" Tolong!!!"
" Tolong!!!"
" Tolong!!!"
Tiffany melepas wedges-nya, berlari sejauh mungkin dari tempat sepi ini untuk menghindari lelaki tua terkutuk yang akan melakukan tindakan asusila kepadanya. Menoleh, lelaki tua itu masih mengejarnya dan mengucap sumpah-serapah yang tak enak didengar telinga orang tuli sekali pun.
" Tolong!!!"
Tiffany masih tak menyerah untuk kabur. Tak menyerah juga untuk berteriak minta tolong, meski jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari dan jalanan yang ia lalui sangat sepi. Jika tak ada manusia, Tiffany berharap hantu pun tak apa-apa jika mau menolongnya. Tetapi, sepertinya Tiffany tak melihat apapun. Hanya jalanan tak berujung dan kios-kios yang sudah tutup di sepanjang jalan.
" To...long..."
Tiffany mulai ngos-ngosan. Tak tahu sudah berjalan sejauh apa. Yang jelas, ketika menoleh ke belakang, lelaki tua itu sama sekali tak terlihat lelah. Badannya yang tinggi, kekar dan tegap masih melangkah lebar-lebar tak mau menyerah.
Tiffany berhenti. Sudah tak kuat lagi berlari. membalik badan, lelaki tua itu sudah dekat dengannya. Rasanya ingin menyerah, tapi tidak bisa. Tiffany tidak mau diperkosa lelaki tua itu. Ia tidak mau melakukan pertama kalinya dengan orang yang lebih tua dari ayahnya. Ralat... ayahnya yang brengsek.
" Dapat!" lelaki tua itu menangkap Tiffany yang masih ngos-ngosan. Tangannya memeluk tubuh Tiffany dan menggendongnya.
Tiffany meraung-raung seperti singa ngamuk. Tangannya memukul bagian tubuh manapun yang dapat ia jangkau. Namun, lelaki tua itu seolah tak merasakan sakit sama sekali. Bahkan, setelah berlari mengejar Tiffany sampai ratusan meter, ia masih kuat mengangkat Tiffany kembali menuju mobil sport berwarna merah mengkilap miliknya.
" Kamu jangan coba-coba kabur ya. Kamu mau menipu saya? saya sudah bayar uang muka satu juta, loh," ucap lelaki tua itu sambil membukakan pintu untuk Tiffany.
" Om, saya bukan penipu. Saya balikin deh uangnya, tapi jangan perkosa saya ya," Tiffany memohon dengan sangat, " atau... saya tambahin denda ganti rugi, mau?"
Lelaki tua itu menggeleng, " oh tidak bisa. Kamu sudah menggoda saya dan sekarang kamu mau pergi dari saya? jangan harap," lelaki itu memasukkan Tiffany ke mobilnya, di jok belakang. Kemudian ia menghambur masuk dan hendak membuka tank top merah yang dikenakan Tiffany. Namun, Tiffany terus-menerus berontak. Bahkan, ketika lelaki tua itu lengah, Tiffany berhasil mengambil kesempatan untuk menendang benda pusaka yang berdiri di balik celana bahan itu, hingga lelaki tua itu terdorong, punggungnya membentur pintu mobil.
Memanfaatkan peluang, Tiffany keluar dari mobil yang pintunya tak ditutup. Benar-benar tua bangka tak beradab. Ingin memperkosa orang, di tengah jalan, di dalam mobil, pintunya terbuka lebar seperti itu lagi. Benar-benar tak patut disebut manusia. Sambil berlari, Tiffany tak henti-hentinya memaki si lelaki tua.
" Tolong!" teriak Tiffany lagi ketika melihat sebuah mobil dari kejauhan. Ia berdiri di tengah jalan sambil melambaikan tangannya. Mengabaikan dinginnya malam. Mengabaikan tank top-nya yang talinya lepas sebelah. Dan... roknya yang super ketat dan sangat pendek.
