Davian baru saja bangun tidur. Ia memijit pangkal hidungnya yang agak sakit. Bukan karena susunya salah jalur lagi, kali ini Davian merasa akan lebih parah dari itu keadaannya jika tak segera ditangani.
Tapi, Davian bukanlah lelaki manja yang sedikit-sedikit harus ke dokter. Tentu saja. Davian sangat tidak menyukai aroma rumah sakit dan bau obat yang menyengat karena pernah membuatnya mual-mual tak enak perut.
" Davi! Ayo sarapan!"
Itu suara Papinya, teriak-teriak, berbarengan dengan ketukan di pintu kamar. Davian bertanya-tanya dalam hati, sejak kapan Papinya pulang dari Jerman? Mengingat terakhir kali berbincang, Papinya bilang akan mengurus Investor baru di sana, dan tinggal selama seminggu. Ini bahkan baru tiga hari dan Papinya sudah kembali!
" Davi! Kamu belum bangun?"
Terdengar suara ketukan lagi. Kali ini lebih keras.
Malas, Davian segera beranjak dari kasur dan membuka pintu kamarnya yang terkunci. Saat pintu terbuka, tampak Papinya sudah rapi memakai kemeja putih, tuksedo abu-abu dan celana bahan abu-abu, serasi dengan warna rambutnya yang dicat abu-abu pula.
Davin mundur dua langkah, berharap yang dilihat bukanlah Papinya. Lagipula, sejak kapan Papi Haidar Parviz mengecat rambutnya seperti anak ABG begitu?
Ck. Banyak gaya sekali orang tua ini.
" Ya ampun! Kamu baru bangun?"
Papi Davian termasuk orang yang banyak bicara dan banyak mengatur, barangkali banyak gaya juga bisa. Jika dibandingkan dengan Mami kandungnya, justru Papinyalah yang lebih banyak bicara. Tapi mengapa lelaki tua itu malah memiliki anak pendiam dan irit bicara macam Davian?
" Jam berapa ini? Lelaki tidak boleh bangun siang-siang. Nanti kamu seret jodoh!"
Apa lagi maksudnya? Kadang Davian tak paham dengan perkataan Papinya yang sering menyebut-nyebut mitos masa kecil ketika sedang bicara atau menasihati Davian. Sungguh, Davian tidak percaya omong kosong macam apa pun. Mitos yang dikatakan Papinya tak pernah berdasar dan Davian tak pernah percaya pada hal tanpa dasar yang jelas. Hidup di zaman modern bukannya harus realistis? Ilmu pengetahuan sudah semaju ini, kenapa masih ada saja orang yang percaya dengan takhayul leluhur untuk menakuti anak-anak mereka pada zaman dahulu kala?
" Davian, kamu dengar Papi atau tidak sih?" tanya Papinya lagi. Matanya sudah melotot, itu artinya lelaki tua itu sudah agak emosi menghadapi Davian yang tak kunjung merespons ucapannya, " mandi. Nanti rejeki kamu dipatuk ayam!"
Davian tersadar dan buru-buru masuk ke kamarnya lagi ketika melihat Sherly berjalan kearah mereka berdiri. Mengabaikan keterkejutan Papinya, yang pasti akan menceramahinya panjang lebar ketika sarapan nanti. Tapi, sudahlah. Lebih baik diceramahi Papinya daripada harus bertegur sapa dengan ibu tiri yang berusia setahun lebih tua darinya.
" Davian, mandinya jangan lama-lama!"
Davian mendengar suara nyaring dari luar kamar. Pagi-pagi begini, Sherly sudah teriak-teriak sambil mengetuk-ngetuk pintu kamarnya. Padahal perempuan itu tahu jika suami rentanya baru saja mengobrol satu arah dengan Davian.
Daripada menjawab Sherly, lebih baik Davian menyiapkan diri untuk pergi ke kantor.
