Susana di depan ruang bersalin tampak riuh oleh keluarga besar dari suami Delia. Suara mereka yang berada di luar, bahkan terdengar sampai di ruangan yang saat ini sedang ditempati oleh Delia.
Telapak tangan kanan Delia terangkat dan segera meraih seragam putih yang dikenakan oleh seorang bidan.
"Bu Bidan, apa yang terjadi di luar? Kenapa suara keluarga saya sampai terdengar ke dalam sini?" tanya Delia.
Tampang Delia yang sejak beberapa jam lalu sudah menegang, karena ini adalah pengalaman pertamanya bersalin. Kini diperparah setelah mendengar suara jeritan dari luar, yang kemudian disusul suara tangisan.
Delia tentu saja penasaran berat. Namun, dia bahkan tak bisa duduk sekarang. Bagaimana bisa dia bangkit dari atas ranjang bersalin dan menemui mereka? Sedangkan kini dia pun sedang merasakan sakitnya kontraksi.
"Bu Bidan, kenapa diam saja? Apa yang terjadi dengan keluarga saya di luar? Tolong periksa mereka. Apa baik-baik saja atau--"
"Ibu, tenanglah! Tidak ada masalah serius yang terjadi di luar. Mereka mungkin saja terlalu khawatir dengan keadaan Ibu di sini. Kami akan meminta mereka untuk tenang. Ibu fokus saja dengan persalinannya sekarang."
Delia menggigit bibir bawahnya. Dia sama sekali tidak marah karena ucapannya dipotong begitu saja. Sebab, yang dipikirannya sekarang adalah keadaan di luar.
"Tunggu sebentar, Bu Bidan!" Delia kembali menahan petugas itu ketika hendak ke luar.
"Ada apa?" tanya petugas tersebut.
"Boleh panggilkan suami saya? Saya ... takut sendirian di sini." Pinta Delia dengan tatapan berharap. Sekarang dia memang sendirian di kamar bersalin. Padahal peraturan rumah sakit memperbolehkan satu orang dari pihak keluarga ikut masuk menemani pasien. Namun, sekarang suaminya entah pergi ke mana.
"Baiklah. Ibu tunggu saja di sini karena dokter kandungan dan bidan yang piket hari ini sebentar lagi akan tiba," ucap bidan muda itu sebelum akhirnya menarik pintu dan ke luar meninggalkan Delia di ruangan bersalin.
Delia mencoba menarik napas panjang dan membuangnya dengan perlahan. Perasaannya tiba-tiba saja memburuk, entah apa alasannya yang jelas dia merasa tidak nyaman sekarang.
Belum lagi dengan kondisi tubuhnya yang sedang kontraksi setelah pembukaan kedelapan. Air ketubannya pun sudah pecah sejak beberapa menit tadi, dan itu membuatnya kesakitan. Selain itu selang infus yang menancap di pergelangan tangan kirinya membuat gerakannya terbatas.
"Tidak mungkin, berita itu tidak benar! Kalian pembohong!"
Delia tersentak kaget mendengar teriakan keras dari arah luar.
"Ibu?!" Delia sadar suara tadi adalah suara ibu mertuanya. Perasaannya semakin memburuk.
"Ya Tuhan, apa yang terjadi di luar?! Kenapa bidan tadi lama sekali dan kenapa Pasya belum datang juga?" Delia bergumam dengan penuh kecemasan.
"Bawa keluarga pasien pergi dari sini semuanya! Di area ini dilarang ribut, karena bisa mengganggu proses persalinan. Silakan semuanya menunggu di tempat lain!"
Delia kembali mendengar suara seorang pria asing, yang tampaknya sedang mengusir keluarganya dari depan ruangan ini.
Delia hanya bisa merintih kesakitan saat mencoba memaksa untuk bangkit, dan tindakannya itu dilihat oleh para petugas yang baru saja membuka pintu ruangan.
"Apa yang Ibu lakukan? Mohon tetap berbaring." Seru salah satu petugas.