Mobil itu banting stir. Nyaris menabrak pembatas jalan dan segera berhenti. Menimbulkan suara decitan yang geli. Seseorang keluar dari dalam mobil itu. Seorang lelaki dengan aroma parfum sangat harum. Bahkan dari jarak yang cukup jauh dari keberadaan Tiffany. Ketika Tiffany terbuai dengan aroma itu, ia langsung sadar jika di depannya ada seorang lelaki jangkung yang sedang berjalan ke arahnya dengan tampang sangar.
" Lo mau mati?"
Tiffany menelan ludah. Tidak. Bukan karena pertanyaan si lelaki, tetapi karena aroma parfum lelaki itu yang membuatnya mabuk kepayang.
" Lo budek?"
Tiffany tersadar ketika pipinya ditampar pelan. Ia mengerjapkan mata dan menunjuk-nunjuk arah lelaki tua yang mengejarnya, " tolong. Gue mau diperkosa!"
Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya dan bersedekap. Mengamati penampilan Tiffany dari ujung kepala hingga ujung kaki, " lo yakin?"
Tiffany mengangguk, kemudian menoleh ke arah di mana lelaki tua tadi mengejarnya. Tetapi, dari tempatnya berdiri, Tiffany tak melihat keberadaannya lagi, bahkan mobil merah yang seharusnya kelihatan dari sini, sudah tak ada di tempatnya lagi.
Tiffany menghela napas lega. Ia kemudian menoleh kepada lelaki yang rupanya sudah tak lagi berdiri di depannya. Lelaki itu hendak masuk ke dalam mobilnya, " Makasih, ya!"
Lelaki itu tak menjawab dan masuk ke mobil. Tiffany melambaikan tangan, sebelum lelaki itu benar-benar masuk. Kemudian sadar jika lelaki itu pergi ia akan sendirian di sini dan bagaimana ia bisa pulang? Akhirnya, Tiffany berlari mendekati mobil lelaki itu. Menggedor-gedor kacanya berkali-kali. Ketika kaca itu diturunkan, Tiffany mencium aroma surga yang memabukkan.
" Numpang sampai kelab deket sini, boleh?"
Lelaki itu tak menjawab, menutup kembali kaca mobilnya, kemudian menyalakan mesin mobil. Membuat benda itu bergetar.
Tiffany menggedor-gedor kaca mobil itu lebih kuat lagi sebelum benar-benar melaju dan menyisakan ia di tempat sepi ini sendirian. Tiba-tiba, kaca mobil kembali diturunkan dan membuat Tiffany kembali memiliki harapan.
" Masuk."
Tiffany senang bukan main. Ia langsung mengambil tempat di sebelah lelaki tadi, " thanks, ya."
Bukannya menjawab, lelaki itu malah menyalakan musik. Hip-hop. Berbahasa inggris. Jika dilihat dari tampangnya yang bersih, sepertinya dia orang kaya. Selera musiknya juga menunjukkan jika dia bukan orang biasa-biasa saja. Apalagi aroma parfumnya, jelas ini aroma parfum mahal yang cukup dipakai dua semprot, harumnya sudah luar biasa.
" Lo pecun?"
" Apa?" Tiffany menoleh, mendengar lelaki di sebelahnya seperti bertanya, namun ia tak dengar dengan jelas.
" Semalem berapa?"
Tiffany semakin tak mengerti. Dua detik berikutnya, ia sadar jika pakaiannya menunjukkan jika ia adalah kupu-kupu malam. Memang, Tiffany sedang mencoba profesi yang kata Sandra sangat mudah dilakukan. Hanya perlu sedikit polesan make up dan pakaian seksi. Bahkan, ia ke kelab bersama Sandra. Tetapi, mereka berpisah ketika lelaki tua bangka tadi mengajaknya keluar setelah mentransfer uang satu juta rupiah.
" Lo budek ya? gue lagi nanya."
" Dua juta aja," jawab Tiffany. Persis seperti yang ia katakan kepada lelaki tua tadi, " DP satu juta. Sisanya kalau udah selesai."
Lelaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Entah karena paham atau karena musik yang sedang mengalun?
" Minat?"
Lelaki itu mengerem tiba-tiba. Membuat Tiffany terdorong ke depan dan nyaris jatuh dari kursi. Tetapi, ia tidak jatuh. Malah kepalanya yang hampir membentur dasbor. Untungnya, tangannya sigap menutupi dasbor. Sehingga, kepalanya hanya membentur punggung tangannya.