Hanya butuh waktu lima belas menit, Davian sudah siap sarapan. Jam dinding masih menunjukkan pukul enam. Masih ada waktu satu jam lagi untuk sarapan. Mengetahui Papinya akan pulang secepat ini, membuat Davian agak kecewa. Jika Papinya tidak ada, Davian bisa meninggalkan dan mengabaikan Sherly semaunya, tapi kalau ada Papinya, jangan harap Davian dapat melakukan itu. Papinya selalu menomorsatukan etika di atas segalanya. Tapi, Davian selalu menomorsatukan ego di atas semua perintah Papinya untuk menghormati Sherly sebagai Mami barunya. Sejak Lima bulan yang lalu.
Davian duduk di salah satu dari dua kursi kosong tersisa yang mengelilingi meja makan. Membalik piring, mengelap benda itu menggunakan tisu, kemudian meraih roti tawar di atas meja. Tetapi, Sherly menyentuh pergelangan tangannya sambil merekahkan senyum termanisnya yang sama sekali tak ada menariknya bagi Davian.
" Biar Mami yang siapin."
Mami? Cih! Davian geli sendiri mendengarnya. Bagi Davian, orang yang pantas dipanggil Mami adalah Ibu kandungnya sendiri. Mami Rika adalah satu-satunya perempuan yang berhak Davian panggil dengan sebutan Mami. Meski sudah cukup lama tak jumpa, kira-kira tiga tahun berlalu dan kini Davian sangat rindu.
Sejak bercerai dengan Papi, Mami Davian memutuskan kembali ke Swiss, mengurus Oma yang sudah sakit-sakitan. Bersama Kakaknya, Daren. Davian sangat menyayangkan mengapa hak asuh dirinya justru jatuh di tangan Papinya? Padahal, jika boleh memilih, Davian ingin bersama Maminya. Tinggal di Swiss dan hidup tentram di sana.
" Sarapannya," Sherly meletakkan roti tawar yang diisi telur, sayur, saus tomat dan mayonais di atas piring di hadapan Davian.
Davian mengangkat sebelah alisnya, memandangi punggung tangan Sherly yang putih.
" Ayo dimakan! Malah bengong."
Lelaki bermata cokelat itu melirik sandwich di atas piring dan tangan Sherly bergantian. Apa tangan perempuan itu sudah dicuci? Meraih sandwich-nya, Davian mengendus makanan di tangannya, memastikan jika sandwich buatan Sherly bersih. Tak ada aroma wangi dari body lotion atau wewangian apa pun. Setelah memastikan tak ada aroma lain selain aroma makanan itu sendiri, Davian memakan roti isi tersebut. Tak terlalu lahap karena Papinya terus saja berpidato seperti presiden di depan para Menteri.
" Dav, dua bulan lagi umur kamu kan dua puluh tujuh, memangnya kamu nggak mau nikah, gitu?"
Davian tersedak. Ia terbatuk sampai gigitan roti yang hampir halus muncrat keluar. Cepat-cepat ia meraih susu di dekat tangannya dan meneguknya sampai habis setengah.
Sherly terlihat panik. Perempuan itu bergegas mendekati Davian, berdiri di belakang lelaki itu kemudian menepuk-nepuk punggungnya pelan.
Sadar Sherly menyentuhnya, Davian cepat-cepat bangkit berdiri. Membuat Sherly memekik kaget.
" Jangan pegang-pegang saya!" Davian memberi penekanan dalam setiap kata. Intonasinya dingin dan menusuk. Setelah mengatakan itu, ia melenggang pergi tanpa permisi.
" Davian! Astaga... anak itu!"
Davian tak menoleh meski ia mendengar Papinya memanggil namanya berkali-kali.
" Jalan!"
Raka yang sudah stand by sejak tadi kaget mendengar pintu belakang mobil dibanting. Rupanya Tuannya yang menutup pintu seperti mengajak tawuran. Paham Davian sedang tidak enak hati, Raka langsung melajukan mobilnya, daripada kena semprot juga.
Dalam perjalanan, Davian gondok bukan main. Berani-beraninya perempuan itu memegang punggungnya! Davian tidak pernah suka jika ada orang menyentuh apa pun miliknya sebelum dirinya mengatakan iya. Siapa pun. Tanpa kecuali. Termasuk Papinya.