Delia menatap lima petugas yang masuk bersamaan. Sampai akhirnya Delia melihat petugas yang tadi berjanji akan memanggil Pasya--suaminya.
"Bu Bidan, suami saya mana? Apa yang terjadi dengan keluarga saya di luar?" tanya Delia dengan raut wajah cemas.
Bidan muda itu tampak diam saja dan malah bergerak untuk merapikan alat-alat yang akan digunakan untuk proses persalinan.
Sikap diam bidan itu, hanya membuat Delia semakin tidak tenang saja.
"Kenapa diam saja, Bu Bidan?! Ke mana suami saya?!" Delia bertanya dengan nada mendesak dan sedikit membentak.
"Ibu Delia, mohon tenang. Sebentar lagi kita akan memulai proses persalinan. Pikirkan kondisi Ibu dan bayi. Kita akan berjuang bersama. Jadi, mohon kerjasamanya." Suara lembut dari dokter kandungan itu menginterupsi pertanyaan Delia.
Kedua mata Delia tak bisa ditahan untuk tidak berkaca-kaca. "Bagaimana saya bisa tenang kalau tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan saya, Dok? Suami saya sejak tadi siang ada di sini. Kenapa sekarang tidak ada? Pasti terjadi sesuatu dengan keluarga saya!"
Dokter wanita itu tersenyum lembut. "Suami Ibu tadi minta izin ke luar sebentar karena harus mengurus berkas Ibu, sedangkan keluarga Ibu yang di luar tadi sedang memperdebatkan sesuatu sampai salah satu di antara mereka ada yang tidak terima, dan terjadi pertikaian kecil.
"Kami terpaksa meminta mereka untuk menunggu di tempat lain, karena di sekitar ruangan ini tidak diperkenankan untuk berisik. Mereka hanya akan mengganggu fokus para petugas, dan juga mengganggu para calon ibu lainnya yang sedang berjuang.
"Jadi, Ibu mohon mengerti kebijakan rumah sakit. Kami memastikan jika tidak ada masalah serius. Suami Ibu akan segera menyusul setelah urusannya selesai." Sang dokter menjelaskan.
Delia memejam erat. Kenapa di saat dirinya sebentar lagi akan melalui proses ini, justru malah terjadi masalah?
"Aargh, Dok!" Delia tiba-tiba membuka kedua matanya lebar-lebar saat merasakan desakan dari dalam perutnya, yang seolah ingin ke luar melalui jalan lahir.
Delia juga merasakan seluruh ototnya menegang. Area pinggulnya seolah ingin patah seluruhnya. Rasa sakit itu tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Seumur hidup, Delia baru merasakan kesakitan luar biasa seperti ini.
"Sudah pembukaan lengkap. Kita mulai persalinannya!" seru dokter memberi aba-aba setelah melakukan pemeriksaan dalam.
"Ibu tarik napas yang panjang dan dorong sekuat mungkin. Jangan memejamkan mata. Pinggulnya jangan sampai terangkat agar tidak terjadi robekan perineum." Seorang Bidan ikut memberi instruksi persalinan.
Pada akhirnya, Delia hanya berjuang sendirian di dalam ruang bersalin tanpa seorang suami atau kerabat dekat menemani.
Semetara itu di parkiran rumah sakit. Tampak semua mobil keluarga dari Delia dan Pasya mulai meninggalkan area rumah sakit tanpa seorang pun yang tinggal.
Semua kendaraan dari kedua keluarga besar itu terlihat mengebut.
**
Setelah setengah jam kemudian. Satu per satu dari kendaraan tersebut memasuki sebuah perumahan besar, dan berhenti di rumah ketiga dari arah gerbang utama.
"Pasyaaaa! Apa yang terjadi dengan kakakmu?!"
Seorang wanita paruh baya yang baru saja ke luar dari mobil hitam, langsung berlari memasuki rumah tersebut.
"Ibu, tolong jangan masuk sekarang! Tim kami sedang memeriksa jasad--"
"DIAAAM! APA YANG KALIAN LAKUKAN DI RUMAH ANAKKU?!" ibu Pasya berteriak murka.