" Bisa pelan-pelan nggak sih?" Tiffany protes, merasakan punggung tangannya berdenyut.
" Turun!" ucap lelaki itu datar.
Tiffany terkejut mendengarnya. Setidakmenarik itukah dia? hingga lelaki yang berbau surga ini mengusirnya?
" Beneran budek nih orang. Turun. Udah sampe!"
Tiffany kaget. Ia melongok lewat kaca. Rupanya memang sudah sampai kelab tempatnya diangkut oleh lelaki tua brengsek itu. Menuruti kemauan si lelaki beraroma surga itu, Tiffany melempar senyum mautnya.
" Kalau butuh jasa gue, bisa cari gue di sini. Nama gue Tiffany."
***
" Dav, kamu ganteng loh."Davian tersedak susu hangat yang baru saja akan mengaliri tenggorokannya. Setelah mendengar Sherly memujinya secara tak biasa, susu itu justru lari ke pangkal hidung, membuat bagian atas hidungnya sedikit sakit." Duh... pelan-pelan dong Davian," Sherly meraih tisu dan berniat mengelap mulut Davian. Namun, tangannya segera ditepis oleh Davian agak kasar, tapi perempuan dua puluh delapan tahun itu hanya menggelengkan kepala melihat perilaku tidak sopan anak tirinya yang angkuh. " Biar Mami buatin lagi susunya," Sherly berdiri, bergegas menuju dapur untuk membuatkan susu yang baru.Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya dan geli sendiri mendengar Sherly menyebutkan dirinya sebagai 'Mami' kepada Davian, padahal perempuan itu hanya berusia setahun lebih tu
" Bapak serius?" Perempuan itu masih ngos-ngosan. Dadanya naik turun dan seluruh tubuhnya banjir keringat. Bahkan, ruangan dengan suhu sembilan belas derajat celcius tempat dimana Tiffany duduk, masih belum membuat keringatnya mengering. " Kamu pikir muka saya kelihatan bercanda?" Tiffany kaget. Mendengar lelaki yang mengaku sebagai HRD di perusahaan tempatnya melamar kerja meninggikan intonasi suara. Lelaki yang tadi memperkenalkan diri sebagai Feri kemudian menunduk. Mungkin merasa bersalah karena telah bersikap tidak sopan kepada karyawan baru di tempatnya bekerja. Syukurlah jika memang begitu. Ck, galak amat! " Jadi saya diterima, Pak?" masih tidak percaya
Davian baru saja bangun tidur. Ia memijit pangkal hidungnya yang agak sakit. Bukan karena susunya salah jalur lagi, kali ini Davian merasa akan lebih parah dari itu keadaannya jika tak segera ditangani.Tapi, Davian bukanlah lelaki manja yang sedikit-sedikit harus ke dokter. Tentu saja. Davian sangat tidak menyukai aroma rumah sakit dan bau obat yang menyengat karena pernah membuatnya mual-mual tak enak perut." Davi! Ayo sarapan!"Itu suara Papinya, teriak-teriak, berbarengan dengan ketukan di pintu kamar. Davian bertanya-tanya dalam hati, sejak kapan Papinya pulang dari Jerman? Mengingat terakhir kali berbincang, Papinya bilang akan mengurus Investor baru di sana, dan tinggal selama seminggu. Ini bahkan baru tiga hari dan Papinya sudah kembali!