Astaga. Masih pagi begini, mood Davian sudah amburadul. Memasuki ruangan, ia duduk di kursinya. Menyandarkan punggung dan memijit pangkal hidungnya yang semakin aneh saja rasanya. Lelaki dengan rahang tegas itu memejamkan mata.
" Dav, dua bulan lagi umur kamu kan dua puluh tujuh, memangnya kamu nggak mau nikah, gitu?"
Davian menggelengkan kepala ketika ucapan Papinya berkelebat di kepalanya yang kian pening. Apakah Papinya baru saja menyuruh Davian untuk menikah setelah usianya menginjak dua puluh tujuh tahun?
Astaga. Tidak. Davian masih betah hidup sendiri. Lagipula, apa gunanya wanita jika lelaki bisa menghidupi diri sendiri?
***
" San, titip absen ya."Panggilan diakhiri oleh Tiffany. Perempuan itu mengatur napas sebelum masuk ke ruangan di depannya. Ruangan tempatnya mulai bekerja hari ini. Bersama Direktur muda AMJ yang parfumnya memabukkan.Tiffany mengetuk pintu, dua kali. Tak ada jawaban apa pun. Diliriknya jam yang melingkar di tangannya, masih jam setengah sembilan. Pasti atasannya belum datang. Membuka pintu, Tiffany melongo melihat Davian tidur pulas dengan mulut terbuka.Perempuan itu menutup pintu di belakangnya. Berjalan mendekat ke arah Davian yang sedang terlelap. Ia berdiri di sebelah kursi Davian. Mengamati setiap inci wajah lelaki itu dengan seksama." Ganteng sih. Tapi... jutek!" komentar perempuan itu pelan sekali. Namun cepat-cepat Tiffany
" Bapak yakin nggak apa-apa?"Davian melirik perempuan cerewet di mejanya. Sudah berapa kali sejak tadi pagi dia bertanya seperti itu. Sampai-sampai Davian bosan mendengar suaranya dan juga melihat wajahnya." Harus berapa kali lagi yang bilang kalau saya baik-baik saja?"Tiffany tampak terkejut dengan respon Davian kali ini. Membuat Davian jadi geli sendiri melihat perempuan di dekat jendela itu menundukkan kepala dalam-dalam dan memilih diam. Tak menanggapinya lagi.Bagus deh. Setidaknya, di jam mendekati pulang kantor begini ia bisa sedikit tenang. Apalagi hari ini bisa dibilang hari tenang baginya. Tak ada rapat dan pertemuan di luar. Dengan begitu, Davian bisa pulang cepat. Jarang-jarang juga ia punya banyak waktu luang begini.
Sudah pagi lagi. Tiffany harus bekerja lagi. Ini adalah hari keduanya bekerja sebagai sekretaris Davian yang sok kuat.Tiffany ingat bagaimana kondisi lelaki itu kemarin. Sebelum lelaki bernama Raka berlari-lari kecil menghampiri mereka dan Davian muntah, mengenai kemeja lengan pendek yang dipakai oleh sopirnya.Mengingat hal menjijikan itu, membuat Tiffany tak bisa membendung rasa senang jika Davian tak masuk kerja hari ini. Paling tidak, ia bisa santai-santai setelah membereskan dokumen-dokumen seperti yang diinstruksikan lelaki itu kemarin.Membuka pintu, Tiffany melotot. Mendapati Davian sudah stand by di tempatnya. Outfit-nya terlihat lebih kasual karena Davian memakai hoodie tebal. Wajahnya pucat pasi. Matanya memejam, tapi Tiffany dapat melihat bagian
Davian merasakan tubuhnya panas dingin sejak semalam. Mengingat kondisi tubuhnya sedang tidak fit, Dokter di klinik menganjurkannya untuk istirahat tiga hari. Diagnosanya adalah gejala tifus karena Davian sering telat makan dan banyak kegiatan yang menguras tenaga serta pikiran. Tapi, bagi Davian penyebab utamanya adalah karena Mbok Hilda terlalu betah di kampung halaman, sehingga Davian lebih sering makan mie instan buatannya sendiri.Mbok Hilda adalah perempuan kedua setelah Maminya yang sangat Davian hormati. Usianya sudah empat puluh lima tahun. Kata Papinya, Mbok Hilda sudah bekerja sebagai asisten rumah tangga yang sesekali merangkap sebagai baby sitter untuk keluarga Parviz selama tiga puluh satu tahun. Tepatnya Sejak Mbok Hilda berusia empat belas tahun, sebelum Daren dan Davian lahir.Davian sangat menyukai masakan Mbo
