Hampir saja Delia bersimpuh di kaki ibu mertuanya. Namun, gerakannya dengan cepat dicegah oleh ayah mertuanya.
"Jangan mencoba menyentuh istriku dengan tangan kotormu!" maki ayah mertua Delia.
"A-ayah, Ibu, tolong jangan katakan itu. Aku sangat mencintai Mas Pasya. Aku berani bersumpah apapun, kalau aku tidak pernah mengkhianatinya," ujar Delia penuh kepanikan. Wajahnya menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Bercerai adalah mimpi terburuk yang tidak akan pernah Delia terima.
"Tapi kau sudah mengkhianati kami semua! Kau sudah melukai kami begitu dalam. Jangan harap kau akan tetap diterima di keluarga kami!" ujar ibu Pasya sambil menunjuk wajah Delia beberapa kali.
Delia yang panik, tak dapat mengontrol kata-katanya dengan baik, sampai akhirnya ia berkata, "Aku akan menerima hukuman apa saja asal tidak bercerai! Tolong jangan pisahkan kami."
Delia dengan cepat meraih tangan Pasya, dan lanjut berkata," Mas, aku sangat mencintaimu dan tidak ingin berpisah denganmu. Lihat, sekarang bahkan kita sudah punya anak. Aku ingin membesarkannya dengan keluarga yang utuh. Jangan tinggalkan aku."
Pasya terdiam tanpa melihat Delia sedikit pun. Tangannya pun menepis tangan Delia.
"Hukumanmu adalah bercerai dan masuk penjara! Kau akan membusuk di sana bersama anak haram itu!" maki Jesika tak tertahankan.
Kedua orang tua Pasya merasa wajar jika Jesika bersikap seperti itu. Mana ada istri yang rela melihat wanita yang menjadi penyebab suaminya meninggal justru dimaafkan dengan mudah? Itu yang dipikirkan oleh ibu Pasya.
Pasya yang tadinya acuh seketika menoleh pada Jesika yang baru saja mengatakan kalimat itu.
"Aku yang akan memutuskan sendiri harus melakukan apa padanya. Dia bersalah, tapi aku tidak berniat menjebloskannya ke penjara, karena ada bayi yang harus dia rawat-"
"Pasya! Kau sudah gila?! Lihat baik-baik siapa yang kamu bela sekarang! Dia sudah mengkhianatimu, dan kamu masih mau mengampuninya?!" bentak ayah Pasya penuh keberatan.
"Kalian tenang saja. Aku akan menghukumnya dengan caraku sendiri. Jadi, lupakan soal penjara. Aku juga akan menanggung hidup Jesika dan Stefan sebagai bentuk tanggung jawabku pada kak Sidrat. Aku akan membawanya pergi sekarang," tutur Pasya sambil mendorong pelan pundak Delia untuk segera pergi dari tempat itu.
"Pasya! Dasar kau adik durhaka!" teriak sang ibu.
Pasya dan Delia terus berjalan menjauh tanpa menoleh kembali ke belakang.
Satu hal yang sangat disyukuri oleh Delia saat ini, karena Pasya masih memikirkan bayinya yang akan dimasukkan juga ke penjara. Sebab, dia masih harus memberikan ASI.
Delia beberapa kali melirik takut ke arah suaminya sendiri. Dia takut jika ucapannya nanti hanya akan membuat Pasya semakin marah.
"Selamat siang, Pak. Kami akan membawa Ibu Delia ke kantor polisi," ucap salah satu polisi yang menunggu di dekat mobil Pasya.
Spontan Delia melangkah mundur dan bersembunyi di belakang punggung Pasya, sambil terus mendekap bayinya erat.
Pasya menatap kedua polisi itu dengan tatapan datar. "Terima kasih karena sudah menjalankan tugas dengan baik. Namun, masalah ini akan kami selesaikan dengan kekeluargaan. Kami tidak menghendaki penangkapan Delia." Jelasnya.
"Tapi ibu Jesika sendiri yang menginginkan proses hukum." Salah satu polisi itu berucap tegas.
"Jesika sudah menarik ucapannya. Kami baru selesai membicarakannya bersama di pemakaman tadi. Lagi pula ini adalah kasus bunuh diri. Surat itu ... kami akan mencari tahu kebenarannya. Kami akan langsung menghubungi kalian jika menemukan bukti jika Delia benar-benar berselingkuh." Pasya menjelaskan sambil mengepalkan telapak tangan sampai buku-buku jarinya memutih.
Kedua polisi itu melirik Delia yang berlindung di balik punggung Pasya.
"Baik, kami mengerti." Salah satu polisi itu berkata sambil memberi kode pada rekannya agar kembali ke mobil.
Tidak lama kemudian, salah satu polisi itu kembali mendatangi Pasya dan menyerahkan tas milik Delia.