Pasya yang melihat ibunya sedang ditahan oleh pihak kepolisian, langsung saja menghampiri ibunya dengan raut wajah yang sepenuhnya kusut. Terlihat jelas kesedihan mendalam dari wajah tampannya. Tampak pula kedua mata yang selalu memancarkan kehangatan itu meredup dan bengkak.
"Ibu." Pasya hanya bisa memanggil lirih dan langsung memeluk ibunya erat. Pasya tak bisa mengatakan kalimat apapun untuk menenangkan sang ibu, karena dirinya pun sedang terguncang.
"Ibuuu!"
Lolongan isak tangis itu dengan cepat membuat ibu Pasya melepaskan pelukan mereka.
"Jesika, kenapa semua ini bisa terjadi, Nak? Kenapa bisa?!" tanya ibu Pasya sambil menangis keras.
Tangan kanan Jesika–istri Sidrat, sekaligus kakak ipar Delia, langsung memberikan secarik kertas kepada ibu mertuanya.
Pasya meraup wajahnya kasar. Dia tidak berharap ibunya membaca surat itu. Namun, sudah terlambat. Wajah ibunya saat ini semakin memucat setelah selesai membaca surat itu.
"A-apa maksudnya ini? Delia berselingkuh dengan Sidrat, sampai membuat Sidrat bunuh diri?!"
Perjuangan yang mengoyak daging dan mengucurkan darah, serta tulang yang seolah diremukkan akhirnya selesai.Delia berhasil melewati proses hidup dan mati itu sendirian, tanpa didampingi oleh satupun keluarga. Tidak hanya fisiknya yang sakit. Namun, hatinya jauh lebih sakit saat mengetahui jika semua keluarga meninggalkannya sendirian di rumah sakit. Bahkan sampai menjelang pagi kembali, sang suami juga tak kunjung datang. "Permisi, kami membawa bayi, Ibu," ucap seorang perawat yang baru saja membuka pintu ruangan Delia, dan tak lama kemudian satu orang perawat lainnya yang sedang menggendong bayi Delia ikut masuk. Suara dari kedua perawat itu, berhasil mengalihkan pikiran Delia mengenai keberadaan suami dan keluarganya. Segala kegundahan yang menyelimuti hati Delia seketika sirna, begitu netra hitam teduhnya mendapati sosok mungil dalam selimut hangat yang baru saja di letakkan di sisi kanannya."Keluarga Ibu belum ada yang datang?" tanya salah satu perawat tersebut.Delia yang t
Saat di perjalanan yang entah menuju ke mana. Delia lantas memohon dengan wajah penuh harap. "Pak, saya mohon biarkan saya menemui suami saya dulu, dan juga ikut melihat jenazah almarhum. Saya mohon, Pak." Delia memohon sambil menahan tangis. Satu satu polisi yang tadi menjelaskan duduk permasalahannya pada Delia, lantas menoleh dan berkata, "Ibu harus menunggu bapak Pasya di kantor polisi." Delia menggelengkan kepala. "Pak, tolonglah! Bagaimana bisa saya yang baru selesai melahirkan dan membawa bayi sekarang harus menunggu di kantor polisi? Kenapa saya langsung ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan proses penyelidikan belum dimulai? Mana buktinya kalau saya sudah berselingkuh?!"Apa seperti ini prosedur penangkapan yang sebenarnya? Bahkan tanpa surat penangkapan, saya langsung diminta untuk menunggu di kantor polisi. Ini tidak adil bagi saya!"Hanya karena surat yang ditinggalkan almarhum, jadi saya bisa langsung dituduh begitu saja? Bagaimana kalau ada yang memalsukannya? Saya