" Mbak Tiffany, ini makanan pesanan Mas Davi. Belinya di Resto Saung-Saungan. Saya lihat sendiri proses masaknya. Bersih." Raka memberikan paper bag bermotif batik sembari menjelaskan menu yang ia bawa secara rinci kepada Tiffany, " Mas Davinya jangan lupa dikasih tahu ya." Mendengar Raka menjelaskan begitu, Tiffany jadi bingung sendiri. Ia saja tidak ingat Raka membeli ini di mana tadi? " Mbak, saya pergi ya." Tiffany mengangguk, " Makasih ya Pak Raka." " Nggak usah panggil Pak. Saya masih dua puluh lima tahun!" Tiffany mengerutkan kening. Apa urusannya dengan dia jika sopir Davian masih berusia dua puluh lima tahun? Tiffany bahkan tak tanya soal itu kepadanya. Mengaba
" Tiffany, besok pagi rekap meeting tadi siang taruh di atas meja saya ya." Tiffany baru selesai mandi. Kini ia merebahkan tubuh di atas ranjangnya yang tak terlalu besar. Suara di telepon itu membuat Tiffany kesal sendiri. Lelaki itu menghubunginya di luar jam kerja begini hanya untuk memberinya pesan tak berguna macam itu! Memangnya tidak bisa besok lagi? Apakah delapan jam kerja mereka masih kurang sehingga harus mengganggu jam istirahat begini. Tiba-tiba, Tiffany mendengar suara pintu apartemennya dibuka seseorang. Sadar telah menghubungi adik laki-lakinya untuk datang ke tempat tinggal mereka, kini Tiffany mengubah posisinya menjadi duduk. Pintu kamarnya dibuka. Menampakkan sosok lelaki jangkung masih memakai seragam putih abu-abu dan kemejanya tak dimasukkan ke dalam
Ada dua hal yang membuat Davian terlambat sampai kantor pagi ini. Pertama, karena ia tidur sangat nyenyak sekali semalaman. Yang terakhir karena Papinya ke luar kota semenjak kemarin sore, sebelum Davian pulang dari kantor. Untuk alasan kedua jelas Davian sangat senang sekali. Keadaannya sudah lumayan lebih baik daripada kemarin. Davian merasa suhunya tak setinggi kemarin. Hanya saja suara khas orang pilek lumayan kedengaran sangat parah, dan tenggorokannya benar-benar radang. Dasar, penyakit! menggangu orang hidup saja. Memasuki ruangannya, ia mendapati Tiffany sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya. Perempuan itu menoleh, menyadari dirinya baru datang. Tiffany memaksakan seulas senyum, membuat Davian sedikit heran. Selama tiga hari saling kenal, tidak biasanya Tiffany bertingkah macam itu pagi-pagi begini.
" Tolong!!!"" Tolong!!!"" Tolong!!!"Tiffany melepas wedges-nya, berlari sejauh mungkin dari tempat sepi ini untuk menghindari lelaki tua terkutuk yang akan melakukan tindakan asusila kepadanya. Menoleh, lelaki tua itu masih mengejarnya dan mengucap sumpah-serapah yang tak enak didengar telinga orang tuli sekali pun." Tolong!!!"Tiffany masih tak menyerah untuk kabur. Tak menyerah juga untuk berteriak minta tolong, meski jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari dan jalanan yang ia lalui sangat sepi. Jika tak ada manusia, Tiffany berharap hantu pun tak apa-apa jika mau menolongnya. Tetapi, sepertinya Tiffany tak melihat apapun. Hanya jalanan tak berujung dan kios-kios ya
Ada dua hal yang membuat Davian terlambat sampai kantor pagi ini. Pertama, karena ia tidur sangat nyenyak sekali semalaman. Yang terakhir karena Papinya ke luar kota semenjak kemarin sore, sebelum Davian pulang dari kantor. Untuk alasan kedua jelas Davian sangat senang sekali. Keadaannya sudah lumayan lebih baik daripada kemarin. Davian merasa suhunya tak setinggi kemarin. Hanya saja suara khas orang pilek lumayan kedengaran sangat parah, dan tenggorokannya benar-benar radang. Dasar, penyakit! menggangu orang hidup saja. Memasuki ruangannya, ia mendapati Tiffany sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya. Perempuan itu menoleh, menyadari dirinya baru datang. Tiffany memaksakan seulas senyum, membuat Davian sedikit heran. Selama tiga hari saling kenal, tidak biasanya Tiffany bertingkah macam itu pagi-pagi begini.