" San, titip absen ya."Panggilan diakhiri oleh Tiffany. Perempuan itu mengatur napas sebelum masuk ke ruangan di depannya. Ruangan tempatnya mulai bekerja hari ini. Bersama Direktur muda AMJ yang parfumnya memabukkan.Tiffany mengetuk pintu, dua kali. Tak ada jawaban apa pun. Diliriknya jam yang melingkar di tangannya, masih jam setengah sembilan. Pasti atasannya belum datang. Membuka pintu, Tiffany melongo melihat Davian tidur pulas dengan mulut terbuka.Perempuan itu menutup pintu di belakangnya. Berjalan mendekat ke arah Davian yang sedang terlelap. Ia berdiri di sebelah kursi Davian. Mengamati setiap inci wajah lelaki itu dengan seksama." Ganteng sih. Tapi... jutek!" komentar perempuan itu pelan sekali. Namun cepat-cepat Tiffany
" Bapak yakin nggak apa-apa?"Davian melirik perempuan cerewet di mejanya. Sudah berapa kali sejak tadi pagi dia bertanya seperti itu. Sampai-sampai Davian bosan mendengar suaranya dan juga melihat wajahnya." Harus berapa kali lagi yang bilang kalau saya baik-baik saja?"Tiffany tampak terkejut dengan respon Davian kali ini. Membuat Davian jadi geli sendiri melihat perempuan di dekat jendela itu menundukkan kepala dalam-dalam dan memilih diam. Tak menanggapinya lagi.Bagus deh. Setidaknya, di jam mendekati pulang kantor begini ia bisa sedikit tenang. Apalagi hari ini bisa dibilang hari tenang baginya. Tak ada rapat dan pertemuan di luar. Dengan begitu, Davian bisa pulang cepat. Jarang-jarang juga ia punya banyak waktu luang begini.
Sudah pagi lagi. Tiffany harus bekerja lagi. Ini adalah hari keduanya bekerja sebagai sekretaris Davian yang sok kuat.Tiffany ingat bagaimana kondisi lelaki itu kemarin. Sebelum lelaki bernama Raka berlari-lari kecil menghampiri mereka dan Davian muntah, mengenai kemeja lengan pendek yang dipakai oleh sopirnya.Mengingat hal menjijikan itu, membuat Tiffany tak bisa membendung rasa senang jika Davian tak masuk kerja hari ini. Paling tidak, ia bisa santai-santai setelah membereskan dokumen-dokumen seperti yang diinstruksikan lelaki itu kemarin.Membuka pintu, Tiffany melotot. Mendapati Davian sudah stand by di tempatnya. Outfit-nya terlihat lebih kasual karena Davian memakai hoodie tebal. Wajahnya pucat pasi. Matanya memejam, tapi Tiffany dapat melihat bagian
Davian merasakan tubuhnya panas dingin sejak semalam. Mengingat kondisi tubuhnya sedang tidak fit, Dokter di klinik menganjurkannya untuk istirahat tiga hari. Diagnosanya adalah gejala tifus karena Davian sering telat makan dan banyak kegiatan yang menguras tenaga serta pikiran. Tapi, bagi Davian penyebab utamanya adalah karena Mbok Hilda terlalu betah di kampung halaman, sehingga Davian lebih sering makan mie instan buatannya sendiri.Mbok Hilda adalah perempuan kedua setelah Maminya yang sangat Davian hormati. Usianya sudah empat puluh lima tahun. Kata Papinya, Mbok Hilda sudah bekerja sebagai asisten rumah tangga yang sesekali merangkap sebagai baby sitter untuk keluarga Parviz selama tiga puluh satu tahun. Tepatnya Sejak Mbok Hilda berusia empat belas tahun, sebelum Daren dan Davian lahir.Davian sangat menyukai masakan Mbo
" Mbak Tiffany, ini makanan pesanan Mas Davi. Belinya di Resto Saung-Saungan. Saya lihat sendiri proses masaknya. Bersih." Raka memberikan paper bag bermotif batik sembari menjelaskan menu yang ia bawa secara rinci kepada Tiffany, " Mas Davinya jangan lupa dikasih tahu ya." Mendengar Raka menjelaskan begitu, Tiffany jadi bingung sendiri. Ia saja tidak ingat Raka membeli ini di mana tadi? " Mbak, saya pergi ya." Tiffany mengangguk, " Makasih ya Pak Raka." " Nggak usah panggil Pak. Saya masih dua puluh lima tahun!" Tiffany mengerutkan kening. Apa urusannya dengan dia jika sopir Davian masih berusia dua puluh lima tahun? Tiffany bahkan tak tanya soal itu kepadanya. Mengaba
Ada dua hal yang membuat Davian terlambat sampai kantor pagi ini. Pertama, karena ia tidur sangat nyenyak sekali semalaman. Yang terakhir karena Papinya ke luar kota semenjak kemarin sore, sebelum Davian pulang dari kantor. Untuk alasan kedua jelas Davian sangat senang sekali. Keadaannya sudah lumayan lebih baik daripada kemarin. Davian merasa suhunya tak setinggi kemarin. Hanya saja suara khas orang pilek lumayan kedengaran sangat parah, dan tenggorokannya benar-benar radang. Dasar, penyakit! menggangu orang hidup saja. Memasuki ruangannya, ia mendapati Tiffany sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya. Perempuan itu menoleh, menyadari dirinya baru datang. Tiffany memaksakan seulas senyum, membuat Davian sedikit heran. Selama tiga hari saling kenal, tidak biasanya Tiffany bertingkah macam itu pagi-pagi begini.