Setelah kedua pihak berwajib itu pergi, suara Pasya kembali terdengar. "Menjauh."
Delia menarik napas panjang, lalu menghelanya dengan pelan. Berharap dengan begitu perasaannya segera membaik. Ia berusaha untuk tidak memasukkan ucapan pedas Pasya ke dalam hati.
Delia bersama Pasya memasuki mobil. Hanya ada mereka berdua, dan biasanya Delia akan berbicara banyak, dan Pasya akan menanggapi kecerewetannya dengan tawa renyah.
Namun, kini semuanya telah berubah. Delia tidak pernah berpikir jika di masa depan akan tiba bencana seperti ini. Semuanya hancur dalam sekejap mata, dan dia tidak akan pernah terbiasa dengan perubahan yang tiba-tiba ini.
Perjalanan yang ditempuh kurang dari satu jam, seolah terasa berjam-jam bagi Delia.
Sampai akhirnya kendaraan Pasya memasuki wilayah perumahan yang mereka tempati.
Posisi rumah mereka berada di bagian terdepan dari arah gerbang utama perumahan. Setelah memasuki kediaman mereka, Pasya ke luar lebih dulu dan membawa tas Delia.
Delia ke luar tanpa dibantu oleh suaminya. Namun, hal itu tak jadi masalah. Selama dirinya bisa kembali menempati rumah ini bersama Pasya. Maka dia akan merasa baik-baik saja.
Saat Delia memasuki rumah dan menuju ke kamar utama. Pasya lebih dulu ke luar dari kamar mereka dengan ekspresi dingin. Melirik kecil pun sama sekali tidak.
Delia menghela napas panjang. Sepertinya mulai hari ini dia harus menghadapi sosok Pasya yang berbeda sepenuhnya.
"Meski apapun yang terjadi. Aku tidak akan pernah menyerah dengan pernikahan ini," lirihnya sambil memasuki kamar.
Delia membaringkan bayinya ke atas ranjang. Kedua lengannya yang pegal langsung terasa ringan. Delia ingin berbaring, tetapi karena menyadari pakaiannya yang kotor. Ia pun berniat menggantinya lebih dulu.
Delia membuka kedua pintu lemari dalam satu kali tarikan bersamaan. Namun, saat itu juga kedua kelopak matanya melebar sempurna.
Kosong! Pakaiannya sudah tak ada di lemari besar itu. Sontak saja Delia memandang ke arah meja rias, dan di sana pun juga sama kosongnya!
"Malam ini terakhir kau tidur di sini. Jangan pernah menginjakkan kaki ke kamar ini lagi. Besok kau akan tidur di kamar lain," ucap Pasya yang tiba-tiba saja masuk dengan tatapan menghunus tajam.
Delia dengan cepat menyadarkan diri di pintu lemari, khawatir tubuhnya akan jatuh terkulai setelah mendengar ucapan Pasya.
"Maksud Mas, kita akan berpisah kamar?" Delia bertanya dengan suara yang terdengar serak.
"Tidak ada yang sudi untuk tidur bersama istri yang sudah berselingkuh." Singgung Pasya terang-terangan.
"Tapi, Mas-"
"Kalau tidak terima. Aku akan menceraikanmu dalam waktu dekat." Ancam Pasya. Raut wajahnya menunjukkan keseriusan, dan Delia menyadari itu.
"Mas, jangan bicara seperti itu. Anak kita-"
"Anakmu, Delia! Dia bukan anakku!" bentak Pasya sambil menunjuk bayi Delia.
Tubuh Delia benar-benar luruh ke lantai setelah Pasya meninggalkan kamar.