" Tiffany, besok pagi rekap meeting tadi siang taruh di atas meja saya ya." Tiffany baru selesai mandi. Kini ia merebahkan tubuh di atas ranjangnya yang tak terlalu besar. Suara di telepon itu membuat Tiffany kesal sendiri. Lelaki itu menghubunginya di luar jam kerja begini hanya untuk memberinya pesan tak berguna macam itu! Memangnya tidak bisa besok lagi? Apakah delapan jam kerja mereka masih kurang sehingga harus mengganggu jam istirahat begini. Tiba-tiba, Tiffany mendengar suara pintu apartemennya dibuka seseorang. Sadar telah menghubungi adik laki-lakinya untuk datang ke tempat tinggal mereka, kini Tiffany mengubah posisinya menjadi duduk. Pintu kamarnya dibuka. Menampakkan sosok lelaki jangkung masih memakai seragam putih abu-abu dan kemejanya tak dimasukkan ke dalam
" Mbak Tiffany, ini makanan pesanan Mas Davi. Belinya di Resto Saung-Saungan. Saya lihat sendiri proses masaknya. Bersih." Raka memberikan paper bag bermotif batik sembari menjelaskan menu yang ia bawa secara rinci kepada Tiffany, " Mas Davinya jangan lupa dikasih tahu ya." Mendengar Raka menjelaskan begitu, Tiffany jadi bingung sendiri. Ia saja tidak ingat Raka membeli ini di mana tadi? " Mbak, saya pergi ya." Tiffany mengangguk, " Makasih ya Pak Raka." " Nggak usah panggil Pak. Saya masih dua puluh lima tahun!" Tiffany mengerutkan kening. Apa urusannya dengan dia jika sopir Davian masih berusia dua puluh lima tahun? Tiffany bahkan tak tanya soal itu kepadanya. Mengaba
Davian merasakan tubuhnya panas dingin sejak semalam. Mengingat kondisi tubuhnya sedang tidak fit, Dokter di klinik menganjurkannya untuk istirahat tiga hari. Diagnosanya adalah gejala tifus karena Davian sering telat makan dan banyak kegiatan yang menguras tenaga serta pikiran. Tapi, bagi Davian penyebab utamanya adalah karena Mbok Hilda terlalu betah di kampung halaman, sehingga Davian lebih sering makan mie instan buatannya sendiri.Mbok Hilda adalah perempuan kedua setelah Maminya yang sangat Davian hormati. Usianya sudah empat puluh lima tahun. Kata Papinya, Mbok Hilda sudah bekerja sebagai asisten rumah tangga yang sesekali merangkap sebagai baby sitter untuk keluarga Parviz selama tiga puluh satu tahun. Tepatnya Sejak Mbok Hilda berusia empat belas tahun, sebelum Daren dan Davian lahir.Davian sangat menyukai masakan Mbo
Sudah pagi lagi. Tiffany harus bekerja lagi. Ini adalah hari keduanya bekerja sebagai sekretaris Davian yang sok kuat.Tiffany ingat bagaimana kondisi lelaki itu kemarin. Sebelum lelaki bernama Raka berlari-lari kecil menghampiri mereka dan Davian muntah, mengenai kemeja lengan pendek yang dipakai oleh sopirnya.Mengingat hal menjijikan itu, membuat Tiffany tak bisa membendung rasa senang jika Davian tak masuk kerja hari ini. Paling tidak, ia bisa santai-santai setelah membereskan dokumen-dokumen seperti yang diinstruksikan lelaki itu kemarin.Membuka pintu, Tiffany melotot. Mendapati Davian sudah stand by di tempatnya. Outfit-nya terlihat lebih kasual karena Davian memakai hoodie tebal. Wajahnya pucat pasi. Matanya memejam, tapi Tiffany dapat melihat bagian
" Bapak yakin nggak apa-apa?"Davian melirik perempuan cerewet di mejanya. Sudah berapa kali sejak tadi pagi dia bertanya seperti itu. Sampai-sampai Davian bosan mendengar suaranya dan juga melihat wajahnya." Harus berapa kali lagi yang bilang kalau saya baik-baik saja?"Tiffany tampak terkejut dengan respon Davian kali ini. Membuat Davian jadi geli sendiri melihat perempuan di dekat jendela itu menundukkan kepala dalam-dalam dan memilih diam. Tak menanggapinya lagi.Bagus deh. Setidaknya, di jam mendekati pulang kantor begini ia bisa sedikit tenang. Apalagi hari ini bisa dibilang hari tenang baginya. Tak ada rapat dan pertemuan di luar. Dengan begitu, Davian bisa pulang cepat. Jarang-jarang juga ia punya banyak waktu luang begini.
" San, titip absen ya."Panggilan diakhiri oleh Tiffany. Perempuan itu mengatur napas sebelum masuk ke ruangan di depannya. Ruangan tempatnya mulai bekerja hari ini. Bersama Direktur muda AMJ yang parfumnya memabukkan.Tiffany mengetuk pintu, dua kali. Tak ada jawaban apa pun. Diliriknya jam yang melingkar di tangannya, masih jam setengah sembilan. Pasti atasannya belum datang. Membuka pintu, Tiffany melongo melihat Davian tidur pulas dengan mulut terbuka.Perempuan itu menutup pintu di belakangnya. Berjalan mendekat ke arah Davian yang sedang terlelap. Ia berdiri di sebelah kursi Davian. Mengamati setiap inci wajah lelaki itu dengan seksama." Ganteng sih. Tapi... jutek!" komentar perempuan itu pelan sekali. Namun cepat-cepat Tiffany
Davian baru saja bangun tidur. Ia memijit pangkal hidungnya yang agak sakit. Bukan karena susunya salah jalur lagi, kali ini Davian merasa akan lebih parah dari itu keadaannya jika tak segera ditangani.Tapi, Davian bukanlah lelaki manja yang sedikit-sedikit harus ke dokter. Tentu saja. Davian sangat tidak menyukai aroma rumah sakit dan bau obat yang menyengat karena pernah membuatnya mual-mual tak enak perut." Davi! Ayo sarapan!"Itu suara Papinya, teriak-teriak, berbarengan dengan ketukan di pintu kamar. Davian bertanya-tanya dalam hati, sejak kapan Papinya pulang dari Jerman? Mengingat terakhir kali berbincang, Papinya bilang akan mengurus Investor baru di sana, dan tinggal selama seminggu. Ini bahkan baru tiga hari dan Papinya sudah kembali!
" Bapak serius?" Perempuan itu masih ngos-ngosan. Dadanya naik turun dan seluruh tubuhnya banjir keringat. Bahkan, ruangan dengan suhu sembilan belas derajat celcius tempat dimana Tiffany duduk, masih belum membuat keringatnya mengering. " Kamu pikir muka saya kelihatan bercanda?" Tiffany kaget. Mendengar lelaki yang mengaku sebagai HRD di perusahaan tempatnya melamar kerja meninggikan intonasi suara. Lelaki yang tadi memperkenalkan diri sebagai Feri kemudian menunduk. Mungkin merasa bersalah karena telah bersikap tidak sopan kepada karyawan baru di tempatnya bekerja. Syukurlah jika memang begitu. Ck, galak amat! " Jadi saya diterima, Pak?" masih tidak percaya