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan proses penyelidikan belum dimulai? Mana buktinya kalau saya sudah berselingkuh?!"Apa seperti ini prosedur penangkapan yang sebenarnya? Bahkan tanpa surat penangkapan, saya langsung diminta untuk menunggu di kantor polisi. Ini tidak adil bagi saya!"Hanya karena surat yang ditinggalkan almarhum, jadi saya bisa langsung dituduh begitu saja? Bagaimana kalau ada yang memalsukannya? Saya
Perjuangan yang mengoyak daging dan mengucurkan darah, serta tulang yang seolah diremukkan akhirnya selesai.Delia berhasil melewati proses hidup dan mati itu sendirian, tanpa didampingi oleh satupun keluarga. Tidak hanya fisiknya yang sakit. Namun, hatinya jauh lebih sakit saat mengetahui jika semua keluarga meninggalkannya sendirian di rumah sakit. Bahkan sampai menjelang pagi kembali, sang suami juga tak kunjung datang. "Permisi, kami membawa bayi, Ibu," ucap seorang perawat yang baru saja membuka pintu ruangan Delia, dan tak lama kemudian satu orang perawat lainnya yang sedang menggendong bayi Delia ikut masuk. Suara dari kedua perawat itu, berhasil mengalihkan pikiran Delia mengenai keberadaan suami dan keluarganya. Segala kegundahan yang menyelimuti hati Delia seketika sirna, begitu netra hitam teduhnya mendapati sosok mungil dalam selimut hangat yang baru saja di letakkan di sisi kanannya."Keluarga Ibu belum ada yang datang?" tanya salah satu perawat tersebut.Delia yang t
Susana di depan ruang bersalin tampak riuh oleh keluarga besar dari suami Delia. Suara mereka yang berada di luar, bahkan terdengar sampai di ruangan yang saat ini sedang ditempati oleh Delia. Telapak tangan kanan Delia terangkat dan segera meraih seragam putih yang dikenakan oleh seorang bidan. "Bu Bidan, apa yang terjadi di luar? Kenapa suara keluarga saya sampai terdengar ke dalam sini?" tanya Delia.Tampang Delia yang sejak beberapa jam lalu sudah menegang, karena ini adalah pengalaman pertamanya bersalin. Kini diperparah setelah mendengar suara jeritan dari luar, yang kemudian disusul suara tangisan. Delia tentu saja penasaran berat. Namun, dia bahkan tak bisa duduk sekarang. Bagaimana bisa dia bangkit dari atas ranjang bersalin dan menemui mereka? Sedangkan kini dia pun sedang merasakan sakitnya kontraksi. "Bu Bidan, kenapa diam saja? Apa yang terjadi dengan keluarga saya di luar? Tolong periksa mereka. Apa baik-baik saja atau--""Ibu, tenanglah! Tidak ada masalah serius ya