Susana di depan ruang bersalin tampak riuh oleh keluarga besar dari suami Delia. Suara mereka yang berada di luar, bahkan terdengar sampai di ruangan yang saat ini sedang ditempati oleh Delia. Telapak tangan kanan Delia terangkat dan segera meraih seragam putih yang dikenakan oleh seorang bidan. "Bu Bidan, apa yang terjadi di luar? Kenapa suara keluarga saya sampai terdengar ke dalam sini?" tanya Delia.Tampang Delia yang sejak beberapa jam lalu sudah menegang, karena ini adalah pengalaman pertamanya bersalin. Kini diperparah setelah mendengar suara jeritan dari luar, yang kemudian disusul suara tangisan. Delia tentu saja penasaran berat. Namun, dia bahkan tak bisa duduk sekarang. Bagaimana bisa dia bangkit dari atas ranjang bersalin dan menemui mereka? Sedangkan kini dia pun sedang merasakan sakitnya kontraksi. "Bu Bidan, kenapa diam saja? Apa yang terjadi dengan keluarga saya di luar? Tolong periksa mereka. Apa baik-baik saja atau--""Ibu, tenanglah! Tidak ada masalah serius ya
Perjuangan yang mengoyak daging dan mengucurkan darah, serta tulang yang seolah diremukkan akhirnya selesai.Delia berhasil melewati proses hidup dan mati itu sendirian, tanpa didampingi oleh satupun keluarga. Tidak hanya fisiknya yang sakit. Namun, hatinya jauh lebih sakit saat mengetahui jika semua keluarga meninggalkannya sendirian di rumah sakit. Bahkan sampai menjelang pagi kembali, sang suami juga tak kunjung datang. "Permisi, kami membawa bayi, Ibu," ucap seorang perawat yang baru saja membuka pintu ruangan Delia, dan tak lama kemudian satu orang perawat lainnya yang sedang menggendong bayi Delia ikut masuk. Suara dari kedua perawat itu, berhasil mengalihkan pikiran Delia mengenai keberadaan suami dan keluarganya. Segala kegundahan yang menyelimuti hati Delia seketika sirna, begitu netra hitam teduhnya mendapati sosok mungil dalam selimut hangat yang baru saja di letakkan di sisi kanannya."Keluarga Ibu belum ada yang datang?" tanya salah satu perawat tersebut.Delia yang t
Saat di perjalanan yang entah menuju ke mana. Delia lantas memohon dengan wajah penuh harap. "Pak, saya mohon biarkan saya menemui suami saya dulu, dan juga ikut melihat jenazah almarhum. Saya mohon, Pak." Delia memohon sambil menahan tangis. Satu satu polisi yang tadi menjelaskan duduk permasalahannya pada Delia, lantas menoleh dan berkata, "Ibu harus menunggu bapak Pasya di kantor polisi." Delia menggelengkan kepala. "Pak, tolonglah! Bagaimana bisa saya yang baru selesai melahirkan dan membawa bayi sekarang harus menunggu di kantor polisi? Kenapa saya langsung ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan proses penyelidikan belum dimulai? Mana buktinya kalau saya sudah berselingkuh?!"Apa seperti ini prosedur penangkapan yang sebenarnya? Bahkan tanpa surat penangkapan, saya langsung diminta untuk menunggu di kantor polisi. Ini tidak adil bagi saya!"Hanya karena surat yang ditinggalkan almarhum, jadi saya bisa langsung dituduh begitu saja? Bagaimana kalau ada yang memalsukannya? Saya
Sesekali Delia hampir jatuh, karena tak bisa mengimbangi langkah Pasya. "Mas Pasya, pelan-pelan. Badanku-""Diam! Jangan berani menyebut namaku!" sela Pasya dengan tatapan benci.Delia tertegun sejenak sebelum akhirnya mencoba meraih tangan Pasya. Namun, detik itu pula tangannya ditepis keras."Pergi." Usir Pasya. "Maas," lirih Delia mengiba. "Pergi kau dari sini!" kembali Pasya menyuarakan pengusiran.Delia meninggalkan area ruang tamu dengan isakan yang tak bisa berhenti. Setelah Pasya mengusirnya. Dia langsung ditinggalkan begitu saja. Delia sebenarnya sudah tak mampu berjalan sekarang. Akibat Pasya menariknya, jahitan di area jalan lahir anaknya terasa begitu menyakitkan. Keringat dingin sampai mengucur membasahi tubuh.Namun, sakit fisiknya itu seolah tak bisa dibandingkan dengan sakit hatinya menerima perlakuan kasar dari suami dan keluarganya. Tak ada seorangpun yang mau mendengar penjelasannya. Tak ada pula tatapan iba setelah melihatnya dalam kondisi seperti ini. Tetap s