Sesekali Delia hampir jatuh, karena tak bisa mengimbangi langkah Pasya. "Mas Pasya, pelan-pelan. Badanku-""Diam! Jangan berani menyebut namaku!" sela Pasya dengan tatapan benci.Delia tertegun sejenak sebelum akhirnya mencoba meraih tangan Pasya. Namun, detik itu pula tangannya ditepis keras."Pergi." Usir Pasya. "Maas," lirih Delia mengiba. "Pergi kau dari sini!" kembali Pasya menyuarakan pengusiran.Delia meninggalkan area ruang tamu dengan isakan yang tak bisa berhenti. Setelah Pasya mengusirnya. Dia langsung ditinggalkan begitu saja. Delia sebenarnya sudah tak mampu berjalan sekarang. Akibat Pasya menariknya, jahitan di area jalan lahir anaknya terasa begitu menyakitkan. Keringat dingin sampai mengucur membasahi tubuh.Namun, sakit fisiknya itu seolah tak bisa dibandingkan dengan sakit hatinya menerima perlakuan kasar dari suami dan keluarganya. Tak ada seorangpun yang mau mendengar penjelasannya. Tak ada pula tatapan iba setelah melihatnya dalam kondisi seperti ini. Tetap s
Hampir saja Delia bersimpuh di kaki ibu mertuanya. Namun, gerakannya dengan cepat dicegah oleh ayah mertuanya."Jangan mencoba menyentuh istriku dengan tangan kotormu!" maki ayah mertua Delia. "A-ayah, Ibu, tolong jangan katakan itu. Aku sangat mencintai Mas Pasya. Aku berani bersumpah apapun, kalau aku tidak pernah mengkhianatinya," ujar Delia penuh kepanikan. Wajahnya menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Bercerai adalah mimpi terburuk yang tidak akan pernah Delia terima. "Tapi kau sudah mengkhianati kami semua! Kau sudah melukai kami begitu dalam. Jangan harap kau akan tetap diterima di keluarga kami!" ujar ibu Pasya sambil menunjuk wajah Delia beberapa kali.Delia yang panik, tak dapat mengontrol kata-katanya dengan baik, sampai akhirnya ia berkata, "Aku akan menerima hukuman apa saja asal tidak bercerai! Tolong jangan pisahkan kami." Delia dengan cepat meraih tangan Pasya, dan lanjut berkata," Mas, aku sangat mencintaimu dan tidak ingin berpisah denganmu. Lihat, sekarang bahk
Hampir saja Delia bersimpuh di kaki ibu mertuanya. Namun, gerakannya dengan cepat dicegah oleh ayah mertuanya."Jangan mencoba menyentuh istriku dengan tangan kotormu!" maki ayah mertua Delia. "A-ayah, Ibu, tolong jangan katakan itu. Aku sangat mencintai Mas Pasya. Aku berani bersumpah apapun, kalau aku tidak pernah mengkhianatinya," ujar Delia penuh kepanikan. Wajahnya menunjukkan ketakutan yang luar biasa. Bercerai adalah mimpi terburuk yang tidak akan pernah Delia terima. "Tapi kau sudah mengkhianati kami semua! Kau sudah melukai kami begitu dalam. Jangan harap kau akan tetap diterima di keluarga kami!" ujar ibu Pasya sambil menunjuk wajah Delia beberapa kali.Delia yang panik, tak dapat mengontrol kata-katanya dengan baik, sampai akhirnya ia berkata, "Aku akan menerima hukuman apa saja asal tidak bercerai! Tolong jangan pisahkan kami." Delia dengan cepat meraih tangan Pasya, dan lanjut berkata," Mas, aku sangat mencintaimu dan tidak ingin berpisah denganmu. Lihat, sekarang bahk
Sesekali Delia hampir jatuh, karena tak bisa mengimbangi langkah Pasya. "Mas Pasya, pelan-pelan. Badanku-""Diam! Jangan berani menyebut namaku!" sela Pasya dengan tatapan benci.Delia tertegun sejenak sebelum akhirnya mencoba meraih tangan Pasya. Namun, detik itu pula tangannya ditepis keras."Pergi." Usir Pasya. "Maas," lirih Delia mengiba. "Pergi kau dari sini!" kembali Pasya menyuarakan pengusiran.Delia meninggalkan area ruang tamu dengan isakan yang tak bisa berhenti. Setelah Pasya mengusirnya. Dia langsung ditinggalkan begitu saja. Delia sebenarnya sudah tak mampu berjalan sekarang. Akibat Pasya menariknya, jahitan di area jalan lahir anaknya terasa begitu menyakitkan. Keringat dingin sampai mengucur membasahi tubuh.Namun, sakit fisiknya itu seolah tak bisa dibandingkan dengan sakit hatinya menerima perlakuan kasar dari suami dan keluarganya. Tak ada seorangpun yang mau mendengar penjelasannya. Tak ada pula tatapan iba setelah melihatnya dalam kondisi seperti ini. Tetap s