" Tiffany, besok pagi rekap meeting tadi siang taruh di atas meja saya ya." Tiffany baru selesai mandi. Kini ia merebahkan tubuh di atas ranjangnya yang tak terlalu besar. Suara di telepon itu membuat Tiffany kesal sendiri. Lelaki itu menghubunginya di luar jam kerja begini hanya untuk memberinya pesan tak berguna macam itu! Memangnya tidak bisa besok lagi? Apakah delapan jam kerja mereka masih kurang sehingga harus mengganggu jam istirahat begini. Tiba-tiba, Tiffany mendengar suara pintu apartemennya dibuka seseorang. Sadar telah menghubungi adik laki-lakinya untuk datang ke tempat tinggal mereka, kini Tiffany mengubah posisinya menjadi duduk. Pintu kamarnya dibuka. Menampakkan sosok lelaki jangkung masih memakai seragam putih abu-abu dan kemejanya tak dimasukkan ke dalam
" Mbak Tiffany, ini makanan pesanan Mas Davi. Belinya di Resto Saung-Saungan. Saya lihat sendiri proses masaknya. Bersih." Raka memberikan paper bag bermotif batik sembari menjelaskan menu yang ia bawa secara rinci kepada Tiffany, " Mas Davinya jangan lupa dikasih tahu ya." Mendengar Raka menjelaskan begitu, Tiffany jadi bingung sendiri. Ia saja tidak ingat Raka membeli ini di mana tadi? " Mbak, saya pergi ya." Tiffany mengangguk, " Makasih ya Pak Raka." " Nggak usah panggil Pak. Saya masih dua puluh lima tahun!" Tiffany mengerutkan kening. Apa urusannya dengan dia jika sopir Davian masih berusia dua puluh lima tahun? Tiffany bahkan tak tanya soal itu kepadanya. Mengaba
Davian merasakan tubuhnya panas dingin sejak semalam. Mengingat kondisi tubuhnya sedang tidak fit, Dokter di klinik menganjurkannya untuk istirahat tiga hari. Diagnosanya adalah gejala tifus karena Davian sering telat makan dan banyak kegiatan yang menguras tenaga serta pikiran. Tapi, bagi Davian penyebab utamanya adalah karena Mbok Hilda terlalu betah di kampung halaman, sehingga Davian lebih sering makan mie instan buatannya sendiri.Mbok Hilda adalah perempuan kedua setelah Maminya yang sangat Davian hormati. Usianya sudah empat puluh lima tahun. Kata Papinya, Mbok Hilda sudah bekerja sebagai asisten rumah tangga yang sesekali merangkap sebagai baby sitter untuk keluarga Parviz selama tiga puluh satu tahun. Tepatnya Sejak Mbok Hilda berusia empat belas tahun, sebelum Daren dan Davian lahir.Davian sangat menyukai masakan Mbo
Sudah pagi lagi. Tiffany harus bekerja lagi. Ini adalah hari keduanya bekerja sebagai sekretaris Davian yang sok kuat.Tiffany ingat bagaimana kondisi lelaki itu kemarin. Sebelum lelaki bernama Raka berlari-lari kecil menghampiri mereka dan Davian muntah, mengenai kemeja lengan pendek yang dipakai oleh sopirnya.Mengingat hal menjijikan itu, membuat Tiffany tak bisa membendung rasa senang jika Davian tak masuk kerja hari ini. Paling tidak, ia bisa santai-santai setelah membereskan dokumen-dokumen seperti yang diinstruksikan lelaki itu kemarin.Membuka pintu, Tiffany melotot. Mendapati Davian sudah stand by di tempatnya. Outfit-nya terlihat lebih kasual karena Davian memakai hoodie tebal. Wajahnya pucat pasi. Matanya memejam, tapi Tiffany dapat melihat bagian