Hampir saja Delia bersimpuh di kaki ibu mertuanya. Namun, gerakannya dengan cepat dicegah oleh ayah mertuanya."Jangan mencoba menyentuh istriku dengan tangan kotormu!" maki ayah mertua Delia. "A-ayah, Ibu, tolong jangan katakan itu. Aku sangat mencintai Mas Pasya. Aku berani bersumpah apapun, kalau aku tidak pernah mengkhianatinya," ujar Delia penuh kepanikan. Wajahnya menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Bercerai adalah mimpi terburuk yang tidak akan pernah Delia terima. "Tapi kau sudah mengkhianati kami semua! Kau sudah melukai kami begitu dalam. Jangan harap kau akan tetap diterima di keluarga kami!" ujar ibu Pasya sambil menunjuk wajah Delia beberapa kali.Delia yang panik, tak dapat mengontrol kata-katanya dengan baik, sampai akhirnya ia berkata, "Aku akan menerima hukuman apa saja asal tidak bercerai! Tolong jangan pisahkan kami." Delia dengan cepat meraih tangan Pasya, dan lanjut berkata," Mas, aku sangat mencintaimu dan tidak ingin berpisah denganmu. Lihat, sekarang bahk
Sesekali Delia hampir jatuh, karena tak bisa mengimbangi langkah Pasya. "Mas Pasya, pelan-pelan. Badanku-""Diam! Jangan berani menyebut namaku!" sela Pasya dengan tatapan benci.Delia tertegun sejenak sebelum akhirnya mencoba meraih tangan Pasya. Namun, detik itu pula tangannya ditepis keras."Pergi." Usir Pasya. "Maas," lirih Delia mengiba. "Pergi kau dari sini!" kembali Pasya menyuarakan pengusiran.Delia meninggalkan area ruang tamu dengan isakan yang tak bisa berhenti. Setelah Pasya mengusirnya. Dia langsung ditinggalkan begitu saja. Delia sebenarnya sudah tak mampu berjalan sekarang. Akibat Pasya menariknya, jahitan di area jalan lahir anaknya terasa begitu menyakitkan. Keringat dingin sampai mengucur membasahi tubuh.Namun, sakit fisiknya itu seolah tak bisa dibandingkan dengan sakit hatinya menerima perlakuan kasar dari suami dan keluarganya. Tak ada seorangpun yang mau mendengar penjelasannya. Tak ada pula tatapan iba setelah melihatnya dalam kondisi seperti ini. Tetap s
Saat di perjalanan yang entah menuju ke mana. Delia lantas memohon dengan wajah penuh harap. "Pak, saya mohon biarkan saya menemui suami saya dulu, dan juga ikut melihat jenazah almarhum. Saya mohon, Pak." Delia memohon sambil menahan tangis. Satu satu polisi yang tadi menjelaskan duduk permasalahannya pada Delia, lantas menoleh dan berkata, "Ibu harus menunggu bapak Pasya di kantor polisi." Delia menggelengkan kepala. "Pak, tolonglah! Bagaimana bisa saya yang baru selesai melahirkan dan membawa bayi sekarang harus menunggu di kantor polisi? Kenapa saya langsung ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan proses penyelidikan belum dimulai? Mana buktinya kalau saya sudah berselingkuh?!"Apa seperti ini prosedur penangkapan yang sebenarnya? Bahkan tanpa surat penangkapan, saya langsung diminta untuk menunggu di kantor polisi. Ini tidak adil bagi saya!"Hanya karena surat yang ditinggalkan almarhum, jadi saya bisa langsung dituduh begitu saja? Bagaimana kalau ada yang memalsukannya? Saya
Perjuangan yang mengoyak daging dan mengucurkan darah, serta tulang yang seolah diremukkan akhirnya selesai.Delia berhasil melewati proses hidup dan mati itu sendirian, tanpa didampingi oleh satupun keluarga. Tidak hanya fisiknya yang sakit. Namun, hatinya jauh lebih sakit saat mengetahui jika semua keluarga meninggalkannya sendirian di rumah sakit. Bahkan sampai menjelang pagi kembali, sang suami juga tak kunjung datang. "Permisi, kami membawa bayi, Ibu," ucap seorang perawat yang baru saja membuka pintu ruangan Delia, dan tak lama kemudian satu orang perawat lainnya yang sedang menggendong bayi Delia ikut masuk. Suara dari kedua perawat itu, berhasil mengalihkan pikiran Delia mengenai keberadaan suami dan keluarganya. Segala kegundahan yang menyelimuti hati Delia seketika sirna, begitu netra hitam teduhnya mendapati sosok mungil dalam selimut hangat yang baru saja di letakkan di sisi kanannya."Keluarga Ibu belum ada yang datang?" tanya salah satu perawat tersebut.Delia yang t
Susana di depan ruang bersalin tampak riuh oleh keluarga besar dari suami Delia. Suara mereka yang berada di luar, bahkan terdengar sampai di ruangan yang saat ini sedang ditempati oleh Delia. Telapak tangan kanan Delia terangkat dan segera meraih seragam putih yang dikenakan oleh seorang bidan. "Bu Bidan, apa yang terjadi di luar? Kenapa suara keluarga saya sampai terdengar ke dalam sini?" tanya Delia.Tampang Delia yang sejak beberapa jam lalu sudah menegang, karena ini adalah pengalaman pertamanya bersalin. Kini diperparah setelah mendengar suara jeritan dari luar, yang kemudian disusul suara tangisan. Delia tentu saja penasaran berat. Namun, dia bahkan tak bisa duduk sekarang. Bagaimana bisa dia bangkit dari atas ranjang bersalin dan menemui mereka? Sedangkan kini dia pun sedang merasakan sakitnya kontraksi. "Bu Bidan, kenapa diam saja? Apa yang terjadi dengan keluarga saya di luar? Tolong periksa mereka. Apa baik-baik saja atau--""Ibu, tenanglah! Tidak ada masalah serius ya