Saat di perjalanan yang entah menuju ke mana. Delia lantas memohon dengan wajah penuh harap. "Pak, saya mohon biarkan saya menemui suami saya dulu, dan juga ikut melihat jenazah almarhum. Saya mohon, Pak." Delia memohon sambil menahan tangis. Satu satu polisi yang tadi menjelaskan duduk permasalahannya pada Delia, lantas menoleh dan berkata, "Ibu harus menunggu bapak Pasya di kantor polisi." Delia menggelengkan kepala. "Pak, tolonglah! Bagaimana bisa saya yang baru selesai melahirkan dan membawa bayi sekarang harus menunggu di kantor polisi? Kenapa saya langsung ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan proses penyelidikan belum dimulai? Mana buktinya kalau saya sudah berselingkuh?!"Apa seperti ini prosedur penangkapan yang sebenarnya? Bahkan tanpa surat penangkapan, saya langsung diminta untuk menunggu di kantor polisi. Ini tidak adil bagi saya!"Hanya karena surat yang ditinggalkan almarhum, jadi saya bisa langsung dituduh begitu saja? Bagaimana kalau ada yang memalsukannya? Saya
Perjuangan yang mengoyak daging dan mengucurkan darah, serta tulang yang seolah diremukkan akhirnya selesai.Delia berhasil melewati proses hidup dan mati itu sendirian, tanpa didampingi oleh satupun keluarga. Tidak hanya fisiknya yang sakit. Namun, hatinya jauh lebih sakit saat mengetahui jika semua keluarga meninggalkannya sendirian di rumah sakit. Bahkan sampai menjelang pagi kembali, sang suami juga tak kunjung datang. "Permisi, kami membawa bayi, Ibu," ucap seorang perawat yang baru saja membuka pintu ruangan Delia, dan tak lama kemudian satu orang perawat lainnya yang sedang menggendong bayi Delia ikut masuk. Suara dari kedua perawat itu, berhasil mengalihkan pikiran Delia mengenai keberadaan suami dan keluarganya. Segala kegundahan yang menyelimuti hati Delia seketika sirna, begitu netra hitam teduhnya mendapati sosok mungil dalam selimut hangat yang baru saja di letakkan di sisi kanannya."Keluarga Ibu belum ada yang datang?" tanya salah satu perawat tersebut.Delia yang t
Susana di depan ruang bersalin tampak riuh oleh keluarga besar dari suami Delia. Suara mereka yang berada di luar, bahkan terdengar sampai di ruangan yang saat ini sedang ditempati oleh Delia. Telapak tangan kanan Delia terangkat dan segera meraih seragam putih yang dikenakan oleh seorang bidan. "Bu Bidan, apa yang terjadi di luar? Kenapa suara keluarga saya sampai terdengar ke dalam sini?" tanya Delia.Tampang Delia yang sejak beberapa jam lalu sudah menegang, karena ini adalah pengalaman pertamanya bersalin. Kini diperparah setelah mendengar suara jeritan dari luar, yang kemudian disusul suara tangisan. Delia tentu saja penasaran berat. Namun, dia bahkan tak bisa duduk sekarang. Bagaimana bisa dia bangkit dari atas ranjang bersalin dan menemui mereka? Sedangkan kini dia pun sedang merasakan sakitnya kontraksi. "Bu Bidan, kenapa diam saja? Apa yang terjadi dengan keluarga saya di luar? Tolong periksa mereka. Apa baik-baik saja atau--""Ibu, tenanglah! Tidak ada masalah serius ya