" Bapak yakin nggak apa-apa?"Davian melirik perempuan cerewet di mejanya. Sudah berapa kali sejak tadi pagi dia bertanya seperti itu. Sampai-sampai Davian bosan mendengar suaranya dan juga melihat wajahnya." Harus berapa kali lagi yang bilang kalau saya baik-baik saja?"Tiffany tampak terkejut dengan respon Davian kali ini. Membuat Davian jadi geli sendiri melihat perempuan di dekat jendela itu menundukkan kepala dalam-dalam dan memilih diam. Tak menanggapinya lagi.Bagus deh. Setidaknya, di jam mendekati pulang kantor begini ia bisa sedikit tenang. Apalagi hari ini bisa dibilang hari tenang baginya. Tak ada rapat dan pertemuan di luar. Dengan begitu, Davian bisa pulang cepat. Jarang-jarang juga ia punya banyak waktu luang begini.
" San, titip absen ya."Panggilan diakhiri oleh Tiffany. Perempuan itu mengatur napas sebelum masuk ke ruangan di depannya. Ruangan tempatnya mulai bekerja hari ini. Bersama Direktur muda AMJ yang parfumnya memabukkan.Tiffany mengetuk pintu, dua kali. Tak ada jawaban apa pun. Diliriknya jam yang melingkar di tangannya, masih jam setengah sembilan. Pasti atasannya belum datang. Membuka pintu, Tiffany melongo melihat Davian tidur pulas dengan mulut terbuka.Perempuan itu menutup pintu di belakangnya. Berjalan mendekat ke arah Davian yang sedang terlelap. Ia berdiri di sebelah kursi Davian. Mengamati setiap inci wajah lelaki itu dengan seksama." Ganteng sih. Tapi... jutek!" komentar perempuan itu pelan sekali. Namun cepat-cepat Tiffany
Davian baru saja bangun tidur. Ia memijit pangkal hidungnya yang agak sakit. Bukan karena susunya salah jalur lagi, kali ini Davian merasa akan lebih parah dari itu keadaannya jika tak segera ditangani.Tapi, Davian bukanlah lelaki manja yang sedikit-sedikit harus ke dokter. Tentu saja. Davian sangat tidak menyukai aroma rumah sakit dan bau obat yang menyengat karena pernah membuatnya mual-mual tak enak perut." Davi! Ayo sarapan!"Itu suara Papinya, teriak-teriak, berbarengan dengan ketukan di pintu kamar. Davian bertanya-tanya dalam hati, sejak kapan Papinya pulang dari Jerman? Mengingat terakhir kali berbincang, Papinya bilang akan mengurus Investor baru di sana, dan tinggal selama seminggu. Ini bahkan baru tiga hari dan Papinya sudah kembali!
" Bapak serius?" Perempuan itu masih ngos-ngosan. Dadanya naik turun dan seluruh tubuhnya banjir keringat. Bahkan, ruangan dengan suhu sembilan belas derajat celcius tempat dimana Tiffany duduk, masih belum membuat keringatnya mengering. " Kamu pikir muka saya kelihatan bercanda?" Tiffany kaget. Mendengar lelaki yang mengaku sebagai HRD di perusahaan tempatnya melamar kerja meninggikan intonasi suara. Lelaki yang tadi memperkenalkan diri sebagai Feri kemudian menunduk. Mungkin merasa bersalah karena telah bersikap tidak sopan kepada karyawan baru di tempatnya bekerja. Syukurlah jika memang begitu. Ck, galak amat! " Jadi saya diterima, Pak?" masih tidak